RD. Dr. Agustinus Manfred Habur: Katekese Dan Katekis Menurut Petunjuk Untuk Katekese (2020)

Pengantar.

Sebuah pedoman katekese yang baru berjudul Petunjuk untuk Katekese (2020), disetujui dan diumumkan secara resmi pada tanggal 23 Maret 2020 oleh Paus Fransiskus setelah 5 tahun kerja intensif oleh Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru. Dewan Kepausan ini dipercayakan untuk memperbarui pedoman sebelumnya, Petunjuk Umum Katekese (1997), agar disesuaikan dengan konteks sosio-kultural dan keagamaan masa kini. Berbagai ahli dari lapangan dan dari berbagai negara terlibat dalam merancang dokumen ini. Dengan demikian petunjuk ini mencerminkan konteks global katekese masa kini.

Petunjuk untuk  Katekese sebagaimana istilah ‘petunjuk’ bermaksud memberikan arahan bagi karya katekese. Tujuannya adalah untuk membantu semua orang yang terlibat dalam pelayanan katekese, mulai dari Uskup hingga katekis, dan pembaca umum, untuk memiliki visi ke arah mana pelayanan katekese digerakkan (PuK, 10). Petunjuk ini menawarkan prinsip-prinsip teologis-pastoral yang mendasar dan beberapa pedoman umum yang relevan untuk praktik katekese di zaman kita.

Pertanyaannya, aspek-aspek mana yang digarisbawahi  dalam petunjuk ini terkait  katekese dan apa efeknya bagi jati diri katekis masa kini? Tulisan ini bermaksud untuk menggarisbawahi aspek-aspek penting katekese masa kini sebagaimana ditawarkan dalam petunjuk ini serta konsekuensinya bagi identitas katekis.

 

  1. Aspek-aspek khusus katekese masa kini menurut Petunjuk Untuk Katekese

Petunjuk untuk Katekese (2020) terdiri dari 3 bagian dan 12 bab. Bagian pertama berjudul Katekese dalam Misi Evangelisasi Gereja, berupaya untuk meletakkan landasan yang menjadi dasar seluruh dokumen ini. Bagian ini dibagi menjadi empat bab masing-masing berjudul: Wahyu dan Penerusannya; Identitas Katekese;  Katekis; dan Pembinaan para Katekis.

Bagian kedua berjudul Proses Katekese, membahas secara lebih spesifik katekese sebagai suatu proses pembinaan iman. Bagian ini memuat empat bab yang masing-masing membahas: Pedagogi Iman, Katekismus Gereja Katolik,  Metodologi dalam Katekese, dan Katekese dalam Kehidupan Pribadi-pribadi.

Bagian ketiga berbicara tentang Katekese dalam Gereja-Gereja Partikular. Bagian ini terbagi dalam empat bab yang masing-masing diberi judul: Komunitas Kristiani sebagai Subjek Katekese,  Katekese Berhadapan dengan Konteks Budaya Kontemporer, Katekese untuk Pelayanan Inkulturasi Iman, dan Lembaga-lembaga untuk Pelayanan Katekese.

Dari berbagai tema yang dipaparkan dalam petunjuk ini, ada 6 tema yang menarik dan merupakan kunci penting untuk membaca aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam karya katekese masa kini. Keenam tema itu adalah: 1). Dimensi misioner katekese; 2). Katekese kerygmatik; 3). Katekumenat menjadi model semua kegiatan katekese; 4).        Katekese digital; 5) Katekese mistagogi; dan 6). Jalan keindahan – via pulchritudinis (Bdk. Sultana, 2021: 44-46)

  • Dimensi misioner katekese.

Petunjuk Untuk Katekese 2020 (PuK), secara eksplisit menyebut dimensi misioner katekese. Mengacu pada dokumen Evengelii Gaudium (EG) dari Paus Fransiskus, petunjuk ini menegaskan  katekese sebagai “tahap istimewa dalam evangelisasi” (PuK 56). Dalam hal ini, katekese dipikirkan sebagai satu karya misioner keluar (PuK 50), yang memberi perhatian yang lebih serius terhadap pribadi manusia yang beriman, yang merindukan perjumpaan dengan Tuhan dalam seluruh suka-duka dan pergumulan hidupnya sehari-hari. Perhatian terhadap isi ajaran atau objek iman tetap penting namun perlu diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia beriman sehingga mereka menjadi matang dan memperoleh kepenuhan di dalam Kristus. Dengan demikian, petunjuk baru ini mengusulkan pendampingan pribadi sebagai salah satu metode yang harus digunakan dalam pelayanan katekese masa kini (PuK 113, 135). Pendampingan pribadi juga merupakan bagian penting dan integral dalam proses katekese dengan kategori orang-orang tertentu, misalnya, saat mendampingi keluarga (PuK 235), dan saat mendampingi orang dewasa (PuK 263-265).

Terkait dimensi misioner katekese, petunjuk ini juga menyinggung perlunya pertobatan misioner karya katekese paroki (PuK 303). Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam karya katekese paroki yakni: 1). Katekese membentuk komunitas murid-murid misioner, dan bukannya mencetak ahli-ahli yang mengetahui semuanya; 2). Katekese membentuk mentalitas misioner, yaitu komitmen untuk mendengarkan orang lain dan untuk keluar mendengarkan pengalaman orang-orang sembari meneranginya dengan cahaya Injil; 3). Katekese menyajikan pengalaman formatif yang memungkinkan untuk mengenal, dan menerima kerygma.

  • Katekese kerygmatis.

Petunjuk  baru ini dengan tegas mengusulkan jenis katekese kerygmatis tanpa berusaha membawa kita kembali ke masa gerakan kerygmatis yang merupakan ciri khas katekese pada tahun 1930-an hingga tahun 1960-an (Bdk., Placida, 2015:140). Inspirasi untuk bergerak menuju jenis katekese yang lebih kerygmatis bersumber pada dokumen Evangelii Gaudium:

Dalam katekese juga, kita telah menemukan kembali peran mendasar dari pewartaan pertama atau kerygma, yang perlu menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi dan semua upaya pembaharuan Gereja… Pernyataan pertama ini disebut “pertama” bukan karena ia ada pada permulaan dan kemudian bisa dilupakan atau digantikan dengan hal lain yang lebih penting. Yang pertama dalam arti kualitatif karena ini adalah pernyataan yang prinsipil, yang harus kita dengar lagi dan lagi dengan cara yang berbeda-beda, yaitu: pada setiap tingkatan dan momen… Kita tidak boleh berpikir bahwa dalam katekese, kerygma memberi jalan pada formasi yang dianggap lebih “kokoh”. Tidak ada yang lebih solid, mendalam, aman, bermakna, dan penuh kebijaksanaan selain pernyataan awal tersebut. Seluruh pembinaan Kristiani terdiri dari pendalaman kerygma, yang direfleksikan dan terus-menerus menerangi karya katekese, sehingga memampukan kita untuk memahami secara lebih utuh makna setiap pokok bahasan yang dibahas dalam kerygma. Pesan ini mampu menjawab keinginan akan hal yang tak terhingga yang ada dalam setiap hati manusia (EG 164-165).

Teks dari EG ini sering dirujuk dan kadang-kadang juga direproduksi di berbagai bagian petunjuk 2020. Selain itu, petunjuk ini menegaskan bahwa penyajian Khabar Baik yang bersifat kerygmatis tidak hanya penting pada pewartaan pertama, namun juga harus menjadi penentu karakteristik semua fase dan bentuk katekese yang berbeda dengan semua kategori dan usia peserta katekese (PuK 57).

Pertanyaannya: Apa yang dimaksud dengan katekese kerygmatik dalam petujuk baru ini? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan cara yang memadai jika kita ingin memahami visi baru yang diusulkannya. Ketika kita berbicara tentang katekese kerygmatis, kita juga mengatakan bahwa tujuan utama dari semua upaya katekese kita adalah mewartakan Khabar Baik. Jika kita menginginkan katekese kerygmatis sebagai sebuah istilah agar tidak menjadi klise – seperti yang terjadi dengan istilah evangelisasi baru – kita harus melihat bahwa hal ini tidak hanya berakar pada pesan Injil, namun juga tertanam kuat dalam pesan Injil yakni pewartaan tentang Pribadi Yesus Kristus (PuK 57-60; 75-78).

Oleh karena itu, katekese kerygmatis berupaya menghilangkan hal-hal sederhana penerusan informasi tentang Yesus dengan cara yang abstrak. Ia mencoba menyentuh realitas praktis yang dijalani manusia masa kini, dan yang sedang ia perjuangkan. Katekese kerygmatis menghadirkan Yesus sebagai pribadi yang tidak hanya tertarik pada kecemasan dan kegelisahan kita, namun sebagai Allah yang menyertai kita sepanjang hidup kita. Hanya dengan cara inilah kita dapat menghadirkan Yesus sebagai Khabar Baik bagi setiap generasi dengan cara yang segar. Hanya dengan menghadirkan Yesus sebagai Khabar Baik, manusia menemukan dirinya sebagai gambar Allah, dipanggil untuk bersatu dengan-Nya. Oleh karena itu, iman yang dihadirkan melalui katekese tipe kerygmatis bukanlah sesuatu yang jauh dari pribadinya, atau berkaitan dengan masa lalu, melainkan suatu peristiwa yang menyentuh umat manusia dalam satu kesatuan dengan kenyataan yang mereka jalani.

Salah satu ciri menghadirkan Yesus Kristus sebagai Khabar Baik keselamatan adalah belas kasihan. Jenis katekese yang bersifat kerygmatis tidak dapat menghilangkan pewartaan belas kasihan Allah. Katekese kerygmatis menghadirkan Yesus sebagai sosok yang dekat dengan manusia, bukan untuk mengutuknya tetapi untuk menawarkan belas kasihan dan rekonsiliasi. Hanya melalui karunia belas kasihan maka umat manusia menemukan diri mereka sebagai individu yang tidak ditinggalkan oleh Tuhan pada takdirnya, namun sebagai pribadi yang diundang untuk masuk ke dalam persekutuan dengan-Nya. Belas kasihan dapat disajikan dengan lebih jelas dan tegas dalam proses  katekese dengan kategori orang tertentu, misalnya di penjara (PuK 282). Belas kasihan juga merupakan salah satu ciri katekese kerygmatik selama katekumenat di mana katekumen mengalami belas kasihan Allah dalam pengampunan dosa ketika menerima Sakramen Inisiasi (PuK 65).

  • Katekumenat sebagai model segala bentuk katekese

Katekumenat sebagai suatu proses inisiasi Kristiani diusulkan “sebagai sumber inspirasi bagi katekese” (PuK 65). Katekumenat adalah praktek antik gerejawi, yang diberikan kepada orang-orang yang bertobat yang belum dibaptis (PuK 61). Dengan menjadikan katekumenat sebagai inspirasi, tentu tidak berarti katekese harus mengikuti semua langkah-langkah dan proses katekumenat. Yang paling penting adalah bahwa katekese perlu memperhatikan aspek-aspek penting katekumenat seperti: aspek paskal (perjumpaan dengan Kristus yang bangkit), aspek inisiasi untuk semakin terintegrasi kedalam komunitas kristen, aspek liturgis-ritual-simbolis, dimensi komunitaris, aspek pertobatan permanen dan kesaksian ke tengah dunia, serta aspek proses pembentukan kehidupan kristen secara bertahap dan berkelanjutan (PK 64).

Berkaitan dengan aspek-aspek penting di atas,  petunjuk baru ini dengan tegas mengusulkan suatu pertobatan pastoral dalam kaitannya dengan katekumenat sebagai suatu proses inisiasi Kristen. Hendaknya direvisi (PuK 330-303) beberapa hal  yakni; 1). bahwa katekese selama masa katekumenat harus sedapat mungkin menjauhkan diri dari penyampaian informasi dan pengajaran yang merupakan ciri khas lingkungan sekolah. Informasi tentang Yesus dan iman Katolik tidak boleh diberikan oleh seorang katekis yang mengetahui banyak informasi tentang Yesus, tetapi harus berbentuk pengalaman praktis, yang mengenal Yesus melalui pengalaman-pengalaman pribadi (PuK 297); 2) semua katekese yang disampaikan dalam katekumenat harus menjauhkan diri dari segala bentuk pemaksaan, bahkan ketika kita berbicara tentang kebenaran yang tidak dapat disangkal. Bertentangan dengan segala bentuk pemaksaan, katekese pada masa katekumenat hendaknya mengusulkan iman dalam bentuk dialog dengan individu yang terpanggil untuk mengambil keputusan pribadi secara bebas sebagai orang yang diutus untuk beriman (PuK 53, 142, 260,396); 3). katekumenat perlu mempertimbangkan kembali pentingnya katekese yang bertahap, dan tidak memberikan segalanya sekaligus (seperti kursus-kursus singkat menjelang penerimaan sakramen). Masuknya seseorang secara bertahap ke dalam misteri Kristus dan Gereja perlu dijaga, sementara secara bertahap memasukkan individu ke dalam proses terus-menerus untuk mengenal Yesus lebih jauh (PuK 61, 63, 64);  4). katekese pada masa katekumenat tidak boleh disajikan sebagai tanda Sakramen Inisiasi sedemikian rupa sehingga setelah sakramen diterima maka ada kekosongan karena kurangnya mistagogi dan kurangnya pembinaan yang permanen dan berkelanjutan (PuK 97-98); 5). sakramen inisiasi hendaknya tidak dijadikan alasan pastoral untuk melaksanakan sakramen krisma pada usia yang lebih dini, dengan alasan jika ditunda maka kita akan kehilangan jumlah. Penalaran seperti ini mengosongkan sakramen dari arti penting dan misteri di dalamnya (PuK 70).

  • Katekese di era digital

Petunjuk ini memiliki dua perspektif terhadap budaya digital dengan kemajuan teknologi internetnya. Pertama, perspektif instrumentalisasi. Dalam cara pandang ini, internet dilihat sebagai instrumen yang andal untuk pewartaan Sabda Allah demi pendidikan iman. Tanpa mengbaikan aspek negatifnya (a.l dark web, fake news, cyber bully, dll), Gereja didorong untuk menggunakan gelanggang internet sebagai ruang pewartaan iman. Direktorium ini mengakui bahwa Web dan jejaring sosial dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menjadi ruang pewartaan terutama bagi orang-orang muda (Bdk. PuK 360).

Kedua, perspektif perjumpaan. Dalam perspektif ini, dunia digital dipandang sebagai tempat berlangsungnya perjumpaan baru antara manusia dan kebudayaan. Karena itu Injil harus hadir dalam jagad digital dan menawarkan di dalamnya atmosfer perjumpaan iman yang menghidupkan (Bdk. PuK 371). Dengan demikian, maka media digital, terutama jaringan internet, tidak sekedar menjadi sarana pewartaan dan katekese akan tetapi juga menjadi gelanggang baru inkulturasi injil dengan budaya baru yang tercipta dari kemajuan teknologi digital.

Sebagai gelanggang inkulturasi iman, pertanyaan pokok katekese digital bukanlah bagaimana menggunakan sarana-sarana digital melainkan bagaimana mewujudkan kehadiran yang menginjili dalam budaya digital ini. Petunjuk ini menegaskan, “Dalam proses pewartaan Injil, pertanyaan yang sebenarnya bukanlah bagaimana menggunakan teknologi baru untuk mengevangelisasi, melainkan bagaimana menjadi suatu kehadiran yang menginjili dalam dunia digital. Katekese, yang tidak dapat mendigitalkan dirinya begitu saja, tentu perlu mengenal kekuatan sarana ini dan memakainya dengan segala potensi dan nilai-nilai positifnya, namun demikian dengan kesadaran bahwa katekese tidak dilakukan hanya dengan menggunakan sarana-sarana digital, tetapi juga dengan menyediakan ruang bagi pengalaman iman. Hanya dengan demikian akan dihindari suatu virtualisasi katekese yang berisiko membuat kegiatan katekese lemah dan tidak relevan” (PuK 371).

Katekese digital haruslah katekese yang sanggup mengembangkan pengalaman-pengalaman, bukan katekese yang terarah kepada kecedrungan untuk like dan dislike belaka. Harus hadir dalam katekese digital aktivitas pendampingan atas pengalaman akan Allah. Pendampingan kateketis menurut petunjuk ini, “didasarkan pada pengalaman-pengalaman autentik, yang jangan dikacaukan dengan eksperimen-eksperimen: pengalaman mengubah dan menyediakan kunci-kunci interpretatif tentang kehidupan, sementara eksperimen dihasilkan hanya dengan cara yang sama. Katekese dipanggil untuk menemukan cara-cara yang sesuai untuk menghadapi persoalan-persoalan besar tentang makna hidup, kejasmanian, afektivitas, identitas gender, keadilan dan perdamaian, yang pada era digital diinterpretasi secara berbeda” (PuK 371).

Katekese digital karena itu tidak boleh terjebak pada proses katekese yang bersifat individual dan isolatif. Dia harus tetap mengarah kepada pengalaman komunal dalam kehidupan komunitas umat beriman. Penegasan petunjuk ini penting sekali: “Katekese pada era digital akan dipersonalisasi, namun tidak pernah menjadi suatu proses individual: dari dunia sosial media yang individualistis dan terisolasi, harus beralih kepada komunitas gerejani, tempat di mana pengalaman akan Allah menjadi persekutuan dan berbagi pengalaman yang dihidupi. Kekuatan liturgi dalam mengomunikasikan iman dan mengantar ke dalam pengalaman akan Allah tidak boleh diremehkan. Liturgi terdiri dari keragaman norma-norma komunikasi yang meningkat-kan interaksi indra-indra (sinestesia) serta komunikasi verbal. Karena itu penting menemukan daya kemampuan liturgi, tetapi juga seni sakral, untuk mengungkapkan misteri-misteri iman. Tantangan evangelisasi melibatkan tantangan inkulturasi dalam dunia digital. Adalah penting membantu untuk tidak mencampuradukkan sarana dengan tujuan, membuat disermen bagaimana menjelajahi internet, agar bertumbuh sebagai subjek-subjek dan bukan sebagai objek-objek dan melampaui teknologi guna menemukan kemanusiaan yang diperbarui dalam hubungan dengan Kristus” (PuK 372).

  • Katekese Mistagogi

Petunjuk ini menyajikan mistagogi sebagai sebuah momen khusus dalam katekumenat. Katekese mistagogi berupaya untuk menafsirkan ritus-ritus sakramen dalam terang peristiwa keselamatan; menjelaskan pengertian tanda dan simbol liturgi; menghadirkan pendekatan yang menyeluruh  terhadap sakramen inisiasi, dalam rangka penghayatan kehidupan kristiani yang sesungguhnya (PuK 98).

Namun, tanpa mengurangi makna mistagogi sebagai bagian integral dari katekumenat, konsep mistagogi diperluas dalam petunjuk  baru ini. Mistagogi tidak sekedar pendalaman inisiasi kristiani setelah menerima sakramen-sakramen. Dia diperluas melampaui batas-batas katekumenat karena ia berusaha membantu dan mendampingi pribadi-pribadi untuk  terus menerima Kristus dalam kehidupan mereka. Mistagogi berusaha mendampingi dan memasukan pribadi-pribadi ke dalam misteri Kristus, dan membiarkan Kristus menerangi kehidupan, perkataan dan pilihan mereka. Hal ini menjadikan mistagogi sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup (Bdk., PuK 98).

  • Jalan Keindahan

Salah satu hal baru dalam petunjuk ini adalah bahwa ia menganggap jalan keindahan – via pulchritudinis – sebagai salah satu sumber katekese (Bdk., PuK 106-109). Hal ini memang sudah terjadi selama berabad-abad, di mana seni memainkan peran pendidikan yang sangat penting di masa ketika masyarakat belum melek huruf seperti saat ini. Di masa lalu, hal ini memungkinkan penyajian misteri keselamatan melalui seni visual pada gedung-gedung gereja, sebagai bahan katekese bagi orang-orang yang tidak berpendidikan dan buta huruf.

Sekalipun kita sebagai umat manusia telah mencapai kemajuan dalam pendidikan dan penanaman budaya manusia yang terpelajar, namun jalan keindahan tetap menjadi salah satu sumber katekese yang dapat menjangkau umat manusia saat ini dalam konteks nyata di mana mereka berada dan hidup. Dengan mempertimbangkan keindahan sebagai salah satu sumber katekese, kita mengacu pada seni, sastra, musik dan bentuk-bentuk keindahan lainnya. Berbagai bentukkeindahan itu  dapat mendorong manusia untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat eksistensial yang pada akhirnya akan membawa mereka kepada Tuhan. Semua Gereja lokal sangat kaya dan menawarkan peluang besar dalam hal ini.

  1. Hakekat Katekese Masa Kini

Bila ditelusuri beberapa tema yang digarisbawahi terkait katekese di atas, jelas sekali bahwa katekese merupakan pendidikan iman. Dimensi misioner-kerygmatis-mistagogis katekese menekankan pentingnya perhatian yang lebih serius terhadap pribadi manusia yang beriman, yang merindukan perjumpaan dengan Tuhan dalam seluruh suka-duka dan pergumulan hidupnya sehari-hari. Perhatian terhadap isi ajaran atau objek iman tetap penting namun perlu diarahkan untuk pertumbuhan dan perkembangan manusia beriman sehingga mereka menjadi matang dan memperoleh kepenuhan di dalam Kristus. Di sini, Gereja perlu  “mencari seruan-seruan kebenaran yang sudah ada dalam berbagai kegiatan manusia, dengan keyakinan bahwa Allah secara misterius bekerja di dalam hati manusia sebelum manusia dijangkau secara eksplisit  oleh Injil” (PuK 50).

Sebagai proses pendidikan iman katekese menjadi bantuan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk mengembangkan sikap iman (fides qua) yang tidak saja berkaitan dengan penguasaan  pengatahuan (fides quae) tentang ajaran dan tradisi Gereja, tetapi terutama “pematangan pengalaman manusiawi” (Placida, 2015:123). Di sini katekese merupakan, “satu perjalanan pedagogis yang ditawarkan dalam komunitas gerejani yang membimbing orang beriman kepada perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus melalui Sabda Allah, kegiatan liturgis dan karitatif kasih, yang terintegrasi  dengan semua dimensi orang itu, supaya ia bertumbuh dalam mentalitas iman dan menjadi saksi kehidupan baru di tengah dunia” (PuK 65)

Sebagai proses pendidikan, fokus katekese adalah manusia. Katekese memanusiakan manusia. Dalam dokumen Ad Gentes ditekankan bahwa  kegiatan katekese tidak boleh “melulu penjelasan ajaran-ajaran Gereja dan perintah-perintah melainkan pembinaan dalam hidup kristen…” (AG 14).  Pembinaan dalam hidup kristen berkaitan dengan hidup iman sehari-hari yakni iman yang diakui, dirayakan, dan diwujudkan dalam konteks pergumulan hidupnya. Pembinaan iman seperti ini tidak melihat manusia sebagai sekedar objek katekese melainkan terutama sebagai subjek katekese itu sendiri (Bdk. Meddi, 2017: 28). Melalui katekese manusia dengan seluruh pergumulan kesehariannya, mengembangkan dirinya menuju kedewasaan kristiani.

Katekese yang melihat manusia (peserta) sebagai subjek, bercorak humanis. Dia menghargai manusia yang dari kodratnya rindu berjumpa dengan Allah. Manusia yang sama diyakini mengalami kepenuhan kemanusiaannya dalam persekutuan dengan Allah. Dia dipanggil menuju kesempurnaan, menuju persahabatan dengan Allah. Manusia yang matang dan dewasa adalah manusia yang bersatu dengan Kristus, berpikir seperti Dia, merasa seperti Dia, menilai segalanya seperti Dia, dan bertindak seperti perintah-perintah-Nya (CT 20; EG 8; PuK 20). Katekese, dengan demikian memberi ruang agar terjadi perjumpaan personal antara Allah dan manusia. Dalam katekese manusia berdialog dengan Allah sebagai pribadi yang bebas, yang terbuka terhadap tawaran Allah dan dengan penuh cinta menyatakan “ya” terhadap panggilan-Nya.

Proses katekese yang memanusiakan manusia berlandas pada analisis tentang keberadaan manusia. Interesenya yang utama adalah manusia. Allah tentu penting, tapi dalam proses katekese yang dibimbing adalah manusia. Proses katekese tidak boleh mengabaikan manusia dengan seluruh pencariannya tentang makna hidup. Seluruh aktivitas katekese adalah bentuk pelayanan Gereja bagi manusia. Harus dijamin bahwa manusia menjadi fokus katekese. Dia merupakan jalan katekese itu sendiri, melaluinya Allah berbicara dan berkarya (Bdk Curro’, 2011: 69; RH 14). Manusia pada dasarnya terbuka terhadap yang transenden, dan pendengar sabda (Bdk. PuK 17). Dia terbuka terhadap panggilan Allah yang sejatinya memang sejak semula mencari dan memanggil manusia untuk bersekutu dengan-Nya (Bdk. Curro’, 2011: 76).

  1. Identitas Katekis Masa Kini

Sebagai proses pedagogis pendidikan iman, katekese membutuhkan kehadiran katekis yang handal. Peran katekis sangat vital dalam katekese. Dia merupakan  saksi dari tradisi yang hidup dan mediator yang mempermudah masuknya murid-murid Kristus ke dalam Tubuh gerejawi-Nya (PuK 112). Katekis adalah “seorang Kristiani yang menerima dalam iman panggilan khusus dari Allah yang memampukannya untuk melayani penerusan iman dan tugas untuk mengantar kepada hidup kristiani” (PuK 112). Tidak ada metode atau teknik katekese yang bisa menggantikan peran katekis ini. Katekis bahkan menjadi jiwa dari setiap metode dan teknik katekese. Katekis yang handal dapat mengantar orang kepada iman dan menuntun orang dalam pertumbuhan iman menuju kematangan sikap iman.

Lantas apa saja peran para katekis? Dalam bingkai katekese sebagai perjalanan pedagogis pendidikan iman, petunjuk baru ini menggariskan peran katekis sebagai: saksi iman dan penjaga ingatan akan Allah; guru dan mistagog;  pendamping dan pendidik (PuK 113).

Pertama-tama, katekis adalah saksi iman dan penjaga ingatan akan Allah. Ketika katekese berfokus pada manusia dan menjadi jalan pedagogis untuk membimbingnya menuju kedewasaan, maka katekis terutama hadir sebagai saksi. Yang dipentingkan dalam katekese adalah kehadiran yang jujur dan otentik dan penawaran akan cinta kasih Allah dalam semangat belaskasihan. Di sini kesaksian hidup lebih menarik dari pada kata-kata. Kesaksian hidup akan menyentuh wilayah afektif dan mendorong orang untuk mengetahui lebih dalam isi iman yang harus diakuinya.

Sebagai saksi seorang katekis tidak terutama berbicara banyak tentang Tuhan tetapi membiarkan Tuhan banyak berbicara melalui kesaksian hidupnya. Karyanya melibatkan keseluruhan dirinya. Sebelum Dia mengajarkan Sabda Allah, Dia harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Kebenaran hidupnya meneguhkan pesan yang dia ajarkan. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika  katekis tidak “melaksanakan apa yang mereka ajarkan” dan mewartakan Tuhan yang diketahui secara teoritis, tetapi yang dengan-Nya dia tidak mempunyai kontak sama sekali (Bdk. GC 8-10).

Paus Fransiskus menegaskan bahwa katekis bukat terutama gelar atau profesi, tetapi satu panggilan. Sebagai panggilan katekis membimbing orang-orang kepada perjumpaan dengan Kristus tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan perbuatan, dengan kesaksian hidup yang meyakinkan (Bdk. Heryatno: 2018, 227-232). Untuk itu katekis hendaknya memiliki kedekatan personal dengan Yesus, kedekatan personal dengan sesama, dan memiliki keberanian untuk pergi menjumpai orang-orang di pinggiran, di tempat yang sulit, tidak nyaman dan menantang (Paus Fransiskus: 2018, 13-21).

Kedua sebagai guru dan mistagog. Katekis adalah pengajar yang mengantar orang-orang ke dalam misteri Allah, yang diwahyukan dalam Paskah Kristus (PuK 113). Di sini katekis berperan “menyingkapkan kebenaran tentang manusia dan panggilannya yang utama, dengan mengomunikasikan pengetahuan tentang Kristus, dan pada saat yang sama, untuk mengantar ke dalam berbagai dimensi hidup kristiani, dengan menyingkapkan misteri keselamatan yang terkandung dalam warisan iman dan terlaksana dalam liturgi Gereja” (PuK 113).

Sebagai guru dan mistagog, seorang katekis dipanggil untuk mewartakan Sabda dan tahu menginterpretasi dalam terang Firman Tuhan pengalaman manusiawi orang-orang masa kini. Dia sungguh tahu bahwa pusat seluruh pencarian manusia adalah Kristus sendiri yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14,6). Dalam hal ini, fokus terhadap manusia dalam pendidikan iman, sama sekali tidak mengabaikan pengetahuan seorang katekis tentang pokok-pokok iman kristen. Dia kiranya tetap memiliki penguasaan yang tepat tentang isi iman kristiani yang harus diwartakan dengan lantang kepada semua orang (Bdk. CT 20).

Ketiga sebagai pendamping dan pendidik. Di sini katekis selalu mau ada di samping orang muda, anak-anak, remaja dan orang dewasa yang mau dilayaninya, sebagaimana Kristus berjalan di samping kedua murid Emaus. Dia mau mendengarkan dan mencari bersama mereka sapaan Allah dalam pergumulan hidup sehari-hari dan memberanikan mereka untuk berjumpa secara personal dengan Kristus yang diwartakan Gereja. Dalam hal ini katekis menurut petunjuk ini adalah:

Ahli dalam seni pendampingan, memiliki kompetensi edukatif, tahu mendengarkan dan masuk dalam dinamika pendewasaan manusia, menjadi teman seperjalanan dengan kesabaran dan cita rasa kebertahapan, dengan ketaatan terhadap karya Roh, dalam proses pembinaan, dengan membantu saudara-saudara untuk menjadi matang dalam hidup kristiani dan berjalan menuju Allah. Katekis ahli dalam kemanusiaan, mengetahui kegembiraan dan pengharapan manusia, kesediahan dan kecemasannya (bdk. GS 1) dan tahu menempatkan semuanya dalam hubungan dengan Injil Yesus (PuK 113)

Untuk menjalankan peran-peran tersebut di atas seorang katekis perlu menghayati keutamaan-keutamaan kristiani berikut: kesiapsediaan, totalitas, cura personalis, kerja keras dan mutu, sense of belonging, kerendahan hati, bijaksana, memperjuangkan kebenaran, mudah bersyukur, dan  berpengharapan (Habur, 2014, 155-161).

Siap sedia berarti seorang katekis mengatakan “Ya saya mau” untuk menjalankan tugas dan konsekuensinya dia mau melibatkan diri seutuhnya dalam tugas yang dipercayakan kepadanya, dan tugas itu dipandang sebagai perutusan Tuhan sendiri, baik atau tidak baik situasinya.

Totalitas berarti seorang katekis mau dan membiarkan Roh Allah secara total bekerja melalui dan di dalam dirinya. Juga berarti kemauan untuk mengerahkan seluruh potensi dan talenta dalam melaksanakan tugas yang diemban. Dalam totalitas ada penyerahan diri seutuhnya dan perjuangan diri sepenuhnya. Kata lainya: komitmen. Dia terarah pertama-tama bukan pada tugas tetapi kepada komunitas yang dilayani (Bdk. PUK 231).

Cura Personalis berkaitan dengan keterampilan mempraktikkan cinta kasih dalam relasi  hati antar pribadi. Seorang katekis hendaknya sanggup memberikan hatinya secara pribadi kepada pribadi-pribadi yang dilayaninya. Dia ibarat seorang gembala, “mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenalnya”.

Kerja keras dan mutu mengindikasikan kemauan untuk mencurahkan tenaga dan waktu. Mutu mengindikasikan kemauan untuk memberikan semua kemampuan dan potensi diri. Katekis yang yang handal biasanya tidak setengah-setengah. Ia mencurahkan tenaga, waktu, talenta, dan kemampuanya untuk tugas dan panggilannya. Dia melihat karyanya sebagai keikutsertaan dalam karya Allah demi keselamatan manusia seluruhnya. Di sini tentunya setiap pekerja patut mendapat upahnya.

Sense of Belonging  mengalir dari rasa tanggung jawab atas hidup dan masa depan dari orang-orang yang dilayaninya. Dia merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipercayakan pada karya pelayanannya. Dia memberikan dirinya bagi mereka. Baginya hidup adalah mengikuti ajakan Yesus: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24).

Kerendah hati merupakan perpaduan antara sikap hati yang menempatkan orang lain lebih dari dirinya sendiri, sekaligus tindakan turun tangan untuk melayani. Ini juga berarti siap menjadi orang nomor dua atau orang di balik layar, atau orang yang berbuat, tetapi siap untuk tidak diperhitungkan peranannya. “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk. 17,10)

Katekis yang bijaksana berarti menjadi terlatih untuk melihat ke dalam, memperhatikan kesempurnaan batin, menata gerak-gerik suara hati. Transformasi sosial hanya mungkin kalau dimulai dari dalam diri setiap individu, yaitu melalui transformasi internal – transformasi batin. Seorang yang bijaksana peduli harta rohani tentu tidak mengabaikan harta jasmani. Katekis berkarakter hendaknya bijaksana, menjadi filsuf kehidupan yang selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga mengajarkan kehidupan kepada orang yang dilayaninya (Bdk. CT 76).

Memperjuangkan kebenaran berarti mengalahkan diri sendiri dengan segala betuk keinginan dan egoisme. Keutamaan ini membantu katekis untuk memenangkan Allah dan kehendak kebenaranNya bagi dirinya dan bagi sesama yang dilayani (Bdk CT 78). Panggilan seorang katekis adalah menularkan energi positif, yakni keberanian memperjuangkan kebenaran kepada saudara-saudaranya. Termasuk di sini kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni orang yang bersalah.

Mudah bersyukur adalah keutamaan anak kecil, yang disebut Yesus sebagai yang empunya kerajaan Allah. Anak kecil itu mudah kagum dan bersamaan dengannya ia pun mudah bersyukur. Seorang katekis kiranya selalu bersyukur atas karunia hidup dan panggilannya.

Berpengharapan berarti keyakinan bahwa di dalam kelemahan dan kerapuhan manusiawi Allah tetap berkarya mendidik umatnya. Katekis yang handal yakin bahwa  Allah akan menyempurnakan apa yang kurang pada dirinya. “Do your best, and let God do the rest.” Katekis tidak lekas lekas putus asa (Bdk EG 74). Allah sendiri pasti menjamin kelangsungan hidup dan segala hal baik di dalam kehidupan ini.

 Penutup

Katekese masa kini, dalam terang Petunjuk Untuk Katekese 2020, perlu secara serius menjalankan perannya sebagai proses pendidikan iman. Fokusnya adalah manusia. Katekese menjadi pelayanan gerejawi untuk manusia. Dia menjadi bantuan bagi seseorang agar dapat bertumbuh menuju kematangan sikap iman dan serentak memanusiakan manusia. Karena sesungguhnya manusia hanya dapat memperoleh kepenuhannya di dalam Kristus.

Katekese yang melayani manusia perlu ditawarkan dalam semangat belaskasihan  dan kesukarelaan. Katekese tidak bisa memaksakan kebenaran, hanya karena yakin bahwa kebenaran itu absout dan universal. Kateksese perlu menggarisbawahi gema kerygma yang nyata dalam karakter usulan, relasional, kesaksian, dan menyentuh afeksi. Tentu bukan karena tidak dibutuhkan rumusan ajaran kebenaran. Rumusan ajaran sangat penting tapi diarahkan pertama-tama untuk keselamatan dan kepenuhan hidup manusia di dalam Kristus.

Katekese sebagai pelayanan terhadap manusia perlu didukung oleh katekis handal. Peran katekis tetap tak tergantikan dalam proses pendidikan iman. Mereka bahkan menjadi tokoh penting pendidikan iman. Sebagai pendidik iman mereka berperan sebagai saksi, guru dan mistagog, serta pendamping dan pendidik. Tentu peran-peran itu diteguhkan oleh keutamaan-keutamaan kristiani yang harus mereka hayati dalam mewujudkan panggilannya sebagai katekis.

 

Bibliografi:

Babin, P. 1991. The New Era in Religius Communication, Minneapolis, USA, Fortress Press.

Biemmi E., Il secondo annuncio. La grazia di cominciare, Bologna, EDB, 2011.

Bocci, V. 2012. Comunicare la fede ai ragazzi 2.0. Una proposta di catechesi comunicattiva, Leuman (Torino): Elledici.

Congregation for the Evangelization of Peoples, Guide for Catechists, Vatican City, 1993.

Currò S., Il senso umano del credere. Pastorale dei giovani e sfida antropologica, Leumann (Torino), Elledici, 2011.

da Silva A. A. 2019. Catechesis in the Digital Age: From Transmission to Sharing, in Communication Research Trends, Centre for the Study of Communication and Culture, Volume 38 (2019) No. 4-15.

Dewan Kepausan Untuk Promosi Evangelisasi Baru (terj.), Petunjuk untuk Katekese, Jakarta, Dokpen KWI &Komkat KWI, 2022.

Ed Stedzer, 2021. dalam https://www.christianitytoday.com/edstetzer/2014/october/3-

ways-technology-enables-mission-of-church.html, diunduh 14 Juli 2021.

Francesco, Esortazione apostolica Evangelii Gaudium, Roma, Ancora, 2013.

————, Il Catechista Testimone della Fede, dalam Pontificio Consiglio Per La Promozione Della Nuova Evangelizazione, Il Catechista Testimone della Fede, Far Crescere il desiderio di Dio nel Cuore degli Uomini, Roma, San Paolo, 2018.

Habur A. M., Katekis yang Berkarakter di Era Postmodern, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio 7 (1), 2014, 155-161.

—————-., Model Katekese Humanis Menangkal Radikalisme Agama, dalam Midun-Lega (ed), Transformasi Iman, Budaya, Pendidikan: Pemberdayaan Manusia di Era New Normal, Malang, Seribu Bintang 2022.

Heryatno F.X., Sosok Katekis di Zaman Sekarang, Belajar Mewartakan Kabar Gembira Dari Cara Yesus Sang Guru Sejati, dalam Madya Utama I. L., Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang, Yogyakarta, SDU Press, 2018.

Kongregasi Untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Jakarta, Dokpen KWI, 2000.

Manicardi, Per una fede matura, Leumann (Torino), Elledici, 2012.

Medi L., La Catechesi oltre il Catechismo, Saggi di Catechetica Fondamentale, Roma, Urbaniana University Press, 2017.

Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), Jakarta, Dokpen KWI, 2014.

Placida F., Comunicare Gesu’, La catechese oggi, Roma, Urbana University Press, 2015.

Sultana, C. M., A pastoral reading of the Directory For Catechesis, in Roczniki Teologiczne – Desember 2021

********

Dr. Agustinus Manfred Habur, adalah staf ahli Komkat KWI, sekretaris Keuskupan Ruteng, dosen di Unika St. Paulus, Ruteng.

Tulisan diatas telah dipresentasikan pada pertemuan nasional kelima Katekis, pada tgl 2 Juli 2024 di kantor KWI, Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *