Kitab Hukum Kanonik

Codex Canonici.jpg

Kitab Hukum Kanonik (KHK) atau Codex Iuris Canonici, merupakan salah satu buku penting yang memuat peraturan/norma bagi semua umat Katolik. Sebagai sebuah kitab hukum, maka tentu saja bahasa yang digunakan bersifat legal-formal dan padat berisi. Kita bersyukur bahwa buku KHK terus diterjemahkan kembali mengikuti perkembangan bahasa dan kebutuhan, yaitu dari hanya untuk kalangan tertentu dalam Gereja (eksklusif), meluas kepada kebutuhan umat pada umumnya (inklusif). Artinya bahwa revisi terjemahan KHK diharapkan mudah diterima/dimengerti umat pada umumnya. Semoga buku ini berguna bagi semua saja yang ingin mempelajarinya.

************

BUKU I
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 1 – Kanon-kanon Kitab Hukum ini berlaku hanya untuk Gereja Latin.
Kan. 2 – Pada umumnya Kitab Hukum tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis; karena itu, undang-undang liturgis yang berlaku sampai sekarang tetap mempunyai kekuatan hukum, kecuali kalau ada yang bertentangan dengan kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 3 – Kanon-kanon Kitab Hukum ini tidak menghapus selu-ruhnya atau sebagian perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh Takhta Apostolik dengan negara atau masyarakat politik lain. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut masih tetap berlaku seperti sekarang, walaupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini.
Kan. 4 – Hak-hak yang telah diperoleh tetap utuh; demikian juga privilegi-privilegi yang sampai sekarang diberikan Takhta Apostolik kepada perorangan atau badan hukum dan yang masih berlaku serta tidak dicabut, kecuali dengan jelas dicabut oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 5 – § 1. Kebiasaan-kebiasaan, baik universal maupun par-tikular, yang berlaku sampai sekarang dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon ini serta ditolak oleh kanon-kanon Kitab Hukum ini, dinyatakan hapus sama sekali dan selanjutnya jangan dibiarkan hidup kembali; juga yang lain-lain hendaknya dinyatakan hapus, kecuali Kitab Hukum ini dengan jelas menyatakan lain, atau sudah berumur lebih dari seratus tahun, atau tidak diingat lagi awal-mulanya, yang menurut penilaian Ordinaris dapat dibiarkan, mengingat keadaan tempat dan orang-orangnya, tidak dapat ditiadakan.
§ 2. Kebiasaan-kebiasaan di luar hukum yang berlaku sampai sekarang, baik universal maupun partikular, tetap berlaku.
Kan. 6 – § 1. Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah seluruhnya:
10 Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917;
20 juga undang-undang, baik universal maupun partikular, yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Kitab Hukum ini, kecuali mengenai undang-undang partikular dengan jelas ditentukan lain;
30 hukum pidana apapun, baik universal maupun partikular, yang dikeluarkan Takhta Apostolik, kecuali dimasukkan dalam Kitab Hukum ini;
40 juga undang-undang disipliner universal lain, yang bahannya secara menyeluruh telah diatur oleh Kitab Hukum ini.
§ 2. Kanon-kanon Kitab Hukum ini, sejauh diambil dari hukum lama, harus ditafsirkan menurut tradisi kanonik.

JUDUL I
UNDANG-UNDANG GEREJAWI

Kan. 7 – Undang-undang mulai ada pada saat diundangkan.
Kan. 8 – § 1. Undang-undang gerejawi universal diundangkan dengan diterbitkannya dalam lembaran Acta Apostolicae Sedis, kecuali untuk kasus tertentu cara pengundangannya ditentukan lain. Undang-undang itu baru mulai mempunyai kekuatan setelah tiga bulan, terhitung dari tanggal yang tercatat pada nomor Acta itu, kecuali dari hakikatnya serta-merta mengikat atau dalam undang-undang itu sendiri secara khusus dan jelas ditentukan masa tenggang yang lebih pendek atau lebih panjang.
§ 2. Undang-undang partikular diundangkan dengan cara yang ditentukan oleh pembuat undang-undang itu dan mulai mewajibkan setelah satu bulan, terhitung dari hari pengundangannya, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan batas waktu yang lain.
Kan. 9 – Undang-undang berlaku mengenai hal-hal yang akan datang dan tidak mengenai hal-hal yang sudah lewat, kecuali disebut jelas-jelas di dalamnya bahwa berlaku juga untuk hal-hal yang sudah lewat.
Kan. 10 – Yang harus dipandang sebagai undang-undang yang menjadikan-tindakan-tidak-sah (lex irritans) atau menjadikan-orang-tidak-mampu (lex inhabilitans), hanyalah undang-undang yang menentukan dengan jelas, bahwa tindakan tidak sah atau orang tidak mampu.
Kan. 11 – Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.
Kan. 12 – § 1. Undang-undang universal mengikat di mana saja semua orang baginya undang-undang itu dibuat.
§ 2. Namun, dari undang-undang universal yang tidak berlaku di wilayah tertentu, dibebaskan semua orang yang sedang berada di wilayah itu.
§ 3. Undang-undang yang dibuat untuk wilayah tertentu, mengikat mereka, yang baginya undang-undang itu dibuat, dan yang mempunyai domisili atau kuasi-domisili di tempat tersebut, dan serentak sedang berada di situ, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 13.
Kan. 13 – § 1. Undang-undang partikular tidak diandaikan bersifat personal melainkan teritorial, kecuali ditentukan lain.
§ 2. Para pendatang tidak terikat:
10 oleh undang-undang partikular wilayah sendiri selama mereka tidak berada di tempat, kecuali pelanggarannya menyebabkan kerugian di wilayah sendiri atau undang-undang itu bersifat personal;
20 oleh undang-undang wilayah tempat mereka berada, kecuali yang mengenai tata-tertib umum atau yang menentukan formalitas untuk tindakan tertentu atau yang mengenai benda tak-bergerak di wilayah itu.
§ 3. Pengembara terikat oleh undang-undang baik universal mau-pun partikular, yang berlaku di wilayah tempat mereka berada.
Kan. 14 – Undang-undang, juga yang menjadikan-tindakan-tidak-sah atau menjadikan-orang-tidak-mampu, tidak mewajibkan kalau ada keraguan hukum; kalau ada keraguan fakta, Ordinaris dapat memberi dispensasi dari padanya, asalkan mengenai dispensasi yang direservasi, biasa diberikan oleh kuasa yang mereservasi.
Kan. 15 – § 1. Ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai undang-undang yang-menjadikan-tindakan-tidak-sah atau yang menjadikan-orang-tidak-mampu, tidak mencegah akibatnya, kecuali dengan jelas dinyatakan lain.
§ 2. Adanya ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai undang-undang, hukuman atau mengenai fakta dirinya sendiri, atau fakta tentang orang lain yang diketahui umum, tidak diandaikan; sedangkan fakta tentang orang lain yang tidak diketahui umum diandaikan, sampai terbukti kebalikannya.
Kan. 16 – § 1. Undang-undang ditafsirkan secara otentik oleh pembuat undang-undang dan oleh orang yang diberi kuasa olehnya untuk menafsirkan secara otentik.
§ 2. Penafsiran otentik yang diberikan dalam bentuk undang-undang mempunyai kekuatan yang sama seperti undang-undang itu sendiri dan harus diundangkan; kalau hanya menerangkan kata-kata undang-undang, yang pada dirinya pasti, penafsiran itu berlaku surut; kalau mempersempit, memperluas, atau memperjelas keraguan undang-undang, penafsiran tidak berlaku surut.
§ 3. Namun, penafsiran dalam bentuk putusan pengadilan atau tindakan administratif dalam kasus tertentu, tidak mempunyai kekuatan undang-undang dan mengikat hanya orang-orang dan mengenai perkara-perkara yang bersangkutan.
Kan. 17 – Undang-undang gerejawi harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri, dalam teks dan konteksnya; kalau itu tetap meragukan dan kabur, maka orang harus mengacu pada tempat-tempat yang paralel, kalau ada, pada tujuan serta hal-ikhwal undang-undang, dan pada maksud pembuat undang-undang itu.
Kan. 18 – Undang-undang yang menentukan hukuman atau yang mempersempit penggunaan bebas hak-hak atau yang memuat pengecualian dari undang-undang, ditafsirkan secara sempit.
Kan. 19 – Jika mengenai hal tertentu tidak ada ketentuan jelas dari undang-undang, baik universal maupun partikular, atau tidak ada juga kebiasaan, maka hal itu, kecuali mengenai hukuman, harus diselesaikan dengan memperhatikan undang-undang yang diberikan dalam kasus-kasus yang mirip, prinsip-prinsip yuridis umum yang diterapkan dengan kewajaran kanonik, yurisprudensi dan praksis Kuria Roma, dan pendapat yang umum dan tetap dari para ahli.
Kan. 20 – Undang-undang yang dikeluarkan kemudian menghapus undang-undang yang sebelumnya, seluruhnya atau sebagian, jika hal itu dikatakan dengan jelas atau langsung bertentangan dengannya, atau jika undang-undang itu mengatur kembali seluruh materi undang-undang sebelumnya secara menyeluruh; tetapi undang-undang universal sama sekali tidak mengurangi hukum partikular atau khusus, kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum.
Kan. 21 – Dalam keraguan, pencabutan undang-undang yang terdahulu tidak diandaikan, tetapi undang-undang yang kemudian harus dikaitkan dengan yang terdahulu, dan sedapat mungkin diserasikan dengannya.
Kan. 22 – Undang-undang sipil yang dirujuk oleh hukum Gereja harus ditepati dengan efek-efek yang sama dalam hukum kanonik, sejauh tidak bertentangan dengan hukum ilahi, dan tidak ditentukan lain dalam hukum kanonik.

JUDUL II
KEBIASAAN

Kan. 23 – Hanyalah kebiasaan yang dimasukkan oleh suatu kelompok orang beriman mempunyai kekuatan undang-undang, kalau telah disetujui oleh pembuat undang-undang, menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 24 – § 1. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.
§ 2. Tidak juga dapat memperoleh kekuatan undang-undang suatu kebiasaan, yang melawan atau yang di luar hukum kanonik, kecuali yang masuk akal; tetapi suatu kebiasaan yang dengan jelas ditolak dalam hukum, tidaklah masuk akal.
Kan. 25 – Tak satu kebiasaan pun memperoleh kekuatan undang-undang, kecuali dilaksanakan oleh suatu kelompok, yang sekurang-kurangnya mampu untuk menerima undang-undang, dengan maksud untuk memasukkannya sebagai hukum.
Kan. 26 – Kecuali disetujui secara khusus oleh pembuat undang-undang yang berwenang, suatu kebiasaan yang melawan hukum kanonik yang berlaku atau yang berada di luar hukum kanonik, hanya memperoleh kekuatan undang-undang, kalau telah dilaksanakan dengan legitim secara terus-menerus selama genap tigapuluh tahun; tetapi suatu kebiasaan, yang melawan undang-undang kanonik dengan klausul yang melarang kebiasaan di masa mendatang, hanya dapat dipertahankan kalau sudah berumur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi.
Kan. 27 – Kebiasaan adalah penafsir yang paling baik dari undang-undang.
Kan. 28 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 5, kebiasaan, baik yang melawan maupun yang di luar undang-undang, dicabut melalui suatu kebiasaan atau undang-undang yang berlawanan; tetapi, kecuali disebut dengan jelas, undang-undang tidak mencabut suatu kebiasaan yang berumur seratus tahun atau awal-mulanya tidak diingat lagi, dan undang-undang universal tidak mencabut kebiasaan-kebiasaan partikular.

JUDUL III
DEKRET UMUM DAN INSTRUKSI

Kan. 29 – Dekret-dekret umum dengannya pembuat undang-undang yang berwenang memberikan aturan-aturan umum bagi suatu kelompok yang mampu menerima undang-undang, adalah sama dengan undang-undang dan diatur oleh ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.
Kan. 30 – Yang mempunyai kuasa eksekutif saja tidak dapat mengeluarkan dekret umum seperti yang disebut dalam kan. 29, kecuali dalam kasus-kasus partikular sesuai dengan norma hukum, kuasa itu dengan jelas diberikan kepadanya oleh pembuat undang-undang dan syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian itu ditepati.
Kan. 31 – § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, dengannya ditentukan secara lebih persis cara-cara yang harus dipakai dalam menerapkan undang-undang atau yang mendesak pelaksanaan undang-undang, dapat diberikan dalam batas kewenangannya oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.
§ 2. Mengenai pengundangan dan masa tenggang dekret-dekret yang disebut dalam § 1, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 8.
Kan. 32 – Dekret-dekret umum eksekutif mewajibkan mereka yang terikat oleh undang-undang, yang cara-cara penerapannya ditentukan atau keharusan pelaksanaannya ditandaskan oleh dekret-dekret itu.
Kan. 33 – § 1. Dekret-dekret umum eksekutif, biarpun dikeluarkan dalam pedoman-pedoman atau dalam dokumen-dokumen dengan nama lain, tidak mengurangi undang-undang, dan ketentuan-ketentuannya yang bertentangan dengan undang-undang tidak mempunyai kekuatan apapun.
§ 2. Dekret-dekret itu berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang, dan dengan berhentinya undang-undang, yang pelaksanaannya diatur oleh dekret-dekret itu, tetapi tidak berhenti dengan berakhirnya hak orang yang menentukan, kecuali dengan jelas ditentukan kebalikannya.
Kan. 34 – § 1. Instruksi-instruksi, yaitu yang menjelaskan ketentuan undang-undang serta menjabarkan dan menentukan cara-cara yang harus ditepati dalam pelaksanaannya, diberikan supaya dipakai oleh mereka yang bertugas mengusahakan agar undang-undang dilaksanakan dan mewajibkan mereka dalam pelaksanaan undang-undang. Instruksi-instruksi itu dikeluarkan dengan sah, dalam batas kewenangannya, oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif.
§ 2. Aturan-aturan instruksi tidak mengurangi undang-undang dan kalau tidak dapat disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang, tidak mempunyai kekuatan apapun.
§ 3. Instruksi-instruksi berhenti mempunyai kekuatan, tidak hanya dengan dicabutnya secara eksplisit atau implisit oleh otoritas yang berwenang yang mengeluarkannya atau oleh atasannya, tetapi juga dengan berhentinya undang-undang yang dijelaskannya atau yang pelaksanaannya diperintahkannya.

JUDUL IV
TINDAKAN-TINDAKAN ADMINISTRATIF
UNTUK KASUS DEMI KASUS

BAB I
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 35 Tindakan administratif untuk kasus demi kasus, baik dekret atau perintah maupun reskrip, dapat dilakukan dalam batas kewenangannya oleh orang yang mempunyai kuasa eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 76, § 1.
Kan. 36 – § 1. Tindakan administratif harus dimengerti menurut arti kata-katanya sendiri dan pemakaiannya yang lazim; dalam keraguan, tindakan administratif yang menyangkut sengketa, atau ancaman hukuman atau hukuman yang harus dijatuhkan, atau yang membatasi hak-hak seseorang, atau yang merugikan hak-hak yang telah diperoleh pihak lain, atau yang berlawanan dengan undang-undang yang menguntungkan orang-perorangan, harus ditafsirkan secara ketat; semua yang lain harus ditafsirkan secara luas.
§ 2. Tindakan administratif tidak boleh diperluas pada kasus-kasus lain selain yang disebut.
Kan. 37 – Tindakan administratif yang menyangkut tata-lahir harus diberikan secara tertulis; demikian juga tindakan pelaksanaannya kalau diberikan dalam bentuk dipercayakan-kepada-perantara.
Kan. 38 – Tindakan administratif, biarpun mengenai reskrip yang diberikan dalam bentuk Motu Proprio, tidak mempunyai efek sejauh merugikan hak yang telah diperoleh pihak lain, atau bertentangan dengan undang-undang atau kebiasaan yang telah diakui, kecuali otoritas yang berwenang dengan jelas mencantumkan suatu klausul yang menguranginya.
Kan. 39 – Syarat-syarat dalam tindakan administratif hanya dianggap disertakan demi sahnya, apabila dinyatakan dengan kata kalau, kecuali, asalkan.
Kan. 40 – Pelaksana suatu tindakan administratif tidak sah melak-sanakan tugasnya, sebelum menerima surat serta menyelidiki otentisitas dan keutuhannya, kecuali sebelumnya telah dikirim berita tentang hal itu kepadanya oleh otoritas yang mengeluarkan tindakan itu.
Kan. 41 – Pelaksana tindakan administratif yang hanya ditugaskan untuk melaksanakannya, tidak dapat menolak pelaksanaan tindakan itu, kecuali jelas bahwa tindakan itu tidak sah, atau karena alasan lain yang berat tidak dapat dipertahankan, atau syarat-syarat yang dicantumkan dalam tindakan administratif itu sendiri tidak terpenuhi; tetapi kalau pelaksanaan tindakan administratif itu nampak tidak pada tempatnya karena alasan keadaan orang atau tempat, pelaksana hendaknya menunda tindakan itu; dalam kasus-kasus itu hendaknya otoritas yang mengeluarkan tindakan itu segera diberitahu.
Kan. 42 – Pelaksana tindakan administratif harus bertindak menu-rut norma mandat; tetapi kalau syarat pokok yang dicantumkan dalam surat tidak dipenuhinya dan bentuk hakiki dari prosedur tidak ditepatinya, pelaksanaan itu tidak sah.
Kan. 43 – Menurut pertimbangannya yang bijaksana pelaksana tindakan administratif dapat menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya, kecuali penggantian itu dilarang, atau ia sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya atau penggantinya telah ditentukan; tetapi dalam kasus-kasus itu pelaksana boleh mempercayakan tindakan-tindakan persiapan kepada orang lain.
Kan. 44 – Pelaksanaan tindakan administratif dapat juga dilakukan oleh pengganti pelaksana dalam jabatan, kecuali pelaksana tersebut sengaja dipilih karena kualifikasi pribadinya.
Kan. 45 – Kalau seorang pelaksana melakukan kesalahan dalam pelaksanaan tindakan administratif, ia boleh melakukannya sekali lagi.
Kan. 46 – Tindakan administratif tidak berhenti dengan berakhir-nya hak orang yang menentukannya, kecuali dalam hukum dengan jelas dinyatakan lain.
Kan. 47 – Pencabutan tindakan administratif dengan tindakan administratif lain dari otoritas yang berwenang memperoleh efek hanya sejak saat hal itu diberitahukan secara legitim kepada orang yang bersangkutan.

BAB II
DEKRET DAN PERINTAH UNTUK KASUS DEMI KASUS

Kan. 48 – Yang dimaksud dengan dekret untuk kasus demi kasus ialah suatu tindakan administratif yang dikeluarkan oleh otoritas eksekutif yang berwenang; sesuai dengan norma hukum tindakan itu memberikan keputusan atau pengaturan untuk kasus partikular yang menurut hakikatnya tidak mengandaikan permohonan dari seseorang.
Kan. 49 – Perintah untuk kasus demi kasus ialah suatu dekret yang secara langsung dan legitim mewajibkan seseorang atau orang-orang tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; hal itu diberikan terutama untuk mendorong pelaksanaan undang-undang.
Kan. 50 – Sebelum mengeluarkan dekret untuk kasus demi kasus, otoritas yang bersangkutan harus mencari informasi dan bukti yang perlu dan sedapat mungkin mendengarkan mereka yang haknya dapat dirugikan.
Kan. 51 – Dekret harus diberikan secara tertulis; jika menyangkut suatu keputusan, alasan-alasannya harus dinyatakan sekurang-kurangnya secara ringkas.
Kan. 52 – Dekret untuk kasus demi kasus mempunyai kekuatan hanya mengenai hal-hal yang diputuskan dan untuk orang-orang yang diberi dekret itu; tetapi dekret itu mewajibkan mereka di manapun, kecuali pasti lain.
Kan. 53 – Kalau dekret-dekret bertentangan satu sama lain, dekret khusus harus diutamakan di atas dekret umum dalam hal-hal yang dirumuskan secara khusus; kalau sama-sama khusus atau umum, dekret yang kemudian mengubah dekret yang mendahuluinya, sejauh bertentangan dengannya.
Kan. 54 – § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya.
§ 2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum.
Kan. 55 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita-acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir.
Kan. 56 – Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang ber-sangkutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menanda-tanganinya.
Kan. 57 – § 1. Setiap kali undang-undang memerintahkan untuk mengeluarkan dekret atau orang yang berkepentingan mengajukan secara legitim permohonan atau rekursus untuk memperoleh dekret, otoritas yang berwenang harus mengurus hal itu dalam waktu tiga bulan sesudah permohonan atau rekursus diterima, kecuali dalam undang-undang ditentukan batas waktu yang lain.
§ 2. Kalau batas waktu itu telah lewat dan dekret belum diberikan, jawaban diandaikan negatif berkaitan dengan pengajuan rekursus lebih lanjut.
§ 3. Jawaban yang diandaikan negatif tidak membebaskan otoritas yang berwenang dari kewajibannya untuk mengeluarkan dekret, bahkan juga untuk memberi ganti rugi yang mungkin timbul, sesuai dengan norma kan. 128.
Kan. 58 – § 1. Dekret untuk kasus demi kasus berhenti mempunyai kekuatan dengan dicabutnya secara legitim oleh otoritas yang berwenang dan juga dengan berhentinya undang-undang yang untuk pelaksanaannya diberikan dekret itu.
§ 2. Perintah untuk kasus demi kasus yang tidak diberikan dengan dokumen legitim berhenti dengan berakhirnya hak pemberi perintah itu.

BAB III
RESKRIP

Kan. 59 – § 1. Reskrip ialah suatu tindakan administratif yang dibuat secara tertulis oleh otoritas eksekutif yang berwenang, yang menurut hakekatnya memberi suatu privilegi, dispensasi atau kemurahan lain atas permohonan seseorang.
§ 2. Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai reskrip berlaku juga untuk pemberian izin dan kemurahan yang dibuat secara lisan, kecuali pasti lain.
Kan. 60 – Reskrip manapun dapat diperoleh oleh semua orang yang dengan jelas tidak dilarang.
Kan. 61 – Kecuali pasti lain, reskrip dapat diperoleh untuk orang lain, juga tanpa persetu-juannya, dan berlaku sebelum penerimaannya, dengan tetap berlaku klausul-klausul yang berlawanan.
Kan. 62 – Reskrip yang diberikan tanpa pelaksana mempunyai efek sejak saat surat diberikan; yang lain-lain sejak saat pelaksanaannya.
Kan. 63 – § 1. Subreptio atau tidak disebutnya kebenaran meng-halangi sahnya reskrip jika di dalam permohonan tidak dinyatakan hal-hal yang menurut undang-undang, gaya kerja serta praksis kanonik harus dinyatakan demi sahnya, kecuali mengenai reskrip kemurahan yang diberikan dengan Motu Proprio.
§ 2. Demikian juga obreptio atau menyatakan sesuatu yang tidak benar menghalangi sahnya reskrip jika dari alasan-alasan yang dikemukakan sebagai motif bagi reskrip tak satupun benar.
§ 3. Dalam reskrip tanpa pelaksana alasan yang menjadi motif untuk memberinya haruslah benar pada waktu reskrip itu diberikan; dalam reskrip yang lain, pada waktu pelaksanaannya.
Kan. 64 – Dengan tetap berlaku hak Penitensiaria untuk tata-batin, kemurahan yang ditolak oleh salah satu dikasteri Kuria Roma, tidak dapat diberikan dengan sah oleh dikasteri lain dari Kuria itu atau otoritas lain yang berwenang di bawah Paus di Roma, tanpa persetujuan dikasteri yang mulai menanganinya.
Kan. 65 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan § 2 dan § 3, tak seorang pun boleh memohon kepada Ordinaris lain kemurahan yang sudah ditolak oleh Ordinarisnya sendiri, tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi walaupun disebut, janganlah Ordinaris itu memberikan kemurahan itu, kecuali telah memperoleh alasan-alasan penolakan dari Ordinaris pertama.
§ 2. Kemurahan yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal, tidak dapat diberikan dengan sah oleh seorang Vikaris lain dari Uskup yang sama, walaupun alasan-alasan penolakan itu telah diperoleh dari Vikaris yang menolaknya.
§ 3. Adalah tidak sah kemurahan, yang telah ditolak oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal dan kemudian diperoleh dari Uskup diosesan tanpa menyebutkan penolakan itu; tetapi kemurahan, yang telah ditolak oleh Uskup diosesan, tidak dapat diberikan dengan sah oleh Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopalnya tanpa persetujuan Uskup diosesan, walaupun penolakan itu disebutkan.
Kan. 66 – Reskrip tetap berlaku walaupun terdapat kekeliruan tentang nama orang yang menerimanya atau yang memberinya, atau tentang tempat tinggalnya atau tentang hal yang dipersoalkan, asal saja menurut penilaian Ordinaris tidak ada keraguan tentang orang atau hal yang dimaksudkan.
Kan. 67 – § 1. Jika terjadi bahwa mengenai suatu hal yang sama diperoleh dua reskrip yang bertentangan satu sama lain, maka reskrip khusus, yang merumuskan hal-hal khusus, diutamakan di atas reskrip umum.
§ 2. Kalau sama-sama khusus atau umum, reskrip yang menda-hului diutamakan di atas yang kemudian, kecuali dalam yang kedua dengan jelas disebutkan mengenai yang pertama; atau penerima pertama tidak menggunakan reskripnya karena tipu-muslihat atau kelalaian berat.
§ 3. Dalam keraguan apakah reskrip sah atau tidak, hendaknya dimohon keterangan kepada orang yang memberi reskrip itu.
Kan. 68 – Reskrip Takhta Apostolik yang diberikan tanpa pelak-sana harus ditunjukkan kepada Ordinaris dari orang yang memperoleh-nya, hanya jika hal itu diperintahkan dalam surat tersebut, atau mengenai hal-hal publik, atau syarat-syaratnya perlu diperiksa.
Kan. 69 – Reskrip yang penyampaiannya tidak ditentukan waktu-nya, dapat ditunjukkan kepada pelaksana pada sembarang waktu, asalkan tak ada kebohongan dan tipu-muslihat.
Kan. 70 – Kalau dalam reskrip pemberian kemurahan itu diper-cayakan kepada pelaksana, dia dapat menyetujui atau menolak memberikan kemurahan itu menurut pertimbangan yang arif dan suara-hatinya.
Kan. 71 – Tak seorang pun diharuskan menggunakan reskrip yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri, kecuali karena alasan lain secara kanonik ia wajib menggunakannya.
Kan. 72 – Reskrip yang diberikan oleh Takhta Apostolik dan telah lewat waktunya, dapat diperpanjang satu kali oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar, tetapi tidak lebih dari tiga bulan.
Kan. 73 – Reskrip tidak dicabut dengan undang-undang yang ber-tentangan, kecuali dalam undang-undang itu sendiri ditentukan lain.
Kan. 74 – Walaupun kemurahan yang diberikan secara lisan dapat digunakan orang dalam tata-batin, ia wajib membuktikannya untuk tata-lahir, setiap kali hal itu secara legitim diminta dari padanya.
Kan. 75 – Kalau reskrip mengandung suatu privilegi atau dispen-sasi, ketentuan-ketentuan dari kanon-kanon berikut ini harus ditaati.

BAB IV
PRIVILEGI

Kan. 76 – § 1. Privilegi atau kemurahan yang diberikan lewat suatu tindakan khusus demi keuntungan baik perorangan maupun badan bukum tertentu, dapat diberikan oleh pembuat undang-undang dan juga oleh otoritas eksekutif yang diberi kuasa itu olehnya.
§ 2. Pemilikan selama seratus tahun atau sejak waktu yang tidak diingat lagi menimbulkan pengandaian bahwa privilegi itu telah diberikan.
Kan. 77 – Privilegi harus ditafsirkan menurut norma kan. 36, § 1; tetapi selalu harus digunakan penafsiran yang sedemikian sehingga mereka yang menerima privilegi sungguh-sungguh memperoleh suatu kemurahan.
Kan. 78 – § 1. Privilegi diandaikan bersifat tetap, kecuali dibukti-kan kebalikannya.
§ 2. Privilegi personal, yakni yang mengikuti persona, terhenti bersama dengan matinya persona itu.
§ 3. Privilegi real terhenti dengan kehancuran total benda atau tempatnya; tetapi privilegi lokal (atas tempat) hidup kembali, kalau tempat itu dibangun lagi dalam waktu limapuluh tahun.
Kan. 79 – Privilegi terhenti dengan pencabutan oleh otoritas yang berwenang menurut norma kan. 47, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 81.
Kan. 80 – § 1. Tiada privilegi yang terhenti karena seseorang melepaskannya, kecuali hal itu diterima oleh otoritas yang berwenang.
§ 2. Setiap orang dapat melepaskan privilegi yang diberikan hanya untuk keuntungannya sendiri.
§ 3. Privilegi yang diberikan kepada suatu badan hukum, atau yang diberikan karena luhurnya tempat atau benda, tidak dapat dilepaskan oleh perorangan; badan hukum itu sendiri tidak dapat melepaskan privilegi yang diberikan kepada dirinya, kalau hal itu merugikan Gereja atau pihak-pihak lain.
Kan. 81 – Dengan berbentinya hak pemberi, privilegi itu sendiri tidak terhenti, kecuali diberikan dengan klausul ad beneplacitum nostrum (atas perkenan kami) atau klausul lain yang senilai.
Kan. 82 – Dengan tidak digunakannya atau digunakannya secara bertentangan, privilegi yang tidak merupakan beban bagi orang lain, tidak terhenti; sedangkan privilegi yang merupakan beban bagi orang lain, hilang kalau sudah kedaluwarsa secara legitim.
Kan. 83 – § 1. Privilegi terhenti kalau waktunya telah lewat atau telah terpenuhi jumlah kasus untuknya privilegi itu diberikan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 142, § 2.
§ 2. Juga terhenti kalau menurut penilaian otoritas yang berwenang dengan perjalanan waktu situasi begitu berubah, sehingga privilegi mulai merugikan dan pemakaiannya menjadi tidak licit.
Kan. 84 – Kalau seseorang menyalahgunakan kuasa yang diberi-kan kepadanya dengan privilegi, selayaknya privilegi itu dicabut dari padanya; karena itu kalau Ordinaris telah memperingatkan pemilik privilegi itu dengan sia-sia, hendaklah ia mencabut privilegi yang telah diberikannya sendiri dari orang yang menyalahgunakannya secara berat; kalau privilegi itu diberikan oleh Takhta Apostolik, Ordinaris berwajib memberitahukan kepadanya.

BAB V
DISPENSASI

Kan. 85 – Dispensasi atau pelonggaran dari daya-ikat undang-undang yang semata-mata gerejawi dalam kasus tertentu, dapat diberikan oleh mereka yang mempunyai kuasa eksekutif dalam batas-batas kompetensinya, dan juga oleh mereka yang memiliki secara eksplisit atau implisit kuasa memberikan dispensasi, baik atas dasar hukum maupun atas dasar delegasi yang legitim.
Kan. 86 – Tidak dapat diberikan dispensasi dari undang-undang sejauh undang-undang itu merumuskan unsur-unsur yang secara hakiki konstitutif dari lembaga atau tindakan yuridis.
Kan. 87 – § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun partikular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain.
§ 2. Jika rekursus ke Takhta Suci sulit dan sekaligus ada bahaya kerugian besar kalau tertunda, maka setiap Ordinaris dapat memberikan dispensasi dari undang-undang tersebut, juga kalau dispensasi dire-servasi Takhta Suci, asalkan mengenai dispensasi yang biasa diberikan dalam situasi yang sama, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291.
Kan. 88 – Ordinaris wilayah dapat memberi dispensasi dari undang-undang diosesan; dan setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan kaum beriman, juga dari undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu Konsili paripurna atau provinsi, atau juga oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 89 – Pastor-paroki dan imam-imam lain atau diakon tidak dapat memberi dispensasi dari undang-undang universal dan partikular, kecuali kuasa itu dengan tegas diberikan kepadanya.
Kan. 90 – § 1. Jangan diberikan dispensasi dari undang-undang gerejawi tanpa alasan yang wajar dan masuk akal, dengan memper-hatikan keadaan kasus dan bobot undang-undang yang didispensasi; kalau tidak demikian dispensasi tidak licit dan, kecuali diberikan oleh pembuat undang-undang sendiri atau atasannya, dispensasi itu juga tidak sah.
§ 2. Dalam keraguan mengenai cukup-tidaknya alasan, dispensasi diberikan dengan sah dan licit.
Kan. 91 – Seseorang yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi, dapat melaksanakannya, juga kalau ia berada di luar wilayahnya, terhadap bawahan-bawahannya, walaupun mereka sedang berada di luar wilayahnya; dan kalau tidak dengan jelas ditentukan lain, juga terhadap pendatang yang sedang berada di wilayahnya, dan juga terhadap dirinya sendiri.
Kan. 92 – Penafsiran sempit berlaku bukan hanya untuk dispensasi menurut norma kan. 36, § 1, melainkan juga untuk kuasa itu sendiri dalam memberikan dispensasi untuk kasus tertentu.
Kan. 93 – Dispensasi yang memiliki penerapan berturut-turut ter-henti dengan cara-cara yang sama seperti halnya privilegi, dan juga dengan terhentinya secara pasti dan menyeluruh alasan yang menjadi motif dispensasi itu.

JUDUL V
STATUTA DAN TERTIB-ACARA

Kan. 94 – § 1. Statuta dalam arti sebenarnya ialah peraturan-peraturan yang ditetapkan menurut norma hukum untuk kelompok orang (universitas personarum) atau kelompok benda (universitas rerum); dan di dalamnya dirumuskan tujuan, penataan, kepemimpinan dan tata-kerjanya.
§ 2. Yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok orang hanyalah orang yang secara legitim adalah anggotanya; yang diwajibkan oleh statuta untuk kelompok benda ialah para pengurusnya.
§ 3. Ketentuan-ketentuan statuta yang dibuat dan diundangkan atas dasar kuasa legislatif, diatur dengan ketentuan-ketentuan kanon-kanon mengenai undang-undang.
Kan. 95 – § 1. Tertib-acara ialah aturan-aturan atau norma-norma yang harus ditepati dalam sidang-sidang, baik yang ditentukan oleh otoritas gerejawi maupun yang diadakan dengan bebas oleh umat beriman kristiani, dan juga dalam perayaan-perayaan lain, di dalamnya dirumuskan hal-hal yang berhubungan dengan penataan, kepemimpinan dan tata-kerja.
§ 2. Dalam sidang atau perayaan, aturan tata-tertib itu mengikat mereka yang mengambil bagian di dalamnya.

JUDUL VI
PERSEORANGAN (PERSONA PHYSICA)
DAN BADAN HUKUM (PERSONA IURIDICA)

BAB I
KEDUDUKAN KANONIK PERSEORANGAN

Kan. 96 – Dengan baptis seseorang digabungkan pada Gereja Kristus dan menjadi persona di dalamnya, dengan tugas-tugas dan hak-hak yang khas bagi orang kristiani menurut kedudukan masing-masing, sejauh mereka berada dalam kesatuan gerejawi dan kalau tidak terhalang oleh hukuman yang dikenakan secara legitim.
Kan. 97 – § 1. Persona yang berumur genap delapanbelas tahun adalah dewasa; sedangkan yang di bawah umur itu, belum dewasa.
§ 2. Yang belum dewasa, sebelum genap tujuh tahun, disebut kanak-kanak dan dianggap belum dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri (non sui compos); tetapi setelah berumur genap tujuh tahun diandaikan dapat menggunakan akal-budinya.
Kan. 98 – § 1. Persona dewasa mempunyai pelaksanaan penuh dari hak-haknya.
§ 2. Persona yang belum dewasa dalam melaksanakan haknya tetap di bawah kuasa orangtua atau wali, kecuali dalam hal-hal persona yang belum dewasa menurut hukum ilahi atau hukum kanonik bebas dari kuasa mereka; mengenai pengangkatan para wali dan kewenangan mereka hendaknya ditepati ketentuan hukum sipil, kecuali dalam hukum kanonik ditentukan lain, atau Uskup diosesan dalam kasus-kasus tertentu atas alasan yang wajar berpendapat bahwa harus ditunjuk seorang wali lain.
Kan. 99 – Siapa pun yang secara terus-menerus tidak dapat memakai akal-budinya, dianggap sebagai tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri dan disamakan dengan kanak-kanak.
Kan. 100 – Persona disebut penduduk di tempat ia berdomisili; penduduk sementara di tempat ia mempunyai kuasi-domisili; pendatang, kalau ia berada di luar domisili dan kuasi-domisili yang masih ia pertahankan; pengembara, kalau ia tidak mempunyai domisili atau kuasi-domisili di manapun.
Kan. 101 – § 1. Tempat asal seorang anak, juga seorang yang baru dibaptis, ialah tempat domisili orangtua ketika anak itu lahir atau, kalau domisili itu tidak ada, kuasi-domisili orangtuanya, atau jika orangtuanya tidak mempunyai domisili atau kuasi-domisili yang sama, tempat asal anak ialah domisili atau kuasi-domisili ibunya.
§ 2. Mengenai anak orang-orang pengembara, tempat asal ialah tempat ia dilahirkan; dalam hal anak yang ditemukan, tempat asal ialah tempat ia ditemukan.
Kan. 102 – § 1. Domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki atau sekurang-kurangnya keuskupan, dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau sudah berada di situ selama genap lima tahun.
§ 2. Kuasi-domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki atau sekurang-kurangnya keuskupan, dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau kalau ternyata sudah berada di situ selama tiga bulan.
§ 3. Domisili atau kuasi-domisili di wilayah paroki disebut domisili atau kuasi-domisili parokial, di wilayah keuskupan disebut domisili atau kuasi-domisili diosesan, walaupun tidak di paroki.
Kan. 103 – Anggota-anggota tarekat religius dan serikat hidup kerasulan memperoleh domisili di tempat di mana rumah terletak dan mereka terdaftar; kuasi-domisili, di rumah mereka sedang berada, sesuai dengan norma kan. 102, § 2.
Kan. 104 – Suami-istri mempunyai domisili atau kuasi-domisili bersama; karena perpisahan yang legitim atau karena alasan lain yang wajar, keduanya dapat mempunyai domisili atau kuasi-domisili sendiri-sendiri.
Kan. 105 – § 1. Persona yang belum dewasa dengan sendirinya mempunyai domisili dan kuasi-domisili orang yang berkuasa atas dirinya. Kalau sudah melewati usia kanak-kanak, ia dapat juga memperoleh kuasi-domisili sendiri; malahan domisili, kalau ia secara legitim telah berdiri sendiri menurut norma hukum sipil.
§ 2. Barangsiapa secara legitim diserahkan di bawah perwalian atau pengawasan orang lain tidak karena alasan belum dewasa, mempunyai domisili atau kuasi-domisili wali atau penanggung-jawabnya.
Kan. 106 – Domisili dan kuasi-domisili hilang dengan perginya seseorang dari tempat itu dengan niat untuk tidak kembali lagi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 105.
Kan. 107 – § 1. Baik melalui domisili maupun melalui kuasi-domi-sili setiap orang mendapat Pastor Paroki dan Ordinarisnya.
§ 2. Pastor Paroki atau Ordinaris dari pengembara ialah Pastor Paroki atau Ordinaris tempat ia sedang berada.
§ 3. Pastor Paroki dari orang yang hanya mempunyai domisili atau kuasi-domisili diosesan ialah Pastor Paroki tempat ia sedang berada.
Kan. 108 – § 1. Hubungan darah dihitung dengan garis dan tingkat.
§ 2. Dalam garis lurus jumlah tingkat sama dengan jumlah keturunan atau pun jumlah orang tanpa menghitung pokoknya.
§ 3. Dalam garis menyamping jumlah tingkat sama dengan jumlah orang dalam kedua garis bersama-sama, tanpa menghitung pokoknya.
Kan. 109 – § 1. Hubungan semenda timbul dari perkawinan yang sah, walaupun tidak consummatum, dan berlaku antara suami dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan istrinya, demikian juga antara istri dan orang yang mempunyai hubungan darah dengan suaminya.
§ 2. Hubungan semenda dihitung demikian sehingga orang yang mempunyai hubungan darah dengan suami merupakan keluarga semenda istri dalam garis dan tingkat yang sama, dan sebaliknya.
Kan. 110 – Anak yang diadopsi menurut norma hukum sipil, dianggap sebagai anak dari orang atau orang-orang yang meng-adopsinya.
Kan. 111 – § 1. Dengan menerima baptis tercatatlah sebagai anggota Gereja Latin anak dari orangtua yang keduanya anggota Gereja itu, atau kalau salah satu dari orangtuanya bukan anggota Gereja itu, keduanya sepakat supaya anak dibaptis dalam Gereja Latin; kalau mereka tidak sepakat, anak itu tercatat pada Gereja ritus ayahnya.
§ 2. Setiap calon baptis yang telah berumur genap empatbelas tahun, dapat memilih dengan bebas untuk dibaptis dalam Gereja Latin atau dalam Gereja ritus lain yang mandiri (sui iuris); dalam kasus itu, ia menjadi anggota Gereja yang dipilihnya.
Kan. 112 – § 1. Yang menjadi anggota Gereja ritus lain yang man-diri sesudah penerimaan baptis, ialah:
10 yang mendapat izin dari Takhta Apostolik;
20 pasangan yang pada waktu melangsungkan perkawainan atau selama hidup perkawinannya menyatakan bahwa ia mau pindah ke Gereja ritus yang mandiri dari pasangannya; tetapi kalau perkawinan berakhir, ia dapat dengan bebas kembali ke Gereja Latin;
30 anak-anak dari mereka yang disebut dalam no. l dan 2, sebelum berumur genap empatbelas tahun, dan juga anak-anak dari pihak katolik dalam perkawinan campur yang secara legitim pindah ke Gereja ritus lain; tetapi kalau mereka sudah mencapai umur itu, mereka dapat kembali ke Gereja Latin;
§ 2. Kebiasaan, walaupun lama, untuk menerima sakramen-sakramen menurut ritus suatu Gereja ritus yang mandiri, tidak mengakibatkan orang menjadi anggotanya.

BAB II
BADAN HUKUM

Kan. 113 – § 1. Gereja katolik dan Takhta Apostolik merupakan persona moral (moralis persona) atas penetapan hukum ilahi sendiri.
§ 2. Selain perseorangan, dalam Gereja juga ada badan hukum yakni subyek kewajiban dan hak dalam hukum kanonik sesuai dengan sifat khas masing-masing.
Kan. 114 – § 1. Menurut ketentuan hukum sendiri atau berdasarkan pemberian khusus oleh otoritas yang berwenang melalui suatu dekret, badan hukum dibentuk dari kelompok orang atau kelompok benda yang terarah pada tujuan yang sesuai dengan misi Gereja dan yang mengatasi tujuan masing-masing anggota.
§ 2. Tujuan yang disebut dalam § 1 ialah yang berkaitan dengan karya kesalehan, kerasulan atau amal, baik spiritual maupun keduniaan.
§ 3. Otoritas Gereja yang berwenang jangan memberikan status badan hukum kecuali kepada kelompok orang atau kelompok benda dengan tujuan yang nyata-nyata berguna dan yang, sesudah dipertimbangkan segala sesuatunya, mempunyai sarana-sarana yang diperkirakan dapat mencukupi untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Kan. 115 – § 1. Badan hukum dalam Gereja adalah kelompok orang atau kelompok benda.
§ 2. Kelompok orang yang hanya dapat dibentuk sebagai badan hukum sekurang-kurangnya dari tiga orang, adalah kolegial, kalau kegiatannya ditentukan oleh anggota-anggota yang bersama-sama mengambil keputusan, baik dengan hak yang sama maupun tidak, menurut norma hukum dan statuta; kalau tidak, disebut non-kolegial.
§ 3. Kelompok benda atau fundasi (fundatio) yang otonom terdiri dari harta atau kekayaan, baik spiritual maupun materiil, dan, sesuai dengan norma hukum dan statuta, dipimpin oleh satu atau beberapa orang ataupun kolegium.
Kan. 116 – § 1. Badan hukum publik adalah kelompok orang atau kelompok benda yang didirikan oleh otoritas gerejawi yang berwenang agar dalam batas-batas yang ditentukan melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya atas nama Gereja demi kesejahteraan umum, menurut norma ketentuan hukum; badan hukum lain disebut privat.
§ 2. Badan hukum publik diberi status badan hukum, baik menurut hukum sendiri maupun oleh dekret khusus yang memberikannya secara jelas dari otoritas yang berwenang; badan hukum privat diberi status badan hukum tersebut hanya melalui dekret khusus yang memberikan-nya secara jelas dari otoritas yang berwenang.
Kan. 117 – Tiada kelompok orang atau kelompok benda yang bermaksud memperoleh status badan hukum dapat memperolehnya, kecuali statutanya disetujui oleh kuasa yang berwenang.
Kan. 118 – Yang mewakili badan hukum publik dan bertindak atas namanya ialah mereka yang kompetensinya diakui oleh hukum universal atau partikular atau oleh statutanya sendiri; badan hukum privat diwakili oleh mereka yang kompetensinya itu diberikan melalui statuta.
Kan. 119 – Untuk tindakan-tindakan kolegial, kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, berlaku ketentuan sebagai berikut:
10 dalam hal pemilihan, hasil yang disetujui mayoritas mutlak dari mereka yang hadir mempunyai kekuatan hukum, asalkan hadir mayoritas dari mereka yang harus dipanggil; sesudah dua kali pemungutan suara tanpa hasil, pemungutan suara harus dilakukan atas dua calon yang memperoleh suara terbanyak, atau, kalau lebih dari dua, atas dua calon yang tertua; kalau sesudah pemungutan suara ketiga jumlah suara tetap sama, dianggap sebagai terpilih orang yang lebih tua menurut umur.
20 dalam hal urusan-urusan lainnya, hasil yang disetujui oleh mayoritas mutlak dari mereka yang hadir mempunyai kekuatan hukum, asalkan hadir mayoritas dari mereka yang harus dipanggil; kalau sesudah pemungutan suara kedua jumlah suara sama, ketua dapat mengatasinya dengan suaranya;
30 namun dalam hal yang menyangkut semua sebagai per-seorangan, harus disetujui oleh semua.
Kan. 120 – § 1. Badan hukum menurut hakikatnya bersifat tetap; namun terhenti kalau dibubarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang atau selama seratus tahun berhenti melakukan kegiatan; selain itu badan hukum privat terhenti juga, kalau badan itu sendiri dibubarkan menurut norma statuta, atau kalau fundasi itu sendiri menurut penilaian otoritas yang berwenang tidak ada lagi menurut norma statuta.
§ 2. Bahkan jika dari anggota-anggota badan hukum kolegial itu tinggal satu orang, dan kelompok orang itu menurut statuta tidak berhenti ada, maka anggota itu berwenang melaksanakan semua hak kelompok.
Kan. 121 – Kalau kelompok orang atau kelompok benda yang adalah badan hukum publik dipersatukan sedemikian sehingga darinya terbentuk satu kelompok badan hukum, maka badan hukum baru itu mewarisi segala harta dan hak yang merupakan milik kelompok-kelompok terdahulu dan menerima segala beban yang ditanggungnya; tetapi terutama mengenai peruntukan harta dan pemenuhan beban-beban, kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh haruslah diamankan.
Kan. 122 – Jika suatu kelompok yang memiliki status badan hukum publik dibagi sedemikian sehingga sebagian dari padanya digabungkan dengan badan hukum lain, atau bagian yang dipisahkan itu didirikan menjadi badan hukum publik tersendiri, maka otoritas gerejawi yang berwenang untuk pembagian itu, dengan mengamankan pertama-tama, baik kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh, maupun statuta yang telah disetujui, entah secara pribadi atau dengan perantaraan seorang pelaksana, harus mengusahakan:
10 agar harta-benda dan hak warisan bersama yang dapat dibagi, demikian juga utang dan tanggungan lainnya, dibagi di antara badan-badan hukum yang bersangkutan secara adil dengan keseimbangan yang tepat, dengan memperhatikan seluruh keadaan dan kepentingan keduanya;
20 agar penggunaan dan pemanfaatan hasil dari harta bersama yang tidak dapat dibagi, jatuh pada kedua badan hukum, dan tanggungan yang ada padanya dibebankan kepada keduanya, dengan tetap memperhatikan keseimbangan yang tepat yang harus ditentukan secara adil.
Kan. 123 – Kalau suatu badan hukum publik berhenti ada, peruntukan harta dan hak warisan serta tanggungannya diatur oleh hukum dan statuta; kalau hukum dan statuta tidak menentukan apa-apa, semuanya itu jatuh pada badan hukum yang langsung berada di atasnya, dengan tetap diamankan kehendak para pendiri serta penderma dan hak-hak yang telah diperoleh; kalau suatu badan hukum privat berhenti ada, peruntukan harta dan tanggungan diatur oleh statutanya sendiri.

JUDUL VII
TINDAKAN YURIDIS

Kan. 124 – § 1. Untuk sahnya tindakan yuridis dituntut agar dilakukan oleh orang yang mampu untuk itu, dan agar dalam tindakan itu terdapat hal-hal yang merupakan unsur hakikinya, dan juga agar ada segala formalitas serta hal-hal yang dituntut oleh hukum untuk sahnya tindakan itu.
§ 2. Suatu tindakan yuridis diandaikan sah sejauh unsur-unsur lahiriahnya dilaksanakan menurut aturan.
Kan. 125 – § 1. Tindakan yang dilakukan karena paksaan dari luar yang dikenakan pada orang yang sama sekali tidak dapat melawannya, dianggap tidak dilakukan.
§ 2. Tindakan yang dilakukan karena ketakutan yang besar dan yang dikenakan secara tak adil, atau pun karena penipuan, berlaku, kecuali ditentukan lain dalam hukum; tetapi tindakan itu dapat dibatalkan melalui putusan hakim, entah atas permohonan pihak yang dirugikan atau para penggantinya menurut hukum, entah atas dasar jabatan.
Kan. 126 – Tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang sesuatu yang merupakan substansi tindakan itu, atau yang merupakan syarat yang harus ada (conditio sine qua non), adalah tidak sah (irritus); kalau tidak demikian, tindakan itu berlaku, kecuali ditentukan lain dalam hukum; tetapi tindakan yang dilakukan karena ketidaktahuan atau kekeliruan, dapat memberi kemungkinan bagi tindakan pembatalan sesuai dengan norma hukum.
Kan. 127 – § 1. Apabila hukum menentukan bahwa untuk mela-kukan tindakan tertentu pemimpin membutuhkan persetujuan atau nasihat dari suatu kolegium atau kelompok orang, kolegium atau kelompok itu harus dipanggil sesuai dengan norma kan. 166, kecuali dalam hal minta nasihat saja ditentukan lain dalam hukum partikular atau khusus; tetapi supaya tindakan itu sah, dituntut supaya diperoleh persetujuan mayoritas mutlak dari mereka yang hadir, atau diminta nasihat dari semua.
§ 2. Apabila hukum menentukan bahwa untuk melakukan tindakan tertentu seorang pemimpin membutuhkan persetujuan atau nasihat dari beberapa orang sebagai individu:
l0 kalau dituntut persetujuan, tidak sahlah tindakan pemimpin, yang tidak minta persetujuan dari orang-orang itu atau yang bertindak berlawanan dengan pendapat mereka atau salah seorang dari mereka;
20 kalau dituntut nasihat, tidak sahlah tindakan pemimpin kalau ia tidak mendengarkan orang-orang itu; walaupun pemimpin tidak wajib menyetujui pendapat mereka biarpun sudah sepakat, namun tanpa alasan yang menurut penilaiannya sendiri lebih kuat, janganlah ia menyimpang dari pendapat mereka, terutama kalau mereka sepakat.
§ 3. Mereka semua yang persetujuan atau nasihatnya diperlukan, wajib menyatakan pendapatnya dengan tulus dan, kalau dituntut beratnya perkara, wajib menyimpan rahasia dengan cermat; kewajiban ini dapat dipertegas oleh pemimpin.
Kan. 128 – Barangsiapa dengan tindakan yuridis, bahkan dengan setiap tindakan lain yang dilakukan dengan penipuan atau kesalahan, menimbulkan kerugian bagi orang lain secara tidak legitim, terikat kewajiban untuk mengganti kerugian yang diakibatkan.

JUDUL VIII
KUASA KEPEMIMPINAN

Kan. 129 – § 1. Menurut norma ketentuan hukum, yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci.
§ 2. Dalam pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam kerja-sama menurut norma hukum.
Kan. 130 – Kuasa kepemimpinan dari sendirinya dilaksanakan untuk tata-lahir, namun kadang-kadang hanya untuk tata-batin, sedemikian sehingga efek-efek pelaksanaan yang sebenarnya berlaku untuk tata-lahir, tidak diakui untuk tata-lahir itu, kecuali sejauh hal itu ditentukan dalam hukum untuk kasus-kasus tertentu.
Kan. 131 – § 1. Kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan (potestas ordinaria) ialah kuasa yang oleh hukum sendiri dikaitkan pada suatu jabatan tertentu; kuasa yang didelegasikan (potestas delegata) ialah kuasa yang diberikan kepada orang itu tidak berdasarkan jabatan.
§ 2. Kuasa kepemimpinan berdasarkan jabatan dapat berupa baik kuasa yang dilaksanakan atas nama sendiri (potestas ordinaria propria) ataupun atas nama orang lain yang diwakilinya (potestas ordinaria vicaria).
§ 3. Seorang yang menyatakan dirinya mendapat delegasi, wajib membuktikan delegasi itu.
Kan. 132 – § 1. Kewenangan-kewenangan habitual diatur menurut ketentuan-ketentuan mengenai kuasa yang didelegasikan.
§ 2. Kecuali dalam pemberiannya dengan jelas ditentukan lain atau orang itu dipilih demi pribadinya, kewenangan habitual yang diberikan kepada seorang Ordinaris tidak hilang bila berhenti hak Ordinaris yang diberi kewenangan itu, walaupun ia telah mulai melaksanakannya; tetapi kewenangan itu beralih kepada Ordinaris yang menggantikannya di dalam kepemimpinan.
Kan. 133 – § 1. Kalau seseorang yang diberi delegasi bertindak melampaui batas-batas mandatnya baik mengenai hal-hal maupun mengenai orang-orang, tindakannya tidak berlaku.
§ 2. Tetapi tidak dianggap melanggar batas-batas mandatnya kalau seseorang yang diberi delegasi melaksanakan mandatnya itu dengan cara lain dari yang ditentukan dalam mandat, kecuali cara itu ditentukan oleh pemberi delegasi demi keabsahannya.
Kan. 134 – § 1. Yang dimaksud dengan sebutan Ordinaris dalam hukum, selain Paus di Roma, juga para Uskup diosesan dan orang-orang lain, yang, walaupun untuk sementara saja, diangkat menjadi pemimpin suatu Gereja partikular atau suatu jemaat yang disamakan dengannya menurut norma kan. 368; dan juga mereka yang di dalam Gereja partikular atau jemaat tersebut mempunyai kuasa eksekutif berdasarkan jabatan, yaitu Vikaris Jenderal dan Episkopal; demikian juga terhadap para anggotanya, pemimpin tinggi tarekat religius klerikal tingkat kepausan dan serikat hidup kerasulan klerikal tingkat kepausan yang sekurang-kurangnya memiliki kuasa eksekutif berdasarkan jabatan.
§ 2. Yang dimaksud dengan sebutan Ordinaris wilayah ialah semua orang yang disebut dalam § 1, kecuali para pemimpin tarekat religius dan serikat hidup kerasulan.
§ 3. Apa yang dalam kanon-kanon disebut dengan tegas diberikan kepada Uskup diosesan di bidang kuasa eksekutif, dianggap merupakan kewenangan Uskup diosesan saja dan orang-orang lain yang dalam kan. 381, § 2 disamakan dengannya, dan tidak merupakan kewenangan Vikaris jenderal dan episkopal, kecuali dengan mandat khusus.
Kan. 135 – § 1. Kuasa kepemimpinan dibedakan dalam kuasa legislatif, eksekutif dan yudisial.
§ 2. Kuasa legislatif harus dilaksanakan dengan cara yang diten-tukan dalam hukum, dan kuasa itu yang dalam Gereja ada pada seorang pembuat undang-undang di bawah otoritas tertinggi, tidak dapat didelegasikan dengan sah, kecuali secara eksplisit ditentukan lain dalam hukum; seorang pembuat undang-undang yang lebih rendah tidak dapat membuat dengan sah suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
§ 3. Kuasa yudisial yang dimiliki oleh para hakim atau majelis-majelis pengadilan, harus dilaksanakan dengan cara yang ditentukan dalam hukum, dan tidak dapat didelegasikan, kecuali untuk melakukan tindakan-tindakan persiapan suatu dekret atau putusan.
§ 4. Dalam pelaksanaan kuasa eksekutif hendaknya ditepati keten-tuan-ketentuan kanon berikut.
Kan. 136 – Kuasa eksekutif dapat dilaksanakan oleh seseorang, walaupun ia berada di luar wilayahnya, terhadap para bawahan, juga kalau mereka di luar wilayahnya, kecuali pasti lain dari hakekat halnya atau dari ketentuan hukum; kuasa itu juga dapat dilaksanakan terhadap para pendatang yang sedang berada di wilayahnya, kalau menyangkut pemberian hal-hal yang menguntungkan atau pelaksanaan perintah baik undang-undang universal maupun partikular yang mengikat mereka menurut norma kan. 13, § 2, no.2.
Kan. 137 – § 1. Kuasa eksekutif berdasarkan jabatan dapat didele-gasikan baik untuk satu tindakan saja maupun untuk keseluruhan kasus, kecuali ditentukan lain dengan jelas dalam hukum.
§ 2. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh Takhta Apostolik, dapat disubdelegasikan, baik untuk satu tindakan saja maupun keseluruhan kasus, kecuali orang itu dipilih demi pribadinya atau kalau subdelegasi itu dengan jelas dilarang.
§ 3. Kuasa eksekutif yang didelegasikan oleh otoritas lain yang memiliki kuasa berdasarkan jabatan, kalau didelegasikan untuk keseluruhan kasus, dapat disubdelegasikan hanya untuk kasus per kasus; tetapi kalau didelegasikan untuk satu tindakan atau tindakan-tindakan tertentu, tidak dapat disubdelegasikan, kecuali dengan jelas diizinkan oleh otoritas yang memberi delegasi itu.
§ 4. Tiada kuasa yang diterima dengan subdelegasi dapat disub-delegasikan lagi, kecuali hal itu dengan jelas diizinkan oleh yang memberikan delegasi.
Kan. 138 – Kuasa eksekutif berdasarkan jabatan dan juga kuasa yang didelegasikan untuk keseluruhan kasus, harus ditafsirkan secara luas, tetapi kuasa lain manapun harus secara sempit; namun kalau kuasa didelegasikan kepada seseorang, dimaksudkan juga bahwa ia telah diberi segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan kuasa itu.
Kan. 139 – § 1. Kecuali ditentukan lain dalam hukum, hal bahwa seseorang menghadap otoritas yang berwenang, juga yang lebih tinggi, tidak menangguhkan kuasa eksekutif dari otoritas lain yang berwenang, baik itu kuasa berdasarkan jabatan maupun kuasa berdasarkan delegasi.
§ 2. Namun, janganlah suatu otoritas yang lebih rendah campur-tangan dalam perkara yang telah diajukan kepada otoritas yang lebih tinggi, kecuali karena alasan yang berat dan mendesak; dalam kasus itu hendaklah ia segera memberitahukannya kepada otoritas yang lebih tinggi.
Kan. 140 – § 1. Kalau beberapa orang diberi delegasi in solidum (masing-masing-secara-penuh dalam kebersamaan) untuk menangani suatu urusan yang sama, maka orang pertama yang mulai menangani urusan itu menyisihkan yang lain, kecuali kemudian ia berhalangan atau dalam menangani urusan itu ia tidak mau melanjutkannya lagi.
§ 2. Kalau beberapa orang diberi delegasi untuk menangani suatu urusan secara kolegial, maka semuanya harus bekerja menurut norma kan. 119, kecuali dalam mandat ditentukan lain.
§ 3. Kuasa eksekutif yang didelegasikan kepada beberapa orang, diandaikan diberikan in solidum.
Kan. 141 – Kalau beberapa orang diberi delegasi berturut-turut, maka urusan itu hendaknya ditangani oleh orang yang diberi mandat lebih dahulu, yang kemudian tidak dicabut.
Kan. 142 – § 1. Kuasa yang didelegasikan terhenti: kalau mandat telah diselesaikan; kalau waktunya telah lewat atau jumlah kasus untuk mana delegasi diberikan telah habis; kalau alasan yang merupakan tujuan delegasi itu telah terhenti; kalau orang yang memberi delegasi mencabutnya kembali dan memberitahukan hal itu langsung kepada orang yang diberi delegasi; dan juga kalau orang yang diberi delegasi melepaskannya dan memberitahukannya kepada orang yang memberi delegasi dan hal itu diterima olehnya; tetapi kuasa itu tidak terhenti kalau hak orang yang memberi delegasi terhenti, kecuali nyata dari klausul yang disertakan.
§ 2. Namun tindakan berdasarkan kuasa delegasi yang dilaksanakan untuk tata-batin saja, kalau dilakukan tanpa menyadari bahwa waktu yang ditentukan sudah lewat, adalah sah.
Kan. 143 – § 1. Kuasa berdasarkan jabatan terhenti bila jabatan yang dikaitkan dengannya hilang.
§ 2. Kecuali dalam hukum ditentukan lain, kuasa berdasarkan jabatan ditangguhkan, jika secara legitim diajukan banding atau rekursus melawan pencabutan atau pemecatan dari jabatan.
Kan. 144 – § 1. Dalam kekeliruan umum mengenai fakta atau hukum, demikian juga dalam keraguan yang positif dan probabel, baik mengenai hukum maupun mengenai fakta, Gereja melengkapi kuasa kepemimpinan eksekutif, baik untuk tata-lahir maupun untuk tata-batin.
§ 2. Norma yang sama diterapkan pada kewenangan-kewenangan yang disebutkan dalam kan. 882, 883, 966, dan 1111, § 1.

JUDUL IX
JABATAN GEREJAWI

Kan. 145 – § 1. Jabatan gerejawi ialah setiap tugas yang diadakan secara tetap oleh penetapan baik ilahi maupun gerejawi, yang harus dilaksanakan untuk tujuan spiritual.
§ 2. Kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas untuk tiap-tiap jabatan gerejawi ditentukan baik oleh hukum sendiri yang menetap-kannya, maupun oleh dekret dari otoritas berwenang yang serentak menetapkan dan memberikan jabatan itu.

BAB I
PEMBERIAN JABATAN GEREJAWI

Kan. 146 – Jabatan gerejawi tidak dapat diperoleh dengan sah tanpa pemberian kanonik.
Kan. 147 – Pemberian jabatan gerejawi terjadi: melalui penye-rahan bebas oleh otoritas gerejawi yang berwenang; melalui pengangkatan oleh otoritas yang sama, jika didahului pengajuan; melalui pengukuhan atau persetujuan oleh otoritas yang sama, kalau didahului pemilihan atau postulasi; akhirnya dengan pemilihan saja dan penerimaan oleh orang yang terpilih, kalau pemilihan itu tidak membutuhkan pengukuhan.
Kan. 148 – Otoritas yang berwenang untuk mengadakan, membarui dan meniadakan jabatan-jabatan, berwenang juga untuk memberikannya, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
Kan. 149 – § 1. Untuk diberi jabatan gerejawi, seseorang haruslah berada dalam persekutuan Gereja dan juga cakap, artinya ia mempunyai kualitas yang dituntut untuk jabatan itu oleh hukum universal atau partikular atau oleh undang-undang fundasinya.
§ 2. Pemberian jabatan gerejawi kepada seseorang yang tidak mempunyai kualitas yang dituntut, hanya tidak sah, kalau kualitas itu dengan jelas dituntut oleh hukum universal atau partikular atau undang-undang fundasinya untuk sahnya pemberian itu; kalau tidak, pemberian itu tetap sah, tetapi dapat dibatalkan dengan dekret dari otoritas yang berwenang atau lewat putusan pengadilan administratif.
§ 3. Pemberian jabatan yang terjadi dengan simoni, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 150 – Jabatan yang membawa-serta pemeliharaan penuh terhadap jiwa-jiwa, yang untuk memenuhinya dituntut pelaksanaan tahbisan imamat, tidak dapat diberikan dengan sah kepada orang yang belum ditahbiskan imam.
Kan. 151 – Pemberian jabatan yang membawa-serta pemeliharaan jiwa-jiwa, janganlah ditunda-tunda tanpa alasan yang berat.
Kan. 152 – Janganlah seseorang diberi dua jabatan atau lebih yang tidak dapat dipadukan, yaitu yang tidak dapat dilaksanakan serentak oleh orang yang satu dan sama.
Kan. 153 – § 1. Pemberian jabatan yang tidak lowong menurut hukum, dengan sendirinya tidak sah, dan juga tidak menjadi sah kalau kemudian menjadi lowong.
§ 2. Namun, mengenai jabatan yang menurut hukum diberikan untuk waktu tertentu, pemberiannya dapat dilakukan dalam enam bulan sebelum berakhirnya batas waktu itu, dan mulai efektif sejak hari lowongnya jabatan itu.
§ 3. Janji akan suatu jabatan, yang dibuat oleh siapapun, tidak menimbulkan efek yuridis apapun.
Kan. 154 – Jabatan yang menurut hukum lowong, tetapi yang kebetulan masih dimiliki secara tidak legitim oleh seseorang, dapat diberikan, asalkan dinyatakan sesuai dengan ketentuan bahwa pemilikan itu adalah tidak legitim, dan penyebutan pernyataan itu dibuat dalam surat penyerahan.
Kan. 155 – Seseorang yang menggantikan orang lain yang lalai atau terhalang, kalau ia memberikan jabatan, tidak memperoleh kuasa apapun karenanya terhadap orang yang diberi jabatan itu; tetapi kedudukan yuridis orang itu tetap, seolah-olah pemberian itu dilaksanakan menurut norma hukum yang biasa.
Kan. 156 – Pemberian setiap jabatan hendaknya dilaksanakan secara tertulis.

Artikel 1
PENYERAHAN BEBAS

Kan. 157 – Kecuali dalam hukum dengan tegas ditentukan lain, Uskup diosesan berhak melakukan penyerahan bebas jabatan-jabatan gerejawi dalam Gereja partikularnya sendiri.

Artikel 2
PENGAJUAN

Kan. 158 – § 1. Pengajuan untuk jabatan gerejawi oleh yang ber-wenang untuk mengajukannya, harus dibuat kepada otoritas yang berhak memberikan pengangkatan untuk jabatan itu, dan harus dibuat dalam waktu tiga bulan terhitung dari saat diperoleh berita bahwa jabatan itu sudah lowong, kecuali ditentukan lain secara legitim.
§ 2. Kalau hak pengajuan dimiliki suatu kolegium atau kelompok orang, yang akan diajukan hendaknya ditunjuk dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan kan. 165-179.
Kan. 159 – Hendaknya jangan diajukan seseorang yang tidak mau; karena itu yang akan diajukan disampaikan sesudah dimintai pendapatnya, kecuali ia menolak dalam waktu-guna (tempus utilis) delapan hari.
Kan. 160 – § 1. Yang mempunyai hak pengajuan, dapat mengaju-kan satu atau beberapa orang, entah serentak ataupun berturut-turut.
§ 2. Tak seorang pun dapat mengajukan dirinya sendiri; tetapi suatu kolegium atau kelompok orang dapat mengajukan seorang anggotanya.
Kan. 161 – § 1. Kecuali ditentukan lain dalam hukum, pihak yang mengajukan seseorang yang ternyata tidak cakap, dapat mengajukan hanya satu kali lagi seorang calon lain dalam waktu satu bulan.
§ 2. Kalau orang yang telah diajukan menarik diri atau meninggal sebelum diangkat, pihak yang berhak mengajukan dapat melaksanakan haknya lagi dalam waktu satu bulan sejak diperoleh berita tentang penarikan diri atau kematian itu.
Kan. 162 – Pihak yang tidak membuat pengajuan dalam waktu-guna menurut norma kan. 158, § 1 dan kan. 161, demikian pula pihak yang sudah dua kali mengajukan calon yang ternyata tidak cakap, kehilangan hak pengajuan untuk kasus itu, dan otoritas yang berhak untuk mengangkat berwenang memberikan jabatan yang lowong itu secara bebas, tetapi dengan persetujuan Ordinaris dari orang yang diangkat itu sendiri.
Kan. 163 – Otoritas yang menurut norma hukum berwenang untuk mengangkat orang yang diajukan, harus mengangkat orang yang diajukan secara legitim yang didapatinya cakap dan yang menerimanya; kalau beberapa orang yang diajukan secara legitim didapatinya cakap, ia harus mengangkat salah seorang dari mereka.

Artikel 3
PEMILIHAN

Kan. 164 – Kecuali ditentukan lain dalam hukum, dalam pemilihan kanonik haruslah ditepati ketentuan-ketentuan kanon-kanon berikut.
Kan. 165 – Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta legitim suatu kolegium atau kelompok orang, jika suatu kolegium atau kelompok orang mempunyai hak memilih untuk suatu jabatan, pemilihan janganlah ditunda lebih dari waktu-guna tiga bulan sejak penerimaan berita bahwa jabatan itu sudah lowong; kalau jangka waktu itu telah lewat tanpa dimanfaatkan, maka otoritas gerejawi yang mempunyai hak untuk mengukuhkan pemilihan atau mempunyai hak untuk selanjutnya memberikan jabatan itu, hendaknya dengan bebas memberikan jabatan yang lowong itu.
Kan. 166 – § 1. Ketua suatu kolegium atau kelompok orang harus memanggil semua orang yang termasuk kolegium atau kelompok orang itu; tetapi apabila panggilan itu harus secara pribadi, maka panggilan itu sah, kalau dibuat di tempat domisili atau kuasi-domisili atau di tempat mereka sedang berada.
§ 2 Kalau seseorang dari mereka yang harus dipanggil diabaikan dan karena itu tidak hadir, pemilihan tetap sah; tetapi atas permohonannya, yakni sesudah dibuktikan bahwa ia dilewatkan dan tidak hadir, pemilihan itu harus dibatalkan oleh otoritas yang berwenang walaupun telah dikukuhkan, asalkan secara yuridis pasti bahwa rekursus itu diajukan sekurang-kurangnya tiga hari terhitung saat penerimaan berita tentang pemilihan itu.
§ 3. Namun kalau lebih dari sepertiga pemilih diabaikan, pemi-lihan itu tidak sah demi hukum itu sendiri, kecuali semua yang tidak diundang nyata-nyata hadir.
Kan. 167 – § 1. Sesudah diadakan pemanggilan secara legitim, yang berhak memberikan suara ialah mereka yang hadir pada hari dan di tempat yang ditentukan dalam undangan itu; ditiadakan kewenangan memberikan suara, baik lewat surat maupun lewat wakil, kecuali secara legitim ditentukan lain dalam statuta.
§ 2. Kalau seseorang dari para pemilih ada di rumah tempat pemilihan diadakan, tetapi tidak bisa menghadiri pemilihan karena kesehatan yang lemah, hendaknya suaranya diminta secara tertulis oleh para skrutator.
Kan. 168 – Walaupun seseorang berhak memberikan suara atas beberapa dasar, namun ia dapat memberikan hanya satu suara.
Kan. 169 – Untuk sahnya pemilihan, tak seorang pun yang tidak termasuk kolegium atau kelompok orang itu dapat diizinkan memberikan suara.
Kan. 170 – Pemilihan, yang kebebasannya nyata-nyata terhalang dengan cara apapun, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 171 – § 1. Tidak mampu memberikan suara, mereka:
10 yang tidak mampu melakukan tindakan manusiawi;
20 yang tidak mempunyai hak suara aktif;
30 yang terkena hukuman ekskomunikasi, baik oleh putusan peng-adilan maupun oleh dekret yang menjatuhkan atau menyatakan hukuman;
40 yang secara terbuka meninggalkan persekutuan Gereja.
§ 2. Kalau seseorang dari mereka yang disebut di atas diizinkan, suaranya tidak berlaku, tetapi pemilihan sah, kecuali pasti bahwa tanpa suaranya orang yang dipilih tidak memperoleh jumlah suara yang dituntut.
Kan. 172 – § 1. Supaya sah, suara haruslah bersifat:
10 bebas, karena itu tidak sah suara orang yang oleh ketakutan besar atau penipuan, secara langsung atau tidak langsung, terpaksa untuk memilih orang tertentu atau beberapa orang secara terpisah-pisah;
20 rahasia, pasti, mutlak, tertentu.
§ 2. Syarat-syarat yang dibubuhkan pada suara sebelum pemilihan, hendaknya dianggap sebagai tidak ada.
Kan. 173 – § 1. Sebelum pemilihan dimulai, hendaknya ditunjuk sekurang-kurangnya dua skrutator dari kalangan kolegium atau kelompok orang itu.
§ 2. Para skrutator hendaknya mengumpulkan suara dan di hadapan ketua pemilihan memeriksa apakah jumlah surat suara cocok dengan jumlah pemilih; lalu mereka hendaknya memeriksa suara-suara itu dan mengumumkan siapa mendapat berapa suara.
§ 3. Kalau jumlah suara melebihi jumlah pemilih, pemilihan itu tidak berlaku.
§ 4. Segala ikhwal pemilihan haruslah dicatat dengan seksama oleh orang yang bertugas sebagai sekretaris, dan hendaknya disimpan dengan teliti dalam arsip kolegium setelah ditandatangani sekurang-kurangnya oleh sekretaris itu sendiri, oleh ketua dan para skrutator.
Kan. 174 – § 1. Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, pemilihan dapat juga dilaksanakan lewat penugasan memilih (per compromissum), yaitu asalkan para pemilih, dengan persetujuan bulat dan tertulis, untuk kali itu menyerahkan hak pilihnya kepada satu atau beberapa orang yang cakap, entah dari kalangan itu atau dari luar, yang atas nama semua memilih atas dasar kewenangan yang diterimanya.
§ 2. Jika mengenai kolegium atau kelompok orang yang terdiri dari para klerikus saja, yang ditugaskan memilih haruslah orang yang telah menerima tahbisan suci; kalau tidak demikian pemilihan tidak sah.
§ 3. Orang-orang yang diserahi hak pilih haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum mengenai pemilihan dan, demi sahnya pemilihan, haruslah menaati syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan hukum yang ditambahkan pada penugasan memilih itu; sedangkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum hendaknya dianggap sebagai tidak ada.
Kan. 175 – Penugasan memilih itu berhenti dan hak memberi suara kembali kepada para pemilik suara:
10 kalau ditarik kembali oleh kolegium atau kelompok orang sebelum mulai dilaksanakan;
20 kalau salah satu syarat yang ditambahkan pada penugasan memilih itu tidak dipenuhi;
30 kalau pemilihan yang telah diselesaikan tidak sah.
Kan. 176 – Kecuali ditentukan lain dalam hukum atau statuta, seseorang yang telah memperoleh jumlah suara yang dituntut sesuai dengan norma kan. 119, no. 1, hendaknya dianggap terpilih dan diumumkan oleh ketua kolegium atau kelompok orang.
Kan. 177 – § 1. Hasil pemilihan harus dengan segera diberitahukan kepada orang yang terpilih, yang dalam waktu-guna delapan hari sejak penerimaan berita itu harus memberitahukan kepada ketua kolegium atau kelompok orang itu apakah ia menerima pemilihan itu atau tidak; kalau tidak, maka pemilihan itu tidak berlaku.
§ 2. Kalau orang yang terpilih tidak menerimanya, ia kehilangan setiap hak yang timbul dari pemilihan itu dan tidak dipulihkan oleh penerimaan sesudahnya, namun ia dapat dipilih kembali; tetapi dalam jangka waktu satu bulan sejak diketahui penolakan itu, kolegium atau kelompok orang itu harus mengadakan pemilihan baru.
Kan. 178 – Kalau orang yang terpilih menerima pemilihan atas dirinya yang tidak membutuhkan pengukuhan, ia segera memperoleh jabatan dengan hak penuh; kalau tidak, ia hanya menerima hak atas jabatan.
Kan. 179 – § 1. Kalau pemilihan membutuhkan pengukuhan, dalam waktu-guna delapan hari sejak pemilihan itu diterima, orang yang terpilih itu secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain harus meminta pengukuhan itu dari otoritas yang berwenang; kalau tidak, ia kehilangan setiap haknya, kecuali terbukti bahwa karena alasan yang wajar ia terhalang untuk meminta pengukuhan itu.
§ 2. Jika otoritas yang berwenang mendapati bahwa orang yang terpilih cakap menurut norma kan. 149, § 1, dan pemilihan telah dilak-sanakan menurut norma hukum, maka ia tidak dapat menolak memberikan pengukuhan itu.
§ 3. Pengukuhan itu harus diberikan secara tertulis.
§ 4. Sebelum memperoleh pengukuhan, orang yang terpilih tidak boleh campur-tangan dalam urusan jabatan, baik dalam hal-hal spiritual maupun keduniaan, dan tindakan-tindakan, yang barangkali telah dilakukannya, tidak sah.
§ 5. Sesudah pemberitahuan pengukuhan orang yang terpilih memperoleh jabatan itu dengan hak penuh, kecuali ditentukan lain dalam hukum.

Artikel 4
POSTULASI

Kan. 180 – § 1. Kalau pemilihan orang yang oleh para pemilih dianggap paling cocok dan mereka utamakan, terhalang oleh suatu halangan kanonik yang dapat dan biasa diberi dispensasi, maka dengan suaranya mereka dapat mengajukan postulasi atas orang itu kepada otoritas yang berwenang, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
§ 2. Mereka yang ditugaskan memilih tidak dapat mengajukan postulasi, kecuali hal itu ditegaskan dalam penugasan memilih.
Kan. 181 – § 1. Supaya postulasi mempunyai kekuatan hukum, di-tuntut sekurang-kurangnya dua per tiga dari suara.
§ 2. Suara untuk postulasi harus dinyatakan dengan kata: Saya mengajukan postulasi atau kata lain yang sama artinya; sedangkan rumus: saya memilih atau saya mengajukan postulasi, atau rumus lain yang sama artinya, berlaku untuk pemilihan kalau tidak ada halangan, berlaku untuk postulasi kalau ada halangan.
Kan. 182 – § 1. Dalam waktu-guna delapan hari postulasi harus dikirim oleh ketua kepada otoritas yang berwenang yang berhak untuk mengukuhkan pemilihan; otoritas itulah yang memberi dispensasi dari halangan itu, atau, kalau ia tidak mempunyai kuasa itu, memintanya kepada otoritas yang lebih tinggi; kalau pengukuhan tidak dituntut, postulasi harus dikirim kepada otoritas yang berwenang supaya diberi dispensasi.
§ 2. Kalau dalam waktu yang ditentukan postulasi tidak dikirim, maka dengan sendirinya tidak ada postulasi, dan untuk kali itu kolegium atau kelompok orang itu kehilangan hak memilih atau hak mengajukan postulasi, kecuali terbukti bahwa ketua terhambat mengirimkan postulasi itu karena halangan yang wajar, atau ketua telah tidak mengirimkannya tepat pada waktunya, entah karena kesengajaan atau karena kelalaian.
§ 3. Orang yang diajukan melalui postulasi tidak memperoleh hak apapun dari postulasi itu; otoritas yang berwenang tidak wajib menerimanya.
§ 4. Para pemilih tidak dapat menarik kembali postulasi yang telah diajukan kepada otoritas yang berwenang, kecuali dengan persetujuan otoritas itu juga.
Kan. 183 – § 1. Kalau postulasi tidak dikabulkan oleh otoritas yang berwenang, maka hak pilih kembali kepada kolegium atau kelompok orang itu.
§ 2. Kalau postulasi dikabulkan, hal itu harus diberitahukan kepada orang yang diajukan melalui postulasi dan ia harus memberikan jawaban menurut norma kan. 177, § 1.
§ 3. Orang yang menerima postulasi yang telah dikabulkan, pada saat itu juga memperoleh jabatan dengan hak penuh.

BAB II
KEHILANGAN JABATAN GEREJAWI

Kan. 184 – § 1. Seseorang kehilangan jabatan gerejawi dengan le-watnya batas waktu yang telah ditentukan, dengan mencapai batas umur yang ditetapkan dalam hukum, dengan peletakan jabatan, dengan pemindahan, dengan pemberhentian, dan juga dengan pemecatan.
§ 2. Kalau hak otoritas yang memberi jabatan terhenti dengan cara apapun, jabatan gerejawi itu tidak ikut terhenti, kecuali ditentukan lain dalam hukum.
§ 3. Hilangnya jabatan, yang mulai efektif itu, hendaknya secepat mungkin diberitahukan kepada semua pihak yang berwenang atas pemberian jabatan itu.
Kan. 185 – Gelar purnakarya dapat diberikan kepada orang yang kehilangan jabatan karena telah mencapai batas umur atau karena pengunduran diri dari jabatannya telah dikabulkan.
Kan. 186 – Kalau batas waktu yang ditentukan telah lewat atau batas umur telah dicapai, hilangnya jabatan mulai berlaku hanya sejak adanya pemberitahuan tertulis dari otoritas yang berwenang.

Artikel 1
PENGUNDURAN DIRI

Kan. 187 – Barangsiapa dapat bertanggungjawab atas tindakannya sendiri, dapat mengajukan pengunduran diri dari jabatan gerejawinya atas alasan yang wajar.
Kan. 188 – Pengunduran diri dari jabatan karena ketakutan besar yang dikenakan secara tidak adil, karena penipuan atau kekeliruan mengenai hal yang pokok ataupun karena simoni, tidak sah demi hukum itu sendiri.
Kan. 189 – § 1. Untuk sahnya, pengunduran diri dari jabatan, baik yang membutuhkan pengabulan atau tidak, harus dilakukan kepada otoritas yang berwenang memberi jabatan tersebut, dan itu harus dilakukan secara tertulis atau secara lisan di hadapan dua saksi.
§ 2. Otoritas itu janganlah mengabulkan pengunduran diri yang tidak berdasarkan alasan yang wajar dan memadai.
§ 3. Pengunduran diri dari jabatan yang membutuhkan pengabulan, tidak mempunyai kekuatan apapun kecuali dikabulkan dalam waktu tiga bulan; yang tidak membutuhkan pengabulan, mulai efektif sejak pemberitahuan oleh orang yang mengundurkan diri itu menurut norma hukum.
§ 4. Pengunduran diri dari jabatan dapat ditarik kembali oleh yang bersangkutan sebelum mulai efektif; sesudah mulai efektif, tidak dapat ditarik kembali, tetapi yang bersangkutan dapat memperoleh jabatan itu lagi atas dasar lain.

Artikel 2
PEMINDAHAN

Kan. 190 – § 1. Pemindahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak memberikan jabatan yang telah hilang dan sekaligus jabatan yang akan dipercayakan.
§ 2. Kalau pemindahan tidak dikehendaki oleh pejabat yang bersangkutan, dituntut adanya alasan berat dan harus ditepati prosedur yang ditentukan dalam hukum, dengan selalu ada hak untuk menge-mukakan alasan-alasan keberatannya.
§ 3. Supaya efektif, pemindahan harus diberitahukan secara ter-tulis.
Kan. 191 – § 1. Dalam pemindahan, jabatan sebelumnya lowong dengan penerimaan jabatan lain secara kanonik, kecuali ditentukan lain dalam hukum atau oleh otoritas yang berwenang.
§ 2. Remunerasi yang terkait dengan jabatan sebelumnya masih diterima oleh orang yang dipindahkan, sampai memperoleh pemilikan jabatan lain secara kanonik.

Artikel 3
PEMBERHENTIAN

Kan. 192 – Seseorang diberhentikan dari jabatannya, baik dengan dekret yang dikeluarkan secara legitim oleh otoritas yang berwenang, dengan tetap memperhatikan hak-hak yang barangkali telah diperoleh dari kontrak, maupun oleh hukum sendiri menurut norma kan. 194.
Kan. 193 – § 1. Seseorang tidak dapat diberhentikan dari jabatan yang diberikan kepadanya untuk waktu yang tak terbatas, kecuali karena alasan-alasan yang berat dan telah ditepati prosedur yang ditentukan oleh hukum.
§ 2. Hal yang sama berlaku untuk dapat memberhentikan sese-orang dari jabatan yang diberikan kepadanya untuk waktu tertentu sebelum waktu itu lewat, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 624, § 3.
§ 3. Dari jabatan yang diberikan menurut ketentuan hukum atas pertimbangan arif otoritas yang berwenang, seseorang dapat diberhenti-kan atas alasan yang wajar, menurut penilaian otoritas itu juga.
§ 4. Supaya efektif, dekret pemberhentian harus diberitahukan secara tertulis.
Kan. 194 – § 1. Demi hukum itu sendiri diberhentikan dari jabatan gerejawi:
10 orang yang kehilangan status klerikal;
20 orang yang secara publik meninggalkan iman katolik atau perse-kutuan Gereja;
30 klerikus yang telah mencoba menikah walaupun secara sipil saja.
§ 2. Pemberhentian yang disebut dalam no. 2 dan 3 hanya dapat didesakkan, jika mengenai hal itu pasti dari pernyataan otoritas yang berwenang.
Kan. 195 – Kalau seseorang tidak karena hukum itu sendiri melainkan melalui dekret otoritas yang berwenang, diberhentikan dari jabatan yang memberi nafkah kepadanya, maka otoritas itu hendaknya mengusahakan agar nafkahnya dicukupi untuk jangka waktu yang layak, kecuali telah tercukupi dengan cara lain.

Artikel 4
PEMECATAN

Kan. 196 – § 1. Pemecatan dari jabatan, yaitu hukuman atas suatu kejahatan, hanya dapat dilakukan menurut norma hukum.
§ 2. Pemecatan menjadi efektif sesuai ketentuan-ketentuan kanon tentang hukum pidana.

JUDUL X
DALUWARSA

Kan. 197 – Daluwarsa, sebagai cara untuk memperoleh atau mele-paskan hak subyektif dan juga sebagai cara untuk membebaskan dari kewajiban, diterima oleh Gereja sebagaimana berlaku dalam perundang-undangan sipil negara yang bersangkutan, dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang ditentukan dalam kanon-kanon Kitab Hukum ini.
Kan. 198 – Tiada daluwarsa berlaku, kecuali didasari oleh itikad baik (bona fide), tidak hanya pada awal, melainkan juga selama seluruh jangka waktu yang dituntut untuk daluwarsa, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1362.
Kan. 199 – Tidak terkena daluwarsa:
10 hak dan kewajiban yang berasal dari hukum ilahi, baik kodrati maupun positif;
20 hak yang dapat diperoleh hanya atas dasar privilegi apostolik;
30 hak dan kewajiban yang secara langsung menyangkut hidup spiritual umat beriman;
40 batas-batas wilayah gerejawi yang pasti dan tidak dapat di-sangsikan;
50 derma (stips) dan kewajiban mempersembahkan Misa;
60 pemberian jabatan gerejawi yang menurut norma hukum menuntut pelaksanaan tahbisan suci;
70 hak visitasi dan kewajiban ketaatan, sedemikian sehingga umat beriman tetap dapat dikunjungi oleh otoritas gerejawi manapun dan tetap berada di bawah suatu otoritas.

JUDUL XI
PENGHITUNGAN WAKTU

Kan. 200 – Kecuali dengan jelas ditentukan lain dalam hukum, waktu dihitung menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 201 – § 1. Waktu disebut terus-menerus bila tidak mengalami jeda.
§ 2. Yang dimaksud dengan waktu-guna ialah waktu yang tersedia bagi orang yang akan melaksanakan atau memperoleh haknya sedemikian, sehingga waktu tersebut tidak diperhitungkan bagi orang yang tidak tahu atau tidak mampu.
Kan. 202 – § 1. Dalam hukum hari dimengerti sebagai jangka waktu yang terdiri dari 24 jam dihitung terus-menerus, mulai dari tengah malam, kecuali dengan jelas ditentukan lain; minggu ialah jangka waktu 7 hari; bulan ialah jangka waktu 30 hari dan tahun ialah jangka waktu 365 hari, kecuali dikatakan bahwa bulan dan tahun harus dihitung menurut penanggalan.
§ 2. Kalau waktu berlangsung terus-menerus, bulan dan tahun harus selalu dihitung menurut penanggalan.
Kan. 203 – § 1. Hari pertama (dies a quo) tidak dihitung dalam jangka waktu, kecuali permulaannya jatuh bersamaan dengan per-mulaan hari atau dengan jelas ditentukan lain dalam hukum.
§ 2. Kecuali ditentukan kebalikannya, hari terakhir (dies ad quem) dihitung dalam jangka waktu; kalau waktu terdiri dari satu atau beberapa bulan atau tahun, dari satu atau beberapa minggu, maka jangka waktu itu berakhir sesudah selesai hari terakhir dari tanggal yang sama; atau, kalau bulan tidak mempunyai hari dengan tanggal yang sama, dihitung dengan selesainya hari terakhir bulan itu.

BUKU II
UMAT ALLAH

BAGIAN I
KAUM BERIMAN KRISTIANl

Kan. 204 – § 1. Kaum beriman kristiani ialah mereka yang, karena melalui baptis diinkorporasi pada Kristus, dibentuk menjadi umat Allah dan karena itu dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas imami, kenabian dan rajawi Kristus, dan sesuai dengan kedudukan masing-masing, dipanggil untuk menjalankan perutusan yang diper-cayakan Allah kepada Gereja untuk dilaksanakan di dunia.
§ 2. Gereja ini, yang di dunia ini dibentuk dan ditata sebagai masyarakat, ada dalam Gereja katolik yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.
Kan. 205 – Yang secara penuh ada dalam persekutuan Gereja katolik di dunia ini ialah orang-orang terbaptis yang dalam tatanannya yang kelihatan dihubungkan dengan Kristus, yakni dengan ikatan-ikatan pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejawi.
Kan. 206 – §1. Berdasarkan alasan khusus, juga dikaitkan dengan Gereja para katekumen, yang, atas dorongan Roh Kudus, memohon dengan kehendak jelas untuk diinkorporasi dalam Gereja; dan karenanya dengan kerinduan itu sendiri, seperti juga dengan kehidupan iman, harapan dan kasih yang dijalankannya, digabungkan dengan Gereja yang menyayangi mereka sudah sebagai anak-anaknya sendiri.
§ 2. Para katekumen mendapat perhatian khusus dari Gereja; seraya mengundang mereka untuk menghayati hidup injili dan mengantar mereka merayakan liturgi suci, Gereja sudah melimpahkan kepada mereka pelbagai hak istimewa (praerogativa), yang khas bagi orang-orang kristiani.
Kan. 207 – § 1. Oleh penetapan ilahi, di antara kaum beriman kris-tiani dalam Gereja ada pelayan-pelayan suci, yang dalam hukum juga disebut para klerikus; sedangkan lain-lainnya juga disebut awam.
§ 2. Dari kedua pihak ini ada kaum beriman kristiani yang dengan mengikrarkan nasihat-nasihat injili dengan kaul-kaul atau ikatan suci lain yang diakui dan dikukuhkan Gereja, dengan caranya yang istimewa dibaktikan kepada Allah dan bermanfaat bagi perutusan keselamatan Gereja; status mereka, meskipun tidak menyangkut susunan hirarkis Gereja, adalah bagian dari kehidupan dan kekudusannya.

JUDUL I
KEWAJIBAN DAN HAK SEMUA ORANG BERIMAN KRISTIANI

Kan. 208 – Di antara semua orang beriman kristiani, yakni berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kedudukan khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus.
Kan. 209 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk selalu memelihara persekutuan dengan Gereja, juga dengan cara bertindak masing-masing.
§ 2. Hendaknya mereka dengan penuh ketelitian menjalankan kewajiban-kewajiban yang mengikat mereka, baik terhadap Gereja universal maupun partikular, di mana mereka menurut ketentuan hukum menjadi anggota.
Kan. 210 – Semua orang beriman kristiani, sesuai dengan kedu-dukan khasnya, harus mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan.
Kan. 211 – Semua orang beriman kristiani mempunyai kewajiban dan hak mengusahakan agar warta ilahi keselamatan semakin menjangkau semua orang dari segala zaman dan di seluruh dunia.
Kan. 212 – § 1. Yang dinyatakan oleh para Gembala suci yang mewakili Kristus sebagai guru iman, atau yang mereka tetapkan sebagai pemimpin Gereja, harus diikuti dengan ketaatan kristiani oleh kaum beriman kristiani dengan kesadaran akan tanggungjawab masing-masing.
§ 2. Adalah hak sepenuhnya kaum beriman kristiani untuk me-nyampaikan kepada para Gembala Gereja keperluan-keperluan mereka, terutama yang rohani, dan juga harapan-harapan mereka.
§ 3. Sesuai dengan pengetahuan, kompetensi dan keunggulannya, mereka mempunyai hak, bahkan kadang-kadang juga kewajiban, untuk menyampaikan kepada para Gembala suci pendapat mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja dan untuk memberi-tahukannya kepada kaum beriman kristiani lainnya, tanpa mengurangi keutuhan iman dan moral serta sikap hormat terhadap para Gembala, dan dengan memperhatikan manfaat umum serta martabat pribadi orang.
Kan. 213 – Adalah hak kaum beriman kristiani untuk menerima dari para Gembala suci bantuan yang berasal dari harta rohani Gereja, terutama dari sabda Allah dan sakramen-sakramen.
Kan. 214 – Adalah hak kaum beriman kristiani untuk menunaikan ibadat kepada Allah menurut ketentuan-ketentuan ritus masing-masing yang telah disetujui oleh para Gembala Gereja yang legitim, dan untuk mengikuti bentuk khas hidup rohani, yang selaras dengan ajaran Gereja.
Kan. 215 – Adalah hak sepenuhnya kaum beriman kristiani untuk dengan bebas mendirikan dan juga memimpin perserikatan-perserikatan dengan tujuan amal-kasih atau kesalehan, atau untuk mengembangkan panggilan kristiani di dunia, dan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan guna mencapai tujuan-tujuan itu bersama-sama.
Kan. 216 – Kaum beriman kristiani seluruhnya, karena mengambil bagian dalam perutusan Gereja, mempunyai hak untuk memajukan atau mendukung karya kerasulan, juga dengan inisiatif sendiri, menurut status dan kedudukan masing-masing; tetapi tiada satu usaha pun boleh memakai nama katolik tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 217 – Kaum beriman kristiani, yang karena baptis dipanggil untuk menjalani hidup yang selaras dengan ajaran injili, mempunyai hak atas pendidikan kristiani, agar dengan itu dibina sewajarnya untuk mencapai kedewasaan pribadi manusiawi dan sekaligus untuk mengenal dan menghayati misteri keselamatan.
Kan. 218 – Mereka yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu suci mempunyai kebebasan sewajarnya untuk mengadakan penelitian dan juga untuk mengutarakan pendapatnya secara arif dalam bidang keahliannya, tetapi dengan mengindahkan sikap-menurut (obsequium) yang harus mereka tunjukkan kepada Magisterium Gereja.
Kan. 219 – Semua orang beriman kristiani mempunyai hak atas kebebasan dari segala paksaan dalam memilih status kehidupan.
Kan. 220 – Tak seorang pun boleh mencemarkan secara tidak legitim nama baik yang dimiliki seseorang, atau melanggar hak siapa pun untuk melindungi privacynya.
Kan. 221 – § 1. Kaum beriman kristiani berwenang untuk secara legitim menuntut dan membela hak yang dimilikinya dalam Gereja di forum gerejawi yang berwenang menurut norma hukum.
§ 2. Adalah juga hak kaum beriman kristiani, apabila dipanggil ke pengadilan oleh otoritas yang berwenang, untuk diadili sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang harus diterapkan secara wajar.
§ 3. Adalah hak kaum beriman kristiani untuk tidak dijatuhi hu-kuman kanonik kecuali menurut norma undang-undang.
Kan. 222 – § 1. Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
§ 2. Mereka juga terikat kewajiban untuk memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri.
Kan. 223 – § 1. Dalam melaksanakan hak-haknya kaum beriman kristiani, baik secara perseorangan maupun tergabung dalam perseri-katan, harus memperhatikan kesejahteraan umum Gereja dan hak-hak orang lain serta kewajiban-kewajibannya sendiri terhadap orang lain.
§ 2. Demi kesejahteraan umum otoritas gerejawi berwenang mengatur pelaksanaan hak-hak yang dimiliki kaum beriman kristiani.

JUDUL II
KEWAJIBAN DAN HAK KAUM BERIMAN
KRISTIANl AWAM

Kan. 224 – Selain kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang berlaku sama bagi semua orang beriman kristiani dan yang ditetapkan dalam kanon-kanon lain, kaum beriman kristiani awam terikat kewajiban-kewajiban dan memiliki hak-hak yang disebut dalam kanon-kanon dari judul ini.
Kan. 225 – § 1. Seperti semua orang beriman kristiani yang ber-dasarkan baptis dan penguatan ditugaskan Allah untuk kerasulan, kaum awam terikat kewajiban umum dan mempunyai hak, baik secara perseorangan maupun tergabung dalam perserikatan, untuk mengusaha-kan, agar warta ilahi keselamatan dikenal dan diterima oleh semua orang di seluruh dunia; kewajiban itu semakin mendesak dalam keadaan-keadaan dimana Injil tidak dapat didengarkan dan Kristus tidak dapat dikenal orang selain lewat mereka.
§ 2. Mereka, setiap orang menurut kedudukan masing-masing, juga terikat kewajiban khusus untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat injili, dan dengan demikian khususnya dalam menangani masalah-masalah itu dan dalam memenuhi tugas-tugas keduniaan memberi kesaksian tentang Kristus.
Kan. 226 – § 1. Mereka yang hidup dalam status perkawinan, sesuai dengan panggilan khasnya, terikat kewajiban khusus untuk berusaha membangun umat Allah melalui perkawinan dan keluarga.
§ 2. Orangtua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban yang sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orangtua kristiani untuk mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak menurut ajaran yang diwariskan Gereja.
Kan. 227 – Kaum beriman kristiani awam mempunyai hak agar dalam perkara-perkara masyarakat dunia diakui kebebasannya, sama seperti yang merupakan hak semua warga masyarakat; tetapi dalam menggunakan kebebasan itu hendaknya mereka mengusahakan agar kegiatan-kegiatan mereka diresapi semangat injili, dan hendaknya mereka mengindahkan ajaran yang dikemukakan Magisterium Gereja; tetapi hendaknya mereka berhati-hati jangan sampai dalam soal-soal yang masih terbuka mengajukan pendapatnya sendiri sebagai ajaran Gereja.
Kan. 228 – § 1. Orang-orang awam yang diketahui cakap berke-mampuan untuk diangkat oleh Gembala suci untuk mengemban jabatan-jabatan dan tugas-tugas gerejawi, yang menurut ketentuan-ketentuan hukum dapat mereka emban.
§ 2. Orang-orang awam yang unggul dalam pengetahuan, kearifan dan integritas hidup, dapat berperan sebagai ahli-ahli atau penasihat, juga dalam dewan-dewan menurut norma hukum, untuk membantu para Gembala Gereja.
Kan. 229 – § 1. Orang-orang awam, agar mampu hidup menurut ajaran kristiani dan mewartakannya sendiri dan, jika perlu, dapat membelanya, lagi pula agar dapat menjalankan peranannya dalam merasul, terikat kewajiban dan mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan tentang ajaran itu, yang disesuaikan dengan kemampuan serta kedudukan masing-masing.
§ 2. Mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh pengetahuan yang lebih penuh dalam ilmu-ilmu suci yang diberikan di universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi atau lembaga-lembaga ilmu keagamaan, dengan mengikuti kuliah-kuliah dan meraih gelar-gelar akademis.
§ 3. Demikian pula, dengan menepati ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan mengenai kecakapan yang dituntut, mereka dapat menerima mandat untuk mengajar ilmu-ilmu suci dari otoritas legitim gerejawi.
Kan. 230 – § 1. Orang awam pria, yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi para Uskup, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgis yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas sustentasi atau imbalan yang harus disediakan oleh Gereja.
§ 2. Dengan penugasan sementara orang-orang awam dapat menu-naikan tugas lektor dalam kegiatan-kegiatan liturgis; demikian pula semua orang beriman dapat menunaikan tugas komentator, penyanyi atau tugas-tugas lain menurut norma hukum.
§ 3. Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pela-yan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.
Kan. 231 – § 1. Kaum awam, yang secara tetap atau untuk sementara diperbantukan untuk pengabdian khusus Gereja, terikat kewajiban untuk memperoleh pembinaan yang tepat yang dituntut untuk melakukan tugas secara semestinya, dan untuk menjalankan tugas itu dengan sadar, sungguh-sungguh dan rajin.
§ 2. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 230, § 1, mereka mempunyai hak atas imbalan yang wajar sesuai dengan keadaannya, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan pribadi serta keluarganya dengan layak, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum sipil; demikian pula mereka berhak, agar masa depan dan jaminan sosial serta bantuan kesehatan mereka diatur semestinya.

JUDUL III
PARA PELAYAN SUCI ATAU KLERIKUS

BAB I
PEMBINAAN KLERIKUS

Kan. 232 – Gereja mempunyai kewajiban dan juga hak yang bersifat miliknya sendiri dan eksklusif untuk membina mereka yang ditugaskan bagi pelayanan suci.
Kan. 233 – § 1. Tugas seluruh jemaat kristianilah untuk membina panggilan, agar kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan suci di seluruh Gereja terpenuhi dengan cukup; kewajiban ini terutama mengikat keluarga-keluarga kristiani, para pendidik dan, dengan alasan khusus, para imam, terutama para pastor paroki. Para Uskup diosesan yang paling berkepentingan untuk memajukan panggilan, hendaknya mengajar umat yang dipercayakan kepadanya tentang pentingnya pelayanan suci dan kebutuhan akan pelayan-pelayan dalam Gereja, dan hendaknya mereka membangkitkan serta mendukung usaha-usaha untuk membina panggilan, terutama dengan karya-karya yang diadakan untuk itu.
§ 2. Selain itu hendaknya para imam, tetapi terutama para Uskup diosesan, memperhatikan agar para pria yang sudah lebih matang dalam usia dan merasa dirinya dipanggil untuk pelayanan suci, dibantu secara arif dengan kata dan karya dan dipersiapkan sewajarnya.
Kan. 234 – § 1. Hendaknya dipelihara, kalau ada, dan juga dibina seminari-seminari menengah atau lembaga-lembaga sejenis, di mana diselenggarakan pendidikan keagamaan khusus bersama dengan pendi-dikan humaniora dan ilmiah demi pembinaan panggilan; bahkan, bilamana dinilai bermanfaat, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan didirikannya seminari menengah atau lembaga sejenis.
§ 2. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu keadaan menganjurkan lain, hendaknya orang-orang muda yang bermaksud menjadi imam dibekali pendidikan humaniora dan ilmiah agar di wilayah masing-masing orang-orang muda itu dipersiapkan untuk menjalani studi lanjut.
Kan. 235 – § 1. Orang-orang muda yang bermaksud menjadi imam hendaknya dididik di seminari tinggi untuk pembinaan rohani yang memadai dan untuk tugas-tugasnya sendiri selama seluruh waktu pendidikan, atau, bila menurut penilaian Uskup diosesan keadaan menuntutnya, sekurang-kurangnya selama empat tahun.
§ 2. Mereka yang secara legitim tinggal di luar seminari, hendak-nya oleh Uskup diosesan dipercayakan kepada seorang imam yang saleh dan cakap, untuk mengusahakan agar mereka dibina dengan seksama bagi hidup rohani dan kedisiplinan.
Kan. 236 – Para calon diakon-tetap, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konferensi para Uskup, hendaknya dibina untuk memupuk hidup rohaninya dan dididik untuk menjalankan tugas-tugas khas tahbisannya dengan baik:
10 orang-orang muda, sekurang-kurangnya selama tiga tahun, tinggal dalam suatu rumah khusus, kecuali karena alasan-alasan berat Uskup diosesan menentukan lain;
20 pria yang sudah lebih matang dalam usia, baik yang selibater maupun yang beristri, melalui program pendidikan selama tiga tahun yang ditentukan oleh Konferensi para Uskup tersebut.
Kan. 237 – § 1. Kalau mungkin dan bermanfaat, di setiap keus-kupan hendaknya ada seminari tinggi; kalau tidak, hendaknya para mahasiswa yang mempersiapkan diri untuk pelayanan-pelayanan suci, dipercayakan kepada seminari lain atau didirikan seminari inter-diosesan.
§ 2. Janganlah didirikan suatu seminari interdiosesan sebelum diperoleh aprobasi dari Takhta Apostolik, baik mengenai hal mendiri-kan seminari itu sendiri maupun mengenai statutanya; dan juga dari Konferensi para Uskup, bila mengenai seminari untuk seluruh wilayah Konferensi para Uskup itu; kalau tidak, dari para Uskup yang ber-kepentingan.
Kan. 238 – § 1. Seminari-seminari yang didirikan secara legitim, menurut hukum sendiri mempunyai status badan hukum dalam Gereja.
§ 2. Rektor mewakili badan hukum seminari dalam semua urusan, kecuali otoritas yang berwenang menentukan lain untuk perkara-perkara tertentu.
Kan. 239 – § 1. Di setiap seminari hendaknya ada rektor yang mengepalainya, wakil rektor bila diperlukan, ekonom; dan jika para seminaris belajar di seminari itu sendiri, hendaknya ada juga pengajar-pengajar untuk memberikan pelbagai mata pelajaran yang terkoordinasi secara tepat.
§ 2. Di setiap seminari hendaknya sekurang-kurangnya ada seorang direktor spiritual, tetapi para seminaris tetap mempunyai kebebasan untuk menghadap imam-imam lain yang ditugaskan oleh Uskup untuk itu.
§ 3. Dalam statuta seminari hendaknya ditentukan cara-cara bagaimana para pembina lainnya, pengajar-pengajar, bahkan juga para seminaris sendiri, mengambil bagian dalam tanggungjawab rektor, terutama dalam memelihara kedisiplinan.
Kan. 240 – § 1. Selain bapa pengakuan tetap, hendaknya juga ada beberapa bapa pengakuan lain yang secara teratur datang ke seminari dan, dengan tetap berlaku tata-tertib seminari, para seminaris selalu boleh mengunjungi setiap bapa pengakuan, baik di seminari maupun di luar seminari.
§ 2. Dalam pengambilan keputusan mengenai para seminaris sehu-bungan dengan penerimaan tahbisan atau dalam hal mengeluarkan mereka dari seminari, tidak pernah dapat diminta pendapat direktor spiritual dan bapa pengakuan.
Kan. 241 – § 1. Hanya mereka yang dianggap mampu untuk membaktikan diri bagi pelayanan suci untuk selamanya, dengan memperhatikan bakat-bakat manusiawi dan moral, spiritual dan intelektual, kesehatan fisik dan psikis, dan juga kehendak yang benar, boleh diterima di seminari tinggi oleh Uskup diosesan.
§ 2. Sebelum diterima, mereka harus menunjukkan dokumen-dokumen tentang baptis dan penguatan yang telah diterima, dan lain-lain yang dituntut menurut ketentuan-ketentuan Pedoman Pembinaan Calon Imam.
§ 3. Dalam hal penerimaan mereka yang telah dikeluarkan dari seminari lain atau tarekat religius, selain itu juga dituntut surat keterangan dari pemimpin yang bersangkutan terutama mengenai alasan dikeluarkannya atau kepergian mereka.
Kan. 242 – § 1. Setiap bangsa hendaknya mempunyai Pedoman Pembinaan Calon Imam yang harus ditetapkan Konferensi para Uskup, dengan memperhatikan norma-norma yang telah dikeluarkan otoritas tertinggi Gereja, dan yang harus mendapat aprobasi dari Takhta Suci, dan harus disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru, juga dengan aprobasi Takhta Suci; dengan Pedoman itu hendaknya dirumuskan asas-asas pokok serta norma-norma umum pendidikan yang harus diberikan di seminari yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pastoral masing-masing wilayah atau provinsi.
§ 2. Norma-norma Pedoman yang disebutkan dalam § 1 hendak-nya ditaati di semua seminari, baik diosesan maupun interdiosesan.
Kan. 243 – Selain itu setiap seminari hendaknya mempunyai peraturan masing-masing yang disetujui oleh Uskup diosesan atau, jika mengenai seminari interdiosesan, oleh para Uskup yang bersangkutan; dengan peraturan itu norma-norma Pedoman Pembinaan Calon Imam hendaknya disesuaikan dengan keadaan-keadaan khusus dan terutama pokok-pokok kedisiplinan yang menyangkut hidup sehari-hari para seminaris dan aturan seluruh seminari dijabarkan lebih rinci.
Kan. 244 – Pembinaan rohani dan pengajaran ilmu bagi para mahasiswa di seminari hendaknya dikoordinasi secara terpadu, dan diarahkan dengan tujuan agar mereka, sesuai dengan ciri masing-masing dan kematangan manusiawi yang semestinya, dapat menghayati semangat Injil serta hubungan erat dengan Kristus.
Kan. 245 – § 1. Hendaknya dengan pembinaan rohani para mahasiswa menjadi cakap untuk menjalankan pelayanan pastoral secara berhasil dan dididik dalam semangat misioner, dengan belajar bahwa pelayanan yang dijalankan dalam iman yang hidup dan cintakasih selalu memajukan kesuciannya sendiri; demikian pula hendaknya mereka belajar mengolah keutamaan-keutamaan yang dalam hidup bersama menjadi makin berharga, sedemikian sehingga mereka mampu memadukan dengan tepat nilai-nilai manusiawi dan adikodrati.
§ 2. Para mahasiswa hendaknya dibina sedemikian sehingga mereka diresapi cinta akan Gereja Kristus, merasa terikat pada Paus pengganti Petrus dengan kerendahan hati dan kasih keputeraan, bersatu dengan Uskup masing-masing sebagai rekan kerja yang setia, dan bekerjasama sebagai rekan dengan saudara-saudara; lewat hidup bersama di seminari dan ikatan persahabatan serta hubungan dengan orang-orang lain, mereka dipersiapkan untuk kesatuan persaudaraan dengan presbiterium keuskupan yang akan merupakan rekan-rekan dalam mengabdi Gereja.
Kan. 246 – § 1. Perayaan Ekaristi hendaknya menjadi pusat seluruh hidup seminari, sedemikian sehingga setiap hari para seminaris, dengan mengambil bagian dalam kasih Kristus, menimba kekuatan jiwa untuk karya kerasulan dan hidup rohaninya terutama dari sumber melimpah itu.
§ 2. Hendaknya mereka dibina untuk merayakan ibadat harian; dengan itu para pelayan Allah atas nama Gereja berdoa kepada Allah untuk seluruh umat yang dipercayakan kepadanya, bahkan untuk seluruh dunia.
§ 3. Hendaknya dibina devosi kepada Santa Perawan Maria juga dengan rosario, demikian pula doa batin dan latihan-latihan kesalehan lainnya, agar para seminaris memperoleh semangat doa dan mendapat-kan kekuatan bagi panggilannya.
§ 4. Hendaknya para seminaris membiasakan diri sering menerima sakramen tobat, dan dianjurkan agar masing-masing mempunyai pembimbing hidup rohani yang dipilihnya dengan bebas untuk dapat membuka hatinuraninya penuh kepercayaan.
§ 5. Setiap tahun para seminaris hendaknya mengikuti retret.
Kan. 247 – § 1. Hendaknya mereka dipersiapkan dengan pendi-dikan yang sesuai untuk menghayati status hidup selibat, dan belajar menghargainya sebagai anugerah istimewa dari Allah.
§ 2. Para seminaris hendaknya diberi informasi semestinya menge-nai kewajiban-kewajiban dan beban-beban yang khas bagi para pelayan suci Gereja, tanpa menyembunyikan satu pun kesukaran hidup imamat.
Kan. 248 – Pendidikan doktrinal yang harus diberikan bertujuan agar para mahasiswa mendapat, bersama dengan budaya umum yang selaras dengan tuntutan tempat dan waktu, ajaran yang menyeluruh dan solid dalam ilmu-ilmu suci, sedemikian sehingga mereka dengan imannya sendiri yang didasari dan dipupuk ajaran itu, mampu mewartakan ajaran Injil secara tepat kepada orang-orang zamannya, dengan cara yang disesuaikan dengan sifat mereka.
Kan. 249 – Dalam Pedoman Pembinaan Calon Imam hendaknya diatur agar para mahasiswa tidak hanya diajar bahasa tanahairnya dengan seksama, melainkan juga mengerti dengan baik bahasa latin dan juga memperoleh pengetahuan sewajarnya bahasa-bahasa lain, yang dianggap perlu atau bermanfaat untuk pembinaan mereka atau untuk menjalankan pelayanan pastoral.
Kan. 250 – Studi filsafat dan teologi, yang diatur di seminari sendiri, dapat dilaksanakan berturut-turut atau bersamaan menurut Pedoman Pembinaan Calon Imam; lama studi hendaknya meliputi sekurang-kurangnya enam tahun penuh, tetapi sedemikian sehingga waktu untuk studi filsafat mencakup dua tahun penuh, sedangkan studi teologi empat tahun penuh.
Kan. 251 – Pendidikan filsafat, yang harus berdasarkan warisan filsafat yang tetap berlaku dan memperhatikan pula penelitian filsafat zaman yang terus maju, hendaknya diberikan sedemikian sehingga menyempurnakan pembinaan kemanusiaan para mahasiswa, mengem-bangkan ketazaman akalbudi dan membuat mereka lebih mampu untuk studi teologi.
Kan. 252 – § 1. Pendidikan teologi, dalam cahaya iman, dibawah tuntunan Magisterium, hendaknya diberikan sedemikian sehingga para mahasiswa mengenal ajaran katolik utuh yang berdasarkan wahyu ilahi, memupuk hidup rohaninya sendiri, dan mampu mewartakan serta melindunginya dengan baik dalam menjalankan pelayanan.
§ 2. Para mahasiswa hendaknya diberi pelajaran Kitab Suci dengan sangat seksama, agar mereka mendapat gambaran mengenai seluruh Kitab Suci.
§ 3. Hendaknya diberikan kuliah-kuliah teologi dogmatik yang selalu berdasarkan sabda Allah yang tertulis bersama dengan Tradisi suci; hendaknya para mahasiswa dengan pertolongan itu belajar menyelami lebih mendalam misteri-misteri keselamatan, dengan berguru khususnya pada Santo Thomas; demikian pula hendaknya ada kuliah-kuliah teologi moral dan pastoral, hukum kanonik, liturgi, sejarah Gereja, dan matakuliah-matakuliah lainnya, baik pelengkap maupun khusus, menurut norma ketentuan-ketentuan Pedoman Pembinaan Calon Imam.
Kan. 253 – § 1. Untuk tugas mengajar matakuliah-matakuliah filsafat, teologi dan hukum, hendaknya Uskup atau para Uskup yang berkepentingan mengangkat hanya mereka yang unggul dalam keutamaan-keutamaan dan telah memperoleh gelar doktor atau lisensiat di universitas atau fakultas yang diakui Takhta Suci.
§ 2. Hendaknya diusahakan agar diangkat pengajar-pengajar khusus, masing-masing untuk mengajar Kitab Suci, teologi dogmatik, teologi moral, liturgi, filsafat, hukum kanonik, sejarah Gereja dan matakuliah-matakuliah lainnya yang harus diberikan menurut metode-nya sendiri-sendiri.
§ 3. Pengajar yang sangat lalai melaksanakan tugasnya hendaknya diberhentikan oleh otoritas yang disebut dalam § 1.
Kan. 254 – § 1. Dalam memberikan kuliah-kuliah para pengajar hendaknya senantiasa memperhatikan kesatuan erat dan keserasian seluruh ajaran iman, agar para mahasiswa mengalami bahwa mereka mempelajari satu ilmu; agar hal itu dapat tercapai dengan lebih mudah, maka di seminari hendaknya ada seorang yang mengatur tatanan studi yang utuh.
§ 2. Para mahasiswa hendaknya dididik sedemikian sehingga mereka mampu mempelajari sendiri masalah-masalah secara ilmiah dengan penelitian-penelitian yang sesuai; maka dari itu hendaknya diadakan latihan-latihan, agar dengan itu para mahasiswa dibawah bimbingan para pengajar belajar dengan usaha sendiri melakukan beberapa studi.
Kan. 255 – Meskipun seluruh pembinaan para mahasiswa di seminari mempunyai tujuan pastoral, pendidikan pastoral dalam arti sempit hendaknya diarahkan agar para mahasiswa mempelajari prinsip-prinsip serta keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan pelayanan mengajar, menguduskan dan memimpin umat Allah, dengan memperhatikan tuntutan tempat dan waktu.
Kan. 256 – § 1. Para mahasiswa hendaknya diberi pelajaran dengan teliti dalam hal-hal yang secara khusus berhubungan dengan pelayanan suci terutama dalam keterampilan kateketik dan homiletik, dalam merayakan ibadat ilahi dan khususnya sakramen-sakramen, dalam bergaul dengan sesama manusia, juga orang-orang tidak katolik atau tidak beriman, dalam menyelenggarakan administrasi paroki dan tugas-tugas lain.
§ 2. Para mahasiswa hendaknya diajar tentang kebutuhan-kebutuhan seluruh Gereja sedemikian sehingga mereka dengan penuh minat terlibat dalam memajukan panggilan, dalam masalah-masalah misi, ekumenis dan masalah-masalah lain yang lebih mendesak, termasuk juga masalah-masalah sosial.
Kan. 257 – § 1. Pendidikan para mahasiswa hendaknya dilaksana-kan sedemikian sehingga mereka menaruh keprihatinan tidak hanya terhadap Gereja partikular, tempat mereka diinkardinasi untuk mengabdi, melainkan juga terhadap Gereja universal, dan agar mereka menunjukkan kesediaan untuk mengabdi kepada Gereja-gereja parti-kular, di mana ada kebutuhan yang sangat mendesak.
§ 2. Uskup diosesan hendaknya mengusahakan agar klerikus yang bermaksud pindah dari Gereja partikularnya sendiri ke Gereja parti-kular daerah lain, dipersiapkan dengan tepat untuk menjalankan pelayanan rohani di tempat tersebut, misalnya untuk mempelajari bahasa daerah dan tradisi, keadaan sosial, dan untuk memahami kebiasaan-kebiasaannya.
Kan. 258 – Agar para mahasiswa memiliki keterampilan dalam melaksanakan karya kerasulan nanti, maka selama masa perkuliahan berlangsung, tetapi terutama di masa liburan, mereka hendaknya diantar ke dalam praktek pastoral, selalu dibawah bimbingan seorang imam yang berpengalaman, dengan latihan-latihan yang tepat, disesuaikan dengan umur para mahasiswa dan keadaan tempat; latihan-latihan itu harus ditentukan menurut penilaian Ordinaris.
Kan. 259 – § 1. Uskup diosesan atau, jika mengenai seminari inter-diosesan, para Uskup yang berkepentingan, berwenang menentukan hal-hal yang menyangkut kepemimpinan tersebut dan administrasi seminari.
§ 2. Uskup diosesan atau, jika mengenai seminari interdiosesan, para Uskup yang berkepentingan, hendaknya seringkali mengunjungi sendiri seminari, mengawasi pembinaan para mahasiswa dan juga pengajaran filsafat dan teologi yang diberikan di situ, dan berusaha mengetahui panggilan, watak, kesalehan dan kemajuan para maha-siswa, terutama mengingat tahbisan-tahbisan yang akan diberikan.
Kan. 260 – Dalam menjalankan tugas masing-masing, semua harus menaati rektor yang bertugas memimpin seminari sehari-hari, menurut norma Pedoman Pembinaan Calon Imam.
Kan. 261 – § 1. Rektor seminari dan juga, dibawah otoritasnya, para pembina dan pengajar sesuai dengan fungsi masing-masing hendaknya mengusahakan agar para mahasiswa menaati dengan seksama Pedoman Pembinaan Calon Imam dan peraturan seminari.
§ 2. Rektor seminari dan pembina studi hendaknya dengan seksama mengatur agar para pengajar menjalankan tugas masing-masing dengan baik, menurut ketentuan-ketentuan Pedoman Pembinaan Calon Imam dan peraturan seminari.
Kan. 262 – Seminari hendaknya exempt (dikecualikan dari) kepemimpinan paroki: dan bagi semua yang berada di seminari, tugas Pastor Paroki diemban rektor seminari atau orang yang ditugaskannya, kecuali dalam hal perkawinan dan tetap berlaku ketentuan kan. 985.
Kan. 263 – Uskup diosesan atau, jika mengenai seminari inter-diosesan, para Uskup yang berkepentingan, harus mengusahakan agar tersedia apa yang perlu untuk pendirian dan pemeliharaan seminari, penghidupan para mahasiswa, balas-karya para pengajar dan kebutuhan-kebutuhan seminari lainnya, sesuai dengan bagian yang telah mereka tentukan dalam perundingan bersama.
Kan. 264 – § 1. Agar tersedia apa yang perlu untuk kebutuhan-kebutuhan seminari, disamping derma yang disebut dalam kan. 1266, Uskup dapat menetapkan iuran wajib (tributum) di keuskupan.
§ 2. Semua badan hukum gerejawi terkena iuran wajib untuk seminari, termasuk juga yang privat yang ada di keuskupan, kecuali jika mereka hidup hanya dari sedekah atau di asrama mereka sendiri terdapat mahasiswa atau guru yang memajukan kesejahteraan umum Gereja; iuran wajib semacam itu harus umum, seimbang dengan penghasilan mereka yang terkena iuran wajib, dan ditentukan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan seminari.

BAB II
KEANGGOTAAN ATAU INKARDINASI PARA KLERIKUS

Kan. 265 – Setiap klerikus harus diinkardinasi pada suatu Gereja partikular atau Prelatur personal, atau suatu tarekat hidup-bakti atau suatu serikat yang mempunyai wewenang itu sedemikian sehingga sama sekali tidak diperkenankan adanya klerikus tanpa kepala atau klerikus pengembara (clericus vagus).
Kan. 266 – § 1. Dengan penerimaan tahbisan diakon seseorang menjadi klerikus dan diinkardinasi pada Gereja partikular atau Prelatur personal, yang harus dilayaninya sesuai dengan pengangkatannya.
§ 2. Anggota tarekat religius yang telah mengikrarkan kaul-kaul kekal atau yang tergabung secara definitif pada serikat klerikal hidup kerasulan, dengan penerimaan tahbisan diakon diinkardinasi sebagai klerikus pada tarekat atau serikat itu, kecuali mengenai serikat yang konstitusinya menentukan lain.
§ 3. Anggota tarekat sekular yang menerima tahbisan diakon diinkardinasi pada Gereja partikular, yang harus dilayaninya sesuai dengan pengangkatannya, kecuali berdasarkan kemurahan Takhta Apostolik ia diinkardinasi pada tarekat itu sendiri.
Kan. 267 – § 1. Agar seorang klerikus yang telah berinkardinasi dapat diinkardinasi secara sah pada Gereja partikular lain, haruslah memperoleh surat ekskardinasi yang ditandatangani oleh Uskup diosesannya; demikian pula ia harus memperoleh surat inkardinasi yang ditandatangani Uskup diosesan Gereja partikular tempat ia ingin diinkardinasi.
§ 2. Ekskardinasi yang diberikan dengan cara itu baru berlaku jika diperoleh inkardinasi di Gereja partikular lain.
Kan. 268 – § 1. Klerikus yang secara legitim telah pindah dari Gereja partikularnya sendiri ke Gereja partikular lain, setelah lewat lima tahun, menurut hukum sendiri diinkardinasi pada Gereja partikular itu, jika ia menunjukkan kehendak demikian secara tertulis baik kepada Uskup diosesan Gereja yang menerimanya sebagai tamu maupun kepada Uskup diosesannya sendiri; dan tak seorang pun dari keduanya dalam jangka waktu empat bulan setelah diterimanya surat itu menyatakan secara tertulis kehendaknya yang berlawanan.
§ 2. Dengan penerimaan kekal atau definitif dalam tarekat hidup-bakti atau serikat hidup kerasulan, seorang klerikus yang menurut norma kan. 266, § 2 terinkardinasi pada tarekat atau serikat itu, diekskardinasi dari Gereja partikularnya sendiri.
Kan. 269 – Janganlah Uskup diosesan menginkardinasi seorang klerikus kecuali:
10 kebutuhan atau manfaat bagi Gereja partikularnya mendesak hal itu, dan dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum mengenai penghidupan yang layak bagi para klerikus;
20 baginya nyata dari dokumen yang legitim adanya ekskardinasi, dan selain itu telah memperoleh dari Uskup diosesan yang memberikan ekskardinasi, surat keterangan yang sewajarnya mengenai hidup, moral dan studi klerikus itu, bila perlu secara rahasia;
30 klerikus itu menyatakan secara tertulis kepada Uskup diosesan itu bahwa ia mau diabdikan kepada Gereja partikular yang baru menurut norma hukum.
Kan. 270 – Ekskardinasi hanya dapat diberikan secara licit karena alasan-alasan yang wajar, seperti manfaat bagi Gereja atau kesejah-teraan klerikus itu sendiri; tetapi ekskardinasi tidak dapat ditolak kecuali ada alasan-alasan yang berat; namun seorang klerikus yang merasa berkeberatan dan menemukan Uskup yang mau menerimanya, boleh membuat rekursus melawan keputusan itu.
Kan. 271 – § 1. Kecuali dalam kasus bahwa sungguh dibutuhkan oleh Gereja partikularnya sendiri, Uskup diosesan janganlah menolak memberi izin pindah kepada klerikus yang diketahuinya bersedia dan dinilai cocok untuk pergi ke daerah-daerah yang sangat kekurangan klerikus, dan siap menjalankan pelayanan suci di sana, namun hendaknya diusahakan agar hak-hak dan kewajiban para klerikus itu ditegaskan dengan perjanjian tertulis dengan Uskup diosesan dari wilayah yang dituju.
§ 2. Uskup diosesan dapat memberikan kepada klerikusnya izin untuk pindah ke Gereja partikular lain untuk waktu yang ditetapkan lebih dulu, juga untuk diperbarui berkali-kali, tetapi sedemikian sehingga klerikus itu tetap berinkardinasi pada Gereja partikularnya sendiri, dan bila mereka kembali ke situ, menikmati semua hak yang sedianya mereka peroleh seandainya mereka membaktikan diri untuk pelayanan rohani di situ.
§ 3. Seorang klerikus yang secara legitim telah pindah ke Gereja partikular lain tetapi tetap berinkardinasi pada Gereja partikularnya sendiri, dapat dipanggil kembali oleh Uskup diosesannya karena alasan yang wajar, asal saja ditaati perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan Uskup lain itu dan diindahkan kewajaran kodrati; demikian pula, dengan syarat-syarat yang sama, Uskup diosesan Gereja partikular lain itu, karena alasan yang wajar, dapat menolak memberikan izin kepada seorang klerikus untuk tinggal lebih lama di wilayahnya.
Kan. 272 – Ekskardinasi dan inkardinasi, demikian pula izin untuk pindah ke Gereja partikular lain, tidak dapat diberikan oleh Administrator diosesan kecuali setahun setelah lowongnya Takhta keuskupan dan dengan persetujuan kolegium konsultor.

BAB III
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DAN HAK-HAK KLERIKUS

Kan. 273 – Klerikus terikat kewajiban khusus untuk menyatakan hormat dan ketaatan kepada Paus dan Ordinaris masing-masing.
Kan. 274 – § 1. Hanya klerikus dapat memperoleh jabatan-jabatan yang pelaksanaannya menuntut kuasa tahbisan atau kuasa kepemim-pinan gerejawi.
§ 2. Para klerikus terikat kewajiban untuk menerima dan melak-sanakan dengan setia tugas yang dipercayakan Ordinaris kepada mereka, kecuali dibebaskan oleh halangan yang legitim.
Kan. 275 – § 1. Para klerikus, karena semua bekerja terpadu untuk suatu karya yang satu dan sama, yakni membangun Tubuh Kristus, hendaknya disatukan antar mereka dengan ikatan persaudaraan dan doa, dan mengusahakan kerjasama antar mereka menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular.
§ 2. Hendaknya para klerikus mengakui dan memajukan misi yang dilaksanakan kaum awam dalam Gereja dan dunia menurut peranannya masing-masing.
Kan. 276 – § 1. Dalam hidupnya para klerikus terikat untuk mengejar kesucian dengan alasan khusus, yakni karena mereka telah dibaktikan kepada Allah dengan dasar baru dalam penerimaan tahbisan menjadi pembagi misteri-misteri Allah dalam mengabdi umat-Nya.
§ 2. Agar mereka mampu mengejar kesempurnaan ini:
10 hendaknya pertama-tama mereka menjalankan tugas-tugas pelayanan pastoral dengan setia dan tanpa kenal lelah;
20 hendaknya mereka memupuk hidup rohani dengan santapan ganda yakni Kitab Suci dan Ekaristi; oleh karena itu, para imam dengan sangat dihimbau untuk mempersembahkan Kurban Ekaristi setiap hari, sedangkan para diakon untuk mengambil bagian dalam kurban itu setiap hari;
30 para imam dan juga para diakon calon imam terikat kewajiban untuk menunaikan ibadat harian setiap hari menurut buku-buku liturgi yang disahkan; tetapi para diakon-tetap hendaknya mendoakan bagian-bagian yang ditentukan oleh Konferensi para Uskup;
40 demikian pula mereka wajib meluangkan waktu untuk latihan rohani, menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular;
50 mereka dihimbau untuk melakukan doa batin secara teratur, sering menerima sakramen tobat, berbakti kepada Perawan Bunda Allah dengan penghormatan khusus, dan memanfaatkan sarana-sarana pengudusan yang umum dan khusus lain.
Kan. 277 – § 1. Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan selamanya demi Kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan suci dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pelayanan kepada Allah dan kepada manusia.
§ 2. Para klerikus hendaknya dengan cukup hati-hati bergaul dengan orang-orang tertentu, jika pergaulan dengan mereka dapat membahayakan kewajibannya untuk memelihara tarak atau dapat menimbulkan batu sandungan bagi kaum beriman.
§ 3. Uskup diosesan berwenang menetapkan norma-norma yang lebih rinci dalam hal itu dan untuk mengambil keputusan mengenai ditaatinya kewajiban itu dalam kasus-kasus khusus.
Kan. 278 – § 1. Para klerikus sekulir mempunyai hak untuk meng-gabungkan diri dalam perserikatan dengan yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan yang selaras dengan status klerikal.
§ 2. Hendaknya para klerikus sekulir menghargai terutama perse-rikatan-perserikatan yang statutanya disetujui oleh otoritas yang berwenang, dengan pengaturan hidup yang tepat dan memadai dan saling membantu sebagai saudara, memupuk kesuciannya dalam melaksanakan pelayanan, dan membina persatuan antar mereka dan dengan Uskup masing-masing.
§ 3. Para klerikus janganlah mendirikan atau mengambil bagian dalam perserikatan-perserikatan yang tujuan atau kegiatannya tak dapat diselaraskan dengan kewajiban-kewajiban khas status klerikal, atau dapat menghambat pelaksanaan seksama tugas yang dipercayakan otoritas Gereja yang berwenang kepada mereka.
Kan. 279 – § 1. Para klerikus, juga setelah menerima tahbisan imam, hendaknya melanjutkan studi ilmu-ilmu suci dan mengikuti ajaran solid yang berdasarkan Kitab Suci diwariskan para Pendahulu dan diakui oleh Gereja sebagai ajaran yang diterima umum, seperti yang ditetapkan dalam dokumen-dokumen terutama Konsili-konsili dan para Paus, sambil menghindari kebaruan-kebaruan ungkapan yang profan dan ilmu palsu.
§ 2. Para imam, menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular, hendaknya mengikuti kuliah-kuliah pastoral yang diadakan sesudah tahbisan imamat; dan pada waktu-waktu yang ditetapkan oleh hukum yang sama, hendaknya mereka juga mengikuti kuliah-kuliah lain, pertemuan-pertemuan teologis atau konferensi-konferensi, agar mereka mendapatkan kesempatan untuk lebih mengenal ilmu-ilmu suci dan metode-metode pastoral.
§ 3. Hendaknya mereka juga mempelajari ilmu-ilmu lain, lebih-lebih yang berkaitan dengan ilmu-ilmu suci, terutama sejauh itu membantu pelaksanaan pelayanan pastoral.
Kan. 280 – Sangat dianjurkan kepada para klerikus kebiasaan hidup bersama; bila itu ada, hendaknya dipertahankan sejauh mungkin.
Kan. 281 – § 1. Para klerikus, karena membaktikan diri bagi pelayanan gerejawi, pantas menerima remunerasi yang sesuai dengan kedudukannya, dengan memperhitungkan hakikat tugasnya itu, maupun keadaan tempat dan waktu, agar dengan itu mereka dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya sendiri dan memberi imbalan yang wajar kepada mereka yang pelayanannya mereka butuhkan.
§ 2. Demikian pula harus diusahakan agar mereka mempunyai bantuan sosial untuk memenuhi dengan wajar kebutuhan-kebutuhan mereka bila menderita sakit, invalid atau lanjut usia.
§ 3. Para diakon beristri, yang membaktikan diri sepenuhnya bagi pelayanan gerejawi, pantas menerima remunerasi untuk dapat meng-hidupi diri sendiri dan keluarganya; tetapi mereka yang menerima remunerasi, karena jabatan sipil yang mereka miliki atau pernah mereka miliki, hendaknya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri serta keluarganya dari penghasilan itu.
Kan. 282 – § 1. Para klerikus hendaknya hidup sederhana dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang memberi kesan kesia-siaan.
§ 2. Harta benda, yang mereka terima pada kesempatan melak-sanakan jabatan gerejawi, setelah dikurangi untuk penghidupan yang layak dan untuk memenuhi semua tugas jabatannya, sisanya hendaklah digunakan untuk kepentingan Gereja dan karya amal.
Kan. 283 – § 1. Para klerikus, meskipun tidak mempunyai tugas residensial, janganlah pergi dari keuskupannya untuk jangka waktu yang signifikan, yang harus ditentukan oleh hukum partikular, tanpa izin yang sekurang-kurangnya diandaikan dari Ordinarisnya sendiri.
§ 2. Mereka berhak mendapat liburan tahunan yang wajar dan memadai, yang ditentukan hukum universal atau partikular.
Kan. 284 – Para klerikus hendaknya mengenakan pakaian gerejawi yang pantas, menurut norma-norma yang dikeluarkan Konferensi para Uskup dan kebiasaan setempat yang legitim.
Kan. 285 – § 1. Para klerikus hendaknya menjauhi segala sesuatu yang tidak sesuai dengan statusnya, menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular.
§ 2. Hendaknya para klerikus menghindari hal-hal yang meskipun tidak tercela, namun asing bagi status klerikal.
§ 3. Para klerikus dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang membawa-serta partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil.
§ 4. Tanpa izin Ordinarisnya, janganlah mereka mengelola harta benda urusan kaum awam atau menerima jabatan-jabatan sekular yang membawa-serta beban untuk mempertanggungjawabkannya; mereka dilarang menanggung jaminan, meskipun dengan hartanya sendiri, tanpa konsultasi dengan Ordinarisnya sendiri; demikian pula janganlah mereka menandatangani surat utang yang menimbulkan kewajiban melunasinya, tanpa dirumuskan perkaranya.
Kan. 286 – Para klerikus dilarang berbisnis atau berdagang, dilakukan sendiri atau lewat orang lain, untuk keuntungan baik diri sendiri maupun orang lain, kecuali dengan izin otoritas gerejawi yang legitim.
Kan. 287 – § 1. Para klerikus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia.
§ 2. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.
Kan. 288 – Para diakon-tetap tidak terikat ketentuan-ketentuan kanon-kanon 284, 285, §§ 3 dan 4, 286, 287, § 2, kecuali hukum partikular menentukan lain.
Kan. 289 – § 1. Karena dinas militer kurang sesuai dengan status klerikal, janganlah para klerikus dan juga para calon tahbisan suci dengan sukarela masuk dinas militer tanpa izin Ordinarisnya.
§ 2. Para klerikus hendaknya mempergunakan pengecualian-pengecualian yang diberikan undang-undang atau perjanjian-perjanjian atau kebiasaan yang menguntungkan mereka, untuk bebas dari tugas-tugas dan jabatan-jabatan sipil publik yang asing bagi status klerikal, kecuali dalam kasus-kasus khusus Ordinarisnya sendiri memutuskan lain.

BAB IV
HILANGNYA STATUS KLERIKAL

Kan. 290 – Tahbisan suci, sekali diterima dengan sah, tak pernah menjadi tidak-sah. Tetapi seorang klerikus kehilangan status klerikal:
10 dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang me-nyatakan tidak-sahnya tahbisan suci;
20 oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim;
30 oleh reskrip Takhta Apostolik; tetapi reskrip itu diberikan oleh Takhta Apostolik bagi para diakon hanya karena alasan-alasan yang berat dan bagi para imam hanya karena alasan-alasan yang sangat berat.
Kan. 291 – Selain yang disebut dalam kan. 290, 10, hilangnya status klerikal tidak membawa-serta dispensasi dari kewajiban selibat, yang diberikan hanya oleh Paus.
Kan. 292 – Seorang klerikus, yang kehilangan status klerikal menurut norma hukum, kehilangan hak-hak khas status klerikal dan tidak lagi terikat oleh kewajiban-kewajiban status klerikal, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291; ia dilarang melaksanakan kuasa tahbisan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 976; dengan sendirinya ia kehi-langan semua jabatan, tugas dan kuasa apapun yang didelegasikan.
Kan. 293 – Seorang klerikus yang kehilangan status klerikal, tidak dapat diterima kembali di antara para klerikus kecuali oleh reskrip Takhta Apostolik.

JUDUL IV
PRELATUR PERSONAL

Kan. 294 – Demi pemerataan pembagian para imam atau demi pelaksanaan karya-karya pastoral atau misioner khusus bagi pelbagai daerah atau aneka kelompok sosial, oleh Takhta Apostolik setelah mendengarkan pendapat Konferensi-konferensi para Uskup yang bersangkutan dapat didirikan prelatur-prelatur personal yang terdiri dari imam-imam dan diakon-diakon klerus sekulir.
Kan. 295 – § 1. Prelatur personal diatur dengan statuta yang dite-tapkan Takhta Apostolik dan dikepalai oleh seorang Prelat sebagai Ordinarisnya sendiri, yang berhak mendirikan seminari nasional atau internasional dan juga menginkardinasi mahasiswa-mahasiswa dan dengan dasar pengabdian kepada prelatur menahbiskan mereka.
§ 2. Prelat harus mengusahakan baik pendidikan rohani mereka yang diangkatnya dengan dasar tersebut di atas, maupun mengusahakan penghidupan layak bagi mereka.
Kan. 296 – Dengan perjanjian-perjanjian yang diadakan dengan prelatur, kaum awam dapat membaktikan diri bagi karya-karya kerasulan prelatur; adapun cara kerjasama organis itu dan kewajiban-kewajiban serta hak-hak utama yang berkaitan dengan itu hendaknya ditentukan dengan tepat dalam statuta.
Kan. 297 – Demikian pula statuta hendaknya merumuskan hu-bungan prelatur dengan para Ordinaris wilayah Gereja-gereja partikular di mana prelatur melaksanakan atau ingin melaksanakan karya-karya pastoral atau misionernya, dengan mendapat persetujuan lebih dulu dari Uskup diosesan.

JUDUL V
PERSERIKATAN KAUM BERIMAN KRISTIANI

BAB I
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 298 – § 1. Dalam Gereja hendaknya ada perserikatan-perserikatan yang berbeda dengan tarekat-tarekat hidup-bakti dan serikat-serikat hidup kerasulan, dimana orang-orang beriman kristiani baik klerikus maupun awam atau klerikus dan awam bersama-sama, dengan upaya bersama mengusahakan pembinaan hidup yang lebih sempurna, atau untuk memajukan ibadat publik atau ajaran kristiani, atau melaksanakan karya-karya kerasulan lain, yakni karya evange-lisasi, karya kesalehan atau amal dan untuk menjiwai tata dunia dengan semangat kristiani.
§ 2. Orang-orang beriman kristiani hendaknya menggabungkan diri terutama pada perserikatan-perserikatan yang didirikan, dipuji atau dianjurkan otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 299 – § 1. Kaum beriman kristiani berhak sepenuhnya untuk mendirikan perserikatan-perserikatan, dengan perjanjian privat antar mereka sendiri, untuk mengejar tujuan-tujuan yang disebut dalam kan. 298, §1, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 301, §1.
§ 2. Perserikatan-perserikatan semacam itu, meskipun dipuji atau dianjurkan oleh otoritas gerejawi, disebut perserikatan-perserikatan privat.
§ 3. Tidak satu pun perserikatan privat kaum beriman kristiani dalam Gereja diakui, kecuali statutanya diselidiki oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 300 – Tak satu pun perserikatan boleh memakai nama “katolik” tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang, menurut norma kan. 312.
Kan. 301 – § 1. Hanyalah otoritas gerejawi yang berwenang berhak mendirikan perserikatan kaum beriman kristiani yang bertujuan menyampaikan ajaran kristiani atas nama Gereja atau memajukan ibadat publik, atau mengejar tujuan-tujuan lain, yang penyelenggaraannya menurut hakikatnya direservasi pada otoritas gerejawi itu.
§ 2. Otoritas gerejawi yang berwenang, bila menilainya bermanfaat, dapat juga mendirikan perserikatan-perserikatan orang-orang beriman kristiani untuk secara langsung atau tidak langsung mengejar tujuan-tujuan rohani lain yang pencapaiannya kurang cukup terjamin lewat usaha-usaha privat.
§ 3. Perserikatan-perserikatan kaum beriman kristiani yang didiri-kan oleh otoritas gerejawi yang berwenang, disebut perserikatan publik.
Kan. 302 – Disebut klerikal perserikatan-perserikatan kaum ber-iman yang, berada dibawah pimpinan klerikus, mengemban pelaksana-an kuasa tahbisan suci dan diakui demikian oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 303 – Perserikatan-perserikatan, yang para anggotanya dalam dunia mengambil bagian dalam semangat suatu tarekat religius dan dibawah kepemimpinan lebih tinggi tarekat itu menjalani hidup kerasulan dan mengejar kesempurnaan kristiani, disebut ordo-ordo ketiga atau diberi nama lain yang sesuai.
Kan. 304 – § 1. Semua perserikatan kaum beriman kristiani, baik publik maupun privat, apapun sebutan atau namanya, hendaknya mempunyai statuta masing-masing, di mana dirumuskan tujuan atau obyek sosial perserikatan, tempat kedudukan, kepemimpinan dan syarat-syarat yang dituntut untuk mengambil bagian di dalamnya, dan hendaknya juga ditetapkan tata-kerjanya dengan memperhatikan kebutuhan atau manfaat waktu dan tempatnya.
§ 2. Hendaknya dipilih sebutan atau nama yang sesuai dengan kebiasaan waktu dan tempat, terutama diambil dari tujuan yang dimaksudkan.
Kan. 305 – § 1. Semua perserikatan kaum beriman kristiani berada dibawah pengawasan otoritas gerejawi yang berwenang, yang bertugas mengusahakan agar dalam perserikatan-perserikatan itu terpelihara keutuhan iman dan moral, dan menjaga agar jangan ada penyalah-gunaan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, maka otoritas gerejawi mempunyai kewajiban dan hak untuk melakukan pemeriksaan atasnya menurut norma-norma hukum dan statuta; mereka juga tunduk kepada otoritas yang sama menurut ketentuan kanon-kanon berikut.
§ 2. Perserikatan-perserikatan jenis apapun berada dibawah penga-wasan Takhta Suci; perserikatan-perserikatan diosesan dan juga serikat-serikat lain, sejauh berkarya di keuskupan, berada dibawah pengawasan Ordinaris wilayah.
Kan. 306 – Agar seseorang menikmati hak-hak dan privilegi-privilegi, indulgensi serta kemurahan-kemurahan rohani lainnya yang diberikan kepada perserikatan, perlu dan cukuplah bila ia menurut ketentuan-ketentuan hukum dan statuta masing-masing diterima secara sah dalam perserikatan itu dan tidak dikeluarkan secara legitim dari padanya.
Kan. 307 – § 1. Penerimaan anggota terjadi menurut norma hukum dan statuta masing-masing perserikatan.
§ 2. Orang yang sama dapat diterima sebagai anggota dalam beberapa perserikatan.
§ 3. Para anggota tarekat-tarekat religius dapat mendaftarkan diri pada perserikatan-perserikatan menurut norma hukum tarekatnya sendiri, dengan persetujuan Pemimpin masing-masing.
Kan. 308 – Tak seorang pun yang telah diterima secara legitim dapat dikeluarkan dari perserikatan, kecuali ada alasan yang wajar menurut norma hukum dan statuta.
Kan. 309 – Perserikatan-perserikatan yang didirikan secara legitim mempunyai hak, menurut norma hukum dan statuta, untuk mengeluar-kan norma-norma khusus yang menyangkut perserikatan-perserikatan itu sendiri, untuk mengadakan pertemuan-pertemuan, untuk menunjuk pemimpin-pemimpin, petugas-petugas, pelayan-pelayan dan pengurus harta- benda.
Kan. 310 – Perserikatan privat yang tidak didirikan sebagai badan hukum, sejauh demikian (qua talis) tidak dapat menjadi subyek kewajiban-kewajiban dan hak-hak; tetapi orang-orang beriman kristiani yang tergabung di dalamnya dapat bersama-sama menerima kewajiban-kewajiban dan sebagai penguasa-serta dan pemilik-serta dapat mem-peroleh dan memiliki hak-hak dan harta; hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu dapat mereka laksanakan lewat mandat atau orang yang dikuasakan.
Kan. 311 – Para anggota tarekat-tarekat hidup-bakti yang menge-palai atau mendampingi perserikatan-perserikatan yang dengan suatu cara tergabung pada tarekat mereka, hendaknya mengusahakan agar perserikatan-perserikatan itu membantu karya-karya kerasulan yang ada di keuskupan, terutama dengan bekerjasama, dibawah pimpinan Ordinaris wilayah, dengan perserikatan-perserikatan yang bertujuan melaksanakan kerasulan di keuskupan.

BAB II
PERSERIKATAN-PERSERIKATAN PUBLIK
KAUM BERIMAN KRISTIANl
Kan. 312 – § 1. Otoritas yang berwenang untuk mendirikan perserikatan-perserikatan publik ialah:
10 Takhta Suci untuk perserikatan-perserikatan universal dan inter-nasional;
20 Konferensi para Uskup di wilayah masing-masing, untuk per-serikatan-perserikatan nasional, yakni yang berdasarkan pen-diriannya diperuntukkan bagi kegiatan yang meliputi seluruh negara.
30Uskup diosesan, tetapi bukan Administrator diosesan, di wilayah masing-masing untuk perserikatan-perserikatan diosesan, terkecuali perserikatan-perserikatan yang pendiriannya menurut privilegi apostolik direservasi bagi yang lain.
§ 2. Untuk mendirikan dengan sah perserikatan atau seksi perserikatan di keuskupan, meskipun berdasarkan privilegi apostolik, dituntut persetujuan tertulis Uskup diosesan; tetapi persetujuan yang diberikan untuk mendirikan rumah tarekat religius berlaku juga untuk mendirikan perserikatan yang khas untuk tarekat itu di rumah itu atau di gerejanya.
Kan. 313 – Perserikatan publik dan juga konfederasi perserikatan-perserikatan publik, dengan dekret yang diberikan otoritas gerejawi yang menurut norma kan. 312 berwenang mendirikannya, dijadikan badan hukum dan, sejauh diperlukan, menerima pengutusan untuk mengejar tujuan-tujuan atas nama Gereja sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kan. 314 – Statuta perserikatan publik manapun, begitu juga peninjauan-kembali atau perubahannya, membutuhkan aprobasi oleh otoritas gerejawi yang berwenang mendirikan perserikatan menurut norma kan. 312, § 1.
Kan. 315 – Perserikatan-perserikatan publik dapat mengambil prakarsa untuk memulai karya yang sesuai dengan sifat khasnya, dan diatur menurut norma statuta, dibawah pimpinan lebih tinggi otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1.
Kan. 316 – § 1. Seseorang yang secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan gerejawi atau terkena ekskomunikasi yang dijatuhkan atau dinyatakan, tidak dapat diterima secara sah dalam perserikatan-perserikatan publik.
§ 2. Yang sudah diterima secara legitim dan terkena kasus yang disebut dalam § 1, setelah lebih dulu diberi peringatan, hendaknya dikeluarkan dari perserikatan dengan tetap memperhatikan statuta dan hak rekursus kepada otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1.
Kan. 317 – § 1. Kecuali ditentukan lain dalam statuta, adalah wewenang otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1, untuk meneguhkan pemimpin perserikatan publik yang terpilih oleh perserikatan publik itu sendiri atau mengangkat orang yang dicalonkan atau menunjuk seseorang berdasarkan haknya sendiri; kapelan atau asisten gerejawi hendaknya diangkat oleh otoritas gerejawi yang sama, setelah mendengarkan pemimpin-pemimpin tinggi perserikatan, bila bermanfaat.
§ 2. Norma yang ditetapkan dalam § 1 juga berlaku bagi perse-rikatan-perserikatan yang didirikan oleh anggota-anggota tarekat-tarekat religius berdasarkan privilegi apostolik di luar gereja atau rumahnya sendiri; tetapi dalam perserikatan-perserikatan yang didirikan para anggota tarekat-tarekat religius dalam gereja atau rumahnya sendiri, pengangkatan atau pengesahan pemimpin atau kapelan merupakan wewenang Pemimpin tarekat, menurut norma statuta.
§ 3. Dalam perserikatan-perserikatan yang bukan klerikal, kaum awam dapat menjalankan tugas pemimpin; kapelan atau asisten gerejawi jangan diangkat untuk tugas itu, kecuali dalam statuta ditentukan lain.
§ 4. Dalam perserikatan-perserikatan publik kaum beriman kristiani yang langsung bertujuan menjalankan kerasulan, pemimpin janganlah mereka yang memangku jabatan kepemimpinan dalam partai politik.
Kan. 318 – § 1. Dalam keadaan-keadaan khusus di mana ada alasan-alasan berat, otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1, dapat menunjuk komisaris yang memimpin perserikatan atas namanya untuk sementara.
§ 2. Pemimpin perserikatan publik karena alasan wajar dapat diberhentikan oleh orang yang telah mengangkat atau meneguhkannya, tetapi setelah didengarkan pendapat pemimpin itu sendiri dan pemimpin-pemimpin tinggi perserikatan menurut norma statuta; kapelan dapat diberhentikan, menurut norma kan. 192-195, oleh orang yang telah mengangkatnya.
Kan. 319 – § 1. Perserikatan publik yang didirikan secara legitim, jika tidak ditentukan lain, mengurus harta-benda yang dimilikinya menurut norma statuta dibawah kepemimpinan lebih tinggi otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1, yang harus menerima pertanggungjawaban setiap tahun dari padanya.
§ 2. Juga mengenai sumbangan dan derma yang dikumpulkannya, ia harus dengan setia mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada otoritas itu.
Kan. 320 – § 1. Perserikatan-perserikatan yang didirikan oleh Takhta Suci tidak dapat dibubarkan kecuali olehnya sendiri.
§ 2. Karena alasan-alasan yang berat Konferensi para Uskup dapat membubarkan perserikatan-perserikatan yang didirikannya; Uskup diosesan dapat membubarkan perserikatan-perserikatan yang didirikan-nya, dan juga perserikatan-perserikatan yang didirikan oleh anggota tarekat-tarekat religius berdasarkan indult apostolik dengan persetujuan Uskup diosesan.
§ 3. Perserikatan publik janganlah dibubarkan oleh otoritas yang berwenang, kecuali setelah mendengarkan pemimpin dan pemimpin-pemimpin tingginya.
BAB III
PERSERIKATAN-PERSERIKATAN PRIVAT
KAUM BERIMAN KRISTIANI

Kan. 321 – Perserikatan-perserikatan privat diarahkan dan dipimpin oleh kaum beriman kristiani menurut ketentuan-ketentuan statuta.
Kan. 322 – § 1. Perserikatan privat kaum beriman kristiani dapat memperoleh status badan hukum dengan dekret formal otoritas gerejawi berwenang yang disebut dalam kan. 312.
§ 2. Tak satu pun perserikatan privat kaum beriman kristiani dapat memperoleh status badan hukum, kecuali statutanya disetujui otoritas gerejawi yang disebut dalam kan. 312, § 1; tetapi persetujuan statuta tidak mengubah hakikat privat perserikatan.
Kan. 323 – § 1. Meskipun perserikatan-perserikatan privat kaum beriman kristiani mempunyai otonomi menurut norma kan. 321, mereka berada dibawah pengawasan otoritas gerejawi menurut norma kan. 305, dan juga dibawah kepemimpinan otoritas itu.
§ 2. Dengan tetap mengindahkan otonominya sendiri bagi perserikatan-perserikatan privat, otoritas gerejawi juga berwenang mengawasi dan mengusahakan agar dicegah penghamburan tenaga, dan agar pelaksanaan kerasulan mereka diarahkan kepada kesejahteraan umum.
Kan. 324 – § 1. Perserikatan privat kaum beriman kristiani menunjuk dengan bebas pemimpin dan pengurus, menurut norma statuta.
§ 2. Perserikatan privat kaum beriman kristiani bila menginginkan seorang penasihat rohani, dapat dengan bebas memilihnya di antara para imam yang melaksanakan pelayanan dengan legitim di keuskupan; tetapi ia membutuhkan peneguhan Ordinaris wilayah.
Kan. 325 – § 1. Perserikatan privat kaum beriman kristiani dengan bebas mengurus harta-benda yang dimilikinya menurut ketentuan-ketentuan statuta, dengan tetap mengindahkan hak otoritas gerejawi yang berwenang untuk mengawasi agar harta itu dipergunakan sesuai dengan tujuan-tujuan perserikatan.
§ 2. Perserikatan tersebut berada dibawah otoritas Ordinaris wilayah menurut norma kan. 1301 mengenai hal-hal yang menyangkut pengelolaan dan penggunaan harta-benda yang disumbangkan atau ditinggalkan kepadanya untuk tujuan-tujuan kesalehan.
Kan. 326 – § 1. Perserikatan privat kaum beriman kristiani berhenti ada menurut norma statuta; juga dapat dibubarkan oleh otoritas yang berwenang, apabila kegiatannya menimbulkan kerugian besar bagi ajaran atau disiplin gerejawi, atau menjadi skandal bagi kaum beriman.
§ 2. Peruntukan harta-benda dari perserikatan yang berhenti ada haruslah ditetapkan menurut norma statuta, dengan tetap mengindahkan hak-hak yang telah diperoleh dan maksud para penyumbang.

BAB IV
NORMA-NORMA KHUSUS MENGENAI
PERSERIKATAN-PERSERIKATAN AWAM
Kan. 327 – Kaum beriman kristiani awam hendaknya menghargai perserikatan-perserikatan yang didirikan dengan tujuan rohani yang disebut dalam kan. 298, khususnya perserikatan-perserikatan yang bermaksud menjiwai tata dunia dengan semangat kristiani dan dengan cara itu sungguh membina kesatuan erat antara iman dan hidup.
Kan. 328 – Yang mengetuai perserikatan-perserikatan kaum awam, juga yang didirikan berdasarkan privilegi apostolik, hendaknya mengusahakan agar serikatnya bekerjasama dengan perserikatan-perserikatan umat kristiani lainnya, di mana hal itu bermanfaat, dan agar mereka rela membantu pelbagai karya kristiani, terutama yang berada di wilayah yang sama.
Kan. 329 – Para pemimpin perserikatan-perserikatan kaum awam hendaknya mengusahakan agar para anggota perserikatan dibina sebagaimana seharusnya untuk menjalankan kerasulan yang khas bagi kaum awam.

BAGIAN II
SUSUNAN HIRARKIS GEREJA

SEKSI I
OTORITAS TERTINGGI GEREJA

BAB I
PAUS DAN KOLEGIUM PARA USKUP

Kan. 330 – Sebagaimana, menurut penetapan Tuhan, Santo Petrus dan Rasul-rasul lainnya membentuk satu Kolegium, demikian pula Uskup Roma, pengganti Petrus, dan para Uskup, pengganti para Rasul, dipersatukan di antara mereka.

Artikel 1
PAUS

Kan. 331 – Uskup Gereja Roma, yang mewarisi secara tetap tugas yang diberikan oleh Tuhan hanya kepada Petrus, yang pertama di antara para rasul, dan harus diteruskan kepada para penggantinya, adalah kepala Kolegium para Uskup, Wakil Kristus dan Gembala Gereja universal di dunia ini; karena itu berdasarkan tugasnya dalam Gereja ia mempunyai kuasa berdasar jabatan, tertinggi, penuh, langsung dan universal yang selalu dapat dijalankannya dengan bebas.
Kan. 332 – § 1. Kuasa penuh dan tertinggi dalam Gereja diperoleh Uskup Roma dengan pemilihan legitim yang diterimanya bersama dengan tahbisan uskup. Maka dari itu orang yang terpilih menjadi Paus dan sudah ditandai meterai uskup, memperoleh kuasa itu sejak penerimaan pemilihannya. Tetapi apabila orang yang terpilih itu belum mendapat meterai Uskup, hendaknya ia segera ditahbiskan menjadi Uskup.
§ 2. Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun.
Kan. 333 – § 1. Paus, berdasarkan jabatannya, tidak hanya mem-punyai kuasa di seluruh Gereja, melainkan juga mempunyai kuasa berdasar jabatan tertinggi atas semua Gereja partikular dan himpunan-himpunannya; dengan itu sekaligus diperkokoh dan dilindungi kuasa para Uskup yang dimilikinya sendiri, berdasar jabatan dan langsung atas Gereja-gereja partikular yang dipercayakan kepada reksanya.
§ 2. Paus dalam menjalankan tugas Gembala tertinggi Gereja, selalu terikat dalam persekutuan dengan Uskup-uskup lainnya, bahkan juga dengan seluruh Gereja; tetapi ia mempunyai hak untuk menentu-kan cara, baik personal maupun kolegial, pelaksanaan jabatan itu, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan Gereja.
§ 3. Melawan putusan atau dekret Paus tidak ada naik banding ataupun rekursus.
Kan. 334 – Para Uskup membantu Paus dalam menjalankan tugas-nya; mereka dapat mengusahakan kerjasama dengannya dalam pelbagai cara, di antaranya adalah sinode para Uskup. Selain itu, juga para Kardinal membantunya, dan juga orang-orang lain dan pelbagai lembaga menurut kebutuhan zaman; orang-orang dan lembaga-lembaga itu semua menjalankan tugas yang dipercayakan kepada mereka, atas nama dan otoritasnya, untuk kesejahteraan semua Gereja menurut norma-norma yang ditetapkan hukum.
Kan. 335 – Apabila Takhta Roma lowong atau sama sekali terha-lang, tak suatu pun boleh diubah dalam hal kepemimpinan seluruh Gereja; tetapi hendaknya ditaati undang-undang khusus yang dikeluarkan untuk keadaan itu.

Artikel 2
KOLEGIUM PARA USKUP

Kan. 336 – Kolegium para Uskup yang dikepalai Paus dan berang-gotakan para Uskup berdasarkan tahbisan sakramental dan persekutuan hirarkis dengan kepala dan para anggota, dan dimana senantiasa menetap badan apostolik, bersama dengan kepalanya, dan tak pernah tanpa kepala itu, adalah juga subyek kuasa tertinggi dan penuh dalam seluruh Gereja.
Kan. 337 – § 1. Kuasa dalam seluruh Gereja dijalankan secara meriah oleh Kolegium para Uskup dalam Konsili Ekumenis.
§ 2. Kuasa itu juga dijalankan lewat kegiatan terpadu para Uskup yang tersebar di dunia, jika kegiatan itu dinyatakan demikian atau diterima dengan bebas oleh Paus, sehingga menjadi tindakan kolegial sejati.
§ 3. Adalah wewenang Paus sesuai dengan kebutuban-kebutuhan Gereja untuk memilih dan memajukan cara-cara Kolegium para Uskup menjalankan secara kolegial tugasnya terhadap seluruh Gereja.
Kan. 338 – § 1. Hanya Paus berwenang memanggil Konsili Ekumenis, mengepalainya sendiri atau lewat orang lain, memindahkan, menunda atau membubarkan, dan menyetujui keputusan-keputusannya.
§ 2. Adalah hak Paus juga untuk menetapkan hal-hal yang harus dibahas dalam Konsili dan tatacara yang harus ditaati; masalah-masalah yang diajukan Paus dapat ditambah dengan masalah-masalah lain oleh para Bapa Konsili, tetapi harus disetujui oleh Paus.
Kan. 339 – § 1. Adalah hak dan kewajiban semua dan hanya Uskup-uskup yang adalah anggota-anggota Kolegium para Uskup untuk menghadiri Konsili dengan suara deliberatif (menentukan).
§ 2. Selain itu orang-orang lain yang tidak mempunyai martabat uskup dapat diundang ke Konsili Ekumenis oleh otoritas tertinggi Gereja yang berhak menentukan peranan mereka dalam Konsili.
Kan. 340 – Apabila selama berlangsungnya Konsili Takhta Apos-tolik menjadi lowong, menurut hukum sendiri Konsili terhenti, sampai Paus yang baru memerintahkan agar Konsili dilanjutkan atau dibubarkan.
Kan. 341 – § 1. Keputusan-keputusan Konsili Ekumenis tidak mempunyai kekuatan yang mewajibkan, kecuali disetujui oleh Paus bersama dengan para Bapa Konsili, dikukuhkan olehnya dan diundangkan atas perintahnya.
§ 2. Agar mempunyai kekuatan yang mewajibkan, pengukuhan dan pengundangan yang sama dibutuhkan bagi keputusan-keputusan yang diambil oleh Kolegium para Uskup, apabila Kolegium menjalankan kegiatan kolegial dalam arti yang sebenarnya, menurut cara lain yang ditentukan oleh Paus atau diterima dengan bebas olehnya.
BAB II
SINODE PARA USKUP
Kan. 342 – Sinode para Uskup ialah himpunan para Uskup yang dipilih dari pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup, dan untuk membantu Paus dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbang-kan masalah-masalah yang menyangkut karya Gereja di dunia.
Kan. 343 – Sinode para Uskup berwenang menentukan masalah-masalah yang harus dibahas dan mengajukan harapan-harapan, tetapi tidak memutuskannya dan tidak mengeluarkan dekret-dekret tentang-nya, kecuali dalam kasus-kasus tertentu sinode diberi kuasa menentu-kan oleh Paus, yang dalam hal itu berwenang mengesahkan keputusan-keputusan sinode.
Kan. 344 – Sinode para Uskup langsung berada dibawah otoritas Paus yang berhak:
10 memanggil sinode setiap kali dianggapnya baik dan menunjuk tempat sidang;
20 mengesahkan pemilihan para anggota yang harus dipilih me-nurut norma hukum khusus, dan menunjuk serta mengangkat anggota-anggota lain;
30 menetapkan bahan yang harus dibahas pada waktu yang tepat sebelum sinode diselenggarakan menurut norma hukum khusus;
40 menentukan agenda persidangan;
50 mengepalai sinode, sendiri atau lewat orang lain;
60 menutup, memindahkan, menangguhkan dan membubarkan sinode itu.
Kan. 345 – Sinode para Uskup dapat dihimpun atau dalam sidang umum, entah sidang itu bersifat biasa entah luar biasa, di mana dibahas hal-hal yang langsung menyangkut kesejahteraan Gereja seluruhnya, atau juga dalam sidang khusus, di mana dibahas perkara-perkara yang langsung menyangkut kawasan-kawasan tertentu.
Kan. 346 – § 1. Sinode para Uskup yang dihimpun dalam sidang umum biasa, terdiri dari anggota-anggota yang kebanyakan adalah Uskup-uskup, yang dipilih oleh Konferensi para Uskup untuk setiap himpunan menurut pedoman yang ditentukan hukum khusus mengenai sinode; lain-lainnya diberi tugas berdasarkan hukum itu juga; lain-lainnya lagi diangkat langsung oleh Paus; selain itu ada beberapa anggota tarekat-tarekat religius klerikal, yang dipilih menurut norma hukum itu juga.
§ 2. Sinode para Uskup yang dihimpun dalam sidang umum luar biasa untuk membahas perkara-perkara yang menuntut penyelesaian yang cepat, terdiri dari anggota-anggota yang kebanyakan Uskup-uskup, ditugaskan menurut hukum khusus mengenai sinode berdasar-kan jabatan yang mereka pegang, sedangkan lain-lainnya diangkat oleh Paus secara langsung; selain itu ada beberapa anggota tarekat-tarekat religius klerikal yang dipilih menurut norma hukum itu juga.
§ 3. Sinode para Uskup, yang dihimpun dalam sidang khusus, terdiri dari anggota-anggota yang dipilih terutama dari kawasan-kawasan yang merupakan sasaran diadakannya sinode, menurut norma hukum khusus yang mengatur sinode.
Kan. 347 – § 1. Bila sidang sinode para Uskup ditutup oleh Paus, berakhirlah tugas yang dipercayakan kepada para Uskup dan anggota-anggota lainnya di dalam sinode itu.
§ 2. Bila Takhta Apostolik menjadi lowong setelah sinode dipang-gil, atau sementara berlangsung, sidang sinode menurut hukum sendiri ditangguhkan, demikian pula tugas yang dipercayakan kepada para anggota dalam sidang itu, sampai Paus yang baru memutuskan untuk membubarkan atau melanjutkannya.
Kan. 348 – § 1. Hendaknya sinode para Uskup mempunyai sekretariat jenderal yang tetap, yang dikepalai oleh sekretaris jenderal, ditunjuk oleh Paus dan dibantu oleh dewan sekretariat; dewan itu terdiri dari Uskup-uskup, sebagian dipilih oleh sinode para Uskup sendiri menurut norma hukum khusus, sebagian lagi ditunjuk oleh Paus; tetapi tugas mereka semua itu selesai bila sidang umum berikutnya dimulai.
§ 2. Selain itu, untuk setiap sidang sinode para Uskup ditetapkan satu atau beberapa sekretaris khusus yang diangkat oleh Paus, dan mereka menjalankan tugas yang diserahkan itu hanya sampai selesainya sidang sinode.
BAB III
PARA KARDINAL GEREJA ROMAWI KUDUS
Kan. 349 – Para Kardinal Gereja Romawi Kudus membentuk Kolegium khusus yang berwenang menyelenggarakan pemilihan Paus menurut norma hukum khusus; selain itu para Kardinal membantu Paus, baik dengan bertindak secara kolegial, bila dipanggil berkumpul untuk membahas masalah-masalah yang sangat penting, maupun sendiri-sendiri yakni dengan aneka jabatan yang mereka emban, membantu Paus terutama dalam reksa harian seluruh Gereja.
Kan. 350 – § 1. Kolegium Kardinal dibagi menjadi tiga tingkatan: episkopal, yang terdiri dari para Kardinal yang oleh Paus diberi gelar Gereja suburbikaris dan juga Batrik Gereja Timur yang diangkat ke dalam Kolegium Kardinal; presbiteral dan diakonal.
§ 2. Para Kardinal tingkat presbiteral dan diakonal masing-masing oleh Paus diberi gelar atau diakonia di Roma.
§ 3. Para Batrik Gereja Timur yang diangkat ke dalam Kolegium Kardinal mempunyai Takhta patriarkalnya masing-masing sebagai gelar.
§ 4. Kardinal Dekan mempunyai keuskupan Ostia sebagai gelar, bersama dengan gelar Gereja lain yang sudah dipunyainya.
§ 5. Melalui opsi yang dilakukan dalam Konsistori dan disetujui oleh Paus, dengan mengindahkan urutan tahbisan dan pengangkatan, dapatlah para Kardinal dari tingkat presbiteral pindah ke gelar lain dan para Kardinal dari tingkat diakonal ke diakonia lain, dan bila sudah genap sepuluh tahun berada dalam tingkat diakonal, juga ke tingkat presbiteral.
§ 6. Kardinal dari tingkat diakonal yang pindah lewat opsi ke tingkat presbiteral, mendapat urutan mendahului semua Kardinal presbiteral, yang diangkat menjadi Kardinal sesudahnya.
Kan. 351 – § 1. Yang diangkat menjadi Kardinal adalah para pria yang dipilih dengan bebas oleh Paus, sekurang-kurangnya sudah ditahbiskan imam, unggul dalam ajaran, moral, kesalehan dan juga kearifan bertindak; mereka yang belum Uskup, harus menerima tahbisan Uskup.
§ 2. Para Kardinal diangkat oleh Paus dengan suatu dekret, yang diumumkan di hadapan Kolegium Kardinal; sejak pengumuman itu mereka terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak yang ditetapkan hukum.
§ 3. Orang yang dipromosikan ke martabat Kardinal, yang pengangkatannya diumumkan oleh Paus tetapi namanya masih disimpan dalam hati (in pectore), sementara itu belum terkena kewajiban-kewajiban para Kardinal dan tidak mempunyai hak-hak mereka; tetapi setelah namanya diumumkan oleh Paus, ia terkena kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak itu, namun hak presedensi diperhitungkan sejak hari pengangkatan dalam hati tersebut.
Kan. 352 – § 1. Kolegium Kardinal dikepalai oleh Dekan, yang bila berhalangan diwakili oleh Subdekan; Dekan, atau Subdekan, tidak mempunyai kuasa kepemimpinan apapun atas para Kardinal lainnya, melainkan dianggap sebagai yang pertama di antara rekan-rekan sederajat (primus inter pares).
§ 2. Bila jabatan Dekan lowong, para Kardinal dengan gelar Gereja suburbikaris, dan hanya mereka, dibawah pimpinan Subdekan, bila ia hadir, atau seorang yang terdahulu diangkat menjadi Kardinal di antara mereka, hendaknya memilih seorang dari sidang itu untuk menjadi Dekan Kolegium Kardinal; namanya hendaknya disampaikan kepada Paus yang berwenang menyetujui orang yang terpilih itu.
§ 3. Dengan cara yang sama seperti yang disebut dalam § 2, dibawah pimpinan Dekan sendiri dipilih Subdekan; juga persetujuan atas pemilihan Subdekan termasuk wewenang Paus.
§ 4. Dekan dan Subdekan, jika tidak mempunyai domisili di Roma, hendaknya memperolehnya di situ.
Kan. 353 – § 1. Para Kardinal dengan kegiatan kolegial terutama merupakan bantuan bagi Gembala tertinggi Gereja dalam konsistori-konsistori, dimana atas perintah Paus dan dibawah pimpinannya mereka dihimpun; ada konsistori biasa dan luar biasa.
§ 2. Semua Kardinal, sekurang-kurangnya yang berada di Roma, dipanggil ke Konsistori biasa untuk konsultasi tentang perkara-perkara penting, tetapi yang lebih sering terjadi, atau untuk mengadakan beberapa kegiatan yang sangat meriah.
§ 3. Semua Kardinal dipanggil ke Konsistori luar biasa yang diselenggarakan apabila ada kebutuhan-kebutuhan khusus Gereja atau perkara-perkara yang lebih penting yang harus ditangani.
§ 4. Hanyalah Konsistori biasa, dimana diselenggarakan upacara-upacara meriah, dapat bersifat publik, yakni jika selain para Kardinal diperkenankan hadir Prelat-prelat, utusan-utusan masyarakat sipil atau undangan-undangan lain.
Kan. 354 – Para Kardinal yang mengepalai Dikasteri-dikasteri atau Lembaga-lembaga tetap Kuria Roma dan Kota Vatikan, dan telah ber-usia genap tujuh puluh lima tahun, diminta untuk mengajukan pengun-duran diri dari jabatannya kepada Paus yang setelah mempertimbang-kan segala sesuatunya akan mengambil keputusan.
Kan. 355 – § 1. Kardinal Dekan berwenang menahbiskan Paus terpilih menjadi Uskup, bila yang terpilih itu membutuhkan tahbisan; bila Dekan berhalangan, hak itu beralih kepada Subdekan, dan bila ia juga berhalangan, yang berwenang ialah Kardinal terlama dari tingkat episkopal.
§ 2. Kardinal Proto-diakon memaklumkan nama Paus yang baru terpilih kepada umat; demikian pula atas nama Paus ia mengenakan pallium pada para Uskup metropolit atau menyerahkannya kepada wakilnya.
Kan. 356 – Para Kardinal terikat kewajiban untuk bekerjasama secara rajin dengan Paus; karena itu para Kardinal yang mengemban jabatan apapun dalam Kuria dan bukan Uskup diosesan, terikat kewajiban untuk tinggal di Roma; para Kardinal yang memimpin suatu keuskupan sebagai Uskup diosesan, hendaknya datang ke Roma setiap kali dipanggil oleh Paus.
Kan. 357 – § 1. Para Kardinal yang telah dianugerahi Gereja suburbikaris atau suatu gereja di Roma sebagai gelar, setelah menerimanya secara resmi, hendaknya dengan nasihat serta perlindungannya memajukan kesejahteraan keuskupan-keuskupan dan Gereja-gereja itu, tetapi tanpa mempunyai kuasa kepemimpinan atasnya; dan dengan alasan apapun tidak boleh campur-tangan dalam hal-hal yang menyangkut pengurusan harta-benda, disiplin atau pelayanan Gereja-gereja.
§ 2. Para Kardinal yang berada di luar Roma dan di luar keuskupannya sendiri, dalam hal-hal yang mengenai pribadinya exempt dari kuasa kepemimpinan Uskup di keuskupan di mana mereka berada.
Kan. 358 – Kardinal yang oleh Paus diserahi tugas untuk mewakilinya dalam suatu perayaan meriah atau pertemuan, sebagai legatus a latere, yakni sebagai alter ego (akunya yang kedua), seperti juga halnya dengan orang yang diserahi suatu tugas pastoral untuk dipenuhi sebagai utusan khusus, hanya mempunyai wewenang yang diberikan Paus kepadanya.
Kan. 359 – Bila Takhta Apostolik lowong, Kolegium Kardinal hanya mempunyai kuasa dalam Gereja yang diberikan kepadanya dalam undang-undang khusus.
BAB IV
KURIA ROMA
Kan. 360 – Kuria Roma, yang biasanya membantu Paus dalam menyelenggarakan urusan-urusan Gereja seluruhnya dan yang atas namanya dan dengan kuasanya memenuhi tugas demi kesejahteraan dan pelayanan Gereja-gereja, terdiri dari Sekretariat Negara atau Kepausan, Dewan Urusan Umum Gereja, Kongregasi-kongregasi, Pengadilan-pengadilan, dan Lembaga-lembaga lainnya yang susunan serta kompetensinya dirumuskan dalam undang-undang khusus.
Kan. 361 – Dengan nama Takhta Apostolik atau Takhta Suci dalam Kitab Hukum ini dimaksudkan bukan hanya Paus, melainkan juga Sekretariat Negara, Dewan Urusan Umum Gereja, Lembaga-lembaga lain Kuria Roma, kecuali dari hakikat perkara atau konteks pembicaraannya ternyata lain.

BAB V
PARA DUTA PAUS
Kan. 362 – Paus mempunyai hak asli (ius nativum) dan independen untuk mengangkat dan mengutus Duta-dutanya, baik ke Gereja-gereja partikular pada pelbagai bangsa atau di pelbagai kawasan, maupun sekaligus ke Negara-negara dan Otoritas-otoritas publik; demikian pula untuk memindahkan dan memanggil-kembali mereka, dengan tetap mengindahkan norma-norma hukum internasional yang menyangkut pengutusan dan pemanggilan-kembali para Duta pada Negara-negara.
Kan. 363 – § 1. Kepada Duta-duta Paus dipercayakan tugas untuk secara tetap mewakili pribadi Paus sendiri pada Gereja-gereja partikular atau juga pada Negara-negara dan Otoritas-otoritas publik ke mana mereka diutus.
§ 2. Takhta Apostolik juga diwakili oleh mereka yang ditugaskan sebagai Delegatus atau Pengamat dalam Misi kepausan pada Dewan-dewan Internasional atau Konferensi-konferensi dan Pertemuan-pertemuan.
Kan. 364 – Tugas utama Duta kepausan ialah mengusahakan agar ikatan-ikatan kesatuan yang ada antara Takhta Apostolik dan Gereja-gereja partikular makin hari makin kuat dan makin berhasil. Maka Duta kepausan sesuai dengan lingkup kerja masing-masing bertugas:
10 mengirim kepada Takhta Apostolik berita tentang keadaan Gereja-gereja partikular dan tentang segala sesuatu yang menyangkut hidup Gereja sendiri dan kesejahteraan jiwa-jiwa;
20 membantu para Uskup dengan kegiatan dan nasihat, dengan tetap memperhatikan keutuhan pelaksanaan kuasa legitim mereka;
30 mendukung hubungan erat dengan Konferensi para Uskup, dengan memberinya bantuan dengan segala cara;
40 dalam hal pengangkatan Uskup, menyampaikan atau mengaju-kan nama-nama para calon kepada Takhta Apostolik, dan juga menyelenggarakan proses informatif mengenai para calon yang akan diangkat, menurut norma-norma yang diberikan oleh Takhta Apostolik;
50 berusaha agar dikembangkan hal-hal yang menyangkut perdamaian, kemajuan dan kerjasama para bangsa;
60 berusaha bersama para Uskup, agar dibina hubungan baik antara Gereja katolik dengan Gereja-gereja lain atau persekutuan-persekutuan gerejawi, bahkan juga dengan agama-agama bukan kristiani;
70 bekerjasama dengan para Uskup melindungi hal-hal yang termasuk misi Gereja dan Takhta Apostolik di hadapan pimpinan Negara;
80 selain itu menjalankan kewenangannya dan menyelesaikan tugas-tugas lain yang dipercayakan Takhta Apostolik kepadanya.
Kan. 365 – § 1. Duta kepausan yang sekaligus menjalankan perwakilan pada Negara menurut norma-norma hukum internasional, juga mempunyai tugas khusus untuk:
10 memajukan dan membina hubungan-hubungan antara Takhta Apostolik dan Otoritas-otoritas Negara;
20 membahas masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara Gereja dan Negara; dan secara khusus mengurus pembuatan dan pelaksanaan konkordat-konkordat dan perjanjian-perjanjian semacam itu.
§ 2. Dalam menyelesaikan perkara-perkara yang disebut dalam § 1, sesuai dengan keadaan, Duta kepausan janganlah lalai mencari pendapat dan nasihat para Uskup dari wilayah gerejawi yang bersangkutan, dan memberi informasi tentang jalannya perundingan kepada mereka.
Kan. 366 – Mengingat sifat khusus tugas Duta, maka:
10 tempat Perwakilan kepausan exempt dari kuasa kepemimpinan Ordinaris wilayah, kecuali mengenai perayaan perkawinan;
20 Duta kepausan boleh, sedapat mungkin setelah memberitahu Ordinaris wilayah, mengadakan perayaan liturgis juga dengan pontifikalia, di semua gereja wilayah perwakilannya.
Kan. 367 – Tugas Duta kepausan tidak berhenti bila Takhta Apostolik lowong, kecuali ditentukan lain dalam Surat kepausan; tetapi tugas itu berhenti bila mandat selesai, dengan pemanggilan-kembali yang diberitahukan kepadanya, dengan pengunduran diri yang diterima oleh Paus.
SEKSI II
GEREJA PARTIKULAR
DAN HIMPUNAN-HIMPUNANNYA
JUDUL I
GEREJA PARTIKULAR DAN OTORITASNYA
BAB I
GEREJA PARTIKULAR
Kan. 368 – Gereja-gereja partikular, dalamnya dan darinya terwujud Gereja katolik yang satu dan satu-satunya, terutama ialah keuskupan-keuskupan; dengan keuskupan-keuskupan ini, kecuali pasti lain, disamakanlah prelatur teritorial dan keabasan teritorial, vikariat apostolik dan prefektur apostolik, dan juga administrasi apostolik yang didirikan secara tetap.
Kan. 369 – Keuskupan adalah bagian dari umat AlIah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam, sedemikian sehingga dengan mengikuti gembalanya dan dihimpun olehnya dengan Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk Gereja partikular, dalam mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Kan. 370 – Prelatur teritorial atau keabasan teritorial adalah bagian tertentu umat Allah, yang dibatasi secara teritorial dan yang karena keadaan khusus reksanya dipercayakan kepada seorang Prelat atau Abas, yang seperti Uskup diosesan memimpinnya sebagai gembalanya sendiri.
Kan. 371 – § 1. Vikariat apostolik atau prefektur apostolik adalah bagian tertentu umat Allah, yang karena keadaan khusus, belum dibentuk menjadi keuskupan, dan yang reksa pastoralnya diserahkan kepada Vikaris apostolik atau Prefek apostolik yang memimpinnya atas nama Paus.
§ 2. Administrasi apostolik adalah bagian tertentu umat Allah yang karena alasan-alasan khusus dan berat oleh Paus tidak didirikan menjadi keuskupan, dan yang reksa pastoralnya diserahkan kepada Administrator apostolik yang memimpinnya atas nama Paus.
Kan. 372 – § 1. Pada umumnya bagian umat Allah yang membentuk keuskupan atau Gereja partikular lainnya, dibatasi pada wilayah tertentu, sedemikian sehingga mencakup semua orang beriman yang tinggal di dalam wilayah itu.
§ 2. Namun, di mana menurut penilaian otoritas tertinggi Gereja bermanfaat, setelah mendengarkan pendapat Konferensi para Uskup yang berkepentingan, di wilayah itu dapat didirikan Gereja-gereja partikular yang berbeda menurut ritus kaum beriman atau alasan lain yang serupa.
Kan. 373 – Hanyalah otoritas tertinggi Gereja berwenang mendirikan Gereja-gereja partikular; yang didirikan secara legitim menurut hukum sendiri memiliki status badan hukum.
Kan. 374 – § 1. Setiap keuskupan atau Gereja partikular lain hendaknya dibagi menjadi bagian-bagian tersendiri, yakni paroki-paroki.
§ 2. Untuk memupuk reksa pastoral dengan kegiatan bersama, beberapa paroki yang berdekatan dapat digabungkan menjadi himpunan-himpunan khusus, seperti dekenat-dekenat (vicariatus foranei).
BAB II
USKUP
Artikel 1
USKUP PADA UMUMNYA

Kan. 375 § 1. Para Uskup, yang berdasarkan penetapan ilahi adalah pengganti-pengganti para Rasul lewat Roh Kudus yang dianugerahkan kepada mereka, ditetapkan menjadi Gembala-gembala dalam Gereja, agar mereka sendiri menjadi guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, dan pelayan dalam kepemimpinan.
§ 2. Para Uskup karena tahbisan episkopalnya sendiri, bersama dengan tugas menguduskan, menerima juga tugas-tugas mengajar dan memimpin, tetapi yang menurut hakikatnya hanya dapat mereka laksanakan dalam persekutuan hirarkis dengan kepala dan anggota-anggota Kolegium.
Kan. 376 – Para Uskup disebut diosesan, jika kepada mereka dipercayakan reksa suatu keuskupan; lain-lainnya disebut tituler.
Kan. 377 – § 1. Para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus, atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya.
§ 2. Sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para Uskup provinsi gerejawi atau, dimana keadaan menganjurkannya, Konferensi para Uskup, hendaknya melalui perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para imam, juga anggota-anggota tarekat hidup-bakti, yang kiranya tepat untuk jabatan Uskup, dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik; tetapi setiap Uskup tetap berhak untuk memberitahu-kan sendiri kepada Takhta Apostolik nama-nama para imam yang dianggapnya pantas dan cakap untuk jabatan Uskup.
§ 3. Kecuali secara legitim ditentukan lain, setiap kali perlu ditunjuk Uskup diosesan atau Uskup koajutor, untuk mengajukan apa yang disebut terna kepada Takhta Apostolik, Duta kepausan bertugas menyelidikinya satu demi satu; lalu bersama dengan penilaiannya sendiri, ia menyampaikan kepada Takhta Apostolik apa yang disarankan Uskup metropolit atau Sufragan dari provinsi di mana keuskupan yang membutuhkan Uskup itu berada atau yang merupakan kesatuan dengannya, dan juga pendapat ketua Konferensi para Uskup; selain itu Duta kepausan hendaknya mendengarkan pendapat beberapa orang dari kolegium konsultor dan kapitel katedral dan, jika dinilainya berguna, juga pendapat orang-orang lain dari kalangan klerus diosesan dan religius, begitu juga pendapat kaum awam yang unggul dalam kebijaksanaan, satu demi satu dan rahasia.
§ 4. Kecuali secara legitim ditetapkan lain, Uskup diosesan yang berpendapat bahwa keuskupannya harus diberi seorang Uskup auksilier, hendaknya mengajukan daftar sekurang-kurangnya tiga imam yang paling tepat untuk jabatan itu kepada Takhta Apostolik.
§ 5. Untuk selanjutnya tidak akan diberikan hak-hak dan privilegi-privilegi pemilihan, pengangkatan, pengajuan atau penunjukan Uskup-uskup kepada otoritas sipil.
Kan. 378 – § 1. Untuk kecakapan calon Uskup, dituntut bahwa ia:
10 unggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarum), kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut;
20 mempunyai nama baik;
30 sekurang-kurangnya berusia tiga puluh lima tahun;
40 sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam;
50 mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau hukum kanonik yang diperoleh-nya pada lembaga pendidikan tinggi yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu.
§ 2. Penilaian definitif tentang kecakapan calon ada pada Takhta Apostolik.
Kan. 379 – Kecuali terkena halangan legitim, siapapun yang diangkat menjadi Uskup harus menerima tahbisan Uskup dalam jangka waktu tiga bulan sejak penerimaan surat apostolik, dan itu sebelum menduduki jabatannya.
Kan. 380 – Sebelum mengambil-alih secara kanonik (possessionem canonicam capere) jabatannya, hendaknya orang yang diangkat menjadi Uskup mengucapkan pengakuan iman dan sumpah kesetiaan pada Takhta Apostolik menurut rumus yang disahkan Takhta Apostolik itu.
Artikel 2
USKUP DIOSESAN
Kan. 381 – § 1. Uskup diosesan di keuskupan yang dipercayakan kepadanya mempunyai segala kuasa berdasar jabatan, sendiri dan langsung, yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pastoralnya, dengan tetap dikecualikan hal-hal yang menurut hukum atau dekret Paus direservasi bagi otoritas tertinggi atau otoritas gerejawi lainnya.
§ 2. Mereka yang mengepalai persekutuan-persekutuan kaum beriman lain yang disebut dalam kan. 368, dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan, kecuali dari hakikat halnya atau menurut ketentuan hukum ternyata lain.
Kan. 382 – § 1. Yang diangkat Uskup tidak dapat mencampuri pelaksanaan jabatan yang diserahkan kepadanya sebelum mengambil-alih secara kanonik keuskupannya; tetapi ia dapat menjalankan semua tugas yang sudah dipunyainya di keuskupan itu pada waktu pengangkatannya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 409, § 2.
§ 2. Kecuali terkena halangan legitim, orang yang terpilih untuk jabatan Uskup diosesan harus mengambil-alih secara kanonik keuskupannya dalam waktu empat bulan setelah menerima surat apostolik, bila ia belum ditahbiskan Uskup; tetapi jika ia sudah ditahbiskan, dalam waktu dua bulan setelah penerimaan surat itu.
§ 3. Uskup mengambil-alih secara kanonik keuskupannya segera setelah ia, sendiri atau lewat seorang wakil, menunjukkan di keuskupan itu surat apostolik kepada kolegium konsultor, dengan dihadiri kanselir kuria yang membuat berita acara; atau di keuskupan yang baru didirikan segera setelah ia memaklumkan surat itu kepada klerus dan umat yang hadir dalam gereja katedral, dan dicatat dalam akta oleh imam paling senior di antara yang hadir.
§ 4. Sangat dianjurkan agar pengambilalihan secara kanonik itu dilakukan dalam tindakan liturgis di gereja katedral dengan dihadiri klerus dan umat.
Kan. 383 – § 1. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai gembala, Uskup diosesan hendaknya memperhatikan semua orang beriman yang dipercayakan kepada reksanya dari setiap usia, kedudukan atau bangsa, baik yang bertempat-tinggal di wilayahnya maupun yang hanya sementara berada di situ; dan hendaknya ia juga menunjukkan semangat kerasulan terhadap mereka yang karena kondisi hidupnya tidak dapat secukupnya mendapat reksa pastoral yang biasa, dan juga terhadap mereka yang tidak mempraktekkan agamanya lagi.
§ 2. Bila ada orang-orang beriman dengan ritus yang berlainan di keuskupannya, hendaknya ia memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritual mereka baik lewat para imam atau paroki-paroki ritus yang sama, maupun lewat Vikaris episkopal.
§ 3. Terhadap para saudara yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik, hendaknya ia bersikap manusiawi dan penuh kasih sambil memupuk juga ekumenisme sebagaimana dipahami Gereja.
§ 4. Hendaknya ia menganggap orang-orang yang tidak dibaptis sebagai yang dipercayakan kepadanya dalam Tuhan, sehingga bersinar juga bagi mereka kasih Kristus, sebab Uskup harus menjadi saksi-Nya di hadapan semua orang.
Kan. 384 – Uskup diosesan hendaknya dengan perhatian khusus mendampingi para imam, yang didengarkannya sebagai pembantu-pembantu dan penasihatnya; ia hendaknya melindungi hak-hak mereka dan mengusahakan agar mereka memenuhi kewajiban-kewajiban yang khas bagi status mereka dengan baik, dan hendaknya bagi mereka tersedia sarana-sarana serta lembaga-lembaga yang mereka butuhkan untuk membina hidup spiritual dan intelektual; demikian pula hendaknya ia mengusahakan agar sustentasi mereka yang layak dan bantuan sosial diselenggarakan menurut norma hukum.
Kan. 385 – Hendaknya Uskup diosesan sekuat tenaga memupuk panggilan-panggilan untuk pelbagai pelayanan dan hidup-bakti, dengan memperhatikan secara istimewa panggilan-panggilan imam dan misionaris.
Kan. 386 – § 1. Uskup diosesan terikat kewajiban menyampaikan dan menjelaskan kebenaran-kebenaran iman yang harus dipercayai dan moral yang harus diterapkan oleh kaum beriman, dengan sendiri sering berkhotbah; hendaknya ia juga mengusahakan agar ketentuan-ketentuan kanon-kanon tentang pelayanan sabda, terutama tentang homili dan pendidikan kateketik ditaati dengan seksama, sedemikian sehingga seluruh ajaran kristiani disampaikan kepada semua.
§ 2. Ia hendaknya melindungi dengan teguh keutuhan dan kesatuan iman yang harus dipercayai, dengan sarana-sarana yang dianggapnya paling tepat, tetapi dengan mengakui kebebasan yang wajar untuk meneliti lebih lanjut kebenaran-kebenaran itu.
Kan. 387 – Uskup diosesan, dengan mengingat bahwa ia terikat kewajiban memberi teladan kesucian dalam kasih, kerendahan hati dan kesederhanaan hidup, hendaknya dengan segala upaya mengusahakan pengembangan kesucian kaum beriman kristiani menurut panggilan khas masing-masing; dan karena ia adalah pembagi utama misteri-misteri Allah, maka hendaknya ia senantiasa berusaha agar orang-orang beriman kristiani yang dipercayakan kepada reksanya dengan perayaan sakramen-sakramen tumbuh dalam rahmat, dan agar mereka mengenal dan menghayati misteri paskah.
Kan. 388 – § 1. Uskup diosesan setelah mengambil-alih secara kanonik keuskupannya harus mengaplikasikan Misa untuk kesejah-teraan umat (Missa pro populo) di wilayahnya setiap hari Minggu dan hari-hari raya wajib.
§ 2. Uskup harus mempersembahkan dan mengaplikasikan sendiri Misa untuk kesejahteraan umat pada hari-hari yang disebut dalam § 1; jika ia secara legitim terhalang untuk merayakannya, hendaknya ia menyuruh orang lain untuk mengaplikasikannya pada hari-hari itu, atau ia sendiri merayakannya pada hari-hari lain.
§ 3. Uskup, yang disamping keuskupannya sendiri masih diserahi keuskupan-keuskupan lain, juga sebagai administrator, memenuhi kewajiban dengan aplikasi satu Misa bagi seluruh umat yang dipercaya-kan kepadanya.
§ 4. Uskup yang tidak memenuhi kewajiban yang disebut dalam §§ 1-3 hendaknya selekas mungkin mengaplikasikan Misa bagi kesejah-teraan umatnya sebanyak yang dilalaikannya.
Kan. 389 – Hendaknya ia sering memimpin perayaan Ekaristi mahakudus di gereja katedral atau gereja lain keuskupannya, terutama pada hari-hari raya wajib dan perayaan-perayaan lain.
Kan. 390 – Uskup diosesan dapat melaksanakan upacara-upacara pontifikal di seluruh keuskupannya; tetapi tidak di luar keuskupannya sendiri tanpa persetujuan jelas atau sekurang-kurangnya yang secara masuk akal diperkirakan akan diberikan Ordinaris wilayah itu.
Kan. 391 – § 1. Uskup diosesan bertugas memimpin Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya dengan kuasa legislatif, eksekutif dan yudisial, menurut norma hukum.
§ 2. Kuasa legislatif dijalankan Uskup sendiri; kuasa eksekutif dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris jenderal atau episkopal menurut norma hukum; kuasa yudisial dijalankan baik sendiri maupun lewat Vikaris yudisial dan para hakim menurut norma hukum.
Kan. 392 – § 1. Karena harus melindungi kesatuan seluruh Gereja, maka Uskup wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan karenanya wajib mendesakkan pelaksanaan semua undang-undang gerejawi.
§ 2. Hendaknya ia menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, terutama mengenai pelayanan sabda, perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali, penghormatan terhadap Allah dan para Kudus, dan juga pengelolaan harta-benda.
Kan. 393 – Dalam semua perkara yuridis keuskupan, Uskup diosesan mewakili keuskupan itu.
Kan. 394 – § 1. Aneka macam kerasulan di keuskupan hendaknya dikembangkan oleh Uskup, dan diusahakannya agar di seluruh keuskupan atau wilayah-wilayah khusus, semua karya kerasulan dikoordinasi di bawah pimpinannya, tetapi dengan memperhatikan sifat khas masing-masing kerasulan.
§ 2. Hendaknya ia menekankan kewajiban kaum beriman untuk merasul sesuai dengan kedudukan dan kemampuan masing-masing, dan hendaknya ia mengajak mereka untuk berperan-serta dan membantu pelbagai karya kerasulan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan tempat dan waktu.
Kan. 395 – § 1. Uskup diosesan, meskipun mempunyai Uskup koajutor atau auksilier, terikat kewajiban untuk secara pribadi tinggal di keuskupannya.
§ 2. Kecuali karena kunjungan ad limina atau Konsili-konsili, sinode para Uskup, Konferensi para Uskup yang harus dihadirinya, atau karena kewajiban lain yang diserahkan secara legitim kepadanya, karena alasan wajar ia dapat pergi dari keuskupannya tidak melebihi satu bulan, baik terus-menerus maupun terputus-putus, asal saja diatur jangan sampai keuskupan menderita kerugian karena kepergiannya.
§ 3. Janganlah ia pergi dari keuskupan pada hari-hari Natal, Pekan Suci dan Paskah, Pentakosta dan Tubuh dan Darah Kristus, kecuali karena alasan berat dan mendesak.
§ 4. Jika Uskup pergi secara tidak legitim dari keuskupan selama lebih dari enam bulan, hendaknya Uskup metropolit memberitahu Takhta Apostolik mengenai kepergiannya; dan apabila Uskup metropolit yang pergi, maka hendaknya Uskup sufragan yang paling tua melaporkannya.
Kan. 396 – § 1. Uskup terikat kewajiban untuk mengunjungi keuskupan baik seluruhnya maupun sebagian setiap tahun, sedemikian sehingga sekurang-kurangnya setiap lima tahun ia mengunjungi seluruh keuskupannya; kunjungan tersebut dilakukan sendiri atau, jika ter-halang secara legitim, melalui Uskup koajutor, atau Uskup auksilier, atau Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal atau seorang imam lain.
§ 2. Uskup boleh memilih klerikus yang dikehendakinya sebagai pendamping dan pembantu dalam kunjungannya, dan dibatalkan setiap privilegi atau kebiasaan yang berlawanan.
Kan. 397 – § 1. Yang harus mendapat kunjungan biasa oleh Uskup ialah orang-orang, lembaga-lembaga katolik, benda-benda dan tempat-tempat suci, yang berada di kawasan keuskupan.
§ 2. Para anggota tarekat-tarekat religius tingkat kepausan dan rumah-rumahnya dapat dikunjungi Uskup hanya dalam kasus-kasus yang dinyatakan oleh hukum.
Kan. 398 – Hendaknya Uskup berusaha menyelesaikan kunjungan pastoralnya dengan seksama; hendaknya ia menjaga agar jangan memberatkan dan membebani siapa pun dengan pengeluaran yang berlebihan.
Kan. 399 – § 1. Uskup diosesan wajib setiap lima tahun memberi-kan kepada Paus laporan mengenai keadaan keuskupan yang dipercayakan kepadanya, menurut bentuk dan waktu yang ditentukan Takhta Apostolik.
§ 2. Jika tahun untuk memberikan laporan seluruhnya atau sebagian jatuh bersamaan dengan dua tahun pertama sejak awal kepemimpinan keuskupan, untuk kali itu Uskup dapat tidak membuat dan menyampaikan laporan.
Kan. 400 – § 1. Uskup diosesan, pada tahun ia wajib memberikan laporan kepada Paus, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Apostolik, hendaknya pergi ke Roma untuk menghormati makam Santo Petrus dan Paulus Rasul dan menghadap Paus.
§ 2. Uskup hendaknya memenuhi sendiri kewajiban yang disebut di atas, kecuali terhalang secara legitim; dalam hal itu hendaknya ia memenuhi kewajiban itu dengan diwakili oleh Uskup koajutor bila ada, atau auksilier, atau imam yang cakap dari para imam yang tinggal di keuskupannya.
§ 3. Vikaris apostolik dapat memenuhi kewajiban itu dengan diwakili orang yang dikuasakan, juga yang tinggal di Roma; Prefek apostolik tidak terikat kewajiban itu.
Kan. 401 – § 1. Uskup diosesan yang sudah berusia genap tujuh puluh lima tahun, diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus, yang akan mengambil keputusan setelah mempertimbangkan segala keadaan.
§ 2. Uskup diosesan yang karena alasan kesehatan atau karena alasan berat lain menjadi kurang cakap untuk melaksanakan tugasnya, diminta dengan sangat untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya.
Kan. 402 – § 1. Uskup yang pengunduran diri dari jabatannya diterima, mendapat gelar emeritus dari keuskupannya, dan jika mau, dapat mempertahankan tempat tinggalnya di keuskupan, kecuali dalam kasus-kasus tertentu karena keadaan khusus ditentukan lain oleh Takhta Apostolik.
§ 2. Konferensi para Uskup harus mengusahakan agar dijamin sustentasi yang pantas dan sesuai bagi Uskup yang mengundurkan diri, dengan memperhatikan bahwa kewajiban itu pertama-tama mengikat keuskupan yang telah diabdinya.
Artikel 3
USKUP KOAJUTOR DAN AUKSILIER
Kan. 403 – § 1. Jika kebutuhan-kebutuhan pastoral keuskupan menganjurkannya, maka hendaknya atas permohonan Uskup diosesan diangkat seorang atau beberapa Uskup auksilier; Uskup auksilier tidak mempunyai hak mengganti.
§ 2. Dalam keadaan-keadaan yang cukup berat, juga yang bersifat pribadi, Uskup diosesan dapat diberi Uskup auksilier yang dibekali dengan kewenangan khusus.
§ 3. Takhta Suci, jika menganggapnya lebih tepat, ex officio dapat mengangkat Uskup koajutor, yang juga dibekali dengan kewenangan-kewenangan khusus; Uskup koajutor mempunyai hak mengganti.
Kan. 404 – § 1. Uskup koajutor menduduki jabatannya dengan menunjukkan, sendiri atau melalui orang yang dikuasakannya, surat apostolik pengangkatannya kepada Uskup diosesan dan kolegium konsultor dengan dihadiri kanselir kuria yang hendaknya membuat berita acara.
§ 2. Uskup auksilier menduduki jabatannya dengan menunjukkan surat apostolik pengangkatannya kepada Uskup diosesan dengan dihadiri kanselir kuria yang hendaknya membuat berita acara.
§ 3. Apabila Uskup diosesan terhalang sepenuhnya, baik Uskup koajutor maupun Uskup auksilier cukup menunjukkan surat apostolik pengangkatannya kepada kolegium konsultor dengan dihadiri kanselir kuria.
Kan. 405 – § 1. Uskup koajutor, dan juga Uskup auksilier, mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan kanon-kanon berikut dan dirumuskan dalam surat pengangkatannya.
§ 2. Uskup koajutor dan Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2 mendampingi Uskup diosesan dalam seluruh kepemimpinan keuskupan dan mewakilinya bila ia tidak ada atau terhalang.
Kan. 406 – § 1. Uskup koajutor, dan juga Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2, hendaknya diangkat menjadi Vikaris jenderal oleh Uskup diosesan; selain itu hendaknya Uskup diosesan menyerahkan kepadanya lebih dulu daripada kepada lain-lainnya, hal-hal yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus.
§ 2. Kecuali dalam surat apostolik diatur lain dan dengan mengindahkan ketentuan § 1, Uskup diosesan hendaknya mengangkat Uskup auksilier atau Uskup-uskup auksiliernya menjadi Vikaris-vikaris jenderal atau sekurang-kurangnya menjadi Vikaris-vikaris episkopal, yang hanya tergantung pada otoritasnya atau otoritas Uskup koajutor atau Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2.
Kan. 407 – § 1. Agar kesejahteraan keuskupan sekarang dan di masa depan dikembangkan sebaik-baiknya, Uskup diosesan, Uskup koajutor dan Uskup auksilier yang disebut dalam kan. 403, § 2 hendaknya dalam hal-hal yang cukup penting saling berkonsultasi.
§ 2. Uskup diosesan dalam mempertimbangkan hal-hal yang cukup penting, terutama yang bersifat pastoral, hendaknya berkonsultasi lebih dahulu dengan para Uskup auksilier dari pada dengan orang-orang lain.
§ 3. Uskup koajutor dan Uskup auksilier, justru karena dipanggil untuk mengambil bagian dalam keprihatinan Uskup diosesan, hendaknya menjalankan tugas-tugas mereka sedemikian sehingga mereka melangkah bersamanya dengan usaha dan semangat terpadu.
Kan. 408 – § 1. Uskup koajutor dan Uskup auksilier, bila tidak terhambat halangan wajar, diwajibkan untuk menyelenggarakan upacara pontifikal dan tugas-tugas yang merupakan kewajiban Uskup diosesan, setiap kali diminta olehnya.
§ 2. Hak-hak dan tugas-tugas Uskup yang dapat dijalankan Uskup koajutor atau Uskup auksilier, janganlah diserahkan oleh Uskup diosesan secara tetap kepada orang lain.
Kan. 409 – § 1. Bila Takhta Uskup lowong, Uskup koajutor segera menjadi Uskup dari keuskupan untuknya ia ditetapkan, asalkan jabatan itu dimilikinya secara legitim.
§ 2. Bila Takhta Uskup lowong, sampai Uskup baru menduduki Takhtanya, Uskup auksilier, kecuali ditentukan lain oleh otoritas yang berwenang, menjalankan semua dan hanya kuasa dan kewenangan yang bila Takhta terisi, dipunyainya sebagai Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal; dan bila ia tidak ditunjuk menjadi Administrator diosesan, hendaknya ia menjalankan kuasa yang diberikan hukum dibawah otoritas Administrator diosesan yang mengepalai kepemimpinan keuskupan.
Kan. 410 – Uskup koajutor dan Uskup auksilier terikat kewajiban, seperti Uskup diosesan sendiri, untuk tinggal di keuskupan; janganlah mereka pergi lama dari situ, kecuali karena suatu tugas yang harus dipenuhi di luar keuskupan atau karena liburan yang jangan melampaui satu bulan.
Kan. 411 – Mengenai pengunduran diri dari jabatan Uskup koajutor dan Uskup auksilier, diterapkan ketentuan-ketentuan kan. 401 dan 402, § 2.
BAB III
TAKHTA TERHALANG DAN TAKHTA LOWONG
Artikel 1
TAKHTA TERHALANG
Kan. 412 – Takhta Uskup dimengerti terhalang apabila karena penahanan, pengusiran, pembuangan atau ketidakmampuan, Uskup diosesan terhalang sama sekali untuk mengurus tugas pastoral di keuskupannya, bahkan tidak dapat berhubungan dengan umatnya lewat surat.
Kan. 413 – § 1. Bila Takhta terhalang, kepemimpinan keuskupan, kecuali diatur lain oleh Takhta Suci, beralih kepada Uskup koajutor, jika ada; jika tidak ada atau terhalang, maka beralih kepada Uskup auksilier atau Vikaris jenderal atau episkopal, atau imam yang lain, dengan mengindahkan urutan orang-orang yang ditetapkan oleh Uskup diosesan segera setelah menduduki jabatannya; dan daftar itu harus diberitahukan kepada Uskup metropolit dan paling sedikit tiga tahun sekali diperbaharui dan hendaknya disimpan dengan rahasia oleh kanselir.
§ 2. Jika tidak ada Uskup koajutor atau ia terhalang dan daftar yang disebut dalam § 1 juga tidak tersedia, kolegium konsultor bertugas memilih seorang imam untuk memimpin keuskupan.
§ 3. Yang mengambil-alih kepemimpinan keuskupan menurut norma §§ 1 atau 2, hendaknya selekas mungkin memberitahu Takhta Suci tentang Takhta yang terhalang dan jabatan yang diterimanya.
Kan. 414 – Setiap orang yang menurut norma kan. 413 dipanggil untuk menjalankan reksa pastoral keuskupan untuk sementara waktu, hanya selama Takhta terhalang, dalam menjalankan reksa pastoral keuskupan terikat kewajiban-kewajiban dan kuasa yang dalam hukum dimiliki oleh Administrator diosesan.
Kan. 415 – Jika Uskup diosesan dilarang melaksanakan tugasnya karena hukuman gerejawi, Uskup metropolit atau Uskup sufragan yang tertua dalam jabatan, jika Uskup metropolit tidak ada atau jika Uskup metropolit itu sendiri yang tersangkut, hendaknya segera menghubungi Takhta Suci agar Takhta Suci mengambil langkah-langkah seperlunya.
Artikel 2
TAKHTA LOWONG
Kan. 416 – Takhta Uskup lowong dengan kematian Uskup diosesan, pengunduran diri yang diterima oleh Paus, pemindahan dan pemecatan yang diberitahukan kepada Uskup itu.
Kan. 417 – Semua yang dilakukan Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal mempunyai kekuatan hukum sampai mereka menerima berita pasti tentang kematian Uskup diosesan, demikian pula yang dilakukan Uskup diosesan atau Vikaris jenderal atau episkopal mempunyai kekuatan hukum sampai mereka menerima berita pasti tentang tindakan Paus yang disebut di atas.
Kan. 418 – § 1. Dalam waktu dua bulan setelah berita pasti tentang pemindahannya, Uskup harus pindah ke keuskupannya yang baru (ad quam) dan mengambil-alih secara kanonik keuskupannya; pada hari ia mengambil-alih secara kanonik keuskupannya yang baru itu, keuskupannya yang lama (a qua) menjadi lowong.
§ 2. Sejak berita pasti tentang pemindahan sampai ia mengambil-alih secara kanonik keuskupan yang baru, di keuskupannya yang lama (a qua) Uskup yang dipindahkan:
10 memperoleh kuasa dan terikat kewajiban-kewajiban Adminis-trator diosesan, sedangkan segala macam kuasa Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal terhenti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 409, § 2;
20 memperoleh remunerasi utuh yang sesuai dengan jabatannya.
Kan. 419 – Bila Takhta lowong, kepemimpinan keuskupan sampai adanya Administrator diosesan beralih kepada Uskup auksilier, dan bila ada beberapa Uskup auksilier, kepada yang paling lama pengangkatannya; tetapi bila tak ada Uskup auksilier, kepada kolegium konsultor, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Suci. Yang mengambil-alih kepemimpinan keuskupan dengan cara itu, hendaknya selekas mungkin memanggil kolegium yang berwenang untuk mengangkat Administrator diosesan.
Kan. 420 – Bila di vikariat atau prefektur apostolik Takhta lowong, kepemimpinan diambil-alih oleh Pro-Vikaris atau Pro-Prefek yang oleh Vikaris atau Prefek segera setelah menduduki jabatannya diangkat hanya untuk tujuan itu, kecuali ditentukan lain oleh Takhta Suci.
Kan. 421 – § 1. Dalam waktu delapan hari setelah diterimanya berita tentang lowongnya Takhta Uskup, Administrator diosesan, yakni yang memimpin keuskupan untuk sementara waktu, harus dipilih oleh kolegium konsultor, dengan mengindahkan ketentuan kan. 502, § 3.
§ 2. Jika dalam waktu yang ditetapkan itu Administrator diosesan karena alasan apapun belum dipilih secara legitim, pengangkatannya beralih kepada Uskup metropolit; dan jika Gereja metropolit itu sendiri yang lowong atau Gereja metropolit dan Gereja sufragan lowong bersama, pengangkatan beralih kepada Uskup sufragan yang tertua pengangkatannya.
Kan. 422 – Uskup auksilier dan, jika tidak ada, kolegium konsultor, hendaknya selekas mungkin memberitahukan kematian Uskup; demikian pula orang yang dipilih menjadi Administrator diosesan memberitahukan pemilihannya kepada Takhta Apostolik.
Kan. 423 – § 1. Hendaknya diangkat seorang Administrator diosesan saja dan tak dibenarkan adanya kebiasaan yang berlawanan; kalau tidak, pemilihan tidak sah.
§ 2. Administrator diosesan janganlah sekaligus ekonom; maka jika ekonom keuskupan dipilih menjadi Administrator, hendaknya dewan keuangan memilih orang lain menjadi ekonom untuk sementara.
Kan. 424 – Administrator diosesan hendaknya dipilih menurut norma kan. 165-178.
Kan. 425 – § 1. Untuk jabatan Administrator diosesan hanya dapat diangkat dengan sah seorang imam yang berusia genap tiga puluh lima tahun dan belum dipilih, ditunjuk atau diajukan untuk menduduki jabatan yang lowong itu.
§ 2. Untuk menjadi Administrator diosesan hendaknya dipilih seorang imam yang unggul dalam ajaran dan kearifan.
§ 3. Apabila syarat-syarat yang disebut dalam § 1 diabaikan, Uskup metropolit atau, bila Gereja metropolit sendiri yang lowong, Uskup sufragan tertua dalam pengangkatan, setelah mengetahui kebenaran perkaranya, hendaknya mengangkat Administrator untuk kali itu; adapun perbuatan-perbuatan orang yang dipilih melawan ketentuan § 1 itu, menurut hukum sendiri tidak sah.
Kan. 426 – Yang memimpin keuskupan sewaktu Takhta lowong sebelum pengangkatan Administrator diosesan, mempunyai kekuasaan yang diakui hukum bagi Vikaris jenderal.
Kan. 427 – § 1. Administrator diosesan terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai kuasa Uskup diosesan, terkecuali hal-hal yang menurut hakikatnya atau oleh hukum sendiri dikecualikan.
§ 2. Administrator diosesan setelah menerima pemilihannya mendapat kuasa tanpa diperlukan peneguhan dari siapa pun, dengan tetap berlaku kewajiban yang disebut dalam kan. 833, 40.
Kan. 428 – § 1. Apabila Takhta lowong tak suatupun boleh diubah.
§ 2. Mereka yang menjalankan kepemimpinan keuskupan untuk sementara dilarang melakukan apapun yang dapat merugikan keus-kupan atau hak-hak Uskup; khususnya mereka itu dan juga siapa saja, sendiri atau lewat orang lain, dilarang mengambil atau merusak dokumen apapun dari kuria keuskupan atau mengubah sesuatu padanya.
Kan. 429 – Administrator diosesan terikat kewajiban tinggal di keuskupan dan mengaplikasikan Misa untuk kesejahteraan umat menurut norma kan. 388.
Kan. 430 – § 1. Tugas Administrator diosesan berhenti dengan pengambil-alihan keuskupan oleh Uskup baru.
§ 2. Pemberhentian Administrator diosesan direservasi bagi Takhta Suci; pengunduran diri yang mungkin dibuat olehnya, harus ditunjukkan dalam bentuk otentik kepada kolegium yang berwenang untuk memilih, dan tidak membutuhkan penerimaan; jika Administrator diosesan diberhentikan atau mengundurkan diri, atau meninggal, hendaknya dipilih Administrator diosesan lain menurut norma kan. 421.

JUDUL II
HIMPUNAN GEREJA PARTIKULAR
BAB I
PROVINSI GEREJAWI DAN REGIO GEREJAWI
Kan. 431 – § 1. Agar kegiatan pastoral bersama pelbagai keuskupan yang berdekatan dikembangkan sesuai dengan keadaan orang-orang dan tempatnya, dan agar hubungan antara para uskup diosesan dipupuk dengan lebih baik, Gereja-gereja partikular yang berdekatan hendaknya dibentuk menjadi provinsi-provinsi gerejawi yang dibatasi pada wilayah tertentu.
§ 2. Selanjutnya pada umumnya jangan ada keuskupan-keuskupan exempt; dengan demikian setiap keuskupan dan Gereja-gereja partikular lainnya dalam wilayah suatu provinsi gerejawi harus tergabung dalam provinsi gerejawi itu.
§ 3. Hanyalah otoritas tertinggi Gereja, setelah mendengarkan para Uskup yang berkepentingan, berwenang mendirikan, menghapus, atau mengubah provinsi-provinsi gerejawi.
Kan. 432 – § 1. Dalam provinsi gerejawi, dewan provinsi dan Uskup metropolit memiliki otoritas menurut norma hukum.
§ 2. Provinsi gerejawi menurut hukum sendiri mempunyai status badan hukum.
Kan. 433 – § 1. Jika bermanfaat, terutama pada bangsa-bangsa yang mempunyai cukup banyak Gereja partikular, atas usul Konferensi para Uskup, Provinsi-provinsi gerejawi yang berdekatan dapat digabung menjadi regio-regio gerejawi.
§ 2. Regio gerejawi dapat didirikan sebagai badan hukum.
Kan. 434 – Pertemuan Uskup regio gerejawi bertugas memupuk kerjasama dan kegiatan pastoral bersama di regionya; tetapi kuasa-kuasa yang dalam kanon-kanon Kitab Hukum ini diberikan kepada Konferensi para Uskup tidak dimiliki pertemuan Uskup regio itu, kecuali secara khusus beberapa diberikan oleh Takhta Suci.
BAB II
USKUP METROPOLIT
Kan. 435 – Provinsi gerejawi dikepalai oleh Uskup metropolit yang adalah Uskup Agung dari keuskupan yang dipimpinnya; adapun tugas itu dikaitkan dengan Takhta Uskup yang ditetapkan atau disetujui oleh Paus.
Kan. 436 – § 1. Di keuskupan-keuskupan sufragan Uskup metropolit berwenang:
10 menjaga agar iman dan disiplin gerejawi ditaati dengan seksama, dan melaporkan penyelewengan-penyelewengan, jika ada, kepada Paus;
20 mengadakan visitasi kanonik, jika itu diabaikan Uskup sufra-gan, tetapi hal itu harus lebih dahulu mendapat persetujuan dari Takhta Apostolik;
30 mengangkat Administrator diosesan, menurut norma kan. 421, § 2 dan 425, § 3.
§ 2. Dimana keadaan menuntutnya, Uskup metropolit dapat diberi tugas-tugas khusus dan kuasa oleh Takhta Apostolik yang harus ditetapkan dalam hukum partikular.
§ 3. Uskup metropolit tidak mempunyai kuasa kepemimpinan lain apapun di keuskupan-keuskupan sufragan; tetapi ia dapat menyelengga-rakan upacara-upacara suci di semua gereja, dan bila di gereja katedral, setelah lebih dahulu memberitahu Uskup diosesan, seperti Uskup di keuskupan sendiri.
Kan. 437 – § 1. Dalam tiga bulan setelah menerima tahbisan Uskup, atau, apabila ia sudah ditahbiskan, setelah pengangkatan kanonik, Uskup metropolit, entah sendiri atau lewat orang yang dikuasakan, terikat kewajiban mohon pallium dari Paus, yang menandakan kuasa yang diberikan oleh hukum kepadanya selaku Uskup metropolit di provinsinya, dalam persekutuan dengan Gereja Roma.
§ 2. Uskup metropolit dapat mengenakan pallium di gereja manapun di wilayah provinsi gerejawi yang ia pimpin, sesuai norma undang-undang liturgis, tetapi sama sekali tidak bisa mengenakannya di luar provinsinya, juga meski dengan persetujuan Uskup diosesan.
§ 3. Uskup metropolit membutuhkan pallium baru, jika dipindah ke Takhta Metropolit lain.
Kan. 438 – Gelar Batrik dan Primat, selain merupakan hak istimewa kehormatan, dalam Gereja Latin tidak memberi kuasa kepemimpinan apapun, kecuali nyata lain mengenai beberapa hal berdasarkan privilegi apostolik atau kebiasaan yang disetujui.

BAB III
KONSILI PARTIKULAR
Kan. 439 – § 1. Konsili paripurna yakni yang menghimpun semua Gereja partikular dalam Konferensi para Uskup yang sama, diseleng-garakan setiap kali dipandang perlu atau berguna oleh Konferensi para Uskup, dengan persetujuan Takhta Apostolik.
§ 2. Norma yang ditetapkan dalam § 1 juga berlaku untuk menyelenggarakan konsili provinsi di provinsi gerejawi, yang batas-batasnya sama dengan wilayah negara.
Kan. 440 – § 1. Konsili provinsi untuk pelbagai Gereja partikular provinsi gerejawi yang sama, hendaknya diselenggarakan setiap kali dipandang berguna menurut penilaian sebagian besar Uskup diosesan provinsi, dengan mengindahkan kan. 439, § 2.
§ 2. Bila Takhta metropolit lowong, janganlah dipanggil konsili provinsi.
Kan. 441 – Konferensi para Uskup berwenang:
10 memanggil konsili paripuma;
20 memilih tempat penyelenggaraan konsili dalam wilayah Konferensi para Uskup;
30 memilih ketua konsili paripurna di antara para Uskup diosesan, yang harus disetujui oleh Takhta Apostolik;
40 menentukan susunan agenda dan masalah-masalah yang harus dibahas, mengumumkan awal dan lamanya konsili paripurna, memindahkan, memperpanjang dan membubarkannya.
Kan. 442 – § 1. Dengan persetujuan sebagian besar Uskup sufragan, Uskup metropolit berwenang:
10 memanggil konsili provinsi;
20 memilih tempat untuk penyelenggaraan konsili provinsi dalam wilayah provinsi;
30 menentukan susunan agenda dan masalah-masalah yang harus dibahas, mengumumkan awal dan lamanya konsili provinsi, memindahkan, memperpanjang dan membubarkannya.
§ 2. Uskup metropolit dan, jika ia terhalang secara legitim, Uskup sufragan yang dipilih Uskup-uskup sufragan lainnya, bertugas mengetuai konsili provinsi.
Kan. 443 – § 1. Yang harus dipanggil menghadiri konsili parti-kular dan mempunyai hak suara deliberatif:
10 Uskup-uskup diosesan;
20 Uskup-uskup koajutor dan auksilier;
30 Uskup tituler lain yang memegang tugas khusus yang diserah-kan Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup di wilayah itu.
§ 2. Ke konsili-konsili partikular dapat dipanggil Uskup-uskup tituler lainnya, juga yang purnakarya dan tinggal di wilayah; mereka mempunyai hak suara deliberatif.
§ 3. Yang harus dipanggil ke konsili-konsili partikular dengan suara konsultatif saja ialah:
10 Vikaris-vikaris jenderal dan Vikaris-vikaris episkopal dari semua Gereja partikular di wilayah;
20 Para pemimpin tinggi tarekat-tarekat religius dan serikat-serikat hidup kerasulan dalam jumlah, baik bagi pria maupun wanita, yang harus ditentukan oleh Konferensi para Uskup atau para Uskup provinsi; mereka itu dipilih oleh semua Pemimpin tinggi tarekat-tarekat religius dan serikat-serikat yang mempunyai tempat kedudukan di wilayah;
30 Para rektor universitas-universitas gerejawi dan katolik serta para dekan fakultas-fakultas teologi dan hukum kanonik yang mempunyai tempat kedudukan di wilayah;
40 Beberapa rektor seminari-seminari tinggi dalam jumlah yang harus ditentukan seperti dalam no. 2, dipilih oleh para rektor seminari-seminari yang berada di wilayah itu.
§ 4. Ke konsili-konsili partikular juga dapat dipanggil, hanya dengan suara konsultatif, imam-imam dan orang-orang beriman kristiani lainnya, tetapi sedemikian sehingga jumlah mereka tidak melampaui separuh dari mereka yang disebut dalam §§ 1 – 3.
§ 5. Ke konsili-konsili provinsi selain itu hendaknya juga diundang kapitel katedral, dan juga dewan imam serta dewan pastoral masing-masing Gereja partikular, sedemikian sehingga mereka masing-masing mengutus dua orang dari para anggotanya yang mereka tunjuk secara kolegial; tetapi mereka hanya mempunyai suara konsultatif.
§ 6. Jika menurut penilaian Konferensi para Uskup berguna untuk konsili paripurna atau menurut penilaian Uskup metropolit bersama dengan para Uskup sufragan berguna untuk konsili provinsi, ke konsili-konsili partikular dapat juga diundang orang-orang lain sebagai tamu.
Kan. 444 – § 1. Semua orang yang dipanggil ke konsili partikular harus menghadirinya, kecuali terhambat halangan yang wajar, yang harus mereka beritahukan kepada ketua konsili.
§ 2. Mereka yang dipanggil ke konsili partikular dan mempunyai suara deliberatif di dalamnya, jika terhambat halangan yang wajar, dapat mengutus orang yang dikuasakan; orang yang dikuasakan itu hanya mempunyai suara konsultatif.
Kan. 445 – Konsili partikular hendaknya mengusahakan untuk wilayahnya sendiri agar dipikirkan keperluan-keperluan pastoral umat Allah; dan agar konsili mempunyai kuasa kepemimpinan, terutama legislatif, sedemikian sehingga konsili dengan selalu mengindahkan hukum universal Gereja, dapat memutuskan apa yang dianggap tepat untuk pertumbuhan iman, untuk mengatur kegiatan pastoral bersama dan untuk mengarahkan, memelihara, memasukkan atau melindungi tata-tertib umum gerejawi.
Kan. 446 – Seusai konsili partikular ketua hendaknya mengusaha-kan agar semua akta konsili dikirim kepada Takhta Apostolik; dekret-dekret yang dikeluarkan konsili janganlah diundangkan kecuali setelah disahkan oleh Takhta Apostolik; konsili sendiri bertugas menentukan cara mengundangkan dekret-dekret dan waktu mulai mewajibkannya dekret-dekret yang telah diundangkan.
BAB IV
KONFERENSI PARA USKUP
Kan. 447 – Konferensi para Uskup, suatu lembaga tetap, ialah himpunan para Uskup suatu negara atau wilayah tertentu, yang melaksanakan pelbagai tugas pastoral bersama-sama untuk kaum beriman kristiani dari wilayah itu, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum.
Kan. 448 – § 1. Konferensi para Uskup menurut peraturan umum meliputi para pemimpin semua Gereja partikular suatu negara menurut norma kan. 450.
§ 2. Tetapi bila menurut penilaian Takhta Apostolik, setelah mendengarkan para Uskup diosesan yang berkepentingan, situasi orang-orang atau keadaan menganjurkannya, dapatlah Konferensi para Uskup didirikan untuk wilayah yang lebih kecil atau lebih luas sedemikian sehingga atau hanya meliputi Uskup-uskup beberapa Gereja partikular yang ada di wilayah tertentu atau pemimpin-pemimpin Gereja partikular yang berada di pelbagai negara; adalah wewenang Takhta Apostolik itu juga untuk menetapkan norma-norma khusus untuk masing-masing konferensi tersebut.
Kan. 449 – § 1. Hanyalah otoritas tertinggi Gereja berwenang, setelah mendengarkan para Uskup yang berkepentingan, untuk mendirikan, menghapus atau mengubah konferensi-Konferensi para Uskup.
§ 2. Konferensi para Uskup yang didirikan secara legitim, menurut hukum sendiri mempunyai status badan hukum.
Kan. 450 – § 1. Menurut hukum sendiri termasuk Konferensi para Uskup semua Uskup diosesan di wilayah dan semua yang menurut hukum disamakan dengan mereka, demikian pula para Uskup koajutor, Uskup auksilier dan Uskup-uskup tituler lain yang di wilayah itu menjalankan tugas khusus yang diserahkan kepadanya oleh Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup; dapat juga diundang para Ordinaris ritus lain, tetapi mereka mempunyai suara konsultatif saja, kecuali statuta Konferensi para Uskup menentukan lain.
§ 2. Uskup-uskup tituler lainnya dan juga Duta Paus bukanlah anggota-anggota Konferensi para Uskup menurut bukum.
Kan. 451 – Setiap Konferensi para Uskup hendaknya membuat statutanya, yang harus disahkan Takhta Apostolik; dalam statuta itu antara lain hendaknya diatur pertemuan-pertemuan paripurna konferensi dan hendaknya diadakan dewan tetap para Uskup dan sekretariat jenderal konferensi, dan juga lembaga-lembaga lain dan komisi-komisi yang menurut penilaian konferensi membantu mencapai tujuan dengan lebih efektif.
Kan. 452 – § 1. Setiap Konferensi para Uskup hendaknya memilih ketua, menetapkan siapa memegang tugas wakil ketua jika ketua terhalang secara legitim, dan mengangkat sekretaris jenderal, menurut norma statuta.
§ 2. Ketua konferensi, dan jika ia terhalang secara legitim wakil ketua, tidak hanya mengetuai pertemuan-pertemuan umum Konferensi para Uskup, melainkan juga dewan tetap.
Kan. 453 – Pertemuan paripurna Konferensi para Uskup hendaknya diadakan sekurang-kurangnya sekali setiap tahun dan selain itu juga setiap kali dituntut keadaan khusus menurut ketentuan statuta.
Kan. 454 – § 1. Suara deliberatif dalam pertemuan-pertemuan paripurna Konferensi para Uskup menurut hukum merupakan kewenangan para Uskup diosesan dan orang-orang yang menurut hukum disamakan dengan mereka, dan juga para Uskup koajutor.
§ 2. Para Uskup auksilier dan lain-lain Uskup tituler yang termasuk Konferensi para Uskup, mempunyai suara deliberatif atau konsultatif, tergantung dari ketentuan-ketentuan statuta konferensi; tetapi bila membuat atau mengubah statuta, hanya mereka yang disebut dalam § 1 sajalah memiliki suara deliberatif.
Kan. 455 – § 1. Konferensi para Uskup hanya dapat mengeluarkan dekret-dekret umum dalam perkara-perkara di mana hukum universal memerintahkannya, atau mandat khusus Takhta Apostolik menetap-kannya baik atas motu proprio maupun atas permohonan konferensi.
§ 2. Agar dekret-dekret yang disebut dalam § 1 dikeluarkan secara sah dalam pertemuan paripurna, haruslah itu diajukan dengan sekurang-kurangnya dua per tiga suara para Uskup yang tergabung dalam konferensi dan mempunyai suara deliberatif; dan dekret-dekret itu tidak memiliki daya mewajibkan kecuali disahkan oleh Takhta Apostolik dan diundangkan secara legitim.
§ 3. Cara mengundangkan dan waktu mulai berlakunya dekret-dekret itu hendaknya ditentukan oleh Konferensi para Uskup sendiri.
§ 4. Dalam kasus-kasus di mana baik hukum universal maupun mandat khusus Takhta Apostolik tidak memberikan kuasa yang disebut dalam § 1 kepada Konferensi para Uskup, kewenangan setiap Uskup diosesan tetap utuh dan konferensi atau ketuanya tidak dapat bertindak atas nama semua Uskup, kecuali semua dan setiap Uskup memberikan persetujuannya.
Kan. 456 – Bila pertemuan paripurna Konferensi para Uskup selesai, laporan tentang akta konferensi dan juga dekret-dekretnya hendaknya dikirim oleh ketua kepada Takhta Apostolik, baik agar akta disampaikan sebagai berita baginya, maupun agar dekret-dekret, jika ada, dapat disahkan olehnya.
Kan. 457 – Dewan tetap para Uskup bertugas mengusahakan agar agenda dalam pertemuan paripurna konferensi dipersiapkan dan keputusan-keputusan yang ditetapkan dalam sidang paripurna dijalan-kan dengan semestinya, demikian pula dewan tetap itu bertugas menyelesaikan urusan-urusan lain yang dipercayakan kepadanya menurut norma statuta.
Kan. 458 – Sekretaris jenderal bertugas:
10 menyusun laporan akta dan dekret-dekret sidang paripurna konferensi dan juga akta dewan tetap para Uskup, dan menyampaikannya kepada semua anggota konferensi, juga menyusun akta lain yang diserahkan oleh ketua konferensi atau dewan tetap kepadanya untuk dikerjakan.
20 menyampaikan kepada Konferensi-konferensi para Uskup te-tangga akta dan dokumen-dokumen yang oleh konferensi dalam sidang paripurna atau oleh dewan tetap para Uskup ditetapkan agar dikirim kepada mereka.
Kan. 459 – § 1. Hendaknya hubungan-hubungan antara Konferen-si-konferensi para Uskup, terutama yang berdekatan, dikembangkan untuk memajukan dan melindungi kesejahteraan yang lebih besar.
§ 2. Setiap kali oleh Konferensi-konferensi direncanakan kegiatan-kegiatan atau program-program yang menampilkan sifat internasional, haruslah Takhta Apostolik didengarkan.

JUDUL III
TATA SUSUNAN INTERN GEREJA PARTIKULAR
BAB I
SINODE KEUSKUPAN
Kan. 460 – Sinode keuskupan ialah himpunan imam-imam dan orang-orang beriman kristiani yang terpilih dari Gereja partikular, untuk membantu Uskup diosesan demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan, menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 461 – § 1. Hendaknya sinode keuskupan diselenggarakan di setiap Gereja partikular, bila menurut penilaian Uskup diosesan dan setelah mendengarkan dewan imam, keadaan menganjurkannya.
§ 2. Jika Uskup memimpin beberapa keuskupan, atau memimpin satu keuskupan sebagai Uskupnya sendiri, sedangkan lainnya sebagai Administrator, ia dapat memanggil satu sinode dari semua keuskupan yang dipercayakan kepadanya.
Kan. 462 – § 1. Sinode keuskupan dipanggil hanya oleh Uskup diosesan, dan tidak oleh orang yang mengepalai keuskupan untuk sementara.
§ 2. Sinode keuskupan diketuai oleh Uskup diosesan; tetapi ia dapat memberi delegasi kepada Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal untuk memenuhi tugas itu untuk masing-masing sidang sinode.
Kan. 463 – § 1. Ke sinode keuskupan harus dipanggil sebagai anggota sinode dan terikat kewajiban untuk mengambil bagian di dalamnya:
10 Para Uskup koajutor dan juga Uskup auksilier;
20 Para Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal, dan juga Vikaris yudisial;
30 para kanonik gereja katedral;
40 para anggota dewan imam;
50 orang-orang beriman kristiani awam, juga para anggota tarekat-tarekat hidup-bakti, yang dipilih oleh dewan pastoral, menurut cara dan dalam jumlah yang harus ditetapkan oleh Uskup diosesan, atau, jika dewan itu tidak ada, menurut kriteria yang ditentukan oleh Uskup diosesan;
60 rektor seminari tinggi diosesan;
70 para deken;
80 sekurang-kurangnya seorang imam dari setiap dekenat yang harus dipilih oleh semua yang mempunyai reksa jiwa-jiwa di situ; demikian pula harus dipilih imam lain untuk mengganti-kannya bila ia terhalang;
90 beberapa pemimpin tarekat-tarekat religius dan serikat hidup kerasulan, yang mempunyai rumah di keuskupan, dan harus dipilih dalam jumlah dan menurut cara yang ditentukan oleh Uskup diosesan.
§ 2. Ke sinode keuskupan dapat dipanggil oleh Uskup sebagai anggota-anggota sinode juga orang-orang lain, baik klerus maupun anggota-anggota tarekat-tarekat hidup-bakti atau orang-orang beriman kristiani awam.
§ 3. Ke sinode keuskupan Uskup diosesan, jika ia menganggapnya baik, dapat mengundang sebagai pengamat beberapa pejabat atau anggota gereja-gereja atau komunitas gerejawi, yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik.
Kan. 464 – Anggota sinode yang terhambat halangan secara legitim, tidak dapat mengutus orang yang dikuasakan untuk menghadiri sidang atas namanya; namun Uskup diosesan hendaknya diberitahu tentang halangan itu.
Kan. 465 – Semua masalah yang diajukan hendaknya diserahkan kepada pembahasan bebas para anggota dalam sidang-sidang sinode.
Kan. 466 – Hanya Uskup diosesanlah satu-satunya legislator dalam sinode keuskupan, sedangkan anggota-anggota lain dari sinode hanya mempunyai suara konsultatif; hanya Uskup yang menandata-ngani pernyataan-pernyataan dan dekret-dekret sinode, yang hanya dapat dipublikasikan atas otoritasnya.
Kan. 467 – Uskup diosesan hendaknya menyampaikan teks-teks pernyataan dan dekret-dekret sinode kepada Uskup metropolit dan juga kepada Konferensi para Uskup.
Kan. 468 – § 1. Uskup diosesan berwenang sesuai dengan penilaiannya yang arif menangguhkan dan juga membubarkan sinode keuskupan.
§ 2. Bila Takhta keuskupan lowong atau terhalang, sinode keuskupan menurut hukum sendiri ditangguhkan, sampai Uskup diosesan yang menggantikannya memutuskan agar sinode itu dilanjutkan atau dihentikan.

BAB II
KURIA DIOSESAN

Kan. 469 – Kuria diosesan terdiri dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan, terutama dalam mengarahkan karya pastoral, melaksanakan administrasi keuskupan dan juga dalam menjalankan kuasa yudisial.
Kan. 470 – Pengangkatan mereka yang menjalankan tugas-tugas di kuria diosesan merupakan hak Uskup diosesan.
Kan. 471 – Semua orang yang diperkenankan memegang jabatan dalam kuria harus:
10 mengucapkan janji untuk memenuhi tugasnya dengan setia, menurut cara yang ditetapkan oleh hukum atau oleh Uskup;
20 menjaga rahasia dalam batas-batas dan menurut cara yang ditetapkan oleh hukum atau oleh Uskup.
Kan. 472 – Mengenai perkara-perkara dan orang-orang yang dalam kuria berhubungan dengan pelaksanaan kuasa yudisial hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan Buku VII Hukum Acara (De Processibus); tetapi mengenai yang berhubungan dengan administrasi keuskupan hendaknya ditepati kanon-kanon berikut ini.
Kan. 473 – § 1. Uskup diosesan harus mengusahakan agar semua urusan yang termasuk administrasi seluruh keuskupan dikoordinasi dengan semestinya dan diarahkan untuk menyelenggarakan dengan lebih tepat kesejahteraan bagian dari umat Allah yang dipercayakan kepadanya.
§ 2. Uskup diosesan sendirilah yang berhak mengkoordinasi karya pastoral para Vikaris, baik jenderal maupun episkopal; apabila bermanfaat, dapat diangkat seorang Moderator kuria, yang harus seorang imam; dibawah otoritas Uskup ia bertugas mengkoordinasi hal-hal yang menyangkut urusan administratif dan juga mengusahakan agar semua petugas kuria lainnya menjalankan dengan tepat tugas yang dipercayakan kepada mereka.
§ 3. Kecuali menurut penilaian Uskup keadaan tempat menuntut lain, hendaknya sebagai Moderator kuria diangkat Vikaris jenderal, atau jika ada beberapa, seorang dari mereka.
§ 4. Apabila menurut penilaiannya bermanfaat, Uskup dapat membentuk dewan keuskupan yang terdiri dari para Vikaris jenderal dan episkopal, untuk mengembangkan karya pastoral dengan lebih tepat.
Kan. 474 – Akta kuria yang dimaksudkan memiliki efek yuridis haruslah ditandatangani oleh Ordinaris yang mengeluarkannya, dan itu demi sahnya, serentak juga oleh kanselir atau notarius kuria; adapun kanselir kuria wajib memberitahukan akta itu kepada Moderator kuria.

Artikel 1
VIKARIS JENDERAL DAN EPISKOPAL
Kan. 475 – § 1. Di setiap keuskupan haruslah diangkat oleh Uskup diosesan seorang Vikaris jenderal, yang diberi kuasa berdasar jabatan untuk membantu Uskup memimpin seluruh keuskupan, menurut norma kanon-kanon berikut ini.
§ 2. Sebagai ketentuan umum hendaknya diangkat satu Vikaris jenderal, kecuali dianjurkan lain oleh luasnya keuskupan atau besarnya jumlah penduduk atau alasan pastoral lainnya.
Kan. 476 – Setiap kali kepemimpinan yang benar atas keuskupan membutuhkannya, Uskup diosesan dapat juga mengangkat seorang atau beberapa Vikaris episkopal yang, di bagian tertentu keuskupan atau dalam bidang tertentu atau untuk kaum beriman ritus tertentu atau kelompok orang-orang tertentu, mempunyai kuasa berdasarkan jabatan, yang menurut hukum universal dimiliki Vikaris jenderal, sesuai norma kanon-kanon berikut ini.
Kan. 477 – § 1. Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal diangkat dengan bebas oleh Uskup diosesan dan dapat diberhentikan dengan bebas olehnya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 406; Vikaris episkopal, karena bukan Uskup auksilier, hendaknya diangkat hanya untuk waktu yang harus ditetapkan dalam tindakan pengangkatan itu sendiri.
§ 2. Jika Vikaris jenderal tak ada di tempat atau berhalangan secara legitim, Uskup diosesan dapat mengangkat orang lain untuk mewakilinya; norma yang sama dikenakan pada Vikaris episkopal.
Kan. 478 – § 1. Vikaris jenderal dan episkopal hendaknya imam-imam yang berusia tak kurang dari tiga puluh tahun, mempunyai gelar doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik atau teologi atau sekurang-kurangnya sungguh ahli dalam ilmu-ilmu itu, layak karena ajaran yang sehat, peri kehidupan yang baik, kearifan dan pengalaman kerja.
§ 2. Jabatan Vikaris jenderal dan episkopal tidak dapat dipadukan dengan jabatan penitensiarius kanonik, dan juga tidak dapat diserahkan kepada orang yang berhubungan darah dengan Uskup sampai tingkat keempat.
Kan. 479 – § 1. Berdasarkan jabatan Vikaris jenderal memiliki di seluruh keuskupan kuasa eksekutif yang menurut hukum merupakan milik Uskup, yakni kuasa untuk melakukan semua tindakan administratif, tetapi dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus dari Uskup.
§ 2. Vikaris episkopal menurut hukum sendiri memiliki kuasa yang disebut dalam § 1, tetapi terbatas pada bagian wilayah yang tertentu atau jenis urusan tertentu atau kaum beriman ritus tertentu atau kelompok tertentu untuknya ia diangkat, dan dikecualikan hal-hal yang direservasi Uskup bagi dirinya atau bagi Vikaris jenderal, atau yang menurut hukum memerlukan mandat khusus dari Uskup.
§ 3. Dalam lingkup kewenangannya Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal juga mempunyai kewenangan-kewenangan habitual (facultates habituales) yang diberikan Takhta Apostolik kepada Uskup; demikian juga pelaksanaan reskrip, kecuali dengan jelas ditentukan lain atau untuk pelaksanaan reskrip itu Uskup diosesan dipilih karena pribadinya.
Kan. 480 – Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal harus melaporkan kepada Uskup diosesan urusan-urusan yang utama, baik yang akan maupun yang telah dilakukan, dan janganlah mereka pernah bertindak melawan kehendak dan maksud Uskup diosesan.
Kan. 481 – § 1. Kuasa Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal berhenti dengan habisnya waktu mandat, dengan pengunduran diri dan juga, dengan tetap berlaku kan. 406 dan 409, dengan pemberhentian yang diberitahukan kepada mereka itu oleh Uskup, dan dengan lowongnya Takhta keuskupan.
§ 2. Jika jabatan Uskup diosesan ditangguhkan, kuasa Vikaris jenderal dan Vikaris episkopal ditangguhkan juga, kecuali mereka mempunyai martabat Uskup.
Artikel 2
KANSELIR, NOTARIUS LAIN DAN ARSIP
Kan. 482 – § 1. Dalam setiap kuria hendaknya diangkat seorang kanselir yang tugas utamanya, kecuali ditentukan lain oleh hukum partikular, ialah mengusahakan agar akta kuria diatur dan dibuat siap, serta dipelihara dalam arsip kuria.
§ 2. Jika dianggap perlu, kanselir dapat diberi pembantu yang hendaknya disebut wakil kanselir.
§ 3. Kanselir dan wakil kanselir sekaligus adalah notarius dan sekretaris kuria.
Kan. 483 – § 1. Selain kanselir, dapat diangkat notarius-notarius lain, yang tulisan atau tandatangannya memberi otentisitas publik, baik pada setiap akta atau hanya akta pengadilan, maupun hanya akta perkara atau urusan tertentu.
§ 2. Kanselir dan para notarius harus mempunyai nama baik dan dapat dipercaya (omni suspicione maiores); dalam perkara-perkara yang dapat menyangkut nama baik seorang imam, notarius harus seorang imam.
Kan. 484 – Tugas para notarius ialah:
10 menyiapkan akta dan instrumen mengenai dekret-dekret, pengaturan-pengaturan, kewajiban-kewajiban atau hal-hal lain yang membutuhkan peranannya;
20 menyusun secara tertulis dengan setia apa yang dijalankan dan menandatanganinya dengan membubuhkan keterangan tempat, tanggal, bulan dan tahun;
30 menunjukkan akta atau instrumen dari arsip kepada orang yang memintanya secara legitim, dengan menaati yang harus ditaati, dan menyatakan kesesuaian turunan dengan aslinya.
Kan. 485 – Kanselir dan para notarius lainnya dapat diberhentikan dengan bebas oleh Uskup diosesan, tetapi tidak oleh Administrator diosesan, kecuali dengan persetujuan kolegium konsultor.
Kan. 486 – § 1. Semua dokumen yang menyangkut keuskupan atau paroki-paroki harus dijaga dengan seksama.
§ 2. Di setiap kuria hendaknya diadakan arsip atau almari arsip diosesan di tempat yang aman, di mana instrumen dan dokumen-dokumen yang menyangkut urusan-urusan keuskupan, baik yang bersifat rohani maupun yang bersifat keduniaan, diatur menurut sistem tertentu, tertutup dan dijaga dengan seksama.
§ 3. Dari dokumen-dokumen yang disimpan dalam arsip, hendak-nya disusun inventaris atau katalog dengan sinopsis singkat dari setiap naskah.
Kan. 487 – § 1. Arsip harus terkunci dan kuncinya dipegang hanya oleh Uskup dan kanselir; tak seorang pun diperkenankan memasukinya tanpa izin Uskup atau Moderator kuria bersama dengan kanselir.
§ 2. Adalah hak mereka yang berkepentingan untuk menerima sendiri atau lewat orang lain yang dikuasakannya turunan otentik atau fotokopi dari dokumen-dokumen yang menurut hakikatnya bersifat publik dan menyangkut status pribadinya.
Kan. 488 – Tidak diperkenankan membawa keluar dokumen dari arsip, kecuali hanya sebentar dan dengan persetujuan Uskup atau Moderator kuria bersama dengan kanselir.
Kan. 489 – § 1. Dalam kuria keuskupan hendaknya ada juga arsip rahasia, atau sekurang-kurangnya dalam arsip umum suatu almari atau peti besi yang sama sekali terkunci dan terkancing sehingga tak dapat dipindahkan dari situ, untuk menyimpan dokumen-dokumen yang harus dijaga kerahasiannya dengan seseksama mungkin.
§ 2. Hendaknya setiap tahun dimusnahkan dokumen-dokumen perkara kriminal di bidang moral yang orangnya telah meninggal atau yang perkaranya telah diselesaikan dengan putusan penghukuman sejak sepuluh tahun, dengan tetap disimpan rangkuman singkat perkaranya bersama dengan teks putusan definitifnya.
Kan. 490 – § 1. Kunci arsip rahasia hendaknya dimiliki hanya oleh Uskup.
§ 2. Bila Takhta lowong, hendaknya arsip atau almari rahasia jangan dibuka, kecuali dalam kasus yang sungguh penting, oleh Administrator diosesan sendiri.
§ 3. Dilarang membawa keluar dokumen dari arsip atau almari rahasia.
Kan. 491 – § 1. Hendaknya Uskup diosesan mengusahakan agar akta dan dokumen-dokumen arsip juga dari gereja-gereja katedral, kolese, paroki dan gereja-gereja lain di wilayahnya, disimpan dengan seksama, dan agar dibuat inventaris atau katalog rangkap dua; yang satu disimpan di arsip sendiri, sedangkan yang lain di arsip keuskupan.
§ 2. Uskup diosesan hendaknya juga mengusahakan agar di keuskupan ada arsip sejarah dan hendaknya dokumen-dokumen yang mempunyai nilai historis dipelihara dengan seksama dan diatur secara sistematis di situ.
§ 3. Untuk melihat atau membawa keluar akta dan dokumen-dokumen yang disebut dalam §§ 1 dan 2 hendaknya ditaati norma-norma yang ditetapkan oleh Uskup diosesan.

Artikel 3
DEWAN KEUANGAN DAN EKONOM

Kan. 492 – § 1. Di setiap keuskupan hendaknya dibentuk dewan keuangan yang diketuai oleh Uskup diosesan sendiri atau delegatusnya dan yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang beriman kristiani, yang sungguh ahli dalam hal ekonomi dan hukum sipil serta sungguh jujur; mereka diangkat oleh Uskup.
§ 2. Para anggota dewan keuangan hendaknya diangkat untuk lima tahun, tetapi sehabis lima tahun itu dapat diangkat untuk lima tahun lagi.
§ 3. Orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah sampai tingkat ke empat atau semenda dengan Uskup tidak diperkenankan menjadi anggota dewan keuangan.
Kan. 493 – Selain tugas-tugas yang dalam Buku V Harta Benda Gereja diserahkan kepadanya, adalah tugas dewan keuangan untuk setiap tahun, menurut petunjuk-petunjuk Uskup diosesan, mempersiap-kan anggaran pendapatan dan pengeluaran yang direncanakan untuk seluruh kepemimpinan keuskupan tahun mendatang, dan juga pada akhir tahun memeriksa pertanggungjawaban pendapatan dan pengeluaran.
Kan. 494 – § 1. Di setiap keuskupan, hendaknya Uskup, setelah mendengarkan kolegium konsultor dan juga dewan keuangan, mengangkat seorang ekonom yang sungguh ahli di bidang ekonomi serta unggul dalam kejujuran.
§ 2. Ekonom hendaknya diangkat untuk lima tahun, tetapi sehabis waktu itu dapat diangkat untuk lima tahun lagi; janganlah ia diberhentikan selama jabatannya, kecuali menurut pandangan Uskup ada alasan yang berat, setelah mendengarkan kolegium konsultor dan juga dewan keuangan.
§ 3. Ekonom bertugas, menurut cara yang ditentukan dewan keuangan, mengelola harta-benda keuskupan dibawah otoritas Uskup dan dari pendapatan keuskupan yang telah ditetapkan melakukan pengeluaran-pengeluaran yang diperintahkan Uskup atau orang-orang lain yang ditugaskan dengan legitim olehnya.
§ 4. Pada peralihan tahun haruslah ekonom memberikan pertang-gungjawaban pendapatan dan pengeluaran kepada dewan keuangan.
BAB III
DEWAN IMAM DAN KOLEGIUM KONSULTOR
Kan. 495 – § 1. Di setiap keuskupan hendaknya dibentuk dewan imam, yakni himpunan para imam yang, dengan mewakili presbiterium, hendaknya menjadi seperti senat Uskup, yang bertugas membantu Uskup dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraan pastoral bagian dari umat Allah yang dipercayakan kepadanya dikembangkan sebaik-baiknya.
§ 2. Di vikariat-vikariat dan prefektur-prefektur apostolik Vikaris atau Prefek hendaknya membentuk dewan dari sekurang-kurangnya tiga imam misionaris, yang pendapatnya, juga lewat surat, hendaknya didengarkan dalam urusan-urusan yang sungguh penting.
Kan. 496 – Dewan imam hendaknya memiliki statuta sendiri yang mendapat aprobasi Uskup diosesan dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan Konferensi para Uskup.
Kan. 497 – Mengenai penunjukan para anggota dewan imam:
10 sekitar separuh hendaknya dipilih secara bebas oleh para imam sendiri, menurut norma kanon-kanon di bawah ini dan juga statuta;
20 beberapa imam, menurut norma statuta, harus menjadi anggota ex officio, yakni mereka yang masuk dewan berdasarkan jabatan yang diserahkan kepada dirinya;
30 Uskup diosesan berhak sepenuhnya mengangkat beberapa dengan bebas.
Kan. 498 – § 1. Hak pemilihan baik aktif maupun pasif untuk membentuk dewan imam dimiliki oleh:
10 semua imam sekular yang diinkardinasi di keuskupan;
20 para imam sekular yang tidak diinkardinasi di keuskupan, dan juga para imam anggota suatu tarekat religius atau serikat hidup kerasulan yang tinggal di keuskupan dan menjalankan suatu tugas untuk kesejahteraan keuskupan.
§ 2. Sejauh statuta memungkinkannya, hak pemilihan tersebut dapat diberikan kepada imam-imam lainnya yang mempunyai domisili atau kuasi-domisili di keuskupan.
Kan. 499 – Cara pemilihan para anggota dewan imam harus ditetapkan dengan statuta, sedemikian sehingga sedapat mungkin para imam dari presbiterium diwakili, dengan memperhatikan sebaik-baiknya aneka ragam pelayanan dan daerah-daerah keuskupan.
Kan. 500 – § 1. Uskup diosesanlah yang bertugas memanggil dewan imam, mengetuainya dan menetapkan masalah-masalah yang harus dibahas atau menerima usul-usul para anggota.
§ 2. Dewan imam hanya memiliki suara konsultatif; Uskup diosesan hendaknya mendengarkannya dalam perkara-perkara yang sungguh penting, tetapi persetujuan dewan imam dibutuhkannya hanya dalam hal-hal yang ditetapkan dengan jelas oleh hukum.
§ 3. Dewan imam tak pernah dapat bertindak tanpa Uskup diosesan dan juga hanya Uskuplah yang bertugas mengumumkan apa yang ditetapkan menurut norma § 2.
Kan. 501 – § 1. Para anggota dewan imam hendaknya ditunjuk untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam statuta, sedemikian sehingga seluruh dewan atau sebagian diperbarui dalam jangka waktu lima tahun.
§ 2. Bila Takhta lowong dewan imam berhenti dan tugas-tugasnya dilaksanakan oleh kolegium konsultor; dalam satu tahun sejak menduduki jabatannya Uskup harus membentuk dewan imam baru.
§ 3. Jika dewan imam tak memenuhi tugas yang dipercayakan kepadanya demi kesejahteraan keuskupan atau menyalahgunakannya secara berat, Uskup diosesan setelah berkonsultasi dengan Uskup metropolit, atau dalam hal Takhta metropolit sendiri tersangkut, setelah berkonsultasi dengan Uskup sufragan tertua dalam pengangkatan, dapat membubarkannya, tetapi dalam satu tahun harus membentuk yang baru.
Kan. 502 – § 1. Dari antara para anggota dewan imam diangkat dengan bebas oleh Uskup diosesan beberapa imam, tidak kurang dari enam dan tidak lebih dari duabelas orang, untuk membentuk kolegium konsultor dengan jangka waktu lima tahun dengan tugas-tugas yang ditentukan hukum; namun, meskipun telah lewat lima tahun, kolegium konsultor tetap menjalankan tugas-tugasnya sampai terbentuk kolegium yang baru.
§ 2. Kolegium konsultor diketuai oleh Uskup diosesan; bila Takhta terhalang atau lowong, kolegium konsultor diketuai oleh orang yang menggantikan Uskup untuk sementara atau jika belum ada, oleh imam tertua berdasarkan tahbisan dalam kolegium konsultor.
§ 3. Konferensi para Uskup dapat menetapkan agar tugas-tugas kolegium konsultor diserahkan kepada kapitel katedral.
§ 4. Di vikariat dan prefektur apostolik tugas-tugas kolegium konsultor dipegang oleh dewan misi, yang disebut dalam kan. 495, § 2, kecuali ditetapkan lain oleh hukum.

BAB IV
KAPITEL PARA KANONIK
Kan. 503 – Kapitel para kanonik, baik katedral maupun kolegial, ialah kolegium para imam yang bertugas melangsungkan perayaan liturgi meriah di gereja katedral atau gereja kolegial; selain itu kapitel katedral menunaikan tugas-tugas yang diserahkan kepadanya oleh hukum atau oleh Uskup diosesan.
Kan. 504 – Hal mendirikan, mengubah atau membubarkan kapitel katedral direservasi bagi Takhta Apostolik.
Kan. 505 – Setiap kapitel, baik katedral maupun kolegial, hendak-nya memiliki statuta masing-masing yang dibuat melalui tindakan kapitel yang legitim dan disahkan oleh Uskup diosesan; statuta itu janganlah diubah atau dihapus, kecuali dengan persetujuan Uskup diosesan itu.
Kan. 506 – § 1. Statuta kapitel hendaknya menetapkan hal mendirikan kapitel sendiri dan jumlah para kanonik, dengan selalu mengindahkan undang-undang fundasi; statuta hendaknya merumuskan apa yang harus dilakukan kapitel dan masing-masing kanonik untuk melangsungkan ibadat ilahi dan juga pelayanan; statuta hendaknya menentukan sidang-sidang untuk membahas urusan-urusan kapitel dan, dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum universal, menetapkan syarat-syarat yang dituntut untuk sah dan licitnya urusan-urusan itu.
§ 2. Dalam statuta hendaknya juga ditetapkan ganjaran, baik yang tetap maupun yang diberikan pada kesempatan pelaksanaan suatu tugas, dan juga ditentukan tanda kehormatan mana bagi para kanonik dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan Takhta Suci.
Kan. 507 – § 1. Di antara para kanonik hendaknya ada yang menjadi ketua, dan hendaknya juga diadakan jabatan-jabatan lainnya menurut norma statuta, dengan memperhatikan kebiasaan yang berlaku di daerah.
§ 2. Klerikus yang tidak termasuk kapitel dapat diserahi tugas-tugas untuk membantu para kanonik, menurut norma statuta.
Kan. 508 – § 1. Kanonik penitensiaris baik dari gereja katedral maupun dari gereja kolegial, berdasarkan jabatannya memiliki kewenangan jabatan yang tak dapat didelegasikannya kepada orang lain, untuk mengampuni dalam tata sakramental dari censura latae sententiae yang tidak dinyatakan, yang tak direservasi bagi Takhta Apostolik, di keuskupan juga kepada orang luar, sedangkan kepada warga keuskupan juga di luar wilayah keuskupan.
§ 2. Dimana tiada kapitel, Uskup diosesan hendaknya mengangkat seorang imam untuk memenuhi tugas tersebut.
Kan. 509 – § 1. Uskup diosesan, tetapi bukan Administrator diosesan, setelah mendengarkan kapitel, bertugas memberikan semua dan setiap jabatan kanonik, baik dalam gereja katedral maupun gereja kolegial, dengan membatalkan setiap privilegi yang berlawanan; juga Uskup itulah yang bertugas mengukuhkan orang yang terpilih oleh kapitel itu sendiri menjadi ketuanya.
§ 2. Jabatan kanonik hendaknya diberikan oleh Uskup diosesan hanya kepada imam-imam yang unggul dalam integritas ajaran dan kehidupan serta melaksanakan pelayanan secara terpuji.
Kan. 510 – § 1. Paroki hendaknya jangan lagi digabungkan dengan kapitel para kanonik; jika ada paroki yang digabungkan dengan kapitel, hendaknya dipisahkan oleh Uskup diosesan dari kapitel itu.
§ 2. Dalam gereja yang sekaligus paroki dan kapitel, hendaknya diangkat seorang Pastor Paroki, entah yang dipilih dari antara anggota kapitel, entah tidak; Pastor Paroki tersebut terikat semua kewajiban dan memiliki semua hak serta kewenangan yang menurut norma hukum dimiliki Pastor Paroki.
§ 3. Uskup diosesan bertugas menetapkan norma-norma yang pasti agar tugas-tugas pastoral Pastor Paroki dan tugas-tugas khas kapitel terpadu dengan semestinya, dengan menjaga agar Pastor Paroki jangan menghambat tugas-tugas kapitel dan tugas-tugas kapitel jangan menghambat tugas-tugas paroki; jika ada konflik, hendaknya diputus-kan oleh Uskup diosesan, yang terutama harus mengusahakan agar kebutuhan-kebutuhan pastoral kaum beriman diselenggarakan dengan tepat.
§ 4. Sumbangan-sumbangan yang diberikan kepada gereja yang sekaligus paroki dan kapitel, dianggap diberikan kepada paroki, kecuali nyata lain.
BAB V
DEWAN PASTORAL
Kan. 511 – Di setiap keuskupan, sejauh keadaan pastoral menganjurkannya, hendaknya dibentuk dewan pastoral, yang dibawah otoritas Uskup bertugas meneliti, mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut karya-karya pastoral di keuskupan, dan mengajukan kesimpulan-kesimpulan praktis mengenai hal-hal tersebut.
Kan. 512 – § 1. Dewan pastoral terdiri dari orang-orang beriman kristiani yang berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik, baik klerus, anggota tarekat hidup-bakti, maupun terutama kaum awam; mereka ditunjuk menurut cara yang ditentukan oleh Uskup diosesan.
§ 2. Orang-orang beriman kristiani yang ditugaskan pada dewan pastoral, hendaknya dipilih sedemikian sehingga lewat mereka seluruh bagian umat Allah yang membentuk suatu keuskupan, sungguh-sungguh dicerminkan, dengan mempertimbangkan keragaman daerah keuskupan, keadaan sosial dan profesi, dan juga peranan yang mereka miliki dalam kerasulan, baik secara perorangan maupun kelompok.
§ 3. Pada dewan pastoral hendaknya ditugaskan hanya orang-orang beriman kristiani yang teguh imannya, baik moralnya, dan unggul kearifannya.
Kan. 513 – § 1. Dewan pastoral dibentuk untuk jangka waktu, menurut ketentuan-ketentuan statuta yang diberikan oleh Uskup.
§ 2. Bila Takhta lowong, dewan pastoral berhenti.
Kan. 514 – § 1. Hanyalah Uskup diosesan, menurut kebutuhan pastoral, berhak memanggil dan mengetuai dewan pastoral, yang mempunyai suara konsultatif saja; juga hanya Uskup diosesan berhak mengumumkan hal-hal yang dibahas dalam dewan.
§ 2. Dewan pastoral hendaknya dipanggil sekurang-kurangnya sekali setahun.
BAB VI
PAROKI, PASTOR PAROKI DAN WAKILNYA

Kan. 515 – § 1. Paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang reksa pastoralnya, dibawah otoritas Uskup diosesan, dipercayakan kepada Pastor Paroki sebagai gembalanya sendiri.
§ 2. Hanyalah Uskup diosesan berhak mendirikan, meniadakan atau mengubah paroki, tetapi janganlah ia mendirikan atau meniadakan, ataupun mengadakan perubahan yang cukup berarti mengenai paroki kecuali setelah mendengarkan dewan imam.
§ 3. Paroki yang didirikan secara legitim menurut hukum sendiri memiliki status badan hukum.
Kan. 516 – § 1. Kecuali ditentukan lain oleh hukum, kuasi-paroki disamakan dengan paroki; kuasi-paroki ialah komunitas kaum beriman kristiani tertentu dalam Gereja partikular yang dipercayakan kepada seorang imam sebagai gembalanya sendiri, dan yang karena keadaan khusus belum didirikan sebagai paroki.
§ 2. Dimana komunitas-komunitas tertentu tidak dapat didirikan sebagai paroki atau kuasi-paroki, hendaknya Uskup diosesan mengusahakan reksa pastoralnya dengan cara lain.
Kan. 517 – § 1. Dimana keadaan menuntutnya, reksa pastoral paroki atau pelbagai paroki bersama-sama dapat dipercayakan kepada beberapa imam in solidum, tetapi dengan ketentuan bahwa seorang dari mereka menjadi pemimpin dalam pelaksanaan reksa pastoral; ia harus mengarahkan kegiatan yang terpadu dan mempertanggungjawabkannya kepada Uskup.
§ 2. Jika karena kekurangan imam Uskup diosesan berpendapat bahwa partisipasi dalam reksa pastoral harus dipercayakan kepada seorang diakon atau orang lain yang bukan imam atau kepada suatu kelompok, maka hendaknya ia mengangkat seorang imam yang dibekali kuasa dan kewenangan Pastor Paroki, untuk memimpin reksa pastoral itu.
Kan. 518 – Pada umumnya paroki hendaknya bersifat teritorial, yakni mencakup semua orang beriman kristiani wilayah tertentu; tetapi kalau dianggap bermanfaat, hendaknya didirikan paroki personal yang ditentukan atas dasar ritus, bahasa, bangsa kaum beriman kristiani wilayah tertentu dan juga atas dasar lain.
Kan. 519 – Pastor Paroki ialah gembala parokinya sendiri yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan reksa pastoral jemaat yang dipercayakan kepadanya dibawah otoritas Uskup diosesan yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus, untuk menjalan-kan tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin bagi jemaat itu, dengan kerjasama juga dengan imam-imam lain atau diakon dan juga bantuan kaum beriman kristiani awam menurut norma hukum.
Kan. 520 – § 1. Suatu badan hukum tidak boleh menjadi Pastor Paroki; tetapi dengan persetujuan Pemimpin yang berwenang dapatlah Uskup diosesan, namun bukan Administrator diosesan, menyerahkan paroki kepada tarekat religius klerikal atau serikat klerikal hidup kerasulan, juga dengan mendirikannya di dalam gereja milik tarekat atau serikat, tetapi dengan ketentuan bahwa seorang imam menjadi Pastor Paroki, atau menjadi moderator seperti yang disebut dalam kan. 517 § 1, jika reksa pastoral dipercayakan kepada beberapa imam in solidum.
§ 2. Penyerahan paroki seperti yang disebut dalam §1 dapat terjadi, baik untuk selamanya maupun untuk waktu tertentu yang ditetapkan sebelumnya; dalam kedua hal itu hendaknya dibuat perjanjian tertulis antara Uskup diosesan dan Pemimpin yang berwenang dari tarekat atau serikat; dalam perjanjian itu antara lain hendaknya dengan jelas dan seksama dirumuskan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan karya, tenaga yang diberikan dan hal-hal keuangan.
Kan. 521 – § 1. Agar seseorang dapat diangkat secara sah menjadi Pastor Paroki haruslah ia telah ditahbiskan menjadi imam.
§ 2. Selain itu hendaknya ia unggul dalam ajaran sehat dan moral, memiliki perhatian pada jiwa-jiwa dan keutamaan-keutamaan lainnya, dan juga mempunyai kualitas yang dituntut hukum universal dan partikular untuk membina paroki yang bersangkutan.
§ 3. Untuk memberikan jabatan Pastor Paroki kepada seseorang haruslah sungguh ada kepastian tentang kecakapannya menurut cara yang ditentukan Uskup diosesan, juga dengan ujian.
Kan. 522 – Pastor Paroki haruslah mempunyai sifat tetap, maka haruslah diangkat untuk waktu yang tak ditentukan; ia dapat diangkat hanya untuk waktu tertentu oleh Uskup diosesan, jika diperkenankan oleh konferensi para Uskup dengan dekret.
Kan. 523 -Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 682 § 1, pemberian jabatan Pastor Paroki merupakan hak Uskup diosesan dan bersifat bebas, kecuali ada yang memiliki hak pengajuan atau pemilihan.
Kan. 524 – Paroki yang lowong hendaknya diberikan oleh Uskup diosesan, setelah mempertimbangkan segala sesuatu yang terkait, kepada orang yang dianggap cakap untuk menjalankan reksa paroki di situ, tanpa pandang bulu; untuk menilai kecakapannya hendaknya ia mendengarkan deken dan mengadakan penyelidikan yang tepat, bila perlu, setelah mendengarkan imam-imam tertentu dan juga orang-orang beriman kristiani awam tertentu.
Kan. 525 – Bila Takhta lowong atau terhalang, Administrator diosesan atau orang yang memimpin keuskupan untuk sementara, bertugas:
10 mengangkat atau mengukuhkan imam-imam yang secara legi-tim diajukan atau dipilih untuk suatu paroki;
20 mengangkat pastor-pastor paroki bila Takhta lowong atau terhalang sejak setahun.
Kan. 526 – §1. Seorang Pastor Paroki hendaknya hanya menye-lenggarakan reksa parokial satu paroki saja; tetapi karena kekurangan imam atau keadaan lain, reksa beberapa paroki yang berdekatan dapat dipercayakan kepada seorang Pastor Paroki yang sama.
§ 2. Dalam paroki yang sama hendaknya ada hanya satu Pastor Paroki atau moderator menurut norma kan. 517 § 1, dengan membatal-kan kebiasaan yang berlawanan dan mencabut kembali privilegi apapun yang berlawanan.
Kan. 527 – §1. Yang diangkat untuk menyelenggarakan reksa pastoral paroki, memperoleh jabatan itu dan wajib menjalankannya mulai dari saat ia menduduki jabatannya.
§ 2. Pastor Paroki dilantik untuk menduduki jabatannya oleh Ordinaris wilayah atau imam yang didelegasi olehnya, dengan mengindahkan cara yang diterima undang-undang partikular atau kebiasaan yang legitim; namun karena alasan yang wajar dapatlah Ordinaris itu memberi dispensasi dari cara itu; dalam hal itu dispensasi yang diberitahukan kepada paroki menggantikan upacara pelantikan jabatan.
§ 3. Ordinaris wilayah hendaknya menentukan sebelumnya jangka waktu paroki harus diambil-alih; jika waktu itu dibiarkan lewat tanpa dipergunakan, ia dapat menyatakan paroki itu lowong, kecuali ada halangan yang wajar.
Kan. 528 – § 1. Pastor Paroki terikat kewajiban untuk mengusa-hakan agar sabda Allah diwartakan secara utuh kepada orang-orang yang tinggal di paroki; maka hendaknya ia mengusahakan agar kaum beriman kristiani awam mendapat pengajaran dalam kebenaran-kebenaran iman, terutama dengan homili yang harus diadakan pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib, dan juga dengan memberikan pembinaan kateketik, dan hendaknya ia membina karya-karya untuk mengembangkan semangat injili, juga yang menyangkut keadilan sosial; hendaknya ia memperhatikan secara khusus untuk pendidikan katolik anak-anak dan kaum muda; hendaknya ia dengan segala upaya, juga dengan melibatkan bantuan kaum beriman kristiani, mengusahakan agar warta Injil menjangkau mereka juga yang meninggalkan praktek keagamaannya atau tidak memeluk iman yang benar.
§ 2. Pastor Paroki hendaknya mengusahakan agar Ekaristi mahakudus menjadi pusat jemaat parokial kaum beriman; hendaknya ia berikhtiar agar kaum beriman kristiani digembalakan dengan perayaan khidmat sakramen-sakramen, dan secara khusus agar mereka sering menerima sakramen Ekaristi mahakudus dan tobat; hendaknya ia juga berupaya agar mereka dibimbing untuk mengadakan doa juga dalam keluarga dan dengan sadar serta aktif mengambil bagian dalam liturgi suci yang harus diarahkan Pastor Paroki di parokinya dibawah otoritas Uskup diosesan; dan ia wajib menjaga agar jangan timbul penyalah-gunaan.
Kan. 529 – § 1. Untuk dapat menunaikan tugas gembala dengan seksama, Pastor Paroki hendaknya berusaha mengenal kaum beriman yang dipercayakan kepada reksanya; maka hendaknya ia mengunjungi keluarga-keluarga, mengambil bagian dalam keprihatinan, kecemasan dan kedukaan kaum beriman dan menyerahkan mereka kepada Tuhan dan dengan arif memperbaiki mereka, jika mereka bersalah dalam suatu hal; hendaknya ia dengan penuh kasih-sayang membantu orang-orang sakit, terutama yang mendekati kematian, menguatkan mereka dengan sakramen-sakramen dan mendoakan mereka dengan penuh perhatian; hendaknya ia sungguh rajin mencari orang-orang yang miskin, putus-asa, kesepian, dibuang dari tanah airnya dan tertekan kesulitan-kesulitan khusus; hendaknya ia juga berusaha agar suami-isteri dan orangtua dibantu memenuhi tugas-tugas khas mereka dan hendaknya ia membina perkembangan hidup kristiani dalam keluarga.
§ 2. Peranan khas yang dipunyai kaum beriman kristiani awam dalam pengutusan Gereja hendaknya diakui dan dikembangkan oleh Pastor Paroki, dengan memupuk serikat-serikat mereka yang mem-punyai tujuan keagamaan. Hendaknya ia bekerjasama dengan Uskupnya dan presbiterium keuskupan, juga dengan mengusahakan agar kaum beriman membina kesatuan dalam lingkup paroki, dan agar mereka sadar akan keanggotaannya, baik dalam keuskupan maupun dalam Gereja universal, dan mengambil bagian dalam atau mendukung karya-karya untuk mengembangkan kesatuan itu.
Kan. 530 – Fungsi-fungsi yang secara khusus dipercayakan kepada Pastor Paroki ialah sebagai berikut:
10 pelayanan baptis;
20 pelayanan sakramen penguatan kepada mereka yang berada dalam bahaya mati, menurut norma kan. 883, no. 3;
30 pelayanan Viatikum (bekal suci) dan juga pengurapan orang sakit, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1003, §§ 2 dan 3, dan juga pemberian berkat apostolik;
40 peneguhan nikah dan pemberkatan perkawinan;
50 penyelenggaraan upacara pemakaman;
60 pemberkatan bejana baptis di masa Paskah, memimpin prosesi di luar gereja, dan juga pemberkatan meriah di luar gereja;
70 perayaan meriah Ekaristi pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib.
Kan. 531 – Meskipun suatu tugas paroki dijalankan orang lain, sumbangan yang diterimanya dari kaum beriman kristiani pada kesempatan itu hendaknya dimasukkan ke dalam kas paroki, kecuali nyata bahwa pemberi menghendaki kebalikannya dalam hal sumbangan sukarela; Uskup diosesan berwenang, setelah mendengarkan dewan imam, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tujuan sumbangan dan remunerasi para klerikus yang menunaikan tugas itu.
Kan. 532 – Dalam semua urusan yuridis, Pastor Paroki mewakili badan hukum paroki menurut norma hukum; hendaknya ia mengusahakan agar harta-benda paroki dikelola menurut norma kanon-kanon 1281-1288.
Kan. 533 – §1. Pastor Paroki terikat kewajiban tinggal di pastoran dekat gereja; namun dalam kasus-kasus khusus, jika ada alasan yang wajar, Ordinaris wilayah dapat mengizinkan agar ia tinggal di tempat lain, terutama di rumah bersama beberapa imam, asal saja pelaksanaan tugas-tugas paroki diatur dengan baik dan tepat.
§ 2. Jika tidak terhalang alasan berat, Pastor Paroki boleh pergi dari paroki untuk berlibur setiap tahun sebanyak-banyaknya satu bulan terus-menerus atau terputus-putus; hari-hari di mana Pastor Paroki pergi untuk retret sekali setahun tidak dihitung sebagai masa liburan; tetapi Pastor Paroki yang meninggalkan parokinya lebih dari seminggu, wajib memberitahukan hal itu kepada Ordinaris wilayah.
§ 3. Uskup diosesan berhak menetapkan norma-norma yang mengatur penyelenggaraan reksa paroki oleh imam yang dibekali kewenangan yang semestinya selama kepergian Pastor Paroki.
Kan. 534 – § 1. Setelah menduduki jabatannya Pastor Paroki terikat kewajiban aplikasi misa untuk kesejahteraan umat yang dipercayakan kepadanya pada setiap hari Minggu dan hari raya wajib yang berlaku di keuskupannya; namun bila ia secara legitim terhalang untuk merayakannya, hendaknya melakukannya pada hari-hari itu dengan mewakilkan kepada orang lain atau ia sendiri pada hari-hari lain.
§ 2. Pastor Paroki yang menyelenggarakan reksa beberapa paroki, pada hari-hari yang disebut dalam § 1 wajib mengaplikasikan hanya satu Misa untuk kesejahteraan seluruh umat yang dipercayakan kepadanya.
§ 3. Pastor Paroki yang tidak memenuhi kewajiban yang disebut dalam §§ 1 dan 2, hendaknya selekas mungkin mengaplikasikan sejumlah misa untuk kesejahteraan umat sebanyak yang telah dilalaikannya.
Kan. 535 – § 1. Dalam setiap paroki hendaknya ada buku-buku paroki, yakni buku baptis, perkawinan, kematian dan buku-buku lain menurut ketentuan-ketentuan Konferensi para Uskup atau Uskup diosesan; hendaknya Pastor Paroki mengusahakan agar buku-buku itu diisi dengan cermat dan disimpan dengan seksama.
§ 2. Dalam buku baptis hendaknya dicatat juga penguatan, dan juga hal-hal yang menyangkut status kanonik kaum beriman kristiani atas dasar perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1133, atas dasar adopsi, dan juga atas dasar tahbisan suci, profesi kekal dalam tarekat religius dan juga atas dasar perubahan ritus; dan catatan-catatan itu hendaknya selalu diberikan dalam surat baptis.
§ 3. Setiap paroki hendaknya memiliki capnya sendiri; surat-surat keterangan tentang status kanonik kaum beriman kristiani, seperti juga semua akta yang dapat mempunyai arti yuridis, hendaknya ditandatangani oleh Pastor Paroki sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya dan dikuatkan dengan cap paroki.
§ 4. Dalam setiap paroki hendaknya ada almari arsip atau arsip, di mana dijaga buku-buku paroki, bersama dengan surat-surat Uskup dan dokumen-dokumen lainnya yang harus disimpan karena penting dan bermanfaat; itu semua harus diperiksa oleh Uskup diosesan atau orang yang diberi delegasi, pada waktu visitasi atau kesempatan lain yang tepat; dan Pastor Paroki hendaknya menjaga agar dokumen-dokumen itu jangan jatuh ke tangan orang luar.
§ 5. Juga buku-buku paroki yang sudah lebih tua hendaknya dipelihara dengan seksama menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular.
Kan. 536 – § 1. Jika menurut penilaian Uskup diosesan setelah mendengarkan dewan imam dianggap baik, hendaknya di setiap paroki dibentuk dewan pastoral yang diketuai Pastor Paroki; dan dalam dewan pastoral itu kaum beriman kristiani bersama dengan mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian dalam reksa pastoral di paroki, hendaknya memberikan bantuannya untuk mengembangkan kegiatan pastoral.
§ 2. Dewan pastoral mempunyai suara konsultatif saja dan diatur oleh norma-norma yang ditentukan Uskup diosesan.
Kan. 537 – Di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang diatur selain oleh hukum universal juga oleh norma-norma yang dikeluarkan Uskup diosesan; dan dalam dewan keuangan itu kaum beriman kristiani yang dipilih menurut norma-norma itu, hendaknya membantu Pastor Paroki dalam mengelola harta-benda paroki, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 532.
Kan. 538 – § 1. Pastor Paroki berhenti dari jabatannya karena pemberhentian atau pemindahan oleh Uskup diosesan yang dilakukan menurut norma hukum, karena pengunduran diri yang dilakukan Pastor Paroki itu sendiri dengan alasan yang wajar dan, agar sah, diterima oleh Uskup itu, dan juga karena habisnya masa jabatan, jika menurut ketentuan hukum partikular yang disebut dalam kan. 522 ia diangkat untuk waktu tertentu.
§ 2. Pastor Paroki yang adalah anggota tarekat religius atau diinkardinasikan dalam serikat hidup kerasulan, diberhentikan menurut norma kan. 682, § 2.
§ 3. Pastor Paroki yang berumur genap tujuh puluh lima tahun, diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Uskup diosesan yang, dengan mempertimbangkan segala keadaan orang dan tempat yang bersangkutan, memutuskan untuk menerima atau menangguhkan permohonan itu; Pastor Paroki yang mengundur-kan diri itu harus diberi sustentasi dan tempat-tinggal yang pantas oleh Uskup diosesan, dengan memperhatikan norma-norma yang ditetapkan Konferensi para Uskup.
Kan. 539 – Apabila paroki lowong atau bila Pastor Paroki karena penahanan, pembuangan atau pengasingan, ketidakmampuan atau kelemahan kesehatan atau sebab lain terhalang untuk menunaikan tugas pastoralnya di paroki, hendaknya selekas mungkin ditugaskan oleh Uskup diosesan seorang administrator paroki, yakni seorang imam yang menggantikan Pastor Paroki menurut norma kan. 540.
Kan. 540 – § 1. Administrator paroki terikat kewajiban-kewajiban yang sama dan mempunyai hak-hak yang sama seperti Pastor Paroki, kecuali ditentukan lain oleh Uskup diosesan.
§ 2. Administrator paroki tidak diperkenankan melakukan sesuatupun yang dapat mengurangi hak-hak Pastor Paroki atau dapat merugikan harta-benda paroki.
§ 3. Administrator paroki harus memberi pertanggungjawaban kepada Pastor Paroki setelah menyelesaikan tugasnya.
Kan. 541 – § 1. Bila paroki lowong dan juga bila Pastor Paroki terhalang untuk melakukan tugas pastoralnya, sebelum pengangkatan administrator paroki, kepemimpinan paroki untuk sementara diambil-alih oleh Pastor Pembantu; bila ada beberapa, oleh yang terdahulu pengangkatannya, dan bila tidak ada Pastor Pembantu, oleh Pastor Paroki yang ditentukan hukum partikular.
§ 2. Yang mengambil-alih kepemimpinan paroki menurut norma § 1, hendaknya segera memberitahukan lowongnya paroki itu kepada Ordinaris wilayah.
Kan. 542 – Para imam yang in solidum menurut norma kan. 517, § 1 diserahi reksa pastoral suatu paroki atau pelbagai paroki sekaligus, hendaknya:
10 mempunyai kualitas yang disebut dalam kan. 521;
20 diangkat atau ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan norma kan. 522 dan 524;
30 baru menerima reksa pastoral sejak saat menduduki jabatan; moderator mereka diutus untuk menduduki jabatan menurut norma kan. 527, § 2; tetapi bagi imam-imam lainnya pengakuan iman yang diikrarkan secara legitim berlaku sebagai pengambil-alihan jabatan.
Kan. 543 – §1. Apabila para imam in solidum diserahi reksa pastoral suatu paroki atau pelbagai paroki sekaligus, masing-masing dari mereka berwajib, menurut peraturan yang mereka tetapkan sendiri, melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi Pastor Paroki yang disebut dalam kan. 528, 529 dan 530; kuasa untuk meneguhkan nikah, seperti juga semua kuasa pemberian dispensasi yang diberikan hukum kepada Pastor Paroki, dimiliki semua, tetapi harus dijalankan di bawah pimpinan moderator.
§ 2. Semua imam yang termasuk kelompok itu:
10 terikat kewajiban tinggal di tempat;
20 dengan musyawarah bersama hendaknya menentukan peraturan aplikasi Misa untuk kesejahteraan umat oleh seorang dari mereka menurut norma kan. 534;
30 hanya moderator mewakili badan hukum paroki atau kelompok paroki-paroki yang dipercayakan kepada kelompok itu dalam urusan yuridis.
Kan. 544 – Apabila seorang imam dari kelompok, yang disebut dalam kan. 517, § 1, atau moderator kelompok, berhenti dari jabatan, demikian juga bila seorang dari mereka menjadi tak mampu menjalankan tugas pastoral, paroki atau paroki-paroki yang reksanya dipercayakan kepada kelompok, tidak menjadi lowong; tetapi Uskup diosesan bertugas mengangkat seorang moderator lain; namun sebelum diangkat moderator lain oleh Uskup, tugas itu hendaknya dipenuhi oleh imam dari kelompok itu yang terdahulu penunjukannya.
Kan. 545 – § 1. Setiap kali dianggap penting atau menguntungkan untuk menunaikan reksa pastoral paroki dengan semestinya, Pastor Paroki dapat diberi seorang atau beberapa Pastor Pembantu, yang sebagai rekan-kerja Pastor Paroki hendaknya mengambil bagian dalam keprihatinannya, dengan musyawarah serta usaha bersama dan dibawah otoritasnya memberikan bantuan dalam pelayanan pastoral.
§ 2. Pastor Pembantu dapat diangkat baik untuk memberikan bantuan dalam seluruh pelayanan pastoral, atau untuk seluruh paroki, atau untuk bagian tertentu dari paroki atau untuk kelompok kaum beriman kristiani tertentu, maupun juga untuk memberikan bantuan guna pelaksanaan pelayanan tertentu di pelbagai paroki sekaligus.
Kan. 546 – Untuk dapat diangkat dengan sah menjadi Pastor Pembantu haruslah seseorang sudah menerima tahbisan imam.
Kan. 547 – Pastor Pembantu diangkat dengan bebas oleh Uskup diosesan, setelah mendengarkan, jika dinilai tepat, satu atau beberapa Pastor Paroki yang diberi Pastor Pembantu itu, dan juga deken, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 682, § 1.
Kan. 548 – § 1. Kewajiban-kewajiban dan hak-hak Pastor Pem-bantu dirumuskan, selain dalam kanon-kanon bab ini, dalam statuta keuskupan dan juga surat Uskup diosesan, tetapi lebih khusus lagi dalam mandat Pastor Paroki.
§ 2. Kecuali dengan jelas diatur lain dalam surat Uskup diosesan, Pastor Pembantu karena jabatannya terikat kewajiban membantu Pastor Paroki dalam seluruh pelayanan paroki, terkecuali aplikasi Misa untuk kesejahteraan umat, demikian juga untuk menggantikan Pastor Paroki, bila perlu, menurut norma hukum.
§ 3. Hendaknya Pastor Pembantu secara teratur memberikan laporan kepada Pastor Paroki tentang usaha-usaha pastoral yang direncanakan dan dilaksanakan, sedemikian sehingga Pastor Paroki dan Pastor Pembantu atau para Pastor Pembantu dengan kekuatan terpadu dapat menyelenggarakan reksa pastoral paroki yang mereka tangani bersama.
Kan. 549 – Bila Pastor Paroki tidak ada, maka hendaknya ditaati ketentuan-ketentuan kan. 541, § 1, kecuali diatur lain oleh Uskup diosesan menurut kan. 533, § 3, dan kecuali Administrator paroki telah diangkat; dalam hal itu Pastor Pembantu terikat juga semua kewajiban Pastor Paroki, kecuali kewajiban aplikasi Misa untuk kesejahteraan umat.
Kan. 550 – § 1. Pastor Pembantu terikat kewajiban tinggal di paroki atau jika ia diangkat untuk pelbagai paroki sekaligus, di salah satu paroki; tetapi Ordinaris wilayah karena alasan yang wajar dapat memperkenankan dia tinggal di tempat lain, terutama di rumah bersama bagi beberapa imam, asalkan pelaksanaan tugas-tugas pastoral tidak dirugikan karenanya.
§ 2. Hendaknya Ordinaris wilayah mengusahakan agar antara Pastor Paroki dan para Pastor Pembantu dikembangkan suatu kebiasaan hidup bersama di pastoran, di mana hal itu mungkin.
§ 3. Mengenai waktu liburan Pastor Pembantu mempunyai hak yang sama seperti Pastor Paroki.
Kan. 551 – Mengenai sumbangan yang disampaikan kaum ber-iman kristiani kepada Pastor Pembantu pada kesempatan pelayanan pastoral, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 531.
Kan. 552 – Pastor Pembantu dapat diberhentikan oleh Uskup diosesan atau oleh Administrator diosesan karena alasan yang wajar dengan tetap berlaku ketentuan kan. 682, § 2.
BAB VII
VICARIUS FORANEUS
Kan. 553 – § 1. Vicarius foraneus, yang juga disebut deken (decanus) atau imam agung (archipresbyter) atau dengan nama lain, ialah imam yang mengetuai suatu dekenat.
§ 2. Jika tidak ditentukan lain oleh hukum partikular, setelah mendengarkan para imam yang menjalankan pelayanan di dekenat yang bersangkutan, vicarius foraneus ditunjuk oleh Uskup diosesan menurut penilaiannya yang arif.
Kan. 554 – § 1. Untuk jabatan vicarius foraneus yang tidak terikat dengan jabatan Pastor Paroki dari paroki tertentu, hendaknya Uskup memilih seorang imam yang dinilainya cakap, dengan memperhatikan keadaan tempat dan waktu.
§ 2. Vicarius foraneus hendaknya ditunjuk untuk waktu tertentu yang ditetapkan hukum partikular.
§ 3. Vicarius foraneus dapat diberhentikan dengan bebas dari jabatannya oleh Uskup diosesan karena alasan yang wajar menurut pertimbangannya yang arif.
Kan. 555 – § 1. Disamping kewenangan yang diberikan hukum partikular kepadanya secara legitim, vicarius foraneus mempunyai kewajiban dan hak:
10 mengembangkan dan mengkoordinasi kegiatan pastoral bersama di dekenat;
20 mengupayakan agar klerikus di wilayahnya menghayati hidup yang sesuai bagi statusnya dan memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan seksama;
30 mengusahakan agar perayaan-perayaan keagamaan dilaksana-kan menurut ketentuan-ketentuan liturgi suci, agar keanggunan dan kerapian gereja-gereja serta perlengkapan suci, terutama dalam perayaan Ekaristi dan penyimpanan Sakramen mahakudus, dipelihara dengan seksama, agar buku-buku paroki diisi dengan tepat dan disimpan semestinya; agar harta-benda gerejawi diurus dengan teliti; dan akhirnya agar pastoran dipelihara dengan sebaik-baiknya.
§ 2. Di dekenat yang dipercayakan kepadanya, vicarius foraneus:
10 hendaknya berusaha agar klerikus, menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular, pada waktu-waktu yang ditetapkan mengikuti kuliah-kuliah, pertemuan-pertemuan teologis atau konferensi-konferensi, menurut norma kan. 279, § 2;
20 hendaknya mengusahakan agar bagi para imam dari wilayahnya tersedia bantuan rohani, demikian pula hendaknya ia sungguh-sungguh memperhatikan mereka yang tertimpa kesulitan atau masalah.
§ 3. Hendaknya vicarius foraneus mengusahakan agar Pastor Paroki dari wilayahnya yang diketahuinya sakit keras jangan kekurangan bantuan rohani dan jasmani; agar dilangsungkan pemakaman yang pantas bagi mereka yang wafat; hendaknya ia juga menjaga agar pada waktu sakit atau wafat, buku-buku, dokumen-dokumen, perlengkapan suci dan lain-lainnya yang dipunyai Gereja, jangan hilang atau diangkut orang.
§ 4. Vicarius foraneus terikat kewajiban mengunjungi paroki-paroki wilayahnya menurut ketentuan Uskup diosesan.

BAB VIII
REKTOR GEREJA DAN KAPELAN

Artikel 1
REKTOR GEREJA

Kan. 556 – Rektor gereja disini dimaksudkan imam yang diserahi reksa untuk merayakan ibadat dalam gereja yang bukan gereja paroki dan bukan gereja kapitel, dan tidak tergabung pada rumah komunitas religius atau serikat hidup kerasulan.
Kan. 557 – § 1. Rektor gereja ditunjuk dengan bebas oleh Uskup diosesan, dengan tetap berlaku hak memilih atau mengajukan bagi yang memilikinya secara legitim; dalam hal itu Uskup diosesan bertugas mengukuhkan atau mengangkatnya.
§ 2. Juga jika gereja itu milik suatu tarekat religius klerikal tingkat kepausan, Uskup diosesan berhak mengangkat rektor yang diajukan Pemimpin tarekat itu.
§ 3. Rektor gereja yang tergabung pada seminari atau kolese lain yang dipimpin klerikus, ialah rektor seminari atau kolese, kecuali ditentukan lain oleh Uskup diosesan.
Kan. 558 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 262, rektor tidak diperkenankan menjalankan tugas-tugas parokial yang disebut dalam kan. 530, 10-60 di gereja yang diserahkan kepadanya, kecuali dengan persetujuan atau atas delegasi Pastor Paroki.
Kan. 559 – Rektor dapat melangsungkan dalam gereja yang dipercayakan kepadanya perayaan liturgis, juga yang meriah, dengan tetap memperhatikan undang-undang fundasi yang legitim; dan asalkan saja, menurut penilaian Ordinaris wilayah, sama sekali tidak merugikan pelayanan parokial.
Kan. 560 – Apabila dinilainya tepat, Ordinaris wilayah dapat memerintahkan rektor untuk melaksanakan bagi umat dalam gerejanya perayaan-perayaan tertentu juga yang parokial, dan juga agar gerejanya terbuka bagi kelompok-kelompok kaum beriman kristiani tertentu untuk perayaan liturgis di situ.
Kan. 561 – Tanpa izin rektor atau pemimpin legitim lainnya, tak seorang pun diperkenankan merayakan Ekaristi, memberikan pelayanan sakramen-sakramen atau melangsungkan perayaan-perayaan suci lainnya di gereja itu; izin itu harus diberikan atau ditolak menurut norma hukum.
Kan. 562 – Rektor gereja, dibawah otoritas Ordinaris wilayah dan dengan mengindahkan statuta serta hak-hak yang diperoleh secara legitim, terikat kewajiban untuk mengupayakan agar perayaan suci dilaksanakan secara pantas dalam gereja menurut norma-norma liturgis dan ketentuan kanon-kanon; agar kewajiban-kewajiban dipenuhi dengan setia; agar harta-benda dikelola dengan teliti, perlengkapan suci dan pemeliharaan serta keindahan gedung suci dijamin; dan agar jangan terjadi sesuatu yang bagaimanapun juga tidak sesuai dengan kekudusan tempat dan kehormatan rumah Allah.
Kan. 563 – Rektor gereja, meskipun dipilih atau diajukan oleh orang-orang lain, dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Ordinaris wilayah karena alasan yang wajar, menurut penilaiannya yang arif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 682, § 2.
Artikel 2
KAPELAN
Kan. 564 – Kapelan ialah imam yang secara tetap diserahi reksa pastoral, sekurang-kurangnya sebagian, terhadap suatu komunitas atau kelompok khusus kaum beriman kristiani; reksa pastoral itu harus dijalankan menurut norma hukum universal dan partikular.
Kan. 565 – Kecuali ditentukan lain oleh hukum atau jika seseorang mempunyai hak-hak istimewa secara legitim, kapelan ditunjuk oleh Ordinaris wilayah, yang juga berwenang mengangkat orang yang diajukan atau mengukuhkan orang yang dipilih.
Kan. 566 – § 1. Kapelan harus dibekali semua kewenangan yang dituntut reksa pastoral yang benar. Disamping kewenangan yang diberikan hukum partikular atau dengan delegasi khusus, kapelan berdasarkan jabatannya mempunyai kewenangan mendengarkan pengakuan dosa kaum beriman yang dipercayakan kepada reksanya, mewartakan sabda Allah kepada mereka, memberikan pelayanan Viatikum dan pengurapan orang sakit dan juga memberikan sakramen penguatan kepada mereka yang berada dalam bahaya mati.
§ 2. Di rumah sakit, penjara dan dalam perjalanan laut, kapelan selain itu juga mempunyai kewenangan, yang hanya dapat diterapkan di situ, untuk memberi absolusi dari censura latae sententiae (sanksi yang langsung kena) yang tak direservasi dan juga tak dinyatakan, namun dengan tetap berlaku ketentuan kan. 976.
Kan. 567 – § 1. Ordinaris wilayah janganlah mengangkat kapelan rumah suatu tarekat religius laikal, kecuali setelah berkonsultasi dengan Pemimpin yang berwenang mengusulkan seorang imam setelah mendengarkan komunitasnya.
§ 2. Kapelan bertugas melaksanakan atau memimpin perayaan-perayaan liturgis; tetapi ia tidak boleh campur-tangan dalam kepemim-pinan intern tarekat.
Kan. 568 – Sedapat mungkin hendaknya diangkat kapelan bagi orang-orang yang karena keadaan kehidupannya tidak dapat memperoleh reksa yang biasa dari pastor-paroki, misalnya para migran, buangan, pengungsi, pengembara, pelaut.
Kan. 569 – Kapelan militer diatur dengan undang-undang khusus.
Kan. 570 – Jika pada rumah komunitas atau kelompok digabung-kan gereja yang bukan gereja paroki, yang menjadi kapelan hendaknya rektor gereja itu sendiri, kecuali reksa terhadap komunitas atau gereja itu menuntut lain.
Kan. 571 – Dalam menunaikan tugas pastoralnya, kapelan hendak-nya membina hubungan yang semestinya dengan pastor-paroki.
Kan. 572 – Mengenai pemberhentian kapelan, hendaknya ditaati perintah kan. 563.

BAGIAN III
TAREKAT HIDUP BAKTI DAN SERIKAT HIDUP KERASULAN
SEKSI I
TAREKAT HIDUP BAKTI

JUDUL I
NORMA UMUM BAGI SEMUA TAREKAT HIDUP BAKTI
Kan. 573 – § 1. Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk hidup yang tetap dengannya orang beriman, yang atas dorongan Roh Kudus mengikuti Kristus secara lebih dekat, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai agar mereka, demi kehormatan bagi-Nya dan juga demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia, dilengkapi dengan alasan baru dan khusus, mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan, sebagai tanda unggul dalam Gereja, mewartakan kemuliaan surgawi.
§ 2. Bentuk hidup dalam tarekat hidup bakti ini, yang didirikan secara kanonik oleh otoritas Gereja yang berwenang, dipilih dengan bebas oleh orang-orang kristiani, yang dengan kaul atau ikatan suci lainnya menurut peraturan masing-masing tarekat, mengikrarkan nasihat-nasihat injili kemurnian, kemiskinan dan ketaatan, dan lewat cintakasih yang menjadi tujuan kaul-kaul tersebut mereka digabungkan dengan Gereja serta misterinya secara istimewa.
Kan. 574 – § 1. Status mereka yang mengikrarkan nasihat-nasihat injili dalam tarekat-tarekat semacam itu termasuk dalam kehidupan dan kekudusan Gereja, oleh karena itu haruslah dipupuk dan dimajukan oleh semua di dalam Gereja.
§ 2. Ke dalam status itu orang-orang beriman tertentu secara khusus dipanggil Allah, agar dalam kehidupan Gereja itu mereka menikmati anugerah khusus dan, seturut tujuan serta semangat tarekat, berguna bagi perutusannya yang menyelamatkan.
Kan. 575 – Nasihat-nasihat injili yang berdasarkan pada ajaran serta teladan Kristus Sang Guru merupakan anugerah ilahi, yang diterima Gereja dari Tuhan dan yang selalu dipelihara oleh Gereja dengan rahmat-Nya.
Kan. 576 – Adalah hak otoritas Gereja yang berwenang untuk menafsirkan nasihat-nasihat injili, mengatur pelaksanaannya dengan undang-undang dan juga menetapkan bentuk-bentuk hidupnya yang tetap dengan aprobasi kanonik, demikian pula dari pihaknya mengusahakan agar tarekat-tarekat itu bertumbuh dan berkembang sesuai dengan semangat pendiri mereka serta menurut tradisi yang sehat.
Kan. 577 – Dalam Gereja ada sangat banyak tarekat hidup bakti, yang memiliki anugerah-anugerah berbeda menurut rahmat yang diberikan kepada mereka: karena mengikuti secara lebih menyerupai Kristus yang berdoa, atau Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah, atau Kristus yang berbuat baik kepada orang-orang, atau Kristus yang tinggal bergaul dengan orang yang berada di dunia, tetapi selalu Kristus yang melakukan kehendak Bapa.
Kan. 578 – Maksud serta cita-cita para pendiri yang disahkan oleh otoritas gerejawi yang berwenang mengenai hakikat, tujuan, semangat dan sifat khas tarekat, begitu pula tradisi-tradisi mereka yang sehat, yang kesemuanya merupakan warisan tarekat itu, hendaknya dipelihara oleh semua dengan setia.
Kan. 579 – Uskup diosesan, dalam wilayahnya masing-masing, dapat mendirikan tarekat hidup bakti dengan dekret resmi, asalkan sudah dikonsultasikan dengan Takhta Apostolik.
Kan. 580 – Penggabungan suatu tarekat hidup bakti pada tarekat lain direservasi bagi otoritas yang berwenang dari tarekat penggabung, dengan tetap mempertahankan otonomi kanonik dari tarekat tergabung.
Kan. 581 – Membagi tarekat dalam bagian-bagian, apapun nama-nya, mendirikan yang baru, mempersatukan yang telah berdiri atau mengubah batas-batasnya, merupakan hak dari otoritas tarekat yang berwenang sesuai dengan norma konstitusi.
Kan. 582 – Peleburan dan penyatuan tarekat-tarekat hidup bakti direservasi hanya bagi Takhta Apostolik; demikian pula direservasi hanya baginya konfederasi dan federasi.
Kan. 583 – Perubahan dalam tarekat-tarekat hidup bakti yang menyangkut hal-hal yang telah disahkan oleh Takhta Apostolik, tidak dapat dilakukan tanpa izinnya.
Kan. 584 – Membubarkan tarekat merupakan kewenangan Takhta Suci saja; baginya juga direservasi penentuan mengenai harta-bendanya.
Kan. 585 – Membubarkan bagian-bagian dari tarekat merupakan hak dari otoritas yang berwenang dari tarekat yang bersangkutan.
Kan. 586 – § 1. Bagi masing-masing tarekat diakui adanya otonomi yang wajar mengenai kehidupannya, terutama kepemimpinan-nya; dengan otonomi itu mereka memiliki disiplin sendiri dalam Gereja dan dapat memelihara utuh warisan yang disebut dalam kan. 578.
§ 2. Adalah kewajiban para Ordinaris wilayah menjaga dan melindungi otonomi itu.
Kan. 587 – § 1. Untuk melindungi dengan lebih setia panggilan serta identitas masing-masing tarekat, dalam peraturan dasar atau konstitusi masing-masing tarekat haruslah dicantumkan, disamping yang ditetapkan dalam kan. 578, norma-norma dasar mengenai kepemimpinan tarekat serta disiplin para anggota, penerimaan serta pembinaan para anggota, dan juga obyek khas dari ikatan-ikatan suci.
§ 2. Buku peraturan semacam itu disahkan oleh otoritas Gereja yang berwenang dan hanya dapat diubah dengan persetujuannya.
§ 3. Dalam buku peraturan itu unsur-unsur rohani dan yuridis hendaknya dipadukan dengan tepat; namun peraturan-peraturan jangan dibuat lebih banyak daripada yang diperlukan.
§ 4. Peraturan-peraturan lain yang ditetapkan oleh otoritas tarekat yang berwenang hendaknya dikumpulkan dengan tepat dalam buku lain, yang menurut kebutuhan tempat dan waktu dapat ditinjau kembali dan disesuaikan seperlunya.
Kan. 588 – § 1. Status hidup bakti, dari hakikatnya sendiri, bukan-lah klerikal atau laikal.
§ 2. Tarekat klerikal ialah tarekat yang atas dasar tujuan atau cita-cita yang dimaksud oleh pendiri atau atas dasar tradisi yang legitim, berada di bawah pimpinan klerikus, menerima pelaksanaan tahbisan suci, dan oleh otoritas Gereja diakui sebagai klerikal.
§ 3. Sedangkan tarekat laikal adalah tarekat yang oleh otoritas Gereja diakui sebagai laikal, berdasarkan hakikat, sifat khas serta tujuannya memiliki tugas khusus yang ditetapkan oleh pendiri serta tradisi yang legitim, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci.
Kan. 589 – Tarekat hidup bakti disebut bertingkat kepausan, jika didirikan oleh Takhta Apostolik atau telah disetujuinya dengan suatu dekret resmi; namun disebut bertingkat diosesan, jika didirikan oleh Uskup diosesan dan belum memperoleh dekret aprobasi dari Takhta Apostolik.
Kan. 590 – § 1. Karena tarekat hidup bakti dipersembahkan secara khusus untuk pelayanan terhadap Allah dan seluruh Gereja, maka ditempatkan dibawah otoritas tertinggi Gereja secara istimewa.
§ 2. Setiap anggota wajib taat kepada Paus, selaku Pemimpin mereka yang tertinggi, juga atas dasar ikatan suci ketaatan.
Kan. 591 – Agar kesejahteraan dan keperluan-keperluan kerasulan tarekat dapat diselenggarakan dengan lebih baik, Paus atas dasar kuasa tertingginya dalam Gereja universal, demi kegunaan umum, dapat melepaskan tarekat hidup bakti dari kepemimpinan Ordinaris wilayah serta menempatkannya dibawah dirinya saja atau dibawah otoritas gerejawi lainnya.
Kan. 592 – § 1. Agar kesatuan tarekat-tarekat dengan Takhta Apostolik didukung dengan lebih baik, hendaknya semua Pemimpin tertinggi mengirimkan laporan singkat mengenai keadaan serta kehidupan tarekat kepada Takhta Apostolik, dengan cara dan pada waktu yang ditentukan olehnya.
§ 2. Pemimpin setiap tarekat hendaknya meningkatkan pengeta-huan akan dokumen-dokumen dari Takhta Suci yang menyangkut anggota-anggota yang dipercayakan kepadanya, serta mengusahakan agar dokumen-dokumen itu ditaati.
Kan. 593 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 586, mengenai kepemimpinan intern serta disiplin tarekat-tarekat bertingkat kepausan ditempatkan secara langsung dan eksklusif dibawah kekuasaan Takhta Apostolik.
Kan. 594 – Tarekat tingkat keuskupan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 586, berada dalam reksa khusus Uskup diosesan.
Kan. 595 – § 1. Adalah hak para Uskup dari rumah induk untuk mengesahkan konstitusi serta mengukuhkan perubahan-perubahan yang dibuat secara legitim, kecuali mengenai hal-hal yang sudah ditangani oleh Takhta Apostolik; dan juga mereka berhak menangani masalah-masalah besar yang menyangkut seluruh tarekat yang mengatasi kewenangan otoritas intern, tetapi setelah berkonsultasi dengan Uskup-uskup diosesan lainnya, jika tarekat itu telah tersebar ke pelbagai keuskupan.
§ 2. Uskup diosesan dapat memberikan dispensasi dari konstitusi dalam kasus-kasus khusus.
Kan. 596 – § 1. Pemimpin-pemimpin tarekat dan kapitel memiliki kuasa terhadap anggota sebagaimana ditentukan dalam hukum universal dan konstitusi.
§ 2. Namun disamping itu, dalam tarekat-tarekat religius klerikal bertingkat kepausan, mereka juga memiliki kuasa kepemimpinan gerejawi baik untuk tata-lahir maupun tata-batin.
§ 3. Untuk kuasa yang disebut dalam § 1 diterapkan ketentuan kan. 131, 133 dan 137-144.
Kan. 597 – § 1. Ke dalam tarekat hidup bakti dapat diterima setiap orang katolik yang bermaksud benar, memiliki sifat-sifat yang dituntut oleh hukum universal dan khusus masing-masing tarekat, serta tak terkena oleh suatu halangan.
§ 2. Tak seorang pun dapat diterima tanpa persiapan yang memadai.
Kan. 598 – § 1. Setiap tarekat, dengan memperhatikan sifat khas dan tujuan masing-masing, hendaknya merumuskan dalam konstitusi-nya cara bagaimana nasihat-nasihat injili kemurnian, kemiskinan dan ketaatan harus dipelihara menurut cara hidup masing-masing.
§ 2. Demikian pula semua anggota harus tidak hanya memelihara nasihat-nasihat injili dengan setia dan secara utuh, melainkan juga mengatur hidup mereka menurut hukum tarekatnya sendiri dan dengan demikian berjuang menuju ke kesempurnaan statusnya.
Kan. 599 – Nasihat injili kemurnian yang diterima demi kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa-serta kewajiban bertarak sempuma dalam selibat.
Kan. 600 – Dengan nasihat injili kemiskinan orang mengikuti jejak Kristus yang meskipun kaya menjadi miskin demi kita. Nasihat injili kemiskinan berarti hidup miskin dalam kenyataan dan dalam semangat, hidup kerja dalam kesederhanaan dan jauh dari kekayaan duniawi; disamping itu membawa-serta ketergantungan dan pembatasan dalam hal penggunaan serta penentuan harta-benda menurut peraturan hukum masing-masing tarekat.
Kan. 601 – Nasihat injili ketaatan, yang diterima dalam semangat iman dan cintakasih dalam mengikuti jejak Kristus yang taat sampai mati, mewajibkan tunduk terhadap Pemimpin-pemimpin yang legitim, selaku wakil Allah, bila mereka memerintahkan sesuatu menurut konstitusi masing-masing.
Kan. 602 – Hidup persaudaraan yang menjadi kekhasan masing-masing tarekat, dengannya semua anggota dipersatukan bagaikan dalam suatu keluarga khusus dalam Kristus, hendaknya ditentukan sedemikian sehingga semua saling membantu untuk dapat memenuhi panggilan masing-masing. Selain itu, dalam persekutuan persaudaraan yang berakar dan berdasar dalam cintakasih, para anggota hendaknya menjadi teladan dari pendamaian universal dalam Kristus.
Kan. 603 – § 1. Disamping tarekat-tarekat hidup bakti, Gereja mengakui hidup eremit atau anakoret, dengannya kaum beriman kristiani dengan menarik diri lebih ketat dari dunia, dalam keheningan kesunyian, dalam doa dan tobat terus-menerus, mempersembahkan hidupnya demi pujian kepada Allah serta keselamatan dunia.
§ 2. Seorang eremit, sebagai orang yang dipersembahkan kepada Allah dalam hidup bakti, diakui oleh hukum jika mengikrarkan secara publik tiga nasihat injili, yang dikuatkan dengan kaul atau ikatan suci lainnya di tangan Uskup diosesan dan memelihara cara hidupnya yang khas itu dibawah pimpinannya.
Kan. 604 – § 1. Selain bentuk-bentuk hidup bakti itu masih ada kelompok para perawan yang, dengan menyatakan cita-cita suci untuk mengikuti Kristus secara lebih serupa, dibaktikan kepada Allah oleh Uskup diosesan dengan ritus liturgi yang sudah disahkan, secara mistik dipersuntingkan dengan Kristus Putera Allah dan dibaktikan bagi pelayanan Gereja.
§ 2. Agar dapat memelihara niat mereka dengan lebih setia dan menyempurnakan pelayanan kepada Gereja yang sesuai dengan kedudukan mereka dengan saling membantu, para perawan tersebut dapat membentuk suatu perserikatan.
Kan. 605 – Menyetujui bentuk-bentuk baru hidup bakti direservasi bagi Takhta Apostolik saja. Namun, hendaknya para Uskup diosesan berusaha mengenali anugerah-anugerah baru hidup bakti yang dipercayakan oleh Roh Kudus kepada Gereja. Hendaknya mereka membantu pula para pemrakarsa agar dapat mengungkapkan cita-cita mereka dalam cara yang sebaik-baiknya dan melindunginya dengan peraturan-peraturan yang tepat, terutama dengan menggunakan kaidah-kaidah umum yang termuat dalam bagian ini.
Kan. 606 – Hal-hal yang ditentukan mengenai tarekat hidup bakti dan anggota-anggotanya berlaku sama secara hukum untuk kedua jenis kelamin, kecuali dari konteks pembicaraan atau hakikat perkaranya jelas lain.
JUDUL II
TAREKAT RELIGIUS
Kan. 607 – § 1. Hidup religius, sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang. Demikianlah hendaknya religius menyempurnakan penyerahan diri seutuhnya bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan itu seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus-menerus kepada Allah dalam cintakasih.
§ 2. Tarekat religius adalah serikat dimana para anggotanya menurut hukum masing-masing mengucapkan kaul publik kekal atau sementara, namun pada waktunya harus diperbaharui, dan melaksana-kan hidup persaudaraan dalam kebersamaan.
§ 3. Kesaksian publik yang harus diberikan oleh para religius bagi Kristus dan Gereja membawa-serta pemisahan dari dunia, yang khas bagi ciri khusus dan tujuan masing-masing tarekat.
BAB I
RUMAH RELIGIUS, PENDIRIAN DAN PENUTUPANNYA
Kan. 608 – Komunitas religius harus bertempat-tinggal di rumah yang didirikan secara legitim dibawah otoritas seorang Pemimpin yang ditunjuk menurut norma hukum; masing-masing rumah hendaknya memiliki sekurang-kurangnya ruang doa, dimana Ekaristi dirayakan dan disimpan, sehingga sungguh-sungguh menjadi pusat komunitas.
Kan. 609 – § 1. Rumah-rumah tarekat religius didirikan oleh otoritas yang berwenang menurut konstitusi, setelah ada persetujuan dari Uskup diosesan yang diberikan secara tertulis.
§ 2. Untuk mendirikan biara rubiah, disamping itu dibutuhkan izin dari Takhta Apostolik.
Kan. 610 – § 1. Pendirian rumah-rumah dilakukan dengan mempe-rhatikan kegunaan bagi Gereja dan tarekat serta terjaminnya segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kehidupan religius para anggota dengan baik, sesuai dengan tujuan serta semangat masing-masing tarekat.
§ 2. Tak satu rumah pun boleh didirikan kecuali dapat dinilai dengan arif bahwa kebutuhan-kebutuhan para anggota akan dapat dicukupi secara layak.
Kan. 611 – Persetujuan Uskup diosesan untuk mendirikan rumah religius dari suatu tarekat membawa-serta hak:
10 untuk menjalani hidup menurut sifat khusus dan tujuan-tujuan khas tarekat;
20 untuk melaksanakan karya-karya khas tarekat menurut norma hukum, dengan mengindahkan syarat-syarat yang dicantumkan dalam persetujuan;
30 untuk memiliki sebuah gereja bagi tarekat klerikal, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1215, § 3, serta untuk memberikan pelayanan rohani, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan hukum.
Kan. 612 – Agar rumah religius dapat digunakan untuk karya kerasulan yang berlainan dengan tujuan didirikannya, dibutuhkan persetujuan Uskup diosesan; tetapi tidak diperlukan persetujuannya jika mengenai perubahan yang hanya menyangkut kepemimpinan intern dan disiplin, dengan mengindahkan undang-undang fundasi.
Kan. 613 – § 1. Rumah religius para kanunik regulir dan para rahib yang berada dibawah kepemimpinan dan reksa Moderator sendiri adalah mandiri, kecuali konstitusi menentukan lain.
§ 2. Moderator rumah mandiri menurut hukum adalah Pemimpin tinggi.
Kan. 614 – Biara-biara rubiah yang berserikat dengan suatu tarekat pria memiliki cara hidup sendiri serta kepemimpinan menurut konstitusi. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal-balik mereka hendaknya ditentukan sedemikian sehingga dari perserikatan itu dapat diperoleh manfaat spiritual.
Kan. 615 – Biara mandiri yang tidak memiliki Pemimpin tinggi selain Moderatornya sendiri, dan tidak berserikat dengan suatu tarekat religius, sehingga Pemimpin itu memiliki kuasa yang sungguh terhadap biara itu seperti ditentukan dalam konstitusi, diserahkan kepada pengawasan khusus Uskup diosesan menurut ketentuan hukum.
Kan. 616 – § 1. Rumah religius yang didirikan secara legitim dapat ditutup oleh Moderator tertinggi menurut norma konstitusi, setelah berkonsultasi dengan Uskup diosesan. Mengenai harta-benda rumah yang ditutup hendaknya ditentukan dalam hukum tarekat itu sendiri, dengan tetap mengamankan maksud para fundator atau penderma dan hak-hak yang telah diperoleh secara legitim.
§ 2. Penutupan rumah tarekat yang tinggal satu-satunya menjadi wewenang Takhta Suci, dalam hal itu baginya juga direservasi penentuan harta-bendanya.
§ 3. Menutup rumah mandiri, yang disebut dalam kan. 613, menjadi wewenang kapitel umum, kecuali konstitusi menentukan lain.
§ 4. Menutup biara rubiah mandiri menjadi wewenang Takhta Apostolik, dengan tetap mengindahkan ketentuan konstitusi mengenai harta-bendanya.

BAB II
KEPEMIMPINAN TAREKAT

Artikel 1
PEMIMPIN DAN DEWAN

Kan. 617 – Para Pemimpin hendaknya memenuhi tugasnya serta melaksanakan kuasanya menurut norma hukum universal dan hukum tarekat itu sendiri.
Kan. 618 – Para Pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugas hendaknya mereka peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya sebagai putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran-serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara otoritas mereka sendiri untuk memutuskan dan memerintahkan apa saja yang harus dilaksanakan.
Kan. 619 – Para Pemimpin hendaknya menunaikan tugas mereka dengan tekun dan bersama dengan para anggota yang dipercayakan kepadanya berusaha membangun komunitas persaudaraan dalam Kristus, dimana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu. Maka mereka hendaknya kerapkali memberi santapan sabda Allah kepada para anggota dan mengajak mereka merayakan liturgi suci. Hendaknya mereka menjadi teladan bagi para anggota dalam membina keutamaan-keutamaan dan dalam menaati undang-undang serta tradisi tarekatnya sendiri; membantu secara layak dalam hal kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, memperhatikan dan mengunjungi dengan rajin mereka yang sakit, memperingatkan yang rewel, menghibur yang kecil hati, bersabar terhadap semuanya.
Kan. 620 – Superior Maior ialah mereka yang memimpin seluruh tarekat, atau provinsi dari tarekat itu, atau bagian yang disamakan dengannya, atau rumah mandiri, demikian pula wakil-wakil mereka. Selain mereka ini juga Abas Primas dan Pemimpin kongregasi monastik, tetapi mereka ini tidak memiliki semua kuasa yang oleh hukum umum diberikan kepada para Superior Maior.
Kan. 621 – Gabungan rumah-rumah dibawah Pemimpin yang sama, yang membentuk bagian langsung dari tarekat itu dan didirikan secara kanonik oleh otoritas yang legitim, disebut provinsi.
Kan. 622 – Pemimpin tertinggi memiliki kuasa terhadap semua provinsi, rumah-rumah dan anggota-anggota dari tarekat itu, yang harus dilaksanakan menurut hukum tarekat itu sendiri; Pemimpin-pemimpin lainnya memiliki kuasa dalam batas-batas tugasnya.
Kan. 623 – Agar anggota dapat dengan sah diangkat atau dipilih untuk tugas sebagai Pemimpin, dibutuhkan waktu yang wajar sesudah profesi kekal atau definitif yang harus ditentukan oleh hukum tarekat sendiri, atau jika mengenai Superior Maior ditentukan oleh konstitusi.
Kan. 624 – § 1. Para Pemimpin hendaknya ditetapkan untuk jangka waktu tertentu dan layak menurut hakikat dan kebutuhan tarekat, kecuali untuk Pemimpin tertinggi dan Pemimpin rumah mandiri konstitusi menentukan lain.
§ 2. Hukum tarekat sendiri hendaknya mencegah dengan norma-norma yang tepat agar para Pemimpin yang ditetapkan untuk waktu tertentu jangan tetap memegang jabatan pimpinan terlalu lama tanpa tenggang waktu.
§ 3. Namun selama menjabat dapat diberhentikan dari tugas atau dipindahkan ke tugas lain karena alasan-alasan yang ditentukan oleh hukum tarekat itu sendiri.
Kan. 625 – § 1. Pemimpin tertinggi tarekat hendaknya ditunjuk lewat pemilihan kanonik menurut norma konstitusi.
§ 2. Pemilihan Pemimpin biara mandiri, yang disebut dalam kan. 615, dan pemilihan Pemimpin tertinggi tarekat bertingkat keuskupan dipimpin oleh Uskup dari rumah biara induk.
§ 3. Pemimpin-pemimpin lain hendaknya ditetapkan menurut norma konstitusi; tetapi jika dipilih, dibutuhkan pengukuhan dari Superior Maior yang berwenang; jika diangkat oleh Pemimpin, hendaknya didahului dengan konsultasi memadai.
Kan. 626 – Para Pemimpin dalam memberikan jabatan dan para anggota dalam memilih hendaknya menaati norma-norma hukum universal dan hukum tarekat itu sendiri, menjauhkan diri dari penyalahgunaan dan pilih-kasih, dan tidak memperhatikan hal lain kecuali Allah dan kepentingan tarekat, mengangkat atau memilih mereka yang di hadapan Tuhan sungguh dipandang pantas dan tepat. Selain itu hendaknya dalam pemilihan-pemilihan mereka tidak mencari suara, langsung atau tidak langsung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Kan. 627 – § 1. Menurut norma konstitusi, para Pemimpin hendak-nya memiliki dewan penasihatnya sendiri, yang bantuannya harus dipergunakan dalam menunaikan tugas.
§ 2. Kecuali dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam hukum universal, hukum tarekat sendiri hendaknya menentukan dalam hal-hal mana dituntut persetujuan atau nasihat untuk dapat bertindak dengan sah menurut norma kan. 127.
Kan. 628 – § 1. Para Pemimpin yang menurut hukum tarekatnya sendiri ditunjuk untuk tugas ini, pada waktu-waktu yang ditentukan hendaknya mengunjungi rumah-rumah dan anggota-anggota yang dipercayakan kepadanya menurut norma hukum tarekat itu sendiri.
§ 2. Uskup diosesan berhak dan berkewajiban mengadakan kunjungan, juga yang mengenai disiplin religius:
l0 biara-biara mandiri yang disebut dalam kan. 615;
20 setiap rumah tarekat bertingkat keuskupan yang berada di dalam wilayahnya.
§ 3. Para anggota hendaknya bersikap penuh kepercayaan terhadap visitator, mereka wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disam-paikan secara legitim sesuai dengan kebenaran dalam cintakasih; dan tidak seorang pun boleh menghindarkan para anggota dari kewajiban ini dengan cara apapun, atau menghalangi tujuan kunjungan.
Kan. 629 – Para Pemimpin hendaknya bertempat-tinggal di rumah masing-masing, dan jangan pergi dari rumah itu, kecuali menurut norma hukum tarekat sendiri.
Kan. 630 – § 1. Para Pemimpin hendaknya menghormati kebebasan yang semestinya dari para anggota sehubungan dengan sakramen tobat dan bimbingan hatinurani mereka, namun dengan tetap mematuhi disiplin tarekat.
§ 2. Para Pemimpin hendaknya memperhatikan menurut norma hukum tarekat sendiri, agar tersedia bagi anggotanya para bapa pengakuan yang cakap, sehingga mereka dapat kerapkali mengaku dosa.
§ 3. Di dalam biara-biara rubiah, dalam rumah-rumah pendidikan serta dalam komunitas laikal yang agak besar hendaknya ada bapa pengakuan biasa yang disetujui Ordinaris wilayah, setelah mendengarkan pendapat komunitas, tetapi tanpa ada kewajiban untuk menghadapnya.
§ 4. Para Pemimpin jangan menerima pengakuan dari para bawahannya, kecuali para anggota memintanya dengan sukarela.
§ 5. Para anggota hendaknya menghadap para Pemimpin dengan kepercayaan; kepada mereka para anggota dapat membuka hatinya dengan bebas dan sukarela. Namun para Pemimpin dilarang memaksa dengan cara apapun para anggotanya membuka hatinurani kepada mereka.

Artikel 2
KAPITEL

Kan. 631 – § 1. Kapitel umum, yang memiliki otoritas tertinggi dalam tarekat menurut norma konstitusi, harus dibentuk sedemikian sehingga mewakili seluruh tarekat, menjadi tanda sejati kesatuannya dalam cintakasih. Tugasnya terutama adalah memelihara warisan tarekat yang disebut dalam kan. 578 dan mendorong pembaruan yang sesuai dengannya, memilih Pemimpin tertinggi, membahas masalah-masalah penting, serta mengeluarkan norma-norma yang harus ditaati oleh semua.
§ 2. Susunan dan lingkup kuasa kapitel hendaknya ditentukan dalam konstitusi; hukum tarekat itu sendiri hendaknya menentukan lebih lanjut tata-tertib yang harus ditaati dalam penyelenggaraan kapitel, terutama yang menyangkut pemilihan dan hal-hal yang harus dibahas.
§ 3. Menurut norma-norma yang ditetapkan dalam hukum tarekat itu sendiri, bukan hanya provinsi dan komunitas-komunitas lokal, melainkan juga setiap anggota dapat dengan bebas mengirim harapan-harapan serta saran-sarannya kepada kapitel umum.
Kan. 632 – Hukum tarekat itu sendiri hendaknya menetapkan dengan teliti hal-hal yang termasuk dalam kapitel-kapitel lain dari tarekat dan dalam pertemuan-pertemuan lain semacam itu, yakni hakikat, otoritas, susunan, prosedur dan waktu penyelenggaraannya.
Kan. 633 – § 1. Organ-organ partisipasi dan konsultasi hendaknya dengan setia memenuhi tugas yang diserahkan kepadanya sesuai dengan norma hukum universal dan hukum tarekat, dan hendaknya dengan caranya sendiri mengungkapkan perhatian serta partisipasi semua anggota demi kebaikan seluruh tarekat atau komunitas.
§ 2. Dalam membentuk dan menggunakan sarana-sarana partisipasi dan konsultasi ini hendaknya dipelihara diskresi yang bijaksana, dan cara kerjanya hendaknya sesuai dengan sifat khas dan tujuan tarekat.

Artikel 3
HARTA-BENDA DAN PENGELOLAANNYA

Kan. 634 – § 1. Tarekat-tarekat, provinsi-provinsi dan rumah-rumah, sebagai badan hukum menurut hukum itu sendiri, mampu memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-milikkan harta-benda, kecuali dalam konstitusi kemampuan itu ditiadakan atau dibatasi.
§ 2. Namun, hendaknya dihindari setiap kesan kemewahan, keserakahan dan penimbunan harta.
Kan. 635 – § 1. Harta-benda milik tarekat religius, sebagai harta-benda gerejawi, diatur menurut ketentuan Buku V Harta-Benda Gereja, kecuali secara jelas dinyatakan lain.
§ 2. Setiap tarekat hendaknya merumuskan norma-norma yang tepat mengenai penggunaan dan pengelolaan harta-bendanya, agar kemiskinan yang khas padanya dipupuk, dilindungi dan diungkapkan.
Kan. 636 – § 1. Dalam setiap tarekat, demikian pula setiap provinsi yang dipimpin oleh seorang Pemimpin tinggi, harus ada seorang ekonom, yang bukan Pemimpin tinggi itu sendiri, dan yang diangkat menurut norma hukum tarekat itu; ia mengelola harta-benda di bawah pengarahan Pemimpin masing-masing. Demikian pula dalam komunitas-komunitas lokal sedapat mungkin diangkat seorang ekonom yang bukan Pemimpin lokal itu sendiri.
§ 2. Pada waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh hukumnya sendiri, ekonom dan pengelola lainnya hendaknya mempertanggung-jawabkan pengelolaan yang telah dilaksanakannya kepada otoritas yang berwenang.
Kan. 637 – Biara-biara mandiri yang disebut dalam kan. 615 harus memberikan pertanggungjawaban pengelolaan setahun sekali kepada Ordinaris wilayah; disamping itu Ordinaris wilayah mempunyai hak untuk mengetahui urusan-urusan ekonomi rumah religius tingkat keuskupan.
Kan. 638 – § 1. Hukum tarekat sendiri, dalam batas-batas hukum universal, bertugas menentukan tindakan-tindakan yang melampaui batas dan cara pengelolaan biasa, serta menentukan hal-hal yang perlu untuk melakukan secara sah suatu tindakan pengelolaan luar biasa.
§ 2. Pengeluaran-pengeluaran dan tindakan-tindakan hukum dalam pengelolaan biasa dapat dilakukan secara sah, selain oleh para Pemimpin, juga oleh para pejabat yang ditunjuk dalam hukum tarekat itu, dalam batas-batas tugasnya.
§ 3. Untuk sahnya pengalih-milikan dan urusan apapun dimana keadaan kekayaan badan hukum dapat menjadi lebih buruk, dibutuhkan izin tertulis dari Pemimpin yang berwenang dengan persetujuan dewannya. Namun, jika mengenai urusan yang melebihi jumlah yang ditentukan oleh Takhta Suci untuk masing-masing wilayah, demikian pula mengenai benda-benda yang dihadiahkan dari nadar kepada Gereja atau mengenai benda-benda berharga karena bernilai seni atau sejarah, dibutuhkan juga izin dari Takhta Suci tersebut.
§ 4. Untuk biara mandiri yang disebut dalam kan. 615, dan untuk tarekat-tarekat tingkat-keuskupan diperlukan juga persetujuan tertulis dari Ordinaris wilayah.
Kan. 639 – § 1. Jika badan hukum membuat kontrak utang dan beban keuangan, meski dengan izin Pemimpin, ia sendiri diwajibkan mempertanggungjawabkannya.
§ 2. Jika seorang anggota dengan izin Pemimpin membuat kontrak mengenai hartanya sendiri, ia harus bertanggungjawab sendiri; tetapi jika atas mandat dari Pemimpin ia melaksanakan urusan tarekat, tarekatlah yang harus mempertanggungjawabkannya.
§ 3. Jika religius membuat kontrak tanpa izin apapun dari Pemimpin, ia sendiri harus mempertanggungjawabkan, dan bukan badan hukum.
§ 4. Namun tetap berlaku bahwa selalu dapat diajukan gugatan terhadap pihak yang menarik suatu keuntungan dari kontrak yang diadakan itu.
§ 5. Para Pemimpin religius hendaknya menjaga agar jangan mengizinkan membuat utang, kecuali pasti bahwa dari pendapatan yang biasa, bunga utang itu dapat dibayar dan dalam waktu yang tidak terlalu lama pokok utang dapat dikembalikan dengan pelunasan legitim.
Kan. 640 – Tarekat-tarekat, dengan mengingat situasi masing-masing tempat, hendaknya sebagai kelompok memberikan kesaksian cinta-kasih dan kemiskinan, serta sesuai kemampuannya memberikan sesuatu dari harta-miliknya bagi kebutuhan Gereja dan untuk membantu mereka yang berkekurangan.

BAB III
PENERIMAAN CALON DAN PEMBINAAN PARA ANGGOTA

Artikel 1
PENERIMAAN KE DALAM NOVISIAT
Kan. 641 – Hak untuk menerima calon ke dalam novisiat ada pada Pemimpin tinggi menurut norma hukumnya sendiri.
Kan. 642 – Hendaknya para Pemimpin waspada agar menerima hanya mereka yang selain memiliki umur yang dituntut, juga memiliki kesehatan, watak yang cocok, dan kualitas kematangan yang cukup untuk memeluk hidup khas tarekat; kesehatan, watak dan kematangan itu kalau perlu hendaknya dibuktikan dengan bantuan ahli, dengan tetap mengindahkan ketentuan kan. 220.
Kan. 643 – § 1. Tidak sah diterima dalam novisiat:
10 yang belum berumur genap tujuhbelas tahun;
20 pasangan, selama masih terikat perkawinan;
30 yang masih terikat oleh ikatan suci pada suatu tarekat hidup bakti atau masih menjadi anggota suatu serikat hidup kerasulan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 684;
40 yang masuk tarekat karena paksaan, ketakutan besar atau tertipu, atau yang diterima oleh Pemimpin dengan cara yang sama;
50 yang telah menyembunyikan keanggotaannya dalam salah satu tarekat hidup bakti atau suatu serikat hidup kerasulan.
§ 2. Hukum tarekat sendiri dapat menetapkan halangan-halangan lain atau menambahkan syarat-syarat, juga demi sahnya penerimaan.
Kan. 644 – Para Pemimpin jangan menerima ke dalam novisiat klerikus sekular tanpa berkonsultasi sebelumnya dengan Ordinarisnya, dan orang-orang yang terbebani utang dan tidak mampu melunasinya.
Kan. 645 – § 1. Para calon sebelum diterima ke dalam novisiat harus menunjukkan surat baptis dan surat penguatan serta surat keterangan status bebas.
§ 2. Jika mengenai penerimaan seorang klerikus atau orang yang pernah diterima di dalam suatu tarekat hidup bakti lain, dalam serikat hidup kerasulan, atau dalam seminari, disamping itu dituntut surat keterangan dari Ordinaris wilayah atau Pemimpin tinggi tarekat, atau serikat, atau rektor seminari yang bersangkutan.
§ 3. Hukum tarekat sendiri dapat menuntut surat-surat keterangan lain mengenai kecakapan calon yang dituntut dan tiadanya halangan.
§ 4. Para pemimpin dapat juga meminta informasi lain, juga dibawah rahasia, jika mereka menganggapnya perlu.

Artikel 2
NOVISIAT DAN PEMBINAAN PARA NOVIS
Kan. 646 – Hidup dalam tarekat dimulai dalam novisiat. Tujuan-nya ialah agar para novis lebih memahami panggilan ilahi, khususnya yang khas dari tarekat yang bersangkutan, mengalami cara hidup tarekat, serta membentuk budi dan hati dengan semangatnya, dan agar terbuktilah niat serta kecakapan mereka.
Kan. 647 – § 1. Pendirian, pemindahan dan penutupan rumah novisiat hendaknya dilaksanakan dengan dekret tertulis dari Pemimpin tertinggi tarekat dengan persetujuan dewannya.
§ 2. Agar novisiat itu sah, harus dilaksanakan dalam rumah yang ditunjuk untuk itu menurut peraturan. Dalam kasus-kasus tertentu dan sebagai kekecualian, atas izin Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya, calon dapat menjalani novisiatnya di rumah lain dari tarekat itu, dibawah pimpinan seorang religius yang teruji sebagai pengganti pembimbing novis.
§ 3. Pemimpin tinggi dapat mengizinkan agar kelompok para novis untuk jangka waktu tertentu tinggal di rumah lain dari tarekat itu yang ditunjuk olehnya sendiri.
Kan. 648 – § 1. Agar novisiat sah, haruslah mencakup duabelas bulan yang diselenggarakan dalam komunitas novisiat sendiri, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 647, § 3.
§ 2. Untuk menyempurnakan pembinaan para novis, disamping waktu yang disebut dalam §1, konstitusi dapat menentukan waktu latihan kerasulan, satu kali atau lebih, yang dilakukan di luar komunitas novisiat.
§ 3. Novisiat jangan diperpanjang lebih dari dua tahun.
Kan. 649 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 647, § 3 dan kan. 648, § 2, kepergian dari rumah novisiat melebihi tiga bulan, secara terus-menerus atau terputus-putus, membuat novisiat tidak sah. Kepergian yang melebihi limabelas hari, harus diganti.
§ 2. Dengan izin Pemimpin tinggi yang berwenang kaul pertama dapat dimajukan, tetapi tidak lebih dari limabelas hari.
Kan. 650 – § 1. Tujuan novisiat menuntut agar para novis dibentuk dibawah pimpinan pembimbing novis menurut pedoman pembinaan yang harus ditetapkan dalam hukum tarekat itu sendiri.
§ 2. Pimpinan para novis, dibawah otoritas Pemimpin tinggi, dikhususkan bagi pembimbing novis saja.
Kan. 651 – § 1. Pembimbing novis hendaklah seorang anggota tarekat yang sudah berkaul kekal dan ditunjuk secara legitim.
§ 2. Jika perlu, pembimbing novis dapat diberi rekan-kerja, yang berada dibawahnya dalam mengatur novisiat dan pedoman pem-binaannya.
§ 3. Pembinaan para novis hendaknya dipimpin oleh anggota-anggota yang telah disiapkan dengan cermat, tanpa dibebani tugas-tugas lain, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan berhasil dan secara tetap.
Kan. 652 – § 1. Pembimbing novis beserta rekan-kerjanya bertugas mengenali dan menguji panggilan para novis dan membina mereka tahap demi tahap menempuh dengan baik jalan hidup kesempurnaan yang khas bagi tarekat.
§ 2. Para novis hendaknya dibimbing untuk mengembangkan keutamaan-keutamaan manusiawi dan kristiani; dengan doa dan penyangkalan-diri diantar masuk dalam jalan kesempurnaan yang lebih penuh; diajar memandang misteri keselamatan serta membaca dan merenungkan Kitab Suci; dipersiapkan untuk merayakan ibadat kepada Allah dalam liturgi suci; mempelajari cara menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah dan manusia dalam Kristus dengan nasihat-nasihat injili; diberi uraian tentang sifat khas dan semangat, tujuan dan disiplin, sejarah dan kehidupan tarekat; serta dipupuk cinta mereka terhadap Gereja dan Gembala sucinya.
§ 3. Sadar akan tanggungjawabnya hendaknya para novis bekerjasama secara aktif dengan pembimbingnya sedemikian sehingga dapat dengan setia menanggapi rahmat panggilan ilahi.
§ 4. Para anggota tarekat hendaknya berusaha agar sesuai dengan peranan masing-masing bekerjasama dalam karya pembinaan para novis dengan teladan hidup dan doa.
§ 5. Masa novisiat yang disebut dalam kan. 648, § 1 hendaknya dimanfaatkan benar-benar untuk tugas pembinaan, oleh karena itu para novis jangan disibukkan dengan studi dan pekerjaan yang tidak secara langsung mendukung pembinaan itu.
Kan. 653 – § 1. Novis dapat dengan bebas meninggalkan tarekat; namun otoritas yang berwenang dari tarekat itu dapat mengeluarkan dia.
§ 2. Seusai novisiat, jika dinilai cakap, novis hendaknya diizinkan mengucapkan kaul sementara; jika tidak, hendaknya dikeluarkan; jika masih ada keragu-raguan mengenai kecakapannya, waktu percobaan dapat diperpanjang oleh Pemimpin tinggi menurut norma hukumnya sendiri, tetapi tidak lebih dari enam bulan.

Artikel 3
PROFESI RELIGIUS

Kan. 654 – Dalam profesi religius para anggota menerima dengan kaul publik tiga nasihat injili untuk ditepati, mereka dibaktikan kepada Allah lewat pelayanan Gereja dan digabungkan dalam tarekat dengan hak serta kewajiban yang ditetapkan oleh hukum.
Kan. 655 – Profesi sementara hendaknya diucapkan untuk jangka waktu yang ditetapkan oleh hukumnya sendiri, yang tidak kurang dari tiga tahun dan tidak lebih dari enam tahun.
Kan. 656 – Untuk sahnya profesi sementara dituntut agar:
10 yang mau mengucapkannya sudah berumur sekurang-kurangnya genap delapan belas tahun;
20 telah menjalani novisiat secara sah;
30 diizinkan dengan bebas oleh Pemimpin yang berwenang dengan penilaian dewan penasihatnya menurut norma hukum;
40 diungkapkan dan diikrarkan tanpa paksaan, ketakutan besar atau penipuan;
50 diterima oleh Pemimpin yang berwenang, sendiri atau dengan perantaraan orang lain.
Kan. 657 – § 1. Bila telah habis jangka waktu profesi, religius yang dari kehendak sendiri meminta dan dinilai cakap, hendaknya diizinkan untuk memperbarui profesi atau untuk mengucapkan profesi kekal; kalau tidak, hendaknya ia keluar.
§ 2. Akan tetapi jika dianggap baik, jangka waktu profesi sementara dapat diperpanjang oleh Pemimpin yang berwenang menurut hukum tarekatnya sendiri, namun sedemikian sehingga seluruh waktu yang mengikat anggota dengan kaul sementara tidak melebihi sembilan tahun.
§ 3. Profesi kekal dapat dimajukan karena alasan yang wajar, tetapi tidak melebihi tiga bulan.
Kan. 658 – Disamping syarat-syarat yang disebut kan. 656, 30, 40 dan 50 serta syarat lainnya menurut hukum tarekatnya sendiri, untuk sahnya profesi kekal dituntut:
10 umur sekurang-kurangnya sudah genap dua puluh satu tahun;
20 didahului oleh profesi sementara sekurang-kurangnya tiga tahun, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 657, § 3.

Artikel 4
PEMBINAAN PARA RELIGIUS

Kan. 659 – § 1. Dalam setiap tarekat hendaknya pembinaan semua anggota disempurnakan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh dan untuk dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih tepat.
§ 2. Karena itu hukumnya sendiri harus menentukan pedoman pembinaan ini serta jangka waktunya, dengan mengindahkan kebutuhan Gereja serta keadaan orang-orang dan zaman, sebagaimana dituntut oleh tujuan dan sifat khas tarekat.
§ 3. Pembinaan para anggota yang disiapkan untuk menerima tahbisan suci diatur oleh hukum universal dan pedoman studi yang khas dari tarekat.
Kan. 660 – § 1. Pembinaan itu hendaknya sistematis, disesuaikan dengan daya tangkap anggota, baik spiritual maupun apostolis, doktrinal sekaligus praktis, dan bila berguna juga dengan memperoleh gelar yang sesuai, baik gerejawi maupun sipil.
§ 2. Selama waktu pembinaan itu para anggota jangan diserahi jabatan dan karya yang menghalangi pembinaan itu.
Kan. 661 – Selama seluruh hidup para religius hendaknya dengan tekun melanjutkan pembinaan rohani, doktrinal dan praktis; dan para Pemimpin hendaknya menyediakan sarana dan waktu untuk itu.

BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK TAREKAT SERTA ANGGOTANYA

Kan. 662 – Para religius hendaknya menjadikan hal mengikuti Kristus seperti dinyatakan dalam Injil dan juga diungkapkan dalam konstitusi tarekatnya sebagai hukum tertinggi hidupnya.
Kan. 663 – § 1. Kontemplasi perkara-perkara ilahi dan persatuan dengan Allah yang terus-menerus dalam doa hendaknya merupakan tugas pertama dan utama bagi semua religius.
§ 2. Para anggota sedapat mungkin setiap hari mengambil bagian dalam Kurban Ekaristi, menyambut Tubuh Kristus yang mahakudus dan bersujud pada Tuhan yang hadir dalam Sakramen.
§ 3. Hendaknya mereka menyediakan waktu untuk bacaan Kitab Suci dan doa meditasi, merayakan ibadat harian dengan layak menurut ketentuan hukumnya sendiri, dengan tetap berlaku ketentuan bagi klerikus dalam kan. 276, § 2, 30 serta melakukan latihan-latihan kesalehan lain.
§ 4. Hendaknya mereka mengembangkan devosi khusus kepada Santa Perawan Bunda Allah, teladan dan pelindung segenap hidup bakti, juga dengan doa rosario.
§ 5. Hendaknya mereka setia melakukan retret tahunan.
Kan. 664 – Para religius hendaknya menekankan pentingnya pertobatan hati terhadap Allah, meneliti batinnya, juga setiap hari, dan sering kali menerima sakramen tobat.
Kan. 665 – § 1. Para religius hendaknya tinggal di rumah biaranya sendiri dengan menjalani hidup bersama, dan jangan pergi dari rumah tanpa izin Pemimpinnya. Namun jika mengenai kepergian yang lama dari rumah, Pemimpin tinggi, dengan persetujuan dewannya serta atas dasar alasan yang wajar, dapat mengizinkan anggota tinggal di luar rumah tarekat, tetapi tidak lebih dari satu tahun, kecuali karena alasan kesehatan, studi atau kerasulan yang dilaksanakan atas nama tarekat.
§ 2. Anggota yang secara tidak legitim pergi dari rumah biara dengan maksud untuk melepaskan diri dari kekuasaan Pemimpin, hendaknya dicari oleh Pemimpin dengan penuh keprihatinan dan dibantu agar kembali dan bertahan dalam panggilannya.
Kan. 666 – Dalam menggunakan media komunikasi sosial hendaknya dipelihara diskresi yang semestinya dan dihindari segala sesuatu yang merugikan panggilannya sendiri serta berbahaya bagi kemurnian orang yang sudah dibaktikan.
Kan. 667 – § 1. Dalam semua rumah hendaknya dipelihara klausura yang disesuaikan dengan sifat khas dan misi tarekat menurut ketentuan-ketentuan tarekat itu sendiri, dengan selalu mengkhususkan suatu bagian dari rumah biara bagi para anggota sendiri.
§ 2. Disiplin klausura yang lebih ketat haruslah dipelihara dalam biara-biara monastik yang diarahkan untuk hidup kontemplatif.
§ 3. Biara rubiah yang diarahkan sepenuhnya untuk hidup kontemplatif, harus mematuhi klausura kepausan, yakni menurut norma-norma yang diberikan oleh Takhta Apostolik. Biara-biara rubiah lainnya hendaknya mematuhi klausura yang disesuaikan pada sifat khas masing-masing dan ditetapkan dalam konstitusi.
§ 4. Uskup diosesan mempunyai kewenangan untuk dengan alasan wajar masuk ke dalam klausura biara-biara rubiah yang berada di keuskupannya, dan untuk mengizinkan orang lain masuk ke dalam klausura, jika ada alasan berat dan dengan persetujuan Ibu Pemimpin rumah, dan berwenang mengizinkan para rubiah ke luar dari klausura untuk jangka waktu yang sungguh perlu.
Kan. 668 – § 1. Sebelum profesi pertama para anggota hendaknya menyerahkan pengelolaan harta-bendanya kepada orang yang dikehendakinya, dan menentukan dengan bebas penggunaan serta pemanfaatannya, kecuali konstitusi menentukan lain. Sedangkan surat wasiat yang juga berlaku bagi hukum sipil hendaknya dibuat sekurang-kurangnya sebelum profesi kekal.
§ 2. Untuk mengubah keputusan itu bila ada alasan wajar dan untuk melakukan suatu tindakan sehubungan dengan harta-benda, dibutuhkan izin dari Pemimpin yang berwenang menurut norma hukum tarekat itu sendiri.
§ 3. Apapun yang didapat oleh religius baik atas dasar usahanya sendiri maupun atas nama tarekat, menjadi milik tarekat. Apapun yang dihasilkan bagi religius dengan cara apapun atas dasar pensiun, bantuan atau asuransi, menjadi milik tarekat, kecuali ditentukan lain dalam hukum tarekat itu.
§ 4. Yang dari hakikat tarekatnya harus melepaskan harta-bendanya secara penuh, hendaklah melepaskannya, sedapat mungkin juga dalam bentuk yang berlaku bagi hukum sipil, dan melakukannya sebelum profesi kekal, meskipun baru akan berlaku sejak hari diucapkan profesi tersebut. Hal yang sama hendaknya dibuat oleh orang yang sudah berkaul kekal, yang menurut ketentuan hukum tarekatnya mau melepaskan harta-bendanya, sebagian atau seluruhnya dengan izin Pemimpin tertinggi.
§ 5. Orang berkaul, yang menurut hakikat tarekat melepaskan secara penuh harta-bendanya, kehilangan kemampuan memperoleh dan memiliki, maka tidak dapat secara sah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kaul kemiskinan. Tetapi apa yang diperolehnya sesudah melepaskan itu, menjadi milik tarekat sesuai norma hukum tarekat itu sendiri.
Kan. 669 – § 1. Para religius hendaknya mengenakan pakaian tarekat, yang dibuat menurut norma hukum tarekatnya sendiri, sebagai tanda pembaktian diri dan kesaksian kemiskinan.
§ 2. Para religius klerikal dari tarekat yang tidak memiliki pakaian khusus, hendaknya mengenakan pakaian klerikal sesuai norma kan. 284.
Kan. 670 – Tarekat harus mencukupi kebutuhan anggota-anggota-nya mengenai semua yang menurut norma konstitusi diperlukan untuk mencapai tujuan panggilannya.
Kan. 671 – Religius jangan menerima tugas dan jabatan di luar tarekatnya sendiri tanpa izin dari Pemimpin yang legitim.
Kan. 672 – Para religius terikat ketentuan-ketentuan kan. 277, 285, 286, 287, dan 289; dan religius klerikal disamping itu juga terikat ketentuan kan. 279, § 2; dalam tarekat laikal bertingkat kepausan, izin yang dimaksud dalam kan. 285, § 4, dapat diberikan oleh Pemimpin tingginya sendiri.

BAB V
KERASULAN TAREKAT

Kan. 673 – Kerasulan semua religius pertama-tama terletak dalam kesaksian hidup mereka yang sudah dibaktikan, yang harus mereka pelihara dengan doa dan tobat.
Kan. 674 – Tarekat-tarekat yang seutuhnya diarahkan untuk hidup kontemplatif, selalu memperoleh tempat istimewa dalam Tubuh mistik Kristus: sebab mereka mempersembahkan kurban pujian utama kepada Allah, turut menerangi Umat Allah dengan buah-buah kesucian yang melimpah, menggerakkannya dengan teladan mereka dan dengan demikian memperkembangkannya dengan suatu kesuburan kerasulan yang tersembunyi. Karena itu, meski betapapun mendesak kepentingan kegiatan kerasulan, anggota-anggota tarekat itu tidak dapat dipanggil untuk membantu dalam pelbagai pelayanan pastoral.
Kan. 675 – § 1. Dalam tarekat-tarekat yang diperuntukkan bagi karya-karya kerasulan, kegiatan kerasulan itu termasuk dalam hakikat tarekat itu sendiri. Karena itu, seluruh hidup para anggota hendaknya diresapi dengan semangat kerasulan, dan seluruh kegiatan kerasulan mereka diilhami oleh semangat religius.
§ 2. Kegiatan kerasulan hendaknya selalu mengalir dari persatuan-nya yang mesra dengan Allah, dan memperteguh serta menunjang persatuan itu.
§ 3. Kegiatan kerasulan yang harus dilaksanakan atas nama dan atas mandat Gereja, hendaknya dilaksanakan dalam persekutuan dengannya.
Kan. 676 – Tarekat-tarekat laikal, baik laki-laki maupun perem-puan, dengan karya amal-kasih rohani atau jasmani mengambil-bagian dalam tugas penggembalaan Gereja dan memberikan pelayanan yang sangat beragam kepada umat manusia; karena itu, hendaklah mereka tetap setia pada rahmat panggilannya.
Kan. 677 – § 1. Para Pemimpin dan anggota tarekat hendaklah dengan setia memegang teguh misi dan karya tarekatnya; tetapi mengingat kebutuhan zaman dan tempat, hendaknya dengan arif mengadakan penyesuaian, juga dengan menggunakan sarana-sarana yang baru dan bermanfaat.
§ 2. Adapun tarekat-tarekat, jika mempunyai perserikatan-perserikatan umat beriman kristiani yang digabungkan dengannya, hendaknya membantu mereka secara khusus agar mereka diresapi oleh semangat sejati keluarganya.
Kan. 678 – § 1. Para religius tunduk kepada kuasa Uskup, yang harus mereka taati dengan tulus dan hormat, dalam hal-hal yang menyangkut reksa jiwa-jiwa, pelaksanaan publik ibadat ilahi dan karya-karya kerasulan lain.
§ 2. Dalam melaksanakan kerasulan ekstern para religius juga tunduk kepada para Pemimpin mereka sendiri dan harus tetap setia pada disiplin tarekatnya; jika perlu, para Uskup jangan lalai menuntut ditaatinya kewajiban itu.
§ 3. Dalam mengatur karya kerasulan para religius, Uskup diosesan dan para Pemimpin religius harus merundingkannya bersama.
Kan. 679 – Uskup diosesan, atas desakan alasan yang amat berat, dapat melarang seorang anggota tarekat religius tinggal di keuskupannya, jika Pemimpin tingginya setelah diperingatkan lalai mengambil tindakan; namun perkara ini harus segera diajukan ke Takhta Suci.
Kan. 680 – Antara pelbagai tarekat, dan juga antara tarekat-tarekat dan klerus sekular, hendaknya dipupuk kerjasama yang teratur, dan juga dibawah pimpinan Uskup diosesan hendaknya dibangun koordinasi semua karya dan kegiatan kerasulan, dengan tetap memelihara sifat khas dan tujuan masing-masing tarekat dan undang-undang fundasi.
Kan. 681 – § 1. Karya-karya yang oleh Uskup diosesan diserahkan kepada para religius tetap berada dibawah otoritas dan kepemimpinan Uskup itu juga, dengan tetap berlaku hak para Pemimpin religius sesuai dengan norma kan. 678, §§ 2 dan 3.
§ 2. Dalam hal-hal demikian hendaknya dibuat suatu kesepakatan tertulis antara Uskup diosesan dan Pemimpin yang berwenang dari tarekat tersebut. Dalam kesepakatan itu antara lain ditentukan dengan tegas dan teliti hal-hal yang menyangkut karya-karya yang harus dilaksanakan, anggota-anggota yang diperbantukan kepadanya dan hal-hal keuangan.
Kan. 682 – § 1. Jika suatu jabatan gerejawi dalam keuskupan diberikan kepada seorang religius, hendaknya religius itu diangkat oleh Uskup diosesan sesudah diajukan atau sekurang-kurangnya disetujui oleh Pemimpin yang berwenang.
§ 2. Religius dapat diberhentikan dengan bebas dari jabatan yang diberikan kepadanya, atau atas kehendak otoritas yang memberikan, setelah memberitahu Pemimpin religius, atau atas kehendak Pemimpin religius itu, setelah memberitahu yang memberi jabatan itu, tanpa dituntut persetujuan pihak yang lain.
Kan. 683 – § 1. Gereja-gereja dan ruang-ruang doa yang biasa dikunjungi oleh umat beriman kristiani, sekolah-sekolah dan karya-karya keagamaan atau amal-kasih lain, baik rohani maupun jasmani, yang diserahkan kepada para religius, dapat dikunjungi Uskup diosesan, baik secara pribadi atau lewat utusannya, pada waktu kunjungan pastoral dan bila dianggap perlu; tetapi tidak demikian halnya dengan sekolah-sekolah yang hanya terbuka bagi anggota-anggota tarekat itu sendiri.
§ 2. Jika Uskup diosesan barangkali menemukan penyelewengan dan setelah sia-sia memperingatkan Pemimpin religius, ia dapat mengambil tindakan atas wewenangnya sendiri.

BAB VI
BERPISAHNYA ANGGOTA DARI TAREKAT

Artikel 1
PINDAH KE TAREKAT LAIN

Kan. 684 – § 1. Seorang anggota berkaul kekal tidak dapat berpindah dari tarekat religiusnya sendiri ke tarekat yang lain, kecuali dengan izin dari Pemimpin tertinggi kedua tarekat dan dengan persetujuan dewannya masing-masing.
§ 2. Anggota tersebut, sesudah percobaan yang berlangsung sekurang-kurangnya selama tiga tahun, dapat diizinkan untuk mengu-capkan profesi kekal dalam tarekat yang baru. Namun, jika anggota tersebut menolak untuk mengucapkan profesi itu atau tidak diizinkan mengucapkannya oleh para Pemimpin yang berwenang, hendaknya ia kembali ke tarekatnya yang terdahulu, kecuali telah memperoleh indult sekularisasi.
§ 3. Agar seorang religius dari biara mandiri dapat berpindah ke biara lain dari tarekat yang sama atau dari federasi atau dari konfederasi yang sama, dituntut dan cukuplah persetujuan dari Pemimpin tertinggi kedua biara serta kapitel dari biara yang menerima, dengan tetap mengindahkan tuntutan-tuntutan lain yang ditetapkan dalam hukumnya sendiri; tidak dituntut profesi baru.
§ 4. Hukum tarekat sendiri bendaknya menentukan waktu dan cara percobaan, yang perlu mendahului profesi anggota dalam tarekat yang baru.
§ 5. Untuk berpindah ke suatu tarekat sekular atau serikat hidup kerasulan, atau dari padanya ke tarekat religius, dibutuhkan izin dari Takhta Suci, yang perintahnya harus ditaati.
Kan. 685 – § 1. Sampai pengikraran profesi dalam tarekat yang baru, sementara tetap berlakunya kaul, hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh anggota itu dalam tarekatnya terdahulu ditangguhkan; tetapi sejak dimulainya percobaan, ia harus menaati hukum dari tarekat baru itu.
§ 2. Dengan profesi dalam tarekat baru, anggota tarekat tersebut digabungkan padanya, maka berhentilah kaul, hak-hak serta kewajiban-kewajiban sebelumnya.

Artikel 2
KELUAR DARI TAREKAT

Kan. 686 – § 1. Pemimpin tertinggi, dengan persetujuan dewan-nya, dengan alasan berat dapat memberi indult eksklaustrasi kepada seorang anggota berkaul kekal, tetapi tidak melebihi tiga tahun, dengan didahului persetujuan Ordinaris wilayah di mana ia harus bertempat tinggal, jika mengenai seorang klerikus. Indult untuk memperpanjang atau mengizinkan lebih dari tiga tahun direservasi bagi Takhta Suci, atau jika mengenai tarekat tingkat keuskupan, direservasi bagi Uskup diosesan.
§ 2. Bagi para rubiah indult eksklaustrasi hanya dapat diberikan oleh Takhta Apostolik.
§ 3. Atas permohonan Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya, eksklaustrasi dapat dijatuhkan oleh Takhta Suci kepada seorang anggota tarekat tingkat-kepausan, atau oleh Uskup diosesan kepada seorang anggota tarekat tingkat-keuskupan, atas alasan-alasan yang berat, tetapi dengan mengindahkan kewajaran dan cinta-kasih.
Kan. 687 – Anggota yang terkena eksklaustrasi dibebaskan dari kewajiban-kewajiban yang tidak dapat disesuaikan dengan keadaan hidupnya yang baru, tetapi tetap berada dalam ketergantungan dan reksa para Pemimpinnya dan juga Ordinaris wilayah, terutama jika mengenai seorang klerikus. Ia dapat mengenakan busana tarekat, kecuali dalam indult dinyatakan lain. Namun, ia tidak memiliki suara aktif maupun pasif.
Kan. 688 – § 1. Seorang yang habis masa profesinya mau keluar dari tarekat, dapat meninggalkannya.
§ 2. Seorang yang selama profesi sementara, atas alasan berat, minta untuk meninggalkan tarekat, dalam tarekat tingkat-kepausan dapat memperoleh indult keluar dari Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya; sedangkan dalam tarekat-tarekat tingkat-keuskupan dan dalam biara-biara yang disebut dalam kan. 615 indult itu demi sahnya harus dikukuhkan oleh Uskup dari rumah di mana ia ditempatkan.
Kan. 689 – §. 1. Anggota, setelah habis waktu profesi sementara, jika ada alasan wajar, dapat ditolak untuk mengucapkan profesi berikut-nya oleh Pemimpin tinggi yang berwenang, setelah mendengarkan dewannya.
§ 2. Sakit fisik atau psikis, juga yang diderita sesudah mengucap-kan profesi, yang menurut penilaian para ahli membuat anggota yang disebut dalam § 1 tidak cakap untuk hidup dalam tarekat, merupakan alasan bahwa ia tidak diizinkan untuk memperbarui profesi atau mengikrarkan profesi kekal, kecuali sakit itu diderita karena kelalaian tarekat atau karena pekerjaan yang dilakukan dalam tarekat.
§ 3. Namun, jika religius, selama kaul sementara, menjadi gila, meskipun tidak dapat mengikrarkan profesi baru, tidak boleh dikeluarkan dari tarekat.
Kan. 690 – § 1. Seorang yang setelah menyelesaikan novisiat atau setelah profesi keluar secara legitim dari tarekat, dapat diterima kembali oleh Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya tanpa harus mengulangi novisiat; tetapi Pemimpin itu berhak untuk menentukan percobaan yang selayaknya menjelang profesi sementara dan menentukan waktu kaul sebelum mengikrarkan profesi kekal, menurut norma kan. 655 dan 657.
§ 2. Kewenangan yang sama dimiliki oleh Pemimpin biara mandiri dengan persetujuan dewannya.
Kan. 691 – § 1. Religius berkaul kekal jangan mohon indult keluar dari tarekat, kecuali atas alasan-alasan yang sangat berat yang telah dipertimbangkan di hadapan Tuhan; permohonan itu hendaknya disampaikan kepada Pemimpin tertinggi tarekat, yang harus meneruskannya beserta dukungannya sendiri dan dukungan dari dewannya kepada otoritas yang berwenang.
§ 2. Indult semacam itu dalam tarekat-tarekat tingkat-kepausan direservasi bagi Takhta Apostolik; sedangkan dalam tarekat-tarekat tingkat-keuskupan, indult itu dapat diberikan juga oleh Uskup diosesan, di mana rumah penempatannya berada.
Kan. 692 – Indult keluar yang diberikan dengan legitim dan diberitahukan kepada anggota, dengan sendirinya membawa-serta dispensasi dari kaul dan segala kewajiban yang timbul dari profesi, kecuali pada waktu pemberitahuan hal itu ditolak oleh anggota itu sendiri.
Kan. 693 – Jika anggota itu seorang klerikus, indult tidak diberi-kan sebelum ia mendapatkan Uskup yang memberinya inkardinasi dalam keuskupan, atau sekurang-kurangnya menerima dia sebagai percobaan. Jika diterima sebagai percobaan, selewatnya lima tahun, dengan sendirinya ia diberi inkardinasi pada keuskupan, kecuali Uskup menolaknya.

Artikel 3
MENGELUARKAN ANGGOTA

Kan. 694 – § 1. Anggota dianggap dengan sendirinya dikeluarkan dari tarekat:
10 yang secara terbuka meninggalkan iman katolik;
20 yang melangsungkan nikah atau mencoba menikah, meski hanya secara sipil.
§ 2. Dalam hal-hal itu Pemimpin tinggi dengan dewannya hendaknya tanpa menunda-nunda mengeluarkan pernyataan fakta, sesudah dikumpulkan bukti-bukti, agar secara yuridis pasti bahwa ia dikeluarkan.
Kan. 695 – § 1. Anggota harus dikeluarkan karena kejahatan-kejahatan yang disebut dalam kan. 1397, 1398 dan 1395, kecuali dalam hal kejahatan yang disebut dan kan. 1395, § 2, jika Pemimpin menilai bahwa tidak mutlak perlu mengeluarkannya, dan perbaikan anggota, restitusi keadilan dan perbaikan atas sandungan cukup dapat diusaha-kan dengan cara lain.
§ 2. Dalam hal-hal ini Pemimpin tinggi, setelah mengumpulkan bukti-bukti mengenai fakta dan kesalahannya, hendaknya menyampai-kan tuduhan dan bukti-buktinya kepada anggota yang hendak dikeluar-kan, sambil memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Seluruh berkas ditandatangani oleh Pemimpin tinggi dan notarius; bersama dengan jawaban-jawaban tertulis dari anggota yang bersang-kutan dan ditandatangani olehnya, hendaknya semua dikirimkan kepada Pemimpin tertinggi.
Kan. 696 – § 1. Anggota juga dapat dikeluarkan karena alasan-alasan lain, asalkan alasan-alasan itu berat, lahiriah, mengandung kesalahan, dan dibuktikan secara yuridis, seperti: kebiasaan mengabaikan kewajiban-kewajiban hidup-bakti; pelanggaran yang berulang-ulang atas ikatan-ikatan suci; ketidaktaatan yang membandel terhadap perintah-perintah yang legitim dari para Pemimpin dalam perkara berat; sandungan berat yang timbul dari cara bertindak yang salah dari anggota tersebut; secara membandel mendukung atau menyebarluaskan ajaran-ajaran yang telah dikutuk oleh Magisterium Gereja; secara publik mengikuti ideologi yang diresapi materialisme atau ateisme; kepergian tidak sah, seperti ditunjuk kan. 665, § 2, yang berlangsung selama setengah tahun; alasan-alasan lain yang mirip beratnya yang barangkali ditentukan oleh hukum tarekatnya sendiri.
§ 2. Untuk mengeluarkan anggota berkaul sementara, juga cukup alasan-alasan yang kurang berat, yang ditetapkan dalam hukum tarekat sendiri.
Kan. 697 – Dalam hal-hal yang disebut dalam kan. 696, jika Pemimpin tinggi setelah mendengarkan dewannya menilai bahwa proses mengeluarkan perlu dimulai:
10 hendaknya ia mengumpulkan atau melengkapi bukti-bukti;
20 hendaknya ia memperingatkan anggota secara tertulis atau di hadapan dua orang saksi dengan ancaman tegas bahwa akan dikeluarkan jika tidak bertobat, dengan diberitahu secara jelas alasan dikeluarkannya serta anggota diberi kesempatan penuh untuk membela diri; jika peringatan itu sia-sia, hendaknya diperingatkan untuk kedua kalinya, setelah lewat jangka waktu sekurang-kurangnya limabelas hari;
30 jika peringatan itu juga sia-sia dan Pemimpin tinggi dengan dewannya menilai cukup jelas anggota tersebut tidak dapat diperbaiki dan pembelaan-pembelaannya tidak mencukupi, setelah lewat limabelas hari sejak peringatan terakhir dan tetap sia-sia, Pemimpin tinggi hendaknya mengirimkan kepada Pemimpin tertinggi semua berkas yang ditandatangani olehnya serta notarius, bersama dengan jawaban-jawaban anggota yang ditandatangani oleh anggota itu sendiri.
Kan. 698 – Dalam semua perkara, yang disebut dalam kan. 695 dan 696, selalu tetap ada hak anggota untuk berhubungan dengan Pemimpin tertinggi dan untuk menyatakan pembelaan-pembelaannya secara langsung kepadanya.
Kan. 699 – § 1. Pemimpin tertinggi dengan dewannya, yang demi sahnya harus terdiri dari sekurang-kurangnya empat anggota, hendaknya bertindak secara kolegial untuk mempertimbangkan secara seksama bukti-bukti, argumen-argumen dan pembelaan-pembelaan itu; dan jika melalui pemungutan suara secara rahasia hal itu telah diputuskan, hendaknya ia membuat dekret pengeluaran, dengan menyebutkan sekurang-kurangnya secara ringkas alasan-alasan dalam hukum (in iure) dan dalam fakta (in facto) demi sahnya.
§ 2. Dalam biara-biara mandiri, yang disebut dalam kan. 615, keputusan untuk mengeluarkan ada pada Uskup diosesan; kepadanya Pemimpin hendaknya menyerahkan berkas yang telah diperiksa oleh dewannya.
Kan. 700 – Dekret pengeluaran tidak mempunyai kekuatan jika belum dikukuhkan oleh Takhta Suci, yang kepadanya dekret dan semua berkas harus dikirim. Jika mengenai tarekat tingkat-keuskupan, pengukuhan itu menjadi wewenang Uskup dari keuskupan di mana rumah biara itu berada, tempat religius itu tercatat. Namun demi sahnya, dekret itu harus menyebutkan hak yang dimiliki oleh anggota yang dikeluarkan untuk melakukan rekursus pada kuasa yang berwenang dalam waktu sepuluh hari sejak diterimanya pemberitahuan itu. Rekursus ini mempunyai efek menangguhkan.
Kan. 701 – Dengan dikeluarkan secara legitim, dengan sendirinya terhenti kaul beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari profesi. Namun, jika anggota itu adalah seorang klerikus, ia tidak dapat melaksanakan tahbisan suci, sampai ia mendapatkan Uskup yang menerima dia dalam keuskupannya setelah percobaan yang layak sesuai dengan norma kan. 693, atau sekurang-kurangnya mengizinkan dia melaksanakan tahbisan sucinya.
Kan. 702 – § 1. Yang keluar dari tarekat religius secara legitim atau dikeluarkan secara legitim, tidak dapat menuntut dari tarekat apapun yang dihasilkan olehnya dalam tarekat itu.
§ 2. Namun, tarekat hendaknya mengindahkan kewajaran dan cinta-kasih injili terhadap anggota yang berpisah darinya.
Kan. 703 – Dalam hal sandungan berat yang lahiriah atau bila ada bahaya kerugian sangat berat yang mengancam tarekat, anggota dapat segera diusir dari rumah religius oleh Pemimpin tinggi, atau jika timbul bahaya kalau tertunda, oleh Pemimpin lokal dengan persetujuan dewannya. Jika perlu, Pemimpin tinggi hendaknya mengupayakan penyusunan proses untuk mengeluarkannya menurut norma hukum atau menyerahkan perkara itu kepada Takhta Apostolik.
Kan. 704 – Mengenai anggota-anggota yang dengan cara apapun berpisah dari tarekat hendaknya dimasukkan dalam laporan yang harus dikirim kepada Takhta Apostolik, seperti disebut dalam kan. 592, §1.

BAB VII
RELIGIUS YANG DIANGKAT UNTUK JABATAN USKUP

Kan. 705 – Religius yang diangkat menjadi Uskup tetap menjadi anggota tarekat, tetapi dalam hal kaul ketaatan ia hanya tunduk kepada Paus, dan tidak terikat oleh kewajiban-kewajiban yang dengan arif dianggapnya tidak dapat disesuaikan dengan kondisinya.
Kan. 706 – Religius tersebut:
10 jika dengan profesi kehilangan hak memiliki harta-benda, ia dapat menggunakan, memanfaatkan dan mengelola harta-benda yang dihasilkannya; tetapi Uskup diosesan dan mereka yang disebut dalam kan. 381, § 2 memperoleh harta-milik bagi Gereja partikular; lain-lainnya diperuntukkan bagi tarekat atau Takhta Suci, sejauh tarekat dapat memiliki atau tidak;
20 jika dengan profesi tidak kehilangan hak memiliki harta-benda, ia mendapat kembali hak pakai, pemanfaatan dan pengelolaan harta-benda yang ia miliki; harta benda yang kemudian ia hasilkan menjadi miliknya secara penuh;
30 tetapi dalam kedua kasus di atas, harta-benda yang ia hasilkan tidak demi pribadinya harus diatur menurut keinginan orang yang memberi.
Kan. 707 – § 1. Uskup religius purnabakti dapat memilih tempat tinggal bagi dirinya, juga di luar rumah tarekatnya, kecuali Takhta Apostolik menentukan lain.
§ 2. Mengenai sustentasinya yang memadai dan layak, jika ia dulu melayani suatu keuskupan, hendaknya ditepati kan. 402, § 2, kecuali tarekatnya sendiri mau mengusahakan sustentasi itu; bila tidak, hendaknya Takhta Apostolik mengaturnya dengan cara lain.

BAB VIII
KONFERENSI PARA PEMIMPIN TINGGI

Kan. 708 – Para Pemimpin tinggi dapat berserikat secara bermanfaat dalam konferensi atau dewan, agar dengan kekuatan terpadu bersama-sama berusaha mencapai secara lebih penuh tujuan masing-masing tarekat, dengan tetap berlaku otonomi, sifat khas dan semangat masing-masing, untuk membahas perkara-perkara bersama atau untuk mengadakan koordinasi dan kerjasama yang sesuai dengan Konferensi para Uskup dan juga dengan masing-masing Uskup.
Kan. 709 – Konferensi para Pemimpin tinggi hendaknya memiliki statuta masing-masing yang mendapat aprobasi dari Takhta Suci; hanya oleh Takhta Suci itulah konferensi para Pemimpin tinggi dapat didirikan, juga sebagai badan hukum, dan tetap berada dibawah kepemimpinan tertingginya.

JUDUL III
TAREKAT SEKULAR

Kan. 710 – Tarekat sekular ialah tarekat hidup bakti, dimana umat beriman kristiani yang hidup di dunia mengusahakan kesempurnaan cintakasih dan juga berusaha untuk memberikan sumbangan bagi pengudusan dunia, terutama dari dalam.
Kan. 711 – Anggota tarekat sekular dengan pembaktian dirinya tidak mengubah kedudukan kanoniknya di antara umat Allah, atau awam atau klerus, dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan hukum yang menyangkut tarekat hidup bakti.
Kan. 712 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 598 – 601, konstitusi hendaknya menentukan ikatan-ikatan suci, dengan mana nasihat-nasihat injili diterima dalam tarekat, serta merumuskan kewajiban-kewajiban yang muncul dari ikatan-ikatan itu, tetapi dalam gaya hidupnya selalu mempertahankan unsur sekularitas sebagai yang khas milik tarekat itu.
Kan. 713 – § 1. Para anggota dari tarekat itu mengungkapkan dan melaksanakan pembaktian dirinya dalam kegiatan kerasulan, dan bagaikan ragi mereka berusaha untuk meresapi segala sesuatu dengan semangat injili untuk memperkokoh dan memperkembangkan Tubuh Kristus.
§ 2. Anggota awam mengambil bagian dalam tugas Gereja mewartakan Injil, dalam dan dari dunia, baik dengan kesaksian hidup kristiani dan kesetiaan terhadap pembaktian dirinya, maupun dengan karya bantuan yang mereka sumbangkan untuk mengatur tata dunia menurut Allah dan mengubah dunia dengan kekuatan Injil. Mereka juga menyumbangkan kerjasama mereka sebagai pelayanan terhadap komunitas gerejawi dengan cara hidupnya yang sekular.
§ 3. Anggota klerikus, melalui kesaksian hidup bakti mereka, terutama dalam presbiterium dan dengan cintakasih kerasulan yang istimewa, menjadi bantuan bagi rekan-rekannya; dan di tengah umat Allah bekerja demi pengudusan dunia dengan pelayanan suci mereka.
Kan. 714 – Para anggota hendaknya hidup dalam kondisi dunia biasa, sendirian atau dalam keluarga masing-masing atau dalam kelompok hidup persaudaraan, menurut norma konstitusi.
Kan. 715 – § 1. Anggota klerikus yang menerima inkardinasi dalam suatu keuskupan bergantung pada Uskup diosesan, dengan tetap berlaku hal-hal yang berhubungan dengan hidup bakti dalam tarekat masing-masing.
§ 2. Sedangkan mereka yang menerima inkardinasi pada tarekat menurut norma kan. 266, § 3, jika diperuntukkan bagi karya milik tarekat atau kepemimpinan tarekat, bergantung pada Uskup seperti halnya para religius.
Kan. 716 – § 1. Semua anggota hendaknya secara aktif ikutserta dalam kehidupan tarekat, menurut hukum tarekat itu sendiri.
§ 2. Para anggota dari tarekat yang sama hendaknya memelihara persekutuan antar mereka, dengan mengusahakan secara tekun kesatuan semangat serta persaudaraan sejati.
Kan. 717 – § 1. Konstitusi hendaknya menggariskan tata-kepe-mimpinan masing-masing, menentukan jangka waktu para Pemimpin memangku jabatan dan cara mereka ditunjuk.
§ 2. Janganlah seseorang ditunjuk menjadi Pemimpin tertinggi, jika belum mendapat inkorporasi secara definitif.
§ 3. Mereka yang memegang kepemimpinan tarekat hendaknya mengusahakan agar kesatuan semangat tarekat itu dipelihara dan peranserta secara aktif para anggota dikembangkan.
Kan. 718 – Pengelolaan harta-benda tarekat yang harus mengung-kapkan dan memupuk kemiskinan injili, diatur dengan norma-norma dalam Buku V Harta Benda Gereja, dan dengan hukum tarekat itu sendiri. Demikian juga hukum tarekat itu hendaknya menentukan kewajiban-kewajiban terutama kewajiban finansial dari tarekat terhadap anggota yang bekerja bagi tarekat itu.
Kan. 719 – § 1. Para anggota, agar dapat dengan setia menjawab panggilannya serta agar kegiatan kerasulan mereka mengalir dari persatuannya dengan Kristus, hendaknya tekun berdoa, rajin membaca Kitab Suci dengan cara yang tepat, menepati waktu retret tahunan serta melaksanakan latihan-latihan rohani lain menurut ketentuan hukum tarekat itu sendiri.
§ 2. Perayaan Ekaristi, sedapat mungkin harian, hendaknya menjadi sumber dan kekuatan seluruh hidup bakti mereka.
§ 3. Hendaknya dengan bebas dan kerapkali menyambut sakramen tobat.
§ 4. Hendaknya dengan bebas memperoleh bimbingan hatinurani yang diperlukan serta, jika mau, meminta nasihat dalam hal semacam itu juga dari para Pemimpinnya.
Kan. 720 – Hak untuk menerima anggota dalam tarekat atau untuk probasi atau untuk mengikatkan diri dengan ikatan-ikatan suci, baik sementara maupun kekal atau definitif, ada pada para Pemimpin tinggi dengan dewannya menurut norma konstitusi.
Kan. 721 – § 1. Tidak sah diterima dalam probasi awal:
10 yang belum mencapai usia dewasa;
20 yang masih terikat oleh ikatan suci dalam suatu tarekat hidup bakti atau diinkorporasi dalam suatu serikat hidup kerasulan;
30 pasangan selama masih dalam perkawinan.
§ 2. Konstitusi dapat menetapkan halangan-halangan lain bagi penerimaan, juga demi sahnya, atau menambahkan persyaratan-persyaratan.
§ 3. Kecuali itu agar seseorang diterima haruslah ia memiliki kematangan yang dibutuhkan untuk menghayati hidup khas tarekat dengan baik.
Kan. 722 – § 1. Probasi awal hendaknya diatur agar para calon semakin baik mengenal panggilan ilahinya, yakni yang khas pada tarekat, dan dilatih untuk menghayati semangat dan cara hidup tarekat.
§ 2. Para calon hendaknya dibina secara tepat untuk hidup menurut nasihat-nasihat injili, dan diajar mengarahkan hidupnya secara utuh kepada kerasulan, dengan menggunakan bentuk-bentuk evangelisasi yang lebih sesuai dengan tujuan, semangat dan sifat khas tarekat tersebut.
§ 3. Dalam konstitusi hendaknya ditentukan cara dan waktu probasi tersebut yang mendahului ikatan-ikatan suci yang harus diterima untuk pertama kalinya, tidak lebih pendek dari dua tahun.
Kan. 723 – § 1. Setelah lewat waktu probasi awal, calon yang dinilai cakap hendaknya menyambut tiga nasihat injili yang dikuatkan dengan ikatan suci, atau meninggalkan tarekat.
§ 2. Inkorporasi pertama ini, yang tidak kurang dari lima tahun, hendaknya bersifat sementara menurut norma konstitusi.
§ 3. Sesudah waktu inkorporasi itu lewat, anggota yang dinilai cakap hendaknya diterima kedalam inkorporasi kekal atau definitif, yakni dengan ikatan-ikatan sementara yang selalu diperbarui.
§ 4. Inkorporasi definitif, sejauh menyangkut akibat-akibat yuridis tertentu yang harus ditentukan oleh konstitusi, disamakan dengan inkorporasi kekal.
Kan. 724 – § 1. Setelah diterima ikatan-ikatan suci untuk pertama kalinya, pembinaan harus dilanjutkan tak kunjung henti menurut konstitusi.
§ 2. Para anggota hendaknya diberi pengajaran yang seimbang dalam hal-hal ilahi maupun manusiawi; namun para Pemimpin hendaknya memperhatikan sungguh-sungguh pembinaan rohani yang terus-menerus dari para anggotanya.
Kan. 725 – Tarekat dapat menggabungkan pada dirinya, dengan suatu ikatan yang ditentukan dalam konstitusi, orang-orang beriman kristiani lain yang mengejar kesempurnaan injili menurut semangat tarekat itu, serta mengambil bagian dalam misinya.
Kan. 726 – § 1. Setelah lewat masa inkorporasi sementara, anggota dapat dengan bebas meninggalkan tarekat, atau atas alasan yang wajar oleh Pemimpin tinggi, sesudah mendengarkan dewannya, dapat ditolak untuk memperbarui ikatan-ikatan suci.
§ 2. Anggota inkorporasi sementara yang meminta atas kehendak sendiri, atas alasan berat, dapat memperoleh indult keluar dari Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya.
Kan. 727 – § 1. Anggota inkorporasi kekal yang mau meninggal-kan tarekat, setelah mempertimbangkan halnya secara sungguh-sungguh di hadapan Tuhan, hendaknya minta indult keluar dari Takhta Apostolik melalui Pimpinan tertinggi, jika tarekat itu bertingkat kepausan; jika tidak, hendaknya ia meminta kepada Uskup diosesan, sebagaimana ditentukan dalam konstitusi.
§ 2. Jika mengenai klerikus yang mendapat inkardinasi pada tarekat, hendaknya ditepati ketentuan kan. 693.
Kan. 728 – Setelah diberikan indult keluar secara legitim, terhenti-lah semua ikatan dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang muncul dari inkorporasi pada tarekat itu.
Kan. 729 – Anggota dikeluarkan dari tarekat menurut norma kan. 694 dan 695; kecuali itu hendaknya konstitusi menentukan alasan-alasan lain untuk mengeluarkan anggota, asalkan alasan-alasan itu seimbang beratnya, lahiriah, mengandung kesalahan dan terbukti secara yuridis, dan ditepati prosedur yang telah ditentukan dalam kan. 697 – 700. Bagi anggota yang dikeluarkan diterapkan ketentuan kan. 701.
Kan. 730 – Bila seorang anggota tarekat sekular yang satu pindah ke tarekat sekular lain, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 684, §§ 1, 2, 4 dan kan. 685; sedangkan untuk perpindahan ke tarekat religius atau serikat hidup kerasulan atau dari keduanya ke tarekat sekular, dibutuhkan izin Takhta Apostolik, yang perintah-perintahnya harus ditaati.

SEKSI II
SERIKAT HIDUP KERASULAN

Kan. 731 – § 1. Disamping tarekat-tarekat hidup bakti masih ada serikat-serikat hidup kerasulan, yang anggota-anggotanya tanpa kaul religius mengejar tujuan kerasulan yang khas bagi serikat, dan dengan menghayati hidup persaudaraan dalam kebersamaan menurut cara hidup khas mereka, mengarahkan diri kepada kesempurnaan cinta-kasih dengan menaati konstitusi.
§ 2. Di antara serikat-serikat itu ada yang anggota-anggotanya menghayati nasihat-nasihat injili dengan suatu ikatan yang ditentukan dalam konstitusi.
Kan. 732 – Hal-hal yang ditetapkan dalam kan. 578-597 dan 606 berlaku bagi serikat-serikat hidup kerasulan, dengan tetap dipertahankan hakikat masing-masing serikat; sedangkan bagi serikat-serikat yang disebut dalam kan. 731, § 2, berlaku juga kan. 598-602.
Kan. 733 – § 1. Rumah didirikan dan komunitas lokal dibentuk oleh otoritas yang berwenang dari serikat, setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Uskup diosesan, yang juga harus dimintai pendapatnya jika rumah atau komunitas tersebut akan dibubarkan.
§ 2. Persetujuan untuk mendirikan rumah membawa-serta hak mempunyai sekurang-kurangnya ruang doa, dimana Ekaristi mahakudus hendaknya dirayakan dan disimpan.
Kan. 734 – Kepemimpinan serikat ditentukan oleh konstitusi, dengan mengindahkan kan. 617-633, menurut hakikat masing-masing serikat.
Kan. 735 – § 1. Penerimaan, probasi, inkorporasi dan pembinaan anggota ditentukan oleh hukum masing-masing serikat.
§ 2. Untuk penerimaan kedalam serikat hendaknya ditepati syarat-syarat yang ditentukan dalam kan. 642-645.
§ 3. Hukum serikat sendiri harus menentukan cara probasi dan pembinaan yang disesuaikan dengan tujuan dan ciri serikat, terutama segi-segi ajaran, kerohanian dan kerasulannya sedemikian sehingga para anggota dengan mengenali panggilan ilahinya dipersiapkan secara baik bagi misi dan hidup serikat.
Kan. 736 – § 1. Dalam serikat-serikat klerikal, para klerikus mendapat inkardinasi kedalam serikat itu sendiri, kecuali konstitusi menentukan lain.
§ 2. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan studi dan penerimaan tahbisan, hendaknya ditepati norma-norma klerus sekular, dengan tetap berlaku § 1.
Kan. 737 – Inkorporasi membawa-serta, dari pihak anggota, kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang ditentukan dalam konstitusi, sedangkan dari pihak serikat tugas untuk membimbing para anggota mencapai tujuan panggilannya menurut konstitusi.
Kan. 738 – § 1. Semua anggota tunduk kepada Pemimpin-pemimpin mereka sendiri menurut norma konstitusi dalam hal-hal yang menyangkut hidup intern dan disiplin serikat.
§ 2. Mereka tunduk juga kepada Uskup diosesan dalam hal-hal yang menyangkut ibadat publik, reksa jiwa-jiwa serta karya-karya kerasulan lain, dengan memperhatikan kan. 679-683.
§ 3. Hubungan anggota serikat yang mendapat inkardinasi pada suatu keuskupan dengan Uskupnya, ditentukan dalam konstitusi atau perjanjian-perjanjian khusus.
Kan. 739 – Para anggota, disamping terikat kewajiban-kewajiban menurut konstitusi yang mengikatnya selaku anggota serikat, juga terikat oleh kewajiban-kewajiban umum para klerikus, kecuali dari hakikat hal atau konteks pembicaraannya nyata lain.
Kan. 740 – Para anggota harus tinggal di rumah atau komunitas yang dibentuk secara legitim dan memelihara hidup-bersama menurut norma hukum serikat itu sendiri; dalam hukum itu diatur pula kepergian dari rumah atau dari komunitas.
Kan. 741 – § 1. Jika konstitusi tidak menetapkan lain, serikat-serikat, bagian-bagian dan rumah-rumahnya merupakan badan hukum, dan sebagai badan hukum mampu memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-milikkan harta benda, menurut norma ketentuan-ketentuan Buku V Harta Benda Gereja, kan. 636, 638 dan 639, serta hukum serikat itu sendiri.
§ 2. Juga para anggota, menurut norma hukum serikatnya sendiri, mampu memperoleh, memiliki, mengelola harta-benda serta menentukan pengaturannya, akan tetapi apapun yang diperoleh demi serikat menjadi milik serikat.
Kan. 742 – Hal keluar dan mengeluarkan anggota yang belum mendapat inkorporasi dalam serikat secara definitif, diatur oleh konstitusi masing-masing serikat.
Kan. 743 – Indult untuk meninggalkan serikat, dengan akibat berhentinya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang muncul dari inkorporasi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 693, dapat diperoleh anggota yang telah diinkorporasi secara definitif dari Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya, kecuali hal itu menurut konstitusi direservasi bagi Takhta Suci.
Kan. 744 – § 1. Juga direservasi bagi Pemimpin tertinggi, dengan persetujuan dewannya, untuk memberikan izin kepada anggota yang sudah mendapat inkorporasi secara definitif untuk pindah ke serikat hidup kerasulan lain; sementara itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari serikatnya ditangguhkan, tetapi dengan tetap ada hak untuk kembali sebelum ada inkorporasi definitif ke dalam serikat yang baru.
§ 2. Untuk berpindah ke tarekat hidup bakti, atau dari suatu tarekat hidup bakti ke suatu serikat hidup kerasulan, dibutuhkan izin Takhta Suci, yang perintah-perintahnya harus ditaati.
Kan. 745 – Pemimpin tertinggi dengan persetujuan dewannya dapat memberikan indult kepada seorang anggota yang telah mendapat inkorporasi secara definitif untuk hidup di luar serikat, tetapi tidak lebih dari tiga tahun; hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak dapat diselaraskan dengan situasi baru dari anggota itu ditangguhkan; namun ia tetap berada dalam reksa para Pemimpinnya. Jika mengenai seorang klerikus, disamping itu, dituntut persetujuan Ordinaris wilayah tempat ia harus tinggal, serta tetap dalam reksa dan ketergantungan padanya.
Kan. 746 – Untuk mengeluarkan seorang anggota yang telah mendapat inkorporasi secara definitif hendaknya ditepati kan. 694-704 dengan penyesuaian seperlunya.

BUKU III
TUGAS GEREJA MENGAJAR

Kan. 747 – § 1. Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih mendalam, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas dan hak asli untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa, juga dengan alat-alat komunikasi sosial yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung pada kekuasaan insani mana pun juga.
§ 2. Gereja berwenang untuk selalu dan di mana-mana memaklumkan prinsip-prinsip moral, juga yang menyangkut tata-kemasyarakatan, dan untuk membawa suatu penilaian tentang segala hal-ikhwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan jiwa-jiwa menuntutnya.
Kan. 748 – § 1. Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal.
§ 2. Tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya.
Kan. 749 – § 1. Berdasarkan jabatannya Paus memiliki ketidak-dapat-sesatan (infallibilitas) dalam Magisterium, apabila selaku Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, yang bertugas untuk meneguhkan iman saudara-saudaranya, memaklumkan secara definitif bahwa suatu ajaran di bidang iman atau di bidang moral harus diterima.
§ 2. Ketidak-dapat-sesatan dalam Magisterium dimiliki pula oleh Kolegium para Uskup, apabila para Uskup, tergabung dalam Konsili Ekumenis, melaksanakan tugas mengajar dan selaku pengajar dan hakim iman dan moral, menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu ajaran di bidang iman atau moral harus diterima secara definitif; ataupun apabila mereka, tersebar di seluruh dunia, namun memelihara ikatan persekutuan antara mereka dan dengan pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama dengan Uskup Roma itu, sesuatu dari iman atau dari moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus diterima secara definitif.
§ 3. Tiada satu ajaran pun dianggap sudah ditetapkan secara tak-dapat-sesat, kecuali hal itu nyata dengan pasti.
Kan. 750 – § 1. Dengan sikap iman ilahi dan katolik harus diimani semuanya yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis atau yang ditradisikan, yaitu dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan kepada Gereja, dan sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah oleh Magisterium Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara biasa dan umum; adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan orang-orang beriman kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci; maka semua harus menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu.
§ 2. Dengan teguh harus juga dipeluk dan dipertahankan semua dan setiap hal yang menyangkut ajaran iman atau moral yang dikemukakan secara definitif oleh Magisterium Gereja, yaitu hal-hal yang dituntut untuk menjaga tanpa cela dan menerangkan dengan setia khazanah iman tersebut. Maka dari itu adalah melawan ajaran Gereja katolik orang yang menolak proposisi yang harus dipegang secara definitif tersebut.
Kan. 751 – Yang disebut bidaah (heresis) ialah menyangkal atau meragukan dengan membandel suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik sesudah penerimaan sakramen baptis; kemurtadan (apostasia) ialah menyangkal iman kristiani secara menyeluruh; skisma (schisma) ialah menolak ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang takluk kepadanya.
Kan. 752 – Memang bukan persetujuan iman, melainkan ketaatan (obsequium) religius dari budi dan kehendak yang harus diberikan terhadap ajaran yang dinyatakan atau oleh Paus atau oleh Kolegium para Uskup mengenai iman atau moral, bila mereka menjalankan tugas mengajar yang otentik, meskipun tidak bermaksud untuk memaklum-kannya secara definitif; maka umat beriman kristiani hendaknya berusaha menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran itu.
Kan. 753 – Uskup-uskup yang berada dalam persekutuan dengan kepala dan anggota-anggota Kolegium, entah sendiri-sendiri entah tergabung dalam Konferensi para Uskup atau dalam konsili-konsili partikular, adalah guru dan pengajar otentik dari iman kaum beriman yang dipercayakan kepada reksa mereka, meskipun mereka tidak memiliki ketidak-dapat-sesatan dalam mengajar; orang beriman kristiani wajib menganut Magisterium yang otentik dari Uskup-uskup mereka dengan sikap ketaatan religius.
Kan. 754 – Semua orang beriman kristiani berkewajiban menepati konstitusi-konstitusi dan dekret-dekret yang ditetapkan oleh kuasa Gereja yang legitim untuk mengemukakan suatu ajaran atau untuk menolak pendapat-pendapat yang sesat; tetapi secara khusus hal ini berlaku bagi ketetapan yang dikeluarkan oleh Paus atau Kolegium para Uskup.
Kan. 755 – § 1. Seluruh Kolegium para Uskup dan Takhta Apos-tolik mempunyai tugas utama untuk memajukan dan membimbing gerakan ekumenis di kalangan umat katolik, yang tujuannya ialah pemulihan kesatuan antara semua orang kristiani yang menurut kehendak Kristus harus diperjuangkan oleh Gereja.
§ 2. Demikian pula para Uskup dan, menurut norma hukum, konferensi para Uskup, wajib memperjuangkan kesatuan tersebut dan, sesuai dengan bermacam-macam kebutuhan atau kesempatan, wajib memberikan norma-norma praktis dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi Gereja.

JUDUL I
PELAYANAN SABDA ILAHI

Kan. 756 – § 1. Sejauh menyangkut Gereja universal, tugas untuk memaklumkan Injil dipercayakan terutama kepada Paus dan kepada Kolegium para Uskup.
§ 2. Sejauh menyangkut Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya, tugas itu dilaksanakan oleh masing-masing Uskup, sebab di sana mereka adalah pemimpin seluruh pelayanan sabda; tetapi adakalanya beberapa Uskup melaksanakan bersama-sama tugas itu secara serentak untuk beberapa Gereja yang berbeda-beda, menurut norma hukum.
Kan. 757 – Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda.
Kan. 758 – Para anggota tarekat-tarekat hidup bakti, berdasarkan pembaktian khas dirinya kepada Allah, memberikan kesaksian secara khusus tentang Injil; mereka pun diikutsertakan sepantasnya oleh Uskup untuk membantu pemakluman Injil.
Kan. 759 – Kaum beriman kristiani awam, berkat sakramen baptis dan penguatan, adalah saksi-saksi warta injili dengan perkataan dan teladan hidup kristiani; mereka dapat dipanggil pula untuk bekerjasama dengan Uskup dan para imam dalam melaksanakan pelayanan sabda.
Kan. 760 – Dalam pelayanan sabda yang harus berdasarkan pada Kitab Suci, Tradisi, liturgi, Magisterium dan kehidupan Gereja, hendaknya misteri Kristus diwartakan secara utuh dan setia.
Kan. 761 – Hendaknya dipergunakan segala macam sarana yang tersedia untuk mewartakan ajaran kristiani, terutama khotbah serta pengajaran kateketik yang senantiasa menduduki tempat paling penting, tetapi juga penyampaian ajaran di sekolah-sekolah, di akademi-akademi, konferensi-konferensi dan semua jenis pertemuan; demikian pula penyebaran ajaran kristiani lewat pernyataan-pernyataan publik yang dikeluarkan oleh otoritas yang legitim pada kesempatan pelbagai peristiwa, lewat pers dan sarana-sarana komunikasi sosial lainnya.

BAB I
PEWARTAAN SABDA ALLAH
Kan. 762 – Oleh karena umat Allah dihimpun pertama-tama oleh sabda Allah yang hidup, yang sangat patut diperoleh dari mulut para imam, maka para pelayan rohani hendaknya menjunjung tinggi tugas mereka berkhotbah; dan memang di antara tugas-tugas mereka yang utama adalah mewartakan Injil Allah kepada semua orang.
Kan. 763 – Para Uskup berhak untuk berkhotbah di mana-mana, tak terkecuali di dalam gereja dan ruang doa dari tarekat-tarekat religius bertingkat kepausan, kecuali Uskup setempat, dalam kasus-kasus khusus, melarangnya secara jelas.
Kan. 764 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan.765, para imam dan diakon mempunyai kewenangan untuk berkhotbah di mana-mana dengan persetujuan, yang setidak-tidaknya diandaikan, dari rektor gereja, kecuali Ordinaris yang berwenang membatasi kewenangan itu atau malah mencabutnya, atau juga jika menurut undang-undang khusus diperlukan suatu izin yang jelas.
Kan. 765 – Untuk berkhotbah bagi religius di dalam gereja atau tempat doa mereka, dibutuhkan izin dari Pemimpin yang berwenang, menurut norma konstitusi.
Kan. 766 – Kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkan-nya demikian, menurut ketentuan-ketentuan Konferensi para Uskup dengan tetap mengindahkan kan. 767, § 1.
Kan. 767 – § 1. Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri-misteri iman dan norma-norma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.
§ 2. Dalam semua Misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat ditiadakan, kecuali ada alasan yang berat.
§ 3. Jika cukup banyak umat berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka.
§ 4. Pastor paroki atau rektor gereja wajib mengusahakan agar ketentuan-ketentuan ini ditepati dengan seksama.
Kan. 768 – § 1. Hendaknya para bentara sabda Allah terutama menyajikan kepada umat beriman kristiani apa yang harus mereka imani dan lakukan demi kemuliaan Allah dan demi keselamatan manusia.
§ 2. Hendaknya mereka juga menyampaikan kepada kaum beriman ajaran yang diajukan oleh Magisterium Gereja tentang martabat dan kebebasan pribadi manusia, tentang kesatuan dan kemantapan keluarga serta tugas-tugasnya, tentang kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat dan pula tentang hal-hal keduniaan yang harus diatur menurut tatanan yang ditetapkan oleh Allah.
Kan. 769 – Hendaknya ajaran kristiani disajikan dengan cara yang cocok dengan keadaan para pendengar dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman.
Kan. 770 – Hendaknya para pastor paroki pada waktu-waktu tertentu, menurut ketentuan-ketentuan Uskup diosesan, menyelenggara-kan pewartaan yang disebut latihan rohani dan retret umat (sacrae missiones), atau bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan.
Kan. 771 – § 1. Hendaknya para gembala jiwa, terutama para Uskup dan pastor paroki, memperhatikan agar sabda Allah juga diwartakan kepada orang-orang beriman yang oleh karena keadaan hidup mereka, tidak cukup menikmati pelayanan pastoral umum dan biasa atau malahan sama sekali tidak menikmatinya.
§ 2. Hendaknya mereka juga berusaha agar warta Injil menjangkau orang-orang tak beriman yang tinggal di daerah itu, karena memang reksa jiwa-jiwa harus meliputi juga mereka yang tidak beriman, sama seperti kaum beriman.
Kan. 772 – § 1. Mengenai pelaksanaan pewartaan itu, selain keten-tuan-ketentuan di atas, norma-norma yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan harus diindahkan oleh semua.
§ 2. Untuk menyampaikan pembahasan tentang ajaran kristiani lewat siaran radio atau televisi hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup.

BAB II
PENGAJARAN KATEKETIK
Kan. 773 – Menjadi tugas khusus dan berat, terutama bagi para gembala jiwa-jiwa, untuk mengusahakan katekese umat kristiani agar iman kaum beriman melalui pengajaran agama dan melalui pengalaman kehidupan kristiani, menjadi hidup, berkembang, serta penuh daya.
Kan. 774 – § 1. Perhatian terhadap katekese, dibawah bimbingan otoritas gerejawi yang legitim, menjadi kewajiban dari semua anggota Gereja, masing-masing sesuai dengan perannya.
§ 2. Melebihi semua yang lain, orangtua wajib untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik lewat perkataan maupun teladan hidup mereka; demikian pula terikat kewajiban yang sama mereka yang menggantikan orangtua dan para wali baptis.
Kan. 775 – § 1. Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Takhta Apostolik, Uskup diosesan bertugas menerbitkan norma-norma mengenai katekese, demikian pula mengusahakan agar tersedia sarana-sarana kateketik yang sesuai, juga dengan mempersiapkan katekismus, jika dianggap tepat, serta mendorong dan melakukan koordinasi atas prakarsa-prakarsa di bidang kateketik.
§ 2. Adalah tugas Konferensi para Uskup mengusahakan, jika dianggap berguna, agar diterbitkan buku-buku katekismus bagi wilayah yang bersangkutan, setelah memperoleh aprobasi dari Takhta Apostolik.
§ 3. Pada Konferensi para Uskup dapat didirikan suatu lembaga kateketik dengan tugas utama memberi bantuan kepada masing-masing keuskupan di bidang kateketik.
Kan. 776 – Pastor paroki, berdasarkan jabatannya, harus mengusahakan pembinaan kateketik orang-orang dewasa, orang muda dan anak-anak; untuk tujuan itu hendaknya ia mempergunakan bantuan para klerikus yang diperbantukan kepada paroki, para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, dengan memperhitungkan ciri khas masing-masing tarekat, serta orang-orang beriman kristiani awam, terutama para katekis; mereka itu semua hendaknya bersedia dengan senang hati memberikan bantuannya, kecuali secara legitim terhalang. Hendaknya pastor paroki mendorong dan memupuk tugas orangtua dalam katekese keluarga yang disebut dalam kan. 774, § 2.
Kan. 777 – Dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ditetapkan oleh Uskup diosesan, secara khusus hendaknya pastor paroki berusaha:
10 supaya diberikan katekese yang sesuai untuk perayaan sakramen-sakramen;
20 supaya anak-anak, dengan pengajaran kateketik selama waktu yang cukup, disiapkan dengan pantas untuk penerimaan pertama sakramen-sakramen tobat dan Ekaristi mahakudus serta untuk penerimaan sakramen penguatan;
30 supaya anak-anak itu, sesudah penerimaan komuni pertama, ditumbuh-kembangkan dengan pengajaran kateketik yang lebih melimpah dan mendalam;
40 supaya pengajaran kateketik diberikan pula kepada mereka yang menyandang cacat fisik atau mental, sejauh keadaan mereka mengizinkannya;
50 supaya iman kaum muda dan kaum dewasa diteguhkan, diterangi dan diperkembangkan dengan bermacam-macam bentuk dan prakarsa.
Kan. 778 – Hendaknya pemimpin-pemimpin religius dan serikat hidup kerasulan berusaha agar di dalam gereja mereka sendiri, di sekolah atau karya-karya lain yang dengan salah satu cara dipercayakan kepada mereka, diberikan pengajaran kateketik dengan rajin.
Kan. 779 – Hendaknya pengajaran kateketik diberikan dengan mempergunakan segala bantuan, sarana didaktis dan alat-alat komunikasi sosial yang dipandang lebih efektif, agar kaum beriman, mengingat sifat, kemampuan, umur dan keadaan hidupnya, dapat mempelajari ajaran katolik dengan lebih lengkap dan dapat mempraktekkannya dengan lebih tepat.
Kan. 780 – Hendaknya para Ordinaris wilayah berusaha agar para katekis disiapkan dengan semestinya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, yakni supaya dengan diberikan pembinaan yang terus-menerus mereka memahami dengan baik ajaran Gereja dan mempelajari secara teoretis dan praktis norma-norma yang khas untuk ilmu-ilmu pendidikan.
JUDUL II
KEGIATAN MISIONER GEREJA
Kan. 781 – Karena seluruh Gereja dari hakikatnya misioner dan karya evangelisasi harus dipandang sebagai tugas pokok dari umat Allah, maka hendaknya semua orang beriman kristiani, sadar akan tanggungjawabnya sendiri, mengambil bagian dalam karya misioner itu.
Kan. 782 – § 1. Kepemimpinan tertinggi dan koordinasi dari prakarsa dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan karya misi dan kerjasama misioner adalah wewenang Paus dan Kolegium para Uskup.
§ 2. Setiap Uskup, selaku penanggungjawab atas Gereja universal dan semua Gereja, hendaknya menaruh perhatian khusus terhadap karya misi, terutama dengan membangkitkan, memupuk dan mendukung prakarsa-prakarsa misioner dalam Gereja partikularnya sendiri.
Kan. 783 – Anggota-anggota tarekat hidup bakti, karena mempersembahkan diri bagi pelayanan Gereja berdasarkan pembaktian dirinya, wajib berkarya secara khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi tarekat mereka sendiri.
Kan. 784 – Para misionaris, sebagai yang diutus oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk melaksanakan karya misi, dapat dipilih baik putra daerah maupun bukan, entah klerikus sekular, entah anggota tarekat hidup bakti atau serikat hidup kerasulan, entah umat beriman kristiani awam lain.
Kan. 785 – § 1. Dalam menjalankan karya misi hendaknya diikutsertakan katekis-katekis, yakni umat beriman kristiani awam yang dibekali dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; dibawah bimbingan seorang misionaris, mereka itu membaktikan diri bagi ajaran injil yang harus diwartakan dan bagi perayaan-perayaan liturgi serta karya amalkasih yang harus diatur.
§ 2. Hendaknya katekis-katekis dibina di sekolah-sekolah untuk maksud tersebut atau, kalau tidak ada, dibimbing oleh para misionaris.
Kan. 786 – Kegiatan khas misioner untuk menanamkan Gereja di tengah-tengah bangsa atau kelompok dimana Gereja belum berakar, dilaksanakan oleh Gereja terutama dengan mengutus bentara-bentara Injil sampai Gereja-gereja muda itu tumbuh dewasa, yakni memiliki tenaga sendiri dan sarana cukup yang diperlukan untuk dapat meneruskan sendiri karya evangelisasi.
Kan. 787 – § 1. Hendaknya para misionaris dengan kesaksian hidup dan perkataan mengadakan suatu dialog yang tulus dengan mereka yang belum percaya akan Kristus agar terbukalah bagi mereka jalan untuk mengenal warta injili dengan cara yang cocok dengan watak dan budaya mereka.
§ 2. Hendaknya para misionaris berusaha agar orang-orang yang mereka nilai siap menerima pewartaan injil mendapat pelajaran mengenai kebenaran-kebenaran iman sedemikian sehingga mereka dapat diterima untuk dibaptis jika mereka memintanya dengan bebas.
Kan. 788 – § 1. Mereka yang telah menyatakan kemauan untuk memeluk iman akan Kristus, setelah menyelesaikan masa prakatekumenat, diterima ke dalam katekumenat dengan upacara liturgi; dan nama mereka hendaknya dicatat dalam buku yang dimaksudkan untuk itu.
§ 2. Para katekumen, melalui pengajaran dan masa percobaan hidup kristiani, hendaknya diperkenalkan dengan tepat kepada misteri keselamatan serta diantar masuk ke dalam kehidupan iman, liturgi dan cinta kasih umat Allah serta hidup kerasulan.
§ 3. Konferensi para Uskup bertugas untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan tentang katekumenat, dengan menentukan apa yang harus dilaksanakan oleh para katekumen dan merumuskan hak-hak istimewa yang diakui bagi mereka.
Kan. 789 – Hendaknya orang yang baru dibaptis dibina agar mereka melalui suatu pengajaran yang tepat dapat semakin mengenali kebenaran injili dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diterima dalam baptis; hendaknya mereka diresapi dengan cinta sejati terhadap Kristus dan Gereja-Nya.
Kan. 790 – § 1. Uskup diosesan di daerah misi bertugas untuk:
10 memajukan, memimpin dan mengkoordinasi prakarsa dan karya yang berhubungan dengan kegiatan misioner;
20 berusaha agar diadakan perjanjian-perjanjian yang perlu dengan Pemimpin-pemimpin lembaga yang membaktikan diri bagi karya misioner dan agar hubungan-hubungan dengan mereka menguntungkan misi.
§ 2. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan, sebagaimana disebut dalam § 1, 10, haruslah ditaati oleh semua misionaris, juga para religius beserta pembantu-pembantu mereka yang tinggal dalam daerah Uskup itu.
Kan. 791 – Di setiap keuskupan, untuk memajukan kerja-sama misioner:
10 hendaknya dipromosikan panggilan-panggilan misioner;
20 hendaknya ditugaskan seorang imam untuk memajukan secara efektif prakarsa-prakarsa untuk misi, terutama Karya Misi Kepausan;
30 hendaknya setiap tahun dirayakan hari misi;
40 hendaknya setiap tahun bagi misi diberikan suatu sumbangan (stips) yang layak yang harus dikirimkan kepada Takhta Suci.
Kan. 792 – Konferensi para Uskup hendaknya mendirikan dan memajukan karya-karya untuk menerima mereka yang datang dari tanah misi ke wilayahnya untuk bekerja atau untuk belajar, dalam semangat persaudaraan dan membantu mereka dengan pelayanan pastoral yang cocok.
JUDUL III
PENDIDIKAN KATOLIK
Kan. 793 – § 1. Orangtua dan juga para pengganti mereka berkewajiban dan berhak untuk mendidik anaknya; para orangtua katolik mempunyai tugas dan juga hak untuk memilih sarana dan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan katolik untuk anak-anak mereka dengan lebih baik, sesuai dengan keadaan setempat.
§ 2. Para orangtua berhak pula untuk mendapat bantuan yang harus diberikan oleh masyarakat sipil dan yang mereka butuhkan bagi pendidikan katolik anak-anak mereka.
Kan. 794 – § 1. Secara khusus tugas dan hak mendidik itu mengena pada Gereja yang diserahi perutusan ilahi untuk menolong orang-orang agar dapat mencapai kepenuhan hidup kristiani.
§ 2. Para gembala jiwa-jiwa mempunyai tugas untuk mengatur segala sesuatu sedemikian sehingga semua orang beriman dapat menikmati pendidikan katolik.
Kan. 795 – Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.

BAB I
SEKOLAH
Kan. 796 – § 1. Di antara sarana-sarana penyelenggaraan pendidikan, hendaknya umat beriman kristiani menjunjung tinggi sekolah-sekolah yang sangat membantu para orangtua dalam memenuhi tugas mendidik.
§ 2. Para orangtua yang mempercayakan anak mereka kepada para guru sekolah, harus bekerjasama dengan mereka secara erat; dan hendaknya para guru dalam pelaksanaan tugas mereka, bekerjasama erat dengan orangtua yang harus didengarkan dengan rela; hendaknya didirikan persatuan-persatuan orangtua atau diadakan pertemuan-pertemuan yang semuanya pantas dijunjung tinggi.
Kan. 797 – Para orangtua harus menikmati kebebasan yang sungguh-sungguh dalam hal memilih sekolah; karena itu orang-orang beriman kristiani harus memperhatikan agar masyarakat sipil mengakui kebebasan ini bagi para orangtua dan, dengan mengindahkan keadilan distributif, melindunginya juga dengan bantuan-bantuan.
Kan. 798 – Hendaknya para orangtua mempercayakan anak mereka kepada sekolah-sekolah tempat pendidikan katolik diselengga-rakan; jika hal itu tidak mungkin, mereka wajib mengusahakan agar pendidikan katolik mereka yang semestinya itu dilaksanakan di luar sekolah.
Kan. 799 – Hendaknya kaum beriman kristiani berusaha agar undang-undang yang dalam masyarakat sipil mengatur pembinaan kaum muda, memperhatikan juga di sekolah-sekolah itu pendidikan keagamaan dan moral mereka, sesuai dengan suara hati orangtua.
Kan. 800 – § 1. Gereja berhak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah-sekolah dari jurusan, jenis dan jenjang mana pun.
§ 2. Hendaknya kaum beriman kristiani mendukung sekolah-sekolah katolik dengan membantu sekuat tenaga dalam mendirikan dan menopang sekolah-sekolah itu.
Kan. 801 – Hendaknya tarekat-tarekat religius yang mempunyai perutusan khas di bidang pendidikan, dengan setia mempertahankan perutusannya itu dan mencurahkan segala tenaganya di bidang pendidikan katolik, juga melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan dengan persetujuan Uskup diosesan.
Kan. 802 – § 1. Kalau belum ada sekolah dimana diberikan pendidikan yang diresapi semangat kristiani, Uskup diosesan bertugas mengusahakan agar didirikan.
§ 2. Sejauh berguna hendaknya Uskup diosesan berusaha agar didirikan juga sekolah-sekolah kejuruan dan teknik, serta juga sekolah-sekolah lain yang menjawab kebutuhan-kebutuhan khusus.
Kan. 803 – § 1. Sekolah katolik ialah suatu sekolah yang dipimpin oleh otoritas gerejawi yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau yang diakui demikian oleh otoritas gerejawi melalui dokumen tertulis.
§ 2. Pengajaran dan pendidikan di sekolah katolik harus berdasarkan asas-asas ajaran katolik; hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan hidup yang baik.
§ 3. Tiada satu sekolah pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh membawa nama sekolah katolik, kecuali dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 804 – § 1. Otoritas Gereja berwenang atas pengajaran dan pendidikan agama katolik, yang diberikan di sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial; Konferensi para Uskup bertugas mengeluarkan norma-norma umum di bidang kegiatan itu, dan Uskup diosesan bertugas mengatur dan mengawasinya.
§ 2. Hendaknya Ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang diangkat menjadi guru-guru agama di sekolah, juga di sekolah bukan katolik, adalah orang-orang yang unggul dalam ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup kristiani dan juga ahli dalam pendidikan.
Kan. 805 – Ordinaris wilayah berhak mengangkat atau menyetujui guru-guru agama untuk keuskupannya, demikian pula memberhentikan atau menuntut pemberhentian mereka jika alasan keagamaan atau moral menuntutnya.
Kan. 806 – § 1. Uskup diosesan berhak mengawasi dan mengunjungi sekolah-sekolah katolik yang berada di wilayahnya, termasuk sekolah-sekolah yang didirikan atau dipimpin oleh anggota-anggota tarekat religius; Uskup diosesan berhak pula untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyelenggaraan umum sekolah-sekolah katolik: ketentuan-ketentuan itu berlaku pula bagi sekolah-sekolah yang dipimpin oleh anggota tarekat tersebut, dengan tetap mengindahkan otonomi mereka sejauh menyangkut kepemimpinan intern sekolah-sekolah itu.
§ 2. Hendaknya para Pemimpin sekolah-sekolah katolik, dibawah pengawasan Ordinaris wilayah, mengusahakan agar pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah itu unggul secara ilmiah, sekurang-kurangnya setingkat dengan pendidikan di sekolah-sekolah lain di daerah itu.
BAB II
UNIVERSITAS KATOLIK DAN PERGURUAN TINGGI LAIN

Kan. 807 – Adalah hak Gereja untuk mendirikan dan memimpin universitas-universitas, yang memang memajukan kebudayaan bangsa manusia ke taraf lebih tinggi dan pribadi manusia ke taraf lebih penuh, dan juga untuk memenuhi tugas Gereja mengajar.
Kan. 808 – Tiada satu universitas pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh membawa sebutan atau nama universitas katolik, kecuali dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 809 – Hendaknya Konferensi para Uskup berusaha agar, jika mungkin dan berguna, didirikan universitas-universitas atau sekurang-kurangnya fakultas-fakultas yang tersebar secara baik di wilayah itu; adapun di universitas dan fakultas itu, dengan tetap mengindahkan otonomi ilmiah, hendaknya diselidiki dan diajarkan pelbagai matakuliah dengan cahaya ajaran katolik.
Kan. 810 – § 1. Adalah tugas otoritas yang berwenang menurut statuta, untuk mengusahakan agar di universitas-universitas katolik diangkat dosen-dosen, yang selain memiliki kecakapan ilmiah dan pedagogis, juga utuh ajarannya dan tak tercela hidupnya; dan jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, adalah tugasnya untuk memberhentikan mereka dari jabatan dengan menepati prosedur yang ditentukan dalam statuta.
§ 2. Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan yang bersangkutan, berkewajiban dan berhak untuk mengawasi agar di universitas-universitas itu dengan setia dipegang teguh asas-asas ajaran katolik.
Kan. 811 – § 1. Hendaknya otoritas gerejawi yang berwenang berusaha agar di universitas-universitas katolik didirikan fakultas atau institut atau sekurang-kurangnya suatu mimbar bagi teologi dimana mahasiswa awam juga dapat mengikuti kuliah.
§ 2. Di setiap universitas katolik hendaknya diberikan kuliah-kuliah dimana dibahas terutama masalah-masalah teologis, yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu dari fakultas itu.
Kan. 812 – Mereka yang memberikan kuliah-kuliah teologi dalam perguruan tinggi mana pun, haruslah mempunyai mandat dari otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 813 – Uskup diosesan hendaknya sungguh memperhatikan reksa pastoral bagi para mahasiswa, juga dengan mendirikan paroki khusus atau sekurang-kurangnya dengan mengangkat secara tetap imam-imam untuk tugas itu, dan hendaknya ia berusaha agar di universitas-universitas, juga yang tidak katolik, didirikan pusat-pusat kegiatan katolik tingkat universitas, yang memberi bantuan kepada kaum muda, lebih-lebih di bidang rohani.
Kan. 814 – Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitas-universitas juga berlaku sama bagi perguruan-perguruan tinggi lain.
BAB III
UNIVERSITAS DAN FAKULTAS GEREJAWI
Kan. 815 – Berdasarkan tugasnya untuk mewartakan kebenaran yang diwahyukan, Gereja mempunyai universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi untuk menelaah ilmu-ilmu suci atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu suci itu dan untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa dalam ilmu-ilmu tersebut secara ilmiah.
Kan. 816 – § 1. Universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi hanya dapat didirikan oleh Takhta Apostolik atau dengan aprobasi yang diberikan olehnya; juga pada dialah kewenangan kepemimpinan tertinggi atasnya.
§ 2. Setiap universitas dan fakultas gerejawi harus mempunyai statuta dan pedoman studi sendiri yang mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik.
Kan. 817 – Gelar-gelar akademis yang mempunyai efek kanonik dalam Gereja, hanya dapat diberikan oleh universitas atau fakultas yang didirikan oleh atau mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik.
Kan. 818 – Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitas katolik dalam kan. 810, 812 dan 813 berlaku pula bagi universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi.
Kan. 819 – Sejauh kepentingan keuskupan, atau tarekat religius atau bahkan kepentingan seluruh Gereja sendiri menuntut, para Uskup diosesan atau Pemimpin tarekat yang berwenang harus mengirim kaum muda baik klerikus maupun anggota tarekat religiusnya, yang unggul dalam watak, keutamaan dan bakat, ke universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi.
Kan. 820 – Hendaknya para Pemimpin dan guru besar dari universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi berusaha agar pelbagai fakultas dari satu universitas saling bekerjasama sejauh bahannya mengizinkannya, dan agar antara universitas atau fakultas sendiri dengan universitas-universitas atau fakultas-fakultas lain, juga yang bukan gerejawi, ada kerja sama timbal-balik; tujuannya ialah agar universitas atau fakultas itu dengan karya terpadu, pertemuan-pertemuan, penelitian-penelitian ilmiah yang terkoordinasi dan sarana-sarana lainnya, dapat bersama-sama menyumbang bagi perkembangan ilmu-ilmu.
Kan. 821 – Hendaknya Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan mengusahakan, dimana mungkin, agar didirikan lembaga-lembaga tinggi ilmu keagamaan dimana diajarkan ilmu-ilmu teologis dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan kebudayaan kristiani.
JUDUL IV
SARANA KOMUNIKASI SOSIAL DAN KHUSUSNYA BUKU
Kan. 822 – § 1. Hendaknya para gembala Gereja, dengan menggunakan hak Gereja dalam memenuhi tugasnya, senantiasa memanfaatkan sarana-sarana komunikasi sosial.
§ 2. Hendaknya para gembala itu berusaha untuk mengajar umat beriman bahwa mereka wajib bekerjasama agar penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial dijiwai oleh semangat manusiawi dan kristiani.
§ 3. Semua kaum beriman kristiani, terutama mereka yang dengan salah satu cara mengambil bagian dalam pengaturan atau penggunaan sarana-sarana itu, hendaknya sungguh-sungguh membantu kegiatan pastoral sedemikian sehingga Gereja, juga dengan sarana-sarana itu, dapat melaksanakan tugasnya secara efektif.
Kan. 823 – § 1. Supaya keutuhan kebenaran iman dan moral terpelihara, para gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk men-jaga agar iman dan moral dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial; demikian juga untuk menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan moral yang akan diterbitkan oleh orang-orang beriman kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka; dan juga untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau moral yang baik.
§ 2. Kewajiban dan hak yang disebut dalam § 1 dimiliki para Uskup, baik sendiri maupun bila berkumpul dalam konsili-konsili partikular atau dalam Konferensi para Uskup, sejauh menyangkut umat beriman kristiani yang dipercayakan kepada reksa mereka; tetapi bila menyangkut seluruh umat Allah, dimiliki otoritas tertinggi Gereja.
Kan. 824 – § 1. Kecuali ditentukan lain, Ordinaris wilayah yang izinnya atau aprobasinya harus diminta untuk menerbitkan buku-buku sesuai dengan kanon-kanon Judul ini, adalah Ordinaris wilayah dari pengarang sendiri atau Ordinaris wilayah dimana buku itu akan diterbitkan.
§ 2. Hal-hal yang ditentukan dalam kanon-kanon Judul ini mengenai buku-buku, harus diterapkan pula pada segala macam tulisan yang dimaksudkan bagi peredaran umum, kecuali nyata lain.
Kan. 825 – § 1. Buku-buku Kitab Suci hanya boleh diterbitkan dengan aprobasi Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup; demikian pula untuk dapat diterbitkan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat dituntut agar mendapat aprobasi dari otoritas yang sama dan sekaligus dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang perlu dan mencukupi.
§ 2. Umat beriman kristiani katolik, dengan izin Konferensi para Uskup, dapat mempersiapkan dan menerbitkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang cocok, juga dalam kerjasama dengan saudara-saudara terpisah.
Kan. 826 – § 1. Mengenai buku-buku liturgi hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 838.
§ 2. Agar buku-buku liturgi dan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat atau bagian-bagian dari padanya dapat diterbitkan ulang, haruslah pasti mengenai kesesuaiannya dengan penerbitan yang mendapat aprobasi berdasarkan kesaksian Ordinaris wilayah dimana buku itu diterbitkan.
§ 3. Jangan diterbitkan buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara umum atau secara pribadi, tanpa izin Ordinaris wilayah.
Kan. 827 – § 1. Untuk menerbitkan katekismus dan juga tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahan-terjemahannya, dibutuhkan aprobasi dari Ordinaris wilayah, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 775, § 2.
§ 2. Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral, tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi, kecuali buku itu diterbitkan dengan aprobasi otoritas gerejawi yang berwenang atau kemudian mendapat aprobasi darinya.
§ 3. Dianjurkan agar buku-buku yang membahas masalah-masalah yang disebut dalam § 2, diserahkan kepada penilaian Ordinaris wilayah, biarpun buku itu tidak dipakai sebagai buku pegangan dalam pengajaran; anjuran yang sama berlaku pula bagi tulisan-tulisan yang berisi sesuatu yang secara khusus menyangkut martabat agama atau moral.
§ 4. Di dalam gereja-gereja atau ruang-ruang doa tidak dapat dipamerkan, dijual atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama atau moral, kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang berwenang atau yang mendapat aprobasi darinya kemudian.
Kan. 828 – Kumpulan-kumpulan dekret-dekret dan akta-akta yang diterbitkan oleh suatu otoritas gerejawi, tak boleh diterbitkan kembali tanpa izin terlebih dahulu dari otoritas yang berwenang tersebut dan menepati syarat-syarat yang ditetapkannya.
Kan. 829 – Aprobasi atau izin bagi penerbitan salah satu karya berlaku bagi teks yang asli, tetapi tidak berlaku bagi terbitan-terbitan ulang atau terjemahannya.
Kan. 830 – § 1. Dengan tetap utuh hak setiap Ordinaris wilayah untuk menyerahkan penilaian buku-buku kepada orang-orang yang dipilihnya, Konferensi para Uskup dapat membuat daftar pemeriksa buku yang unggul di bidang ilmu, ajaran yang benar dan kearifan, yang membantu kuria-kuria diosesan atau juga dapat membentuk suatu panitia pemeriksa buku yang bisa diminta nasihatnya oleh para Ordinaris wilayah.
§ 2. Pemeriksa buku dalam melaksanakan tugasnya hendaklah bersikap tanpa pandang bulu dan hanya memperhatikan ajaran Gereja di bidang iman dan moral, sebagaimana diajarkan oleh Magisterium Gereja.
§ 3. Pemeriksa buku harus memberikan penilaiannya secara tertulis; jika penilaian itu positif, hendaknya Ordinaris menurut keputusannya yang arif memberi izin penerbitan dengan menyebut namanya dan juga tanggal dan tempat izin itu diberikan; jikalau ia tidak memberikan izin itu, hendaknya ia memberitahukan alasan-alasannya kepada penulis karya itu.
Kan. 831 – § 1. Kaum beriman kristiani jangan menulis sesuatu dalam harian-harian, majalah-majalah dan terbitan-terbitan berkala yang biasa terang-terangan menyerang agama katolik atau moral, kecuali ada suatu alasan yang wajar dan masuk akal; sedangkan para klerikus dan anggota-anggota tarekat religius hanya boleh menulis dengan izin Ordinaris wilayah.
§ 2. Konferensi para Uskup bertugas menetapkan norma-norma dan syarat-syarat bagi peranserta para klerikus dan anggota-anggota tarekat religius dalam siaran radio atau televisi mengenai soal-soal yang menyangkut ajaran katolik atau moral.
Kan. 832 – Para anggota tarekat religius membutuhkan izin dari Pemimpin tinggi mereka menurut norma konstitusi, bila mereka mau menerbitkan tulisan-tulisan tentang soal-soal agama atau moral.

JUDUL V
PENGAKUAN IMAN

Kan. 833 – Mereka yang disebut di bawah ini wajib menyatakan pengakuan iman secara pribadi menurut formula yang disahkan oleh Takhta Apostolik:
10 semua peserta konsili Ekumenis atau partikular, sinode para Uskup dan sinode keuskupan, yang hadir dengan hak suara entah deliberatif entah konsultatif, di hadapan ketua atau delegatusnya; sedangkan ketua di hadapan Konsili atau sinode;
20 mereka yang diangkat untuk martabat kardinal, menurut statuta dari Kolegium suci itu;
30 semua yang diangkat untuk jabatan Uskup, demikian pula yang disamakan dengan Uskup diosesan, di hadapan utusan dari Takhta Apostolik;
40 Administrator diosesan, di hadapan kolegium konsultor;
50 Vikaris jenderal, Vikaris episkopal dan juga Vikaris yudisial, di hadapan Uskup diosesan atau delegatusnya;
60 semua pastor paroki, rektor, dosen teologi dan filsafat dalam seminari, di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatusnya, pada awal memangku jabatan; juga mereka yang akan ditahbiskan menjadi diakon;
70 rektor dari Universitas gerejawi atau katolik di hadapan Kanselir Agung atau, jika ia tidak hadir, di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus mereka pada awal memangku jabatan; para dosen yang memberikan kuliah-kuliah berhubungan dengan iman atau moral di Universitas mana pun, di hadapan rektor jika ia seorang imam, atau di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus mereka, pada awal memangku jabatan;
80 para Pemimpin dalam tarekat religius dan dalam serikat-serikat hidup kerasulan klerikal, menurut norma konstitusi.

BUKU IV
TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN

Kan. 834 – § 1. Gereja memenuhi tugas menguduskan secara istimewa dengan liturgi suci, yang dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, dimana pengudusan manusia dinyatakan dengan tanda-tanda indrawi serta dihasilkan dengan cara masing-masing yang khas. Dengan liturgi itu dipersembahkan juga ibadat publik yang utuh kepada Allah oleh Tubuh mistik Yesus Kristus, yakni Kepala dan anggota-anggota-Nya.
§ 2. Ibadat semacam ini terjadi apabila dilaksanakan atas nama Gereja oleh orang-orang yang ditugaskan secara legitim dan dengan perbuatan-perbuatan yang telah disetujui oleh otoritas Gereja.
Kan. 835 – § 1. Tugas menguduskan itu dilaksanakan pertama-tama oleh para Uskup, yang adalah imam-imam agung, pembagi-pembagi utama misteri-misteri Allah, dan pemimpin, penggerak dan penjaga seluruh kehidupan liturgi dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya.
§ 2. Tugas itu juga dilaksanakan oleh para imam yang mengambil bagian dalam imamat Kristus, selaku pelayan-Nya dibawah otoritas Uskup, ditahbiskan untuk merayakan ibadat ilahi dan menguduskan umat.
§ 3. Para diakon mengambil bagian dalam perayaan ibadat ilahi menurut norma ketentuan-ketentuan hukum.
§ 4. Dalam tugas menguduskan itu kaum beriman kristiani lain juga memiliki peranannya sendiri, dengan ambil bagian secara aktif menurut cara masing-masing dalam perayaan-perayaan liturgi, terutama dalam Ekaristi; demikian pula secara khusus mengambil bagian dalam tugas itu para orangtua, dengan hidup berkeluarga dalam semangat kristiani dan mengusahakan pendidikan kristiani bagi anak-anak.
Kan. 836 – Karena ibadat kristiani, dimana dilaksanakan imamat umum umat beriman, harus timbul dari iman dan bertumpu padanya, para pelayan rohani hendaknya giat berusaha untuk membangkitkan serta memupuk iman itu, terutama dengan pelayanan sabda yang melahirkan dan menumbuhkan iman.
Kan. 837 – § 1. Tindakan liturgis bukanlah tindakan privat, melainkan perayaan Gereja sendiri, yang merupakan “sakramen kesatuan”, yakni bangsa suci yang dihimpun dan diatur dibawah para Uskup; karena itu perayaan liturgi menyangkut seluruh tubuh Gereja, menunjukkan dan mengenainya; sedangkan setiap anggota terkena dengan pelbagai cara, menurut perbedaan tahbisan, tugas dan partisipasi aktualnya.
§ 2. Tindakan-tindakan liturgis, sejauh dari hakikatnya membawa-serta perayaan bersama, dimana mungkin hendaknya dirayakan dengan kehadiran serta partisipasi aktif umat beriman.
Kan. 838 – § 1. Pengaturan liturgi suci tergantung semata-mata pada otoritas Gereja: yakni pada Takhta Apostolik dan, menurut norma hukum, pada Uskup diosesan.
§ 2. Takhta Apostoliklah yang berwenang mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi, serta memeriksa terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat, dan juga mengawasi agar di mana pun peraturan-peraturan liturgi ditepati dengan setia.
§ 3. Konferensi para Uskup bertugas mempersiapkan terjemahan buku-buku liturgi kedalam bahasa setempat, yang disesuaikan secara wajar dalam batas-batas yang ditentukan dalam buku-buku itu sendiri, dan menerbitkannya, setelah diperiksa (recognitio) oleh Takhta Suci.
§ 4. Dalam batas-batas kewenangannya dan dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya Uskup diosesan bertugas memberikan norma-norma mengenai liturgi yang harus ditaati oleh semua.
Kan. 839 – § 1. Gereja juga melaksanakan tugas pengudusannya dengan cara-cara lain, entah dengan doa-doa permohonan kepada Allah agar umat beriman dikuduskan dalam kebenaran, entah dengan perbuatan tobat dan amal-kasih, yang sangat membantu mengakarkan dan memperkokoh Kerajaan Kristus di dalam hati manusia, dan membawa keselamatan dunia.
§ 2. Hendaklah para Ordinaris wilayah mengusahakan agar doa-doa serta kebaktian-kebaktian saleh dan suci dari umat kristiani sepenuhnya sesuai dengan norma-norma Gereja.
BAGIAN I
SAKRAMEN
Kan. 840 – Sakramen-sakramen Perjanjian Baru, yang diadakan oleh Kristus Tuhan dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai tindakan-tindakan Kristus dan Gereja, merupakan tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman, mempersembahkan penghor-matan kepada Allah serta menghasilkan pengudusan manusia. Dan karena itu sangat membantu untuk menciptakan, memperkokoh dan menampakkan persekutuan gerejawi. Oleh karena itu baik para pelayan suci maupun umat beriman kristiani lain haruslah merayakannya dengan sangat khidmat dan cermat sebagaimana mestinya.
Kan. 841 – Karena sakramen-sakramen adalah sama untuk seluruh Gereja dan termasuk khazanah ilahi, hanya otoritas tertinggi Gerejalah yang berwenang menyetujui atau menetapkan hal-hal yang dituntut demi sahnya sakramen-sakramen itu; ada adalah hak dari otoritas itu atau dari otoritas lain yang berwenang menurut norma kan. 838, § 3 dan § 4, untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut perayaan, pelayanan dan penerimaannya secara licit, dan juga tata-perayaan yang harus ditepati.
Kan. 842 – § 1. Orang yang belum dibaptis tidak dapat diizinkan menerima sakramen-sakramen lain dengan sah.
§ 2. Sakramen-sakramen baptis, penguatan dan Ekaristi mahakudus terjalin satu sama lain, sedemikian sehingga dituntut untuk inisiasi kristiani yang penuh.
Kan. 843 – § 1. Pelayan suci tidak boleh menolak pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintanya secara wajar, berdisposisi baik, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya.
§ 2. Para gembala jiwa-jiwa dan kaum beriman kristiani lain, menurut tugas gerejawi masing-masing, berkewajiban mengusahakan agar mereka yang meminta sakramen-sakramen dipersiapkan untuk menerimanya dengan pewartaan injil serta pengajaran kateketik yang semestinya, dengan mengindahkan norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 844 – § 1. Para pelayan katolik menerimakan sakramen-sakramen secara licit hanya kepada orang-orang beriman katolik, yang memang juga hanya menerimanya secara licit dari pelayan katolik, dengan tetap berlaku ketentuan § 2, § 3 dan § 4 kanon ini dan kan. 861, § 2.
§ 2. Setiap kali keadaan mendesak atau manfaat rohani benar-benar menganjurkan, dan asal tercegah bahaya kesesatan atau indiferentisme, orang beriman kristiani yang secara fisik atau moril tidak mungkin menghadap pelayan katolik, diperbolehkan menerima sakramen tobat, Ekaristi serta pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan tidak katolik, jika dalam Gereja mereka sakramen-sakramen tersebut adalah sah.
§ 3. Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota-anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas.
§ 4. Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.
§ 5. Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma-norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak katolik yang bersangkutan.
Kan. 845 – § 1. Sakramen-sakramen baptis, penguatan dan tahbisan, karena memberikan meterai (character), tidak dapat diulang.
§ 2. Jika setelah dilakukan penyelidikan seksama masih ada keraguan arif apakah sakramen-sakramen yang disebut dalam § 1 sungguh-sungguh telah diberikan atau telah diberikan secara sah, hendaknya diberikan dengan bersyarat.
Kan. 846 – § 1. Dalam merayakan sakramen-sakramen hendaknya ditepati dengan setia buku-buku liturgi yang telah disetujui oleh otoritas yang berwenang; karena itu tak seorang pun boleh menambah, menghapus atau mengubah sesuatu pun dalam hal itu atas kuasanya sendiri.
§ 2. Pelayan hendaknya merayakan sakramen-sakramen menurut ritusnya masing-masing.
Kan. 847 – § 1. Dalam menerimakan sakramen-sakramen yang menggunakan minyak suci, pelayan harus mempergunakan minyak zaitun atau minyak lain yang diperas dari tumbuhan dan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 999, 20, dikonsekrasi atau diberkati oleh Uskup, dan baru; sedangkan yang lama jangan digunakan, kecuali bila terpaksa.
§ 2. Pastor paroki hendaknya minta minyak suci dari Uskupnya sendiri dan secara pantas menyimpannya dengan seksama.
Kan. 848 – Pelayan sakramen tidak boleh menuntut apa-apa bagi pelayanannya selain persembahan (oblationes) yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, tetapi selalu harus dijaga agar orang yang miskin jangan sampai tidak mendapat bantuan sakramen-sakramen karena kemiskinannya.

JUDUL I
BAPTIS

Kan. 849 – Baptis, gerbang sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau setidak-tidaknya dalam kerinduan, dengan mana manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh meterai yang tak terhapuskan, hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang diwajibkan.
BAB I
PERAYAAN BAPTIS

Kan. 850 – Baptis hendaknya diterimakan menurut tata-perayaan dalam buku-buku liturgi yang disetujui, kecuali dalam keadaan darurat, dimana harus ditepati hanya hal-hal yang dituntut untuk sahnya sakramen.
Kan. 851 – Perayaan baptis haruslah disiapkan dengan semestinya; maka dari itu:
10 orang dewasa yang bermaksud menerima baptis hendaknya diterima dalam katekumenat dan, sejauh mungkin, dibimbing ke inisiasi sakramental lewat pelbagai tahap, menurut tata-perayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh Konferensi para Uskup dan norma-norma khusus yang dikeluarkan olehnya;
20 orangtua dari kanak-kanak yang harus dibaptis, demikian pula mereka yang akan menerima tugas sebagai wali baptis, hendaknya diberitahu dengan baik tentang makna sakramen ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat padanya. Pastor paroki hendaknya mengusahakan, sendiri atau lewat orang-orang lain, agar para orangtua dipersiapkan dengan semestinya lewat nasihat-nasihat pastoral, dan bahkan dengan doa bersama, dengan mengumpulkan keluarga-keluarga dan, bila mungkin, juga dengan mengunjungi mereka.
Kan. 852 – § 1. Ketentuan-ketentuan yang dalam kanon-kanon mengenai baptis orang dewasa diterapkan pada semua yang telah melewati usia kanak-kanak dan dapat menggunakan akalbudinya.
§ 2. Juga dalam hal baptis orang yang tidak dapat bertanggungjawab atas tindakan sendiri (non sui compos) disamakan dengan kanak-kanak.
Kan. 853 – Air yang harus dipergunakan dalam menerimakan baptis, diluar keadaan terpaksa, haruslah air yang diberkati menurut ketentuan-ketentuan buku liturgi.
Kan. 854 – Baptis hendaknya dilaksanakan entah dengan dimasukkan ke dalam air entah dengan dituangi air, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Konferensi para Uskup.
Kan. 855 – Hendaknya orangtua, wali baptis dan pastor paroki menjaga agar jangan memberikan nama yang asing dari citarasa kristiani.
Kan. 856 – Meskipun baptis dapat dirayakan pada hari apapun, namun dianjurkan agar pada umumnya dirayakan pada hari Minggu atau, jika dapat, pada malam Paskah.
Kan. 857 – § 1. Diluar keadaan darurat, tempat yang biasa untuk baptis adalah gereja atau ruang doa.
§ 2. Pada umumnya hendaknya orang dewasa dibaptis di gereja parokinya sendiri, sedangkan kanak-kanak di gereja paroki orang-tuanya, kecuali bila alasan wajar menganjurkan lain.
Kan. 858 – § 1. Setiap gereja paroki hendaknya memiliki bejana baptis, dengan tetap ada hak kumulatif yang telah diperoleh gereja-gereja lain.
§ 2. Ordinaris wilayah, setelah mendengarkan pastor paroki setempat, demi kemudahan umat beriman, dapat mengizinkan atau memerintahkan, agar disediakan juga bejana baptis di gereja atau ruang doa lain dalam batas-batas paroki.
Kan. 859 – Jika calon baptis, karena jarak jauh atau keadaan lain, tidak dapat datang atau dibawa tanpa kesulitan besar ke gereja paroki, atau gereja lain atau ruang doa yang disebut dalam kan. 858, § 2, baptis dapat dan harus dilaksanakan di gereja atau ruang doa lain yang lebih dekat, atau juga di tempat lain yang layak.
Kan. 860 – § 1. Diluar keadaan darurat, baptis jangan diberikan di rumah pribadi, kecuali bila Ordinaris wilayah atas alasan yang berat mengizinkannya.
§ 2. Kecuali Uskup diosesan menentukan lain, baptis jangan diberikan di rumah sakit diluar keadaan darurat atau atas alasan pastoral lain yang mendesak.
BAB II
PELAYAN BAPTIS

Kan. 861 – § 1. Pelayan biasa baptis adalah Uskup, imam dan diakon, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 530, 10.
§ 2. Bilamana pelayan biasa tidak ada atau terhalang, baptis dilaksanakan secara licit oleh katekis atau orang lain yang oleh Ordinaris wilayah ditugaskan untuk fungsi itu, bahkan dalam keadaan darurat oleh siapapun yang mempunyai maksud yang semestinya; hendaknya para gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, memperhatikan agar umat beriman kristiani diberitahu tentang cara membaptis yang betul.
Kan. 862 – Diluar keadaan darurat, tak seorang pun boleh melayani baptis di wilayah lain tanpa izin yang semestinya, bahkan juga kepada orang-orang bawahannya sendiri.
Kan. 863 – Baptis orang-orang dewasa, sekurang-kurangnya mereka yang telah berusia genap empatbelas tahun, hendaknya dibawa kepada Uskup diosesan agar, bila dinilainya patut, dilaksanakan olehnya.
BAB III
CALON BAPTIS

Kan. 864 – Yang dapat dibaptis ialah setiap dan hanya manusia yang belum dibaptis.
Kan. 865 – § 1. Agar seorang dewasa dapat dibaptis, ia harus telah menyatakan kehendaknya untuk menerima baptis, mendapat pengajaran yang cukup mengenai kebenaran-kebenaran iman dan kewajiban-kewajiban kristiani dan telah teruji dalam hidup kristiani melalui katekumenat; hendaknya diperingatkan juga untuk menyesali dosa-dosanya.
§ 2. Orang dewasa yang berada dalam bahaya maut dapat dibaptis jika memiliki sekadar pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran iman yang pokok, dengan salah satu cara pernah menyatakan maksudnya untuk menerima baptis dan berjanji bahwa akan mematuhi perintah-perintah agama kristiani.
Kan. 866 – Orang dewasa yang dibaptis, jika tak ada alasan berat yang merintanginya, hendaknya segera setelah baptis diberi penguatan serta mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, juga dengan menerima komuni.
Kan. 867 – § 1. Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu.
§ 2. Bila bayi berada dalam bahaya maut, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.
Kan. 868 – § 1. Agar bayi dibaptis secara licit, haruslah:
10 orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;
20 ada harapan cukup beralasan bahwa anak itu akan dididik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu.
§ 2. Anak dari orangtua katolik, bahkan juga dari orangtua tidak katolik, dalam bahaya maut dibaptis secara licit, juga meskipun orangtuanya tidak menyetujuinya.
Kan. 869 – § 1. Jika diragukan apakah seseorang telah dibaptis, atau apakah baptisnya telah diberikan secara sah, dan setelah penyelidikan serius keraguan itu masih tetap ada, maka baptis hendaknya diberikan dengan bersyarat.
§ 2. Mereka yang telah dibaptis dalam jemaat gerejawi bukan katolik tidak boleh dibaptis bersyarat, kecuali bila menilik bahan serta rumus kata-kata yang dipergunakan dalam baptis itu, serta menilik maksud orang yang dibaptis dewasa maupun pelayan baptis, terdapat alasan serius untuk meragukan sahnya baptis.
§ 3. Bila dalam kasus yang disebut § 1 dan § 2 penerimaan atau sahnya baptis tetap diragukan, jika ia seorang dewasa, baptis hendaknya diberikan sesudah kepada calon baptis diuraikan ajaran mengenai sakramen baptis, dan kepadanya atau, jika mengenai baptis kanak-kanak, kepada orangtuanya, dijelaskan alasan-alasan keraguan sahnya baptis yang telah diterimakan.
Kan. 870 – Bayi yang dibuang atau ditemukan hendaknya dibaptis, kecuali bila setelah penyelidikan seksama ada kepastian bahwa ia telah dibaptis.
Kan. 871 – Janin keguguran, jika hidup, sedapat mungkin hendaknya dibaptis.
BAB IV
WALI BAPTIS

Kan. 872 – Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orangtua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis, dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisnya dan memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu.
Kan. 873 – Sebagai wali baptis hendaknya diambil hanya satu pria atau hanya satu wanita atau juga pria dan wanita.
Kan. 874 – § 1. Agar seseorang dapat diterima untuk mengemban tugas wali baptis, haruslah:
10 ditunjuk oleh calon baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang mewakili mereka atau, bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;
20 telah berumur genap enambelas tahun, kecuali umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan atau ada kekecualian yang atas alasan wajar dianggap dapat diterima oleh pastor paroki atau pelayan baptis;
30 seorang katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Ekaristi mahakudus, lagipula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;
40 tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara legitim;
50 bukan ayah atau ibu dari calon baptis.
§ 2. Seorang yang telah dibaptis dalam suatu jemaat gerejawi bukan katolik hanya dapat diizinkan menjadi saksi baptis bersama dengan seorang wali baptis katolik.
BAB V
PEMBUKTIAN DAN PENCATATAN BAPTIS
YANG TELAH DIBERIKAN
Kan. 875 – Yang melayani baptis hendaknya mengusahakan agar, kecuali sudah ada wali baptis, sekurang-kurangnya ada seorang saksi yang dapat membuktikan baptis itu.
Kan. 876 – Untuk membuktikan baptis yang sudah diberikan, jika tak seorang pun dirugikan karenanya, cukuplah pernyataan satu saksi yang dapat dipercaya atau, jika ia dibaptis pada usia dewasa, sumpah orang yang dibaptis itu sendiri.
Kan. 877 – § 1. Pastor paroki di mana baptis dilaksanakan, harus dengan teliti dan tanpa menunda-nunda mencatat dalam buku baptis nama orang-orang yang dibaptis, dengan menyebut pelayan baptis, orangtua, wali baptis, jika ada juga saksi-saksi, tempat dan tanggal baptis, sekaligus dicatat tanggal dan tempat kelahiran.
§ 2. Jika mengenai anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah, nama ibu haruslah dicantumkan, jika diketahui secara umum keibuannya itu, atau jika ia dari kehendaknya sendiri memintanya secara tertulis atau di hadapan dua orang saksi; demikian pula nama ayahnya harus dicatat, jika kebapakannya dibuktikan oleh suatu dokumen publik atau oleh pernyataannya sendiri di hadapan pastor paroki serta dua orang saksi; dalam hal-hal lain hendaknya ditulis nama orang yang dibaptis tanpa menyebut nama ayah atau orangtuanya.
§ 3. Jika mengenai anak angkat, hendaknya ditulis nama orang-orang yang mengangkatnya, sekurang-kurangnya jika demikian yang terjadi pada catatan sipil wilayah itu, serta juga nama-nama orangtua kandung menurut ketentuan § 1 dan § 2, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan dari Konferensi para Uskup.
Kan. 878 – Jika baptis tidak dilakukan oleh pastor paroki atau tidak dihadiri olehnya, maka pelayan baptis, entah siapapun juga, harus memberitahukan baptis yang dilakukan itu kepada pastor paroki dimana baptis itu telah dilaksanakan, agar pastor paroki ini mencatatnya menurut ketentuan kan. 877, § 1.
JUDUL II
SAKRAMEN PENGUATAN
Kan. 879 – Sakramen penguatan, yang memberikan meterai dan dengannya orang-orang yang telah dibaptis melanjutkan perjalanan inisiasi kristiani dan diperkaya dengan anugerah Roh Kudus serta dipersatukan secara lebih sempurna dengan Gereja, menguatkan dan semakin mewajibkan mereka untuk dengan perkataan dan perbuatan menjadi saksi-saksi Kristus, menyebarkan dan membela iman.

BAB I
PERAYAAN PENGUATAN
Kan. 880 – § 1. Sakramen penguatan diberikan dengan pengurapan krisma pada dahi, yang hendaknya dilakukan dengan penumpangan tangan serta dengan kata-kata yang diperintahkan dalam buku-buku liturgi yang telah disetujui.
§ 2. Krisma yang dipergunakan dalam sakramen penguatan haruslah dikonsekrasi oleh Uskup, meskipun sakramen diberikan oleh seorang imam.
Kan. 881 – Sepatutnya sakramen penguatan dirayakan dalam gereja dan dalam Misa; tetapi atas alasan wajar dan masuk akal, dapat dirayakan diluar Misa dan di tempat manapun yang pantas.
BAB II
PELAYAN PENGUATAN
Kan. 882 – Pelayan biasa sakramen penguatan ialah Uskup; sakramen itu dapat juga diberikan secara sah oleh imam yang memiliki kewenangan itu berdasarkan hukum universal atau pemberian khusus dari otoritas yang berwenang.
Kan. 883 – Demi hukum sendiri memiliki kewenangan melayani penguatan:
10 dalam batas-batas wilayahnya, mereka yang dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan;
20 mengenai orang yang bersangkutan, imam yang berdasarkan jabatannya atau mandat Uskup diosesan membaptis orang setelah lewat masa kanak-kanak atau menerima orang yang telah dibaptis kedalam persekutuan penuh dengan Gereja katolik;
30 mengenai orang yang berada dalam bahaya maut, pastor paroki bahkan setiap imam.
Kan. 884 – § 1. Uskup diosesan hendaknya menerimakan sakramen penguatan secara pribadi atau mengusahakan agar diberikan oleh Uskup lain; bila kebutuhan menuntut, ia dapat memberikan kewenangan kepada seorang atau beberapa orang imam tertentu, agar menerimakan sakramen itu.
§ 2. Atas alasan yang berat, Uskup demikian pula imam, yang memiliki kuasa melayani penguatan berdasarkan hukum atau pemberian khusus dari otoritas yang berwenang, dalam masing-masing kasus dapat melibatkan imam-imam agar mereka sendiri juga melayani sakramen itu.
Kan. 885 – § 1. Uskup diosesan wajib mengusahakan agar sakramen penguatan itu diberikan kepada bawahannya yang meminta dengan baik dan masuk akal.
§ 2. Imam yang memiliki kewenangan ini harus menggunakan kewenangannya terhadap orang-orang yang dimaksudkan mendapat keuntungan dengan diberikannya kewenangan itu.
Kan. 886 – § 1. Uskup dalam keuskupannya menerimakan sakramen penguatan itu secara legitim juga kepada orang-orang beriman yang bukan bawahannya, kecuali ada larangan jelas dari Ordinaris mereka sendiri.
§ 2. Untuk memberikan penguatan secara licit di keuskupan lain, Uskup membutuhkan izin dari Uskup diosesan, sekurang-kurangnya diandaikan dengan wajar, kecuali mengenai orang-orang bawahannya sendiri.
Kan. 887 – Imam yang memiliki kewenangan melayani penguatan memberikan sakramen itu secara licit di wilayah yang ditentukan baginya kepada orang-orang luar, kecuali ada larangan dari Ordinaris mereka itu sendiri; tetapi di lain wilayah tak seorang imam pun dapat secara sah memberikannya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 883, 30.
Kan. 888 – Di wilayah di mana mereka dapat memberikan penguatan, para pelayan sakramen dapat juga melayaninya di tempat-tempat yang exempt.
BAB III
CALON PENGUATAN
Kan. 889 – § 1. Yang dapat menerima penguatan adalah semua dan hanya yang telah dibaptis serta belum pernah menerimanya.
§ 2. Diluar bahaya maut, agar seseorang dapat menerima penguatan secara licit, bila ia dapat menggunakan akal, dituntut bahwa ia diajar secukupnya, berdisposisi baik dan dapat membarui janji-janji baptis.
Kan. 890 – Umat beriman wajib menerima sakramen itu pada waktunya; para orangtua dan gembala jiwa-jiwa, terutama pastor paroki, hendaknya mengusahakan agar umat beriman diberi pengajaran dengan baik untuk menerima sakramen itu dan pada waktu yang baik datang menerimanya.
Kan. 891 – Sakramen penguatan hendaknya diberikan kepada umat beriman pada sekitar usia dapat menggunakan akal, kecuali Konferensi para Uskup telah menentukan usia lain, atau jika ada bahaya maut atau, jika menurut penilaian pelayan sakramen, ada alasan berat yang menganjurkan lain.
BAB IV
WALI PENGUATAN
Kan. 892 – Calon penguatan hendaknya sedapat mungkin didampingi oleh seorang wali-penguatan, yang bertugas mengusahakan agar yang telah menerima penguatan bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati dan dengan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang melekat pada sakramen itu.
Kan. 893 – § 1. Agar seseorang dapat mengemban tugas wali penguatan, haruslah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 874.
§ 2. Dianjurkan agar diterima sebagai wali penguatan orang yang sudah menerima tugas yang sama dalam baptis.
BAB V
PEMBUKTIAN DAN PENCATATAN PENGUATAN
YANG TELAH DIBERIKAN
Kan. 894 – Untuk membuktikan penguatan yang telah diberikan, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 876.
Kan. 895 – Nama-nama penerima penguatan, dengan menyebutkan pelayan, orangtua dan wali penguatan, tempat dan tanggal penerimaan sakramen itu, hendaknya dicatat dalam buku penguatan Kuria keuskupan atau, jika ditentukan oleh Konferensi para Uskup atau Uskup diosesan, dalam buku yang harus disimpan dalam arsip paroki; pastor paroki harus memberitahukan penguatan yang telah diberikan kepada pastor paroki tempat baptis, agar dibuat catatan dalam buku baptis, menurut norma kan. 535, § 2.
Kan. 896 – Jika pastor paroki setempat tidak hadir, hendaknya pelayan sakramen sendiri atau dengan perantaraan orang lain secepat mungkin memberitahukan penguatan yang telah diberikan itu kepada pastor paroki tempat baptis.
JUDUL III
EKARISTI MAHAKUDUS

Kan. 897 – Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan dan disantap, dan melaluinya Gereja selalu hidup dan berkembang. Kurban Ekaristi, kenangan wafat dan kebangkitan Tuhan, dimana Kurban salib diabadikan sepanjang masa, adalah puncak seluruh ibadat dan kehidupan kristiani dan sumber yang menandakan serta menghasilkan kesatuan umat Allah dan menyempurnakan pembangunan tubuh Kristus. Sedangkan sakramen-sakramen lain dan semua karya kerasulan gerejawi melekat erat dengan Ekaristi mahakudus dan diarahkan kepadanya.
Kan. 898 – Umat beriman kristiani hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besamya terhadap Ekaristi mahakudus, dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan Kurban mahaluhur itu, menerima sakramen itu dengan penuh bakti dan kerap kali, serta menyembah-sujud setinggi-tingginya; para gembala jiwa-jiwa dalam menjelaskan ajaran mengenai sakramen itu hendaknya tekun mengajarkan kewajiban itu kepada umat beriman.
BAB I
PERAYAAN EKARISTI
Kan. 899 – § 1. Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri dan Gereja; di dalamnya Kristus Tuhan, melalui pelayanan imam, mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa dengan kehadiran-Nya secara substansial dalam rupa roti dan anggur, serta memberikan diri-Nya sebagai santapan rohani kepada umat beriman yang menggabungkan diri dalam persembahan-Nya.
§ 2. Dalam Perjamuan Ekaristi umat Allah dihimpun menjadi satu, dibawah pimpinan Uskup atau pimpinan imam dibawah otoritasnya, yang bertindak selaku pribadi Kristus (personam Christi gerere), serta semua umat beriman lain yang menghadirinya, entah klerus entah awam bersama-sama mengambil bagian, masing-masing menurut caranya sendiri sesuai keberagaman tahbisan dan tugas-tugas liturgis.
§ 3. Perayaan Ekaristi hendaknya diatur sedemikian sehingga semua yang mengambil bagian memetik hasil yang berlimpah dari situ; untuk memperoleh itulah Kristus Tuhan mengadakan Kurban Ekaristi.
Artikel 1
PELAYAN EKARISTI MAHAKUDUS
Kan. 900 – § 1. Pelayan, yang selaku pribadi Kristus (in persona Christi) dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah.
§ 2. Secara licit merayakan Ekaristi imam yang tak terhalang oleh hukum kanonik, dengan tetap mengindahkan ketentuan kanon-kanon berikut.
Kan. 901 – Imam berhak penuh mengaplikasikan Misa bagi siapapun, baik yang masih hidup maupun yang meninggal.
Kan. 902 – Kecuali manfaat umat beriman kristiani menuntut atau menyarankan lain, para imam dapat melakukan konselebrasi Ekaristi, tetapi dengan tetap ada hak penuh bagi masing-masing untuk merayakan Ekaristi secara individual, namun tidak pada waktu dimana di dalam gereja atau ruang doa yang sama sedang ada konselebrasi.
Kan. 903 – Imam hendaknya diizinkan untuk merayakan meskipun ia tidak dikenal oleh rektor gereja, asalkan ia menunjukkan surat rekomendasi (celebret) dari Ordinarisnya atau Pemimpinnya, yang dibuat sekurang-kurangnya dalam tahun itu, atau asal dapat diperkira-kan dengan arif, bahwa ia tidak terhalang untuk merayakan Misa.
Kan. 904 – Para imam, dengan selalu mengingat bahwa dalam misteri Kurban Ekaristi itu karya penebusan dilaksanakan terus, hendaknya kerapkali merayakannya; bahkan sangat dianjurkan perayaan tiap hari, yang juga meskipun tidak dapat dihadiri oleh umat, merupakan tindakan Kristus dan Gereja; dalam melaksanakan itu para imam menunaikan tugasnya yang utama.
Kan. 905 – § 1. Kecuali dalam kasus dimana menurut ketentuan hukum diperbolehkan merayakan Ekaristi atau berkonselebrasi lebih dari satu kali pada hari yang sama, imam tidak boleh merayakan lebih dari satu kali sehari.
§ 2. Jika ada kekurangan imam, Ordinaris wilayah dapat mengizinkan para imam, atas alasan yang wajar, merayakan dua kali sehari, bahkan jika kebutuhan pastoral menuntutnya, juga tiga kali pada hari-hari Minggu dan pada hari-hari raya wajib.
Kan. 906 – Jika tiada alasan yang wajar dan masuk akal, imam jangan merayakan Kurban Ekaristi tanpa ikutsertanya paling tidak satu orang beriman.
Kan. 907 – Dalam perayaan Ekaristi diakon dan awam tidak boleh mengucapkan doa-doa, khususnya doa syukur agung, atau melakukan tugas-tugas yang khas bagi imam yang merayakan Ekaristi.
Kan. 908 – Imam-imam katolik dilarang merayakan Ekaristi bersama-sama dengan imam-imam atau pelayan-pelayan Gereja-gereja atau persekutuan-persekutuan gerejawi yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik.
Kan. 909 – Imam jangan lalai mempersiapkan diri semestinya untuk perayaan Kurban Ekaristi dengan doa, dan sesudahnya bersyukur kepada Allah.
Kan. 910 – § 1. Pelayan biasa komuni suci adalah Uskup, imam dan diakon.
§ 2. Pelayan luar-biasa komuni suci adalah akolit dan juga orang beriman lain yang ditugaskan sesuai ketentuan kan. 230, § 3.
Kan. 911 – § 1. Kewajiban dan hak untuk mengirim Ekaristi mahakudus sebagai Viatikum kepada orang-orang sakit dimiliki oleh pastor paroki dan para pastor-pembantu, kapelan-kapelan, serta Pemimpin komunitas dalam tarekat religius klerikal atau serikat hidup kerasulan terhadap semua yang berada di dalam rumah.
§ 2. Dalam keadaan mendesak atau atas izin yang sekurang-kurangnya diandaikan dari pastor paroki, kapelan atau Pemimpin, yang kemudian harus diberitahu, pelayanan Viatikum harus dilakukan oleh imam siapapun atau oleh pelayan komuni suci lain.
Artikel 2
PARTISIPASI DALAM EKARISTI MAHAKUDUS
Kan. 912 – Setiap orang yang telah dibaptis dan tidak dilarang oleh hukum, dapat dan harus diizinkan untuk menerima komuni suci.
Kan. 913 – § 1 – Agar Ekaristi mahakudus dapat diterimakan kepada anak-anak, dituntut bahwa mereka memiliki pemahaman cukup dan telah dipersiapkan dengan seksama, sehingga dapat memahami misteri Kristus sesuai dengan daya-tangkap mereka dan mampu menyambut Tubuh Tuhan dengan iman dan khidmat.
§ 2. Tetapi anak-anak yang berada dalam bahaya maut dapat diberi Ekaristi mahakudus, bila mereka dapat membedakan Tubuh Kristus dari makanan biasa serta menyambut komuni dengan hormat.
Kan. 914 – Terutama menjadi tugas orangtua serta mereka yang menggantikan kedudukan orangtua dan juga pastor paroki untuk mengusahakan agar anak-anak yang telah dapat menggunakan akalbudi dipersiapkan dengan semestinya dan, sesudah didahului penerimaan sakramen tobat, sesegera mungkin diberi santapan ilahi itu; juga menjadi tugas pastor paroki untuk mengawasi, jangan sampai anak-anak yang tidak dapat menggunakan akalbudi atau yang ia nilai tidak cukup dipersiapkan, maju untuk menerima komuni suci.
Kan. 915 – Jangan diizinkan menerima komuni suci mereka yang terkena ekskomunikasi dan interdik, sesudah hukuman itu dijatuhkan atau dinyatakan, serta orang lain yang berkeras hati membandel dalam dosa berat yang nyata.
Kan. 916 – Yang sadar berdosa berat, tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan, kecuali ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin.
Kan. 917 – Yang telah menyambut Ekaristi mahakudus, dapat menerimanya lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 921 § 2.
Kan. 918 – Sangat dianjurkan agar umat beriman menerima komuni suci dalam perayaan Ekaristi itu sendiri; akan tetapi mereka yang meminta atas alasan yang wajar diluar Misa hendaknya dilayani, dengan mengindahkan ritus liturgi.
Kan. 919 – § 1. Yang akan menerima Ekaristi mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
§ 2. Imam, yang pada hari yang sama merayakan Ekaristi mahakudus dua atau tiga kali, dapat makan sesuatu sebelum perayaan yang kedua atau ketiga, meskipun tidak ada tenggang-waktu satu jam.
§ 3. Mereka yang lanjut usia dan menderita sakit, dan juga mereka yang merawat, dapat menerima Ekaristi mahakudus, meskipun dalam waktu satu jam sebelumnya telah makan sesuatu.
Kan. 920 – § 1. Setiap orang beriman, sesudah menerima Ekaristi mahakudus pertama, wajib sekurang-kurangnya satu kali setahun menerima komuni suci.
§ 2. Perintah ini harus dipenuhi pada masa Paskah, kecuali karena alasan wajar dipenuhi pada lain waktu dalam tahun itu.
Kan. 921 – § 1. Umat beriman kristiani yang berada dalam bahaya maut yang timbul dari sebab apapun, hendaknya diperkuat dengan komuni suci sebagai Viatikum.
§ 2. Meskipun pada hari yang sama telah menerima komuni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut menerima komuni lagi.
§ 3. Kalau bahaya maut itu berlangsung, maka dianjurkan agar komuni suci diterimakan berkali-kali pada hari-hari yang berbeda.
Kan. 922 – Viatikum suci bagi orang sakit jangan terlalu ditunda-tunda; mereka yang bekerja dalam penggembalaan jiwa-jiwa hendaknya senantiasa waspada, agar orang-orang sakit dikuatkan dengan Viatikum itu sementara masih dalam kesadaran penuh.
Kan. 923 – Umat beriman kristiani dapat mengambil bagian pada Kurban Ekaristi dan menerima komuni suci dalam ritus katolik manapun, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 844.
Artikel 3
RITUS DAN UPACARA PERAYAAN EKARISTI
Kan. 924 – § 1. Kurban Ekaristi mahakudus harus dipersembahkan dengan roti dan anggur, yang harus dicampur sedikit air.
§ 2. Roti haruslah dibuat dari gandum murni dan baru, sehingga tidak ada bahaya pembusukan.
§ 3. Anggur haruslah alamiah dari buah anggur dan tidak busuk.
Kan. 925 – Komuni suci hendaklah diterimakan hanya dalam rupa roti atau, menurut norma hukum liturgi, dalam dua rupa; namun bila dibutuhkan, juga hanya dalam rupa anggur.
Kan. 926 – Dalam perayaan Ekaristi, sesuai tradisi Gereja Latin kuno, imam hendaknya menggunakan roti tak-beragi di mana pun ia merayakannya.
Kan. 927 – Sama sekali tidak dibenarkan (nefas est), juga dalam kebutuhan ekstrem yang mendesak, mengkonsekrasi satu bahan tanpa yang lain, atau juga mengkonsekrasi keduanya diluar perayaan Ekaristi.
Kan. 928 – Perayaan Ekaristi hendaknya dilaksanakan dalam bahasa latin atau bahasa lain, asalkan teks liturginya sudah mendapat aprobasi secara legitim.
Kan. 929 – Para imam dan diakon dalam merayakan dan melayani Ekaristi hendaknya mengenakan busana suci yang diperintahkan oleh rubrik.
Kan. 930 – § 1. Imam yang sakit atau lanjut usia, bila tidak mampu berdiri, dapat merayakan Kurban Ekaristi sambil duduk, dengan tetap mengindahkan hukum-hukum liturgi, tetapi tidak di hadapan umat, kecuali dengan izin Ordinaris wilayah.
§ 2. Imam yang buta atau menderita salah satu penyakit lain merayakan Kurban Ekaristi secara licit dengan menggunakan teks Misa manapun yang telah disetujui, jika perlu dengan didampingi oleh imam lain atau diakon, atau juga oleh seorang awam yang telah dipersiapkan dengan baik untuk membantunya.
Artikel 4
WAKTU DAN TEMPAT PERAYAAN EKARISTI
Kan. 931 – Perayaan dan pembagian Ekaristi dapat dilakukan pada hari dan jam manapun, kecuali hari-hari yang menurut norma-norma liturgi dikecualikan.
Kan. 932 – § 1. Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan di tempat suci, kecuali dalam kasus khusus kebutuhan menuntut lain; dalam hal demikian perayaan haruslah di tempat yang pantas.
§ 2. Kurban Ekaristi haruslah dilaksanakan di atas altar yang sudah dikuduskan atau diberkati; di luar tempat suci dapat digunakan meja yang cocok, dengan harus selalu ditutup kain altar dan korporal.
Kan. 933 – Atas alasan yang wajar dan dengan izin jelas dari Ordinaris wilayah, imam boleh merayakan Ekaristi di ruang ibadat suatu Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, asalkan terhindarkan sandungan.
BAB II
MENYIMPAN DAN MENGHORMATI EKARISTI KUDUS
Kan. 934 – § 1. Ekaristi mahakudus:
10 harus disimpan dalam gereja katedral atau gereja yang disamakan dengannya, dalam setiap gereja paroki, serta dalam gereja atau ruang doa yang tergabung pada rumah tarekat religius atau serikat hidup kerasulan;
20 dapat disimpan dalam kapel Uskup, dan dengan izin Ordinaris wilayah, dalam gereja-gereja, ruang doa dan kapel-kapel lain.
§ 2. Di tempat-tempat suci di mana Ekaristi mahakudus disimpan, haruslah selalu ada yang menjaganya, dan sedapat mungkin seorang imam sekurang-kurangnya dua kali sebulan merayakan Misa di situ.
Kan. 935 – Tak seorang pun diperbolehkan menyimpan Ekaristi suci di rumahnya atau membawanya dalam perjalanan, kecuali ada kebutuhan pastoral yang mendesak dan dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan Uskup diosesan.
Kan. 936 – Dalam rumah tarekat religius atau rumah kesalehan lain, Ekaristi mahakudus hendaknya disimpan hanya dalam gereja atau ruang doa utama dari rumah itu; tetapi atas alasan wajar Ordinaris dapat juga mengizinkan untuk disimpan dalam ruang doa lain dari rumah itu.
Kan. 937 – Kecuali dihalangi alasan berat, gereja di mana disimpan Ekaristi mahakudus, hendaknya terbuka bagi umat beriman sekurang-kurangnya selama beberapa jam setiap hari, agar mereka dapat meluangkan waktu untuk berdoa di hadapan Sakramen mahakudus.
Kan. 938 – § 1. Ekaristi mahakudus hendaknya secara terus-mene-rus disimpan hanya dalam satu tabernakel dari gereja atau ruang doa.
§ 2. Tabernakel, tempat Ekaristi mahakudus di simpan, hendaknya terletak pada suatu bagian gereja atau ruang doa yang mencolok, tampak, dihias pantas, layak untuk doa.
§ 3. Tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan secara terus-menerus, hendaknya bersifat tetap, terbuat dari bahan yang keras yang tak tembus pandang dan terkunci sedemikian sehingga sedapat mungkin terhindarkan dari bahaya profanasi.
§ 4. Atas alasan yang berat Ekaristi mahakudus boleh disimpan di tempat lain yang lebih aman dan pantas, terutama pada malam hari.
§ 5. Yang bertugas menjaga gereja atau ruang doa hendaknya mengusahakan agar kunci tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan, dijaga dengan sangat seksama.
Kan. 939 – Hosti yang sudah dikonsekrasi sejumlah yang mencukupi untuk kebutuhan umat beriman hendaknya disimpan dalam piksis atau sibori, dan seringkali diperbarui setelah yang lama habis disantap dengan semestinya.
Kan. 940 – Di hadapan tabernakel tempat Ekaristi mahakudus disimpan hendaknya ada lampu khusus yang tetap bernyala untuk menandakan dan menghormati kehadiran Kristus.
Kan. 941 – § 1. Dalam gereja-gereja atau ruang-ruang doa yang diperbolehkan menyimpan Ekaristi mahakudus dapat diadakan penakhtaan atau dalam piksis atau dalam monstrans, dengan mengindahkan norma-norma yang ditentukan dalam buku-buku liturgi.
§ 2. Selama perayaan Misa, dalam gereja atau ruang doa yang sama jangan diadakan penakhtaan Sakramen mahakudus.
Kan. 942 – Dianjurkan agar dalam gereja-gereja dan ruang-ruang doa itu setiap tahun diadakan penakhtaan meriah Sakramen mahakudus yang berlangsung untuk waktu yang layak, meskipun tidak terus-menerus, agar komunitas setempat merenungkan dan bersujud pada misteri Ekaristi secara lebih mendalam; tetapi penakhtaan ini hendaklah hanya dilakukan bila diperkirakan akan dikunjungi oleh umat secara layak dan dengan mengindahkan norma-norma yang ditetapkan.
Kan. 943 – Pelayan penakhtaan Sakramen mahakudus dan berkat Ekaristi adalah imam atau diakon; dalam keadaan-keadaan khusus, pelayan penakhtaan dan pengembalian saja, tetapi tanpa berkat, adalah akolit, pelayan luar-biasa komuni suci atau orang lain yang ditugaskan oleh Ordinaris wilayah, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Uskup diosesan.
Kan. 944 – § 1. Jika menurut penilaian Uskup diosesan dapat dilaksanakan, sebagai kesaksian publik penghormatan terhadap Ekaristi mahakudus, hendaklah diselenggarakan prosesi lewat jalan-jalan umum, terutama pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus.
§ 2. Uskup diosesan bertugas menetapkan peraturan-peraturan mengenai prosesi, dengannya dijamin partisipasi serta kepantasannya.
BAB III
STIPS YANG DIPERSEMBAHKAN UNTUK PERAYAAN MISA
Kan. 945 – § 1. Sesuai kebiasaan Gereja yang teruji, imam yang merayakan Misa atau berkonselebrasi boleh menerima stips yang dipersembahkan, agar mengaplikasikan Misa untuk intensi tertentu.
§ 2. Sangat dianjurkan agar para imam merayakan Misa untuk intensi umat beriman kristiani, terutama yang miskin, juga tanpa menerima stips.
Kan. 946 – Umat beriman kristiani, dengan menghaturkan stips agar Misa diaplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan persembahan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya.
Kan. 947 – Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual-beli stips Misa.
Kan. 948 – Jika untuk masing-masing intensi telah dipersembah-kan dan diterima stips, meskipun kecil, maka Misa harus diaplikasikan masing-masing untuk intensi mereka.
Kan. 949 – Yang terbebani kewajiban merayakan Misa dan mengaplikasikannya bagi intensi mereka yang telah memberikan stips, tetap terikat kewajiban itu meskipun tanpa kesalahannya stips yang telah diterima itu hilang.
Kan. 950 – Jika sejumlah uang dipersembahkan untuk aplikasi Misa tanpa disebut jumlah Misa yang harus dirayakan, jumlah ini diperhitungkan menurut ketentuan hal stips di tempat, dimana pemberi persembahan bertempat-tinggal, kecuali maksudnya harus diandaikan lain secara legitim.
Kan. 951 – § 1. Imam yang pada hari yang sama merayakan beberapa Misa, dapat mengaplikasikan setiap Misa bagi intensi untuknya stips dipersembahkan, tetapi dengan ketentuan bahwa kecuali pada hari raya Natal, hanya satu stips Misa boleh menjadi miliknya, sedangkan yang lain diperuntukkan bagi tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Ordinaris, dengan tetap diizinkan sekadar retribusi atas dasar ekstrinsik.
§ 2. Imam yang pada hari yang sama berkonselebrasi Misa kedua, tidak boleh menerima stips untuk itu atas dasar apapun.
Kan. 952 – § 1. Konsili provinsi atau pertemuan para Uskup seprovinsi berwenang menentukan lewat dekret bagi seluruh provinsi, besarnya stips yang harus dipersembahkan untuk perayaan dan aplikasi Misa, dan imam tidak boleh menuntut jumlah yang lebih besar; tetapi ia boleh menerima stips lebih besar yang dipersembahkan secara sukarela daripada yang ditetapkan untuk aplikasi Misa, juga stips yang lebih kecil.
§ 2. Jika tidak ada dekret semacam itu, hendaknya ditaati kebiasaan yang berlaku di keuskupan.
§ 3. Juga anggota-anggota tarekat religius manapun harus taat pada dekret tersebut atau kebiasaan setempat yang disebut dalam § 1 dan § 2.
Kan. 953 – Tak seorang pun boleh menerima sekian banyak stips Misa untuk diaplikasikan sendiri, yang tidak dapat ia selesaikan dalam satu tahun.
Kan. 954 – Jika dalam gereja-gereja atau ruang doa tertentu diminta merayakan Misa yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dapat dirayakan di situ, maka perayaannya boleh dilaksanakan di tempat lain, kecuali pemberi persembahan menyatakan secara jelas kehendaknya yang berlawanan.
Kan. 955 – § 1. Yang bermaksud menyerahkan kepada orang lain perayaan Misa yang harus diaplikasikan, hendaknya segera menyerahkannya kepada imam-imam yang dapat diterimanya, asal ia merasa pasti bahwa mereka itu dapat dipercaya; seluruh stips yang telah diterima harus diserahkan, kecuali nyata dengan pasti bahwa kelebihan diatas jumlah yang ditetapkan dalam keuskupan itu diberikan atas dasar pribadinya; ia juga wajib mengusahakan perayaan Misa-Misa itu sampai ia menerima kesaksian mengenai kesanggupan serta stips yang telah diterima.
§ 2. Jangka waktu Misa yang harus dirayakan mulai sejak hari imam menerima kesanggupan akan merayakannya, kecuali nyata lain.
§ 3. Yang menyerahkan kepada orang lain Misa-Misa yang harus dirayakan, hendaknya tanpa menunda menuliskan dalam buku baik Misa yang diterima maupun Misa yang diserahkan kepada orang lain, juga dicatat jumlah stipsnya.
§ 4. Setiap imam harus mencatat dengan teliti Misa yang diterima untuk dirayakan, dan yang telah dipenuhinya.
Kan. 956 – Semua dan setiap pengelola lembaga amal-saleh atau siapapun yang wajib mengusahakan perayaan Misa, entah klerus entah awam, hendaknya menyerahkan kepada Ordinarisnya beban Misa yang tidak dapat dipenuhi dalam tahun itu, menurut cara yang ditentukan oleh Ordinaris itu.
Kan. 957 – Kewajiban dan hak untuk mengawasi agar beban Misa dipenuhi, dalam gereja-gereja klerus sekular ada pada Ordinaris wilayah, dalam gereja-gereja tarekat religius atau serikat hidup kerasulan ada pada Pemimpin-pemimpin mereka.
Kan. 958 – § 1. Pastor paroki dan juga rektor gereja atau tempat saleh lain dimana biasa diterima stips Misa, hendaknya mempunyai buku khusus, dimana dicatat dengan teliti jumlah Misa yang harus dirayakan, intensi, stips yang dipersembahkan, serta perayaan yang telah dilaksanakan.
§ 2. Ordinaris wajib setiap tahun memeriksa buku-buku itu, sendiri atau melalui orang lain.
JUDUL IV
SAKRAMEN TOBAT
Kan. 959 – Dalam sakramen tobat umat beriman mengakukan dosa-dosanya kepada pelayan yang legitim, menyesalinya serta berniat untuk memperbaiki diri, lewat absolusi yang diberikan oleh pelayan itu, memperoleh ampun dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sesudah baptis, dan sekaligus diperdamaikan kembali dengan Gereja yang mereka lukai dengan berdosa.
BAB I
PERAYAAN SAKRAMEN
Kan. 960 – Pengakuan pribadi dan utuh serta absolusi merupakan cara biasa satu-satunya, dengannya orang beriman yang sadar akan dosa beratnya diperdamaikan kembali dengan Allah dan Gereja; hanya ketidakmungkinan fisik atau moril saja membebaskannya dari pengakuan semacam itu, dalam hal itu rekonsiliasi dapat diperoleh juga dengan cara-cara lain.
Kan. 961 – § 1. Absolusi tidak dapat diberikan secara umum kepada banyak peniten secara bersama-sama, tanpa didahului pengakuan pribadi, kecuali:
10 bahaya maut mengancam dan tiada waktu bagi imam atau para imam untuk mendengarkan pengakuan masing-masing peniten;
20 ada kebutuhan mendesak, yakni menilik jumlah peniten tidak dapat tersedia cukup bapa pengakuan untuk mendengarkan pengakuan masing-masing dalam waktu yang layak, sehingga peniten tanpa kesalahannya sendiri akan terpaksa lama tidak dapat menikmati rahmat sakramen serta komuni suci; tetapi kebutuhan itu tidak dianggap cukup jika tidak dapat tersedianya bapa pengakuan hanya karena kedatangan jumlah besar peniten, seperti dapat terjadi pada suatu hari pesta besar atau pada suatu peziarahan.
§ 2. Penilaian apakah terpenuhi persyaratan yang dituntut sesuai norma § 1, 20 ada pada Uskup diosesan, yang dapat menentukan kasus kebutuhan semacam itu dengan mempertimbangkan kriteria yang disepakati anggota-anggota Konferensi para Uskup.
Kan. 962 – § 1. Agar seorang beriman kristiani dapat dengan sah menikmati absolusi sakramental yang diberikan secara bersama, dituntut bukan hanya bahwa ia berdisposisi baik, melainkan juga bahwa ia berniat untuk mengakukan dosa-dosa berat satu per satu pada saatnya yang tepat, yang sekarang ini tidak dapat dilakukannya.
§ 2. Umat beriman kristiani, sedapat mungkin juga pada kesempatan menerima absolusi umum, hendaknya diberitahu tentang tuntutan-tuntutan menurut norma § 1, dan sebelum absolusi umum, juga dalam kasus bahaya maut, bila ada waktu, hendaknya didahului ajakan agar masing-masing membangkitkan penyesalan.
Kan. 963 – Dengan tetap berlaku kewajiban yang disebut kan. 989, seseorang yang dosa-dosa beratnya diampuni dengan absolusi umum, hendaknya datang mengaku secara pribadi sesegera mungkin jika ada kesempatan, sebelum menerima absolusi umum lagi, kecuali terdapat alasan yang wajar.
Kan. 964 – § 1. Tempat semestinya untuk menerima pengakuan sakramental adalah gereja atau ruang doa.
§ 2. Mengenai tempat pengakuan, hendaknya dibuat pedoman-pedoman oleh Konferensi para Uskup, tetapi dengan tetap dijaga supaya tempat pengakuan selalu diadakan di tempat terbuka, dilengkapi dengan penyekat yang kokoh antara peniten dan bapa pengakuan; tempat itu dapat digunakan dengan bebas oleh umat beriman, jika mereka menghendakinya.
§ 3. Jangan menerima pengakuan di luar tempat pengakuan, kecuali atas alasan yang wajar.
BAB II
PELAYAN SAKRAMEN TOBAT
Kan. 965 – Pelayan sakramen tobat hanyalah imam.
Kan. 966 – § 1. Untuk sahnya absolusi dosa dituntut bahwa pelayan memiliki, disamping kuasa tahbisan, juga kewenangan melaksanakan kuasa itu terhadap umat beriman yang diberi absolusi.
§ 2. Kewenangan itu dapat dimiliki oleh imam, entah berdasarkan hukum entah berdasarkan pemberian oleh otoritas yang berwenang, sesuai dengan norma kan. 969.
Kan. 967 – § 1. Selain Paus, para Kardinal memiliki dari hukum sendiri kewenangan menerima pengakuan umat beriman kristiani di mana pun di seluruh dunia; demikian pula para Uskup dapat menggunakannya secara licit di mana pun, kecuali Uskup diosesan dalam kasus tertentu melarangnya.
§ 2. Yang secara tetap memiliki kewenangan menerima pengakuan, entah berdasarkan jabatan entah berdasarkan pemberian oleh Ordinaris wilayah dari tempat mereka diinkardinasi atau tempat mereka mempunyai domisili, dapat melaksanakan kuasa itu di mana pun, kecuali Ordinaris wilayah dalam kasus tertentu melarangnya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 974, § 2 dan § 3.
§ 3. Mereka yang demi jabatan atau dari pemberian oleh Pemimpin yang berwenang menurut norma kan. 968, § 2 dan kan. 969, § 2 memiliki kewenangan menerima pengakuan, dari hukum sendiri memiliki kewenangan yang sama di mana pun terhadap para anggota atau orang-orang lain yang siang-malam berdiam di rumah tarekat atau serikat; dan mereka ini mempergunakan kewenangannya secara licit, kecuali seorang Pemimpin tinggi melarangnya mengenai bawahan-bawahannya sendiri dalam kasus tertentu.
Kan. 968 – § 1. Yang berdasarkan jabatan memiliki kewenangan menerima pengakuan dari bawahan masing-masing adalah Ordinaris wilayah, kanonik penitensiaris, serta pastor paroki dan lain-lain yang menggantikan pastor paroki.
§ 2. Berdasarkan jabatan memiliki kewenangan menerima pengakuan bawahan-bawahannya serta orang-orang lain yang tinggal siang-malam di rumah adalah para Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika tarekat itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, yang menurut norma konstitusi memiliki kuasa kepemimpinan eksekutif, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 630, § 4.
Kan. 969 – § 1. Hanya Ordinaris wilayah berwenang memberikan kewenangan menerima pengakuan umat beriman manapun kepada imam-imam siapapun; akan tetapi para imam yang menjadi anggota dari tarekat-tarekat religius jangan menggunakan kewenangan itu tanpa izin yang sekurang-kurangnya diandaikan dari Pemimpinnya.
§ 2. Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan yang disebut dalam kan. 968, § 2, berwenang memberikan kepada imam-imam siapapun kewenangan menerima pengakuan bawahan-bawahannya dan juga orang-orang lain yang siang-malam tinggal dalam rumah itu.
Kan. 970 – Kewenangan menerima pengakuan jangan diberikan kecuali kepada para imam yang terbukti cakap melalui ujian, atau yang kecakapannya telah nyata dari cara lain.
Kan. 971 – Ordinaris wilayah jangan memberikan kewenangan menerima pengakuan secara tetap kepada seorang imam, meskipun ia memiliki domisili atau kuasi-domisili di wilayahnya, kecuali terlebih dahulu meminta pendapat Ordinaris dari imam tersebut, sejauh mungkin.
Kan. 972 – Kewenangan menerima pengakuan dapat diberikan oleh otoritas yang berwenang yang disebut dalam kan. 969, untuk waktu yang tak ditentukan atau untuk waktu yang ditentukan.
Kan. 973 – Kewenangan menerima pengakuan secara tetap hendaknya diberikan secara tertulis.
Kan. 974 – § 1. Ordinaris wilayah, dan juga Pemimpin yang berwenang, janganlah menarik kembali kewenangan menerima pengakuan yang telah diberikan secara tetap kecuali atas alasan yang berat.
§ 2. Jika kewenangan menerima pengakuan ditarik kembali oleh Ordinaris wilayah yang memberinya, menurut kan. 967, § 2, imam tersebut kehilangan kewenangan itu di mana pun; jika kewenangan itu dicabut oleh Ordinaris wilayah lain, ia kehilangan kewenangan itu hanya di wilayah Ordinaris yang mencabutnya itu.
§ 3. Ordinaris wilayah manapun yang mencabut kewenangan seorang imam untuk menerima pengakuan, hendaknya memberitahukan kepada Ordinaris yang atas dasar inkardinasi adalah Ordinaris dari imam itu, atau jika mengenai seorang anggota religius, kepada Pemimpinnya yang berwenang.
§ 4. Jika kewenangan menerima pengakuan dicabut oleh Pemimpin tingginya sendiri, imam itu kehilangan kewenangan menerima pengakuan di mana pun terhadap anggota-anggota dari tarekat itu; tetapi bila kewenangan itu dicabut oleh Pemimpin lain yang berwenang, ia kehilangan kewenangan tersebut hanya terhadap mereka yang menjadi bawahan Pemimpin itu.
Kan. 975 – Selain oleh pencabutan, kewenangan yang disebut dalam kan. 967, § 2 terhenti karena kehilangan jabatan, atau ekskardinasi, atau karena kehilangan domisili.
Kan. 976 – Imam manapun, meski tidak memiliki kewenangan menerima pengakuan, dapat memberi absolusi secara sah dan licit peniten manapun yang berada dalam bahaya maut dari segala censura dan dosa, meskipun hadir juga seorang imam lain yang memiliki kewenangan.
Kan. 977 – Absolusi terhadap rekan-berdosa (absolutio complicis) dalam dosa melawan perintah keenam Dekalog adalah tidak sah, kecuali dalam bahaya maut.
Kan. 978 – § 1. Hendaknya imam ingat bahwa dalam mendengarkan pengakuan ia bertindak sebagai hakim dan sekaligus tabib, pelayan keadilan dan serentak belaskasih ilahi, yang diangkat oleh Allah untuk mengabdi kehormatan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.
§ 2. Bapa pengakuan, selaku pelayan Gereja, dalam menerimakan sakramen hendaknya dengan setia mengikuti ajaran Magisterium serta norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.
Kan. 979 – Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan hendaknya imam bertindak dengan arif dan hati-hati, dengan memperhatikan keadaan serta usia peniten, dan hendaknya menahan diri untuk menanyakan nama rekan-berdosanya.
Kan. 980 – Jika bapa pengakuan tidak ragu-ragu mengenai disposisi peniten, sedangkan peniten minta absolusi, janganlah absolusi ditolak atau ditunda.
Kan. 981 – Bapa pengakuan hendaknya memberikan penitensi yang bermanfaat dan patut, sesuai dengan kualitas dan jumlah dosa, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan peniten; dan peniten sendiri wajib memenuhi penitensi itu.
Kan. 982 – Yang mengaku bahwa ia telah melaporkan secara palsu seorang bapa pengakuan yang tak bersalah kepada otoritas gerejawi mengenai kejahatan solisitasi untuk berdosa melawan perintah keenam Dekalog, janganlah diberi absolusi, kecuali terlebih dahulu secara resmi ia mencabut laporannya yang palsu dan bersedia memperbaiki kerugian yang ditimbulkannya, bila ada.
Kan. 983 – § 1. Rahasia sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain serta atas dasar apapun mengkhianati peniten sekecil apapun.
§ 2. Terikat kewajiban menyimpan rahasia itu juga penerjemah, jika ada, serta semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari pengakuan.
Kan. 984 – § 1. Bapa pengakuan sama sekali dilarang mengguna-kan pengetahuan yang didapatnya dari pengakuan yang memberatkan peniten, juga meskipun sama sekali tidak ada bahaya membocorkan rahasia.
§ 2. Yang memegang otoritas sama sekali tidak dapat menggunakan pengetahuan yang didapatnya tentang dosa-dosa dalam pengakuan untuk kepemimpinan luar.
Kan. 985 – Pembimbing novis dan pembantunya, rektor seminari atau lembaga pendidikan lain hendaknya jangan mendengar pengakuan sakramental para anak didik yang berdiam bersamanya dalam rumah yang sama, kecuali mereka itu dari kehendaknya sendiri memintanya dalam kasus-kasus khusus.
Kan. 986 – § 1. Setiap orang yang berdasarkan tugasnya diserahi reksa jiwa-jiwa, wajib mengusahakan agar dilayani pengakuan umat beriman yang dipercayakan kepada dirinya, jika mereka memintanya dengan wajar, serta agar diberikan kesempatan kepada mereka untuk datang mengaku secara pribadi, pada hari-hari serta jam-jam yang ditentukan demi kemudahan mereka.
§ 2. Dalam kebutuhan mendesak setiap bapa pengakuan wajib menerima pengakuan umat beriman kristiani, dan dalam bahaya maut setiap imam mempunyai kewajiban itu.
BAB III
PENITEN
Kan. 987 – Orang beriman kristiani, agar dapat menikmati bantuan (remedium) yang membawa keselamatan dari sakramen tobat, haruslah bersikap sedemikian sehingga dengan menyesali dosa yang telah ia lakukan dan berniat untuk memperbaiki diri, bertobat kembali kepada Allah.
Kan. 988 – § 1. Orang beriman kristiani wajib mengakukan semua dosa berat menurut jenis dan jumlahnya, yang dilakukan sesudah baptis dan belum secara langsung diampuni melalui kuasa kunci Gereja, serta belum diakukan dalam pengakuan pribadi, dan yang disadarinya setelah meneliti diri secara seksama.
§ 2. Dianjurkan kepada umat beriman kristiani agar juga mengakukan dosa-dosa ringan.
Kan. 989 – Setiap orang beriman, sesudah sampai pada usia dapat membuat diskresi, wajib dengan setia mengakukan dosa-dosa beratnya, sekurang-kurangnya sekali setahun.
Kan. 990 – Tak seorang pun dilarang mengaku dosa lewat penerjemah, dengan menghindari penyalahgunaan dan sandungan, serta dengan tetap berlaku ketentuan kan. 983, § 2.
Kan. 991 – Setiap orang beriman kristiani berhak penuh untuk mengakukan dosa-dosanya kepada bapa pengakuan yang dipilihnya, yakni yang telah disetujui secara legitim, meskipun dari ritus lain.
BAB IV
INDULGENSI
Kan. 992 – Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus.
Kan. 993 – Indulgensi bersifat sebagian atau penuh, tergantung apakah membebaskan sebagian atau seluruh hukuman sementara yang diakibatkan dosa.
Kan. 994 – Setiap orang beriman dapat memperoleh indulgensi, entah sebagian entah penuh, bagi diri sendiri atau menerapkannya sebagai permohonan bagi orang-orang yang telah meninggal.
Kan. 995 – § 1. Selain otoritas tertinggi Gereja, orang-orang yang dapat memberi indulgensi hanyalah mereka yang diakui memiliki kuasa itu oleh hukum atau yang diberi oleh Paus.
§ 2. Tak satu otoritas pun di bawah Paus dapat menyerahkan kuasa untuk memberi indulgensi kepada orang lain, kecuali hal itu secara jelas dianugerahkan oleh Takhta Apostolik.
Kan. 996 – § 1. Agar seseorang mampu memperoleh indulgensi haruslah ia sudah dibaptis, tidak terkena ekskomunikasi, dalam keadaan rahmat sekurang-kurangnya pada akhir perbuatan-perbuatan yang diperintahkan.
§ 2. Namun agar orang yang mampu itu memperolehnya, haruslah ia sekurang-kurangnya mempunyai intensi untuk memperolehnya dan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan, pada waktu yang ditentukan dan dengan cara yang semestinya, menurut petunjuk pemberian itu.
Kan. 997 – Mengenai pemberian dan penggunaan indulgensi ini haruslah disamping itu dipatuhi ketentuan-ketentuan lain yang tercantum dalam peraturan-peraturan Gereja yang khusus.
JUDUL V
SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 998 – Pengurapan orang sakit, dengannya Gereja menyerah-kan kepada Tuhan yang menderita dan dimuliakan umat beriman yang sakit berbahaya, agar Ia meringankan dan menyelamatkan mereka, diberikan dengan mengurapkan minyak kepada mereka serta mengucapkan kata-kata yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi.
BAB I
PERAYAAN SAKRAMEN
Kan. 999 – Selain oleh Uskup, minyak yang dipergunakan dalam pengurapan orang sakit dapat diberkati oleh:
10 yang dalam hukum disamakan dengan Uskup diosesan;
20 dalam keadaan terpaksa, imam manapun tetapi dalam perayaan sakramen itu sendiri.
Kan. 1000 – § 1. Pengurapan hendaknya dilaksanakan secara teliti dengan kata-kata, urutan dan cara yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi; tetapi dalam keadaan terpaksa, cukuplah satu pengurapan pada dahi atau juga pada bagian lain dari tubuh, dengan mengucapkan rumus secara utuh.
§ 2. Pengurapan hendaknya dilakukan oleh pelayan dengan tangannya sendiri, kecuali alasan berat menganjurkan penggunaan suatu alat.
Kan. 1001 – Para gembala jiwa-jiwa dan orang-orang yang dekat dengan yang sakit hendaknya mengusahakan agar mereka yang sakit pada waktu yang tepat diringankan dengan sakramen ini.
Kan. 1002 – Perayaan bersama pengurapan orang-orang sakit, yakni untuk beberapa orang sakit bersama, yang telah dipersiapkan dan berdisposisi baik, dapat dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Uskup diosesan.
BAB II
PELAYAN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 1003 – § 1. Setiap imam dan hanya imam dapat melayani pengurapan orang sakit secara sah.
§ 2. Kewajiban dan hak melayani pengurapan orang sakit dimiliki oleh semua imam, yang ditugaskan untuk penggembalaan jiwa-jiwa, terhadap umat beriman yang diserahkan pada tugas pastoralnya; atas alasan yang masuk akal, setiap imam lain manapun dapat melayani sakramen itu dengan persetujuan yang sekurang-kurangnya diandaikan dari imam yang disebut diatas.
§ 3. Setiap imam manapun boleh membawa minyak yang diberkati, agar dalam keadaan mendesak dapat melayani sakramen pengurapan orang sakit.
BAB III
ORANG-ORANG YANG HARUS DIBERI
PENGURAPAN ORANG SAKIT
Kan. 1004 – § 1. Pengurapan orang sakit dapat diberikan kepada orang beriman yang telah dapat menggunakan akal-budi, yang mulai berada dalam bahaya karena sakit atau usia lanjut.
§ 2. Sakramen itu dapat diulangi, jika si sakit, setelah sembuh, jatuh sakit berat lagi, atau jika masih dalam keadaan sakit yang sama, bahayanya menjadi semakin gawat.
Kan. 1005 – Dalam keraguan apakah si sakit sudah dapat menggunakan akal-budi, atau apakah sakitnya membahayakan, atau apakah sudah mati, hendaknya sakramen itu diberikan.
Kan. 1006 – Kepada orang-orang sakit, yang sewaktu masih sadar diri memintanya sekurang-kurangnya secara implisit, hendaknya sakramen itu diberikan.
Kan. 1007 – Pengurapan orang sakit hendaknya jangan diberikan kepada mereka, yang membandel dalam dosa berat yang nyata.
JUDUL VI
TAHBISAN
Kan. 1008 – Dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.
Kan. 1009 – § 1. Tahbisan-tahbisan adalah episkopat, presbiterat dan diakonat.
§ 2. Tahbisan-tahbisan diberikan dengan penumpangan tangan dan doa tahbisan, yang ditetapkan dalarn buku-buku liturgi untuk masing-masing tingkat.
BAB I
PERAYAAN PENAHBISAN DAN PELAYANNYA
Kan. 1010 – Penahbisan hendaknya dirayakan dalam Misa meriah, pada hari Minggu atau hari raya wajib, tetapi atas alasan pastoral juga dapat dilaksanakan pada hari-hari lain, tak terkecuali hari-hari biasa.
Kan. 1011 – § 1. Penahbisan pada umumnya hendaknya dirayakan di gereja katedral; tetapi atas alasan-alasan pastoral dapat juga dirayakan di gereja atau ruang doa lain.
§ 2. Pada penahbisan itu haruslah diundang para klerikus dan umat beriman kristiani lain, agar perayaan itu dihadiri oleh sebanyak mungkin orang.
Kan. 1012 – Pelayan penahbisan suci ialah Uskup yang telah ditahbiskan.
Kan. 1013 – Tiada seorang Uskup pun boleh menahbiskan (consecrare) seseorang menjadi Uskup, kecuali sebelumnya nyata adanya mandat kepausan.
Kan. 1014 – Kecuali ada dispensasi dari Takhta Apostolik, Uskup penahbis utama dalam penahbisan Uskup hendaknya dibantu oleh sekurang-kurangnya dua Uskup penahbis; tetapi sangat layak bahwa bersama mereka semua Uskup yang hadir ikut menahbiskan Uskup terpilih.
Kan. 1015 – § 1. Setiap calon untuk presbiterat dan diakonat hendaknya ditahbiskan oleh Uskupnya sendiri atau dengan surat dimisoria yang legitim darinya.
§ 2. Uskupnya sendiri tersebut, jika tidak terhalang secara wajar, hendaklah menahbiskan sendiri orang-orang bawahannya; tetapi ia tidak dapat secara licit menahbiskan bawahannya dari ritus timur, tanpa indult apostolik.
§ 3. Yang dapat memberi surat dimisoria untuk menerima tahbisan, dapat pula secara pribadi memberikan tahbisan itu, jika ia memiliki meterai Uskup.
Kan. 1016 – Dalam hal penahbisan diakonat, Uskupnya sendiri bagi mereka yang mau masuk klerus sekular ialah Uskup keuskupan dimana calon memiliki domisili, atau Uskup keuskupan dimana calon berketetapan untuk mengabdikan diri; dalam hal penahbisan presbiterat, Uskupnya sendiri bagi klerus sekular ialah Uskup keuskupan dimana calon telah diinkardinasi melalui diakonat.
Kan. 1017 – Uskup, di luar wilayah kewenangannya, hanya dapat memberikan tahbisan dengan izin Uskup diosesan.
Kan. 1018 – § 1. Yang dapat memberikan surat dimisoria bagi para calon sekular ialah:
10 Uskupnya sendiri, sebagaimana disebut dalam kan. 1016;
20 Administrator apostolik, dan juga Administrator diosesan dengan persetujuan kolegium konsultor; Pro-vikaris dan Pro-prefek apostolik dengan persetujuan dewan yang disebut dalam kan. 495, § 2.
§ 2. Administrator diosesan, Pro-vikaris dan Pro-prefek apostolik jangan memberikan surat dimisoria bagi mereka yang telah ditolak untuk maju ke tahbisan oleh Uskup diosesan, atau oleh Vikaris maupun Prefek apostolik.
Kan. 1019 – § 1. Pemimpin tinggi tarekat religius klerikal bertingkat kepausan atau serikat klerikal hidup kerasulan bertingkat kepausan berwenang memberikan surat dimisoria untuk tahbisan diakonat dan presbiterat kepada bawahan-bawahannya yang menurut konstitusi telah diterima secara kekal atau definitif pada tarekat atau serikat itu.
§ 2. Penahbisan semua calon lain dari tarekat atau serikat apapun diatur oleh hukum yang berlaku bagi klerus sekular, dengan dicabut kembali indult manapun yang telah diberikan kepada para Pemimpin.
Kan. 1020 – Jangan diberikan surat dimisoria jika belum diperoleh semua kesaksian serta dokumen-dokumen, yang dituntut oleh hukum menurut norma kan. 1050 dan 1051.
Kan. 1021 – Surat dimisoria dapat dikirimkan kepada Uskup manapun yang memiliki kesatuan dengan Takhta Apostolik, terkecuali hanya kepada Uskup yang berlainan ritus dari ritus si calon, tanpa indult apostolik.
Kan. 1022 – Uskup penahbis, setelah menerima surat dimisoria yang legitim, jangan melangkah lebih lanjut ke penahbisan jika tidak terbukti dengan jelas keaslian surat itu.
Kan. 1023 – Surat dimisoria dapat diberi pembatasan-pembatasan atau dicabut kembali oleh si pemberi atau penggantinya, tetapi sekali diberikan tetap berlaku meskipun hak si pemberi telah terhenti.
BAB II
CALON-CALON TAHBISAN
Kan. 1024 – Hanya pria yang telah dibaptis dapat menerima penahbisan suci secara sah.
Kan. 1025 – § 1. Agar tahbisan presbiterat atau diakonat dapat diberikan secara licit, dituntut bahwa calon, setelah menjalani masa probasi menurut norma hukum, memiliki kualitas-kualitas yang semestinya, menurut penilaian Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, tidak terkena suatu irregularitas dan halangan, dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai norma kan. 1033-1039; selain itu ada dokumen-dokumen yang disebut dalam kan. 1050 dan telah dilakukan penyelidikan yang disebut dalam kan. 1051.
§ 2. Selain itu dituntut agar, menurut penilaian Pemimpin yang berwenang tersebut, ia dinilai bermanfaat bagi pelayanan Gereja.
§ 3. Uskup yang menahbiskan bawahannya sendiri, yang diperuntukkan bagi pelayanan keuskupan lain, harus pasti bahwa calon tahbisan itu akan digabungkan dalam keuskupan itu.
Artikel 1
TUNTUTAN-TUNTUTAN DALAM DIRI CALON TAHBISAN
Kan. 1026 – Untuk ditahbiskan, seseorang harus mempunyai kebebasan yang semestinya; sama sekali tidak dibenarkan memaksa seseorang dengan cara apapun dan atas alasan apapun untuk menerima tahbisan, atau menolak calon yang secara kanonik cakap untuk menerima tahbisan itu.
Kan. 1027 – Para calon diakonat dan presbiterat hendaknya dibina dengan persiapan yang seksama, menurut norma hukum.
Kan. 1028 – Uskup diosesan atau Pemimpin yang berwenang hendaknya mengusahakan agar para calon, sebelum diajukan untuk suatu tahbisan, diajar dengan baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tahbisan itu serta kewajiban-kewajibannya.
Kan. 1029 – Untuk tahbisan-tahbisan itu hendaknya hanya diajukan calon-calon yang menurut penilaian arif Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, memiliki iman yang utuh, terdorong oleh maksud yang benar, mempunyai pengetahuan yang semestinya, mempunyai nama baik, integritas moral serta dilengkapi dengan keutamaan-keutamaan yang teruji dan kualitas lain, baik fisik maupun psikis, yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya.
Kan. 1030 – Hanya atas suatu alasan kanonik, meskipun bersifat tersembunyi, Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang dapat melarang para diakon bawahannya yang diperuntukkan bagi presbiterat, untuk maju ke presbiterat, dengan tetap ada kesempatan rekursus menurut norma hukum.
Kan. 1031 – § 1. Presbiterat jangan diberikan kecuali kepada mereka yang telah mencapai umur genap duapuluh lima tahun dan cukup matang, disamping telah terpenuhi tenggang waktu sekurang-kurangnya enam bulan antara diakonat dan presbiterat; yang diperuntukkan bagi presbiterat hendaknya hanya diizinkan menerima tahbisan diakonat setelah berumur genap dua puluh tiga tahun.
§ 2. Calon diakonat permanen yang tidak beristri jangan diizinkan menerima tahbisan itu sebelum berumur sekurang-kurangnya genap duapuluh lima tahun; diakon yang beristri, hanya sesudah berumur sekurang-kurangnya genap tigapuluh lima tahun, serta dengan persetujuan istrinya.
§ 3. Konferensi para Uskup berhak penuh menentukan norma yang menuntut umur lebih tinggi bagi presbiterat dan diakonat permanen.
§ 4. Dispensasi melebihi satu tahun atas umur yang ditentukan sesuai norma § 1 dan § 2 direservasi bagi Takhta Apostolik.
Kan. 1032 – § 1. Calon presbiterat dapat diajukan untuk diakonat hanya setelah selesai mengikuti kurikulum studi filsafat-teologi tahun kelima.
§ 2. Sesudah selesai mengikuti kurikulum studi, diakon hendaknya ambil bagian dalam reksa pastoral sambil melaksanakan tahbisan diakonatnya selama waktu yang layak, yang harus ditetapkan oleh Uskup atau oleh Pemimpin tinggi yang berwenang, sebelum diajukan untuk tahbisan presbiterat.
§ 3. Calon diakonat permanen jangan diajukan untuk menerima itu jika belum menyelesaikan masa pembinaannya.
Artikel 2
SYARAT-SYARAT UNTUK PENAHBISAN
Kan. 1033 – Hanya orang yang telah menerima sakramen penguatan suci dapat secara licit diajukan untuk tahbisan.
Kan. 1034 – § 1. Calon untuk diakonat atau presbiterat janganlah ditahbiskan jika belum terdaftar di antara para calon dengan suatu ritus liturgis penerimaan oleh otoritas yang disebut dalam kan. 1016 dan 1019, sesudah yang bersangkutan mengajukan permohonan yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanganinya, dan yang telah diterima secara tertulis oleh otoritas itu juga.
§ 2. Tidak diwajibkan untuk memperoleh penerimaan itu, mereka yang tergabung dalam tarekat klerikal dengan kaul.
Kan. 1035 – § 1. Sebelum seseorang diajukan untuk diakonat, baik yang permanen maupun sementara, dituntut bahwa ia telah menerima pelantikan lektor dan akolit, serta telah melaksanakannya selama waktu yang layak.
§ 2. Antara pelantikan akolit dan tahbisan diakonat hendaknya ada tenggang waktu sekurang-kurangnya enam bulan.
Kan. 1036 – Agar calon dapat diajukan untuk tahbisan diakonat atau presbiterat, hendaknya ia menyerahkan kepada Uskupnya sendiri atau kepada Pemimpin tinggi yang berwenang pernyataan yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanganinya, bahwa ia secara sukarela dan secara bebas akan menerima tahbisan suci serta akan menyerahkan diri bagi pelayanan gerejawi untuk selamanya, sambil sekaligus meminta agar ia diizinkan untuk menerima tahbisan.
Kan. 1037 – Calon untuk diakonat permanen yang tidak beristri, demikian pula calon untuk tahbisan presbiterat, jangan diizinkan untuk menerima tahbisan diakonat, kecuali secara publik di hadapan Allah dan Gereja menurut upacara yang sudah ditetapkan, telah menerima kewajiban selibat, atau sudah mengucapkan kaul kekal dalam tarekat religius.
Kan. 1038 – Diakon yang menolak untuk diajukan ke presbiterat tidak dapat dihalangi untuk melaksanakan tahbisan yang telah diterimanya, kecuali terdapat suatu halangan kanonik atau alasan berat lain, yang harus dipertimbangkan menurut penilaian Uskup diosesan atau Pemimpin tinggi yang berwenang.
Kan. 1039 – Semua yang hendak menerima suatu tahbisan, hendaknya melakukan retret selama sekurang-kurangnya lima hari, di tempat dan dengan cara yang ditentukan oleh Ordinaris; Uskup, sebelum melangkah ke penahbisan, sudah diberitahu bahwa para calon telah melakukan retret itu dengan baik.
Artikel 3
IRREGULARITAS DAN HALANGAN-HALANGAN LAIN
Kan. 1040 – Hendaknya ditolak dari tahbisan mereka yang terkena oleh suatu halangan, baik yang bersifat tetap yang disebut irregularitas, maupun yang sederhana; tetapi tak satu halangan pun dikenakan, kecuali yang tercantum dalam kanon-kanon berikut ini.
Kan. 1041 – Irregular untuk menerima tahbisan adalah:
10 yang menderita suatu bentuk kegilaan atau penyakit psikis lain, yang sesudah berkonsultasi dengan para ahli, dinilai tidak mampu untuk melaksanakan pelayanan dengan baik;
20 yang telah melakukan tindak-pidana (delictum) kemurtadan, bidaah atau skisma;
30 yang telah mencoba menikah, juga secara sipil saja, entah karena ia sendiri terhalang untuk melangsungkan nikah karena ikatan perkawinan atau tahbisan suci atau kaul publik kekal kemurnian, entah menikah secara tidak sah dengan wanita yang terikat perkawinan sah atau terikat kaul yang sama;
40 yang telah melakukan pembunuhan secara sengaja atau mengusahakan pengguguran kandungan, dan berhasil, dan semua yang bekerja sama secara positif;
50 yang telah melakukan mutilasi secara berat dan dengan maksud jahat pada diri sendiri atau orang lain, atau telah mencoba bunuh diri;
60 yang telah melakukan suatu perbuatan tahbisan yang dikhususkan bagi mereka yang telah mendapat tahbisan Uskup atau imam, atau yang tidak memilikinya, atau dilarang melak-sanakannya karena hukuman kanonik yang telah dinyatakan atau dijatuhkan.
Kan. 1042 – Terhalang secara sederhana untuk menerima tahbisan adalah:
10 laki-laki yang masih mempunyai istri, kecuali secara legitim diperuntukkan bagi diakonat permanen;
20 yang melaksanakan jabatan atau administrasi yang menurut norma kan. 285 dan 286 dilarang bagi klerikus dan masih harus dipertanggungjawabkan, sampai ia menjadi bebas setelah melepaskan jabatan dan administrasi itu serta memberikan pertanggungjawaban;
30 baptisan baru, kecuali menurut penilaian Ordinaris sudah cukup teruji.
Kan. 1043 – Umat beriman kristiani berkewajiban melaporkan halangan-halangan untuk tahbisan suci, jika mengetahuinya, kepada Ordinaris atau pastor paroki sebelum penahbisan.
Kan. 1044 – § 1. Irregular untuk melaksanakan tahbisan-tahbisan yang telah diterimanya:
10 yang meskipun terkena oleh irregularitas untuk menerima tahbisan, menerimanya secara illegitim;
20 yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam kan.1041, 20, jika tindak pidana itu publik;
30 yang melakukan tindak pidana yang disebut dalam kan. 1041, 30, 40, 50, 60.
§ 2. Terhalang untuk melaksanakan tahbisan:
10 yang meskipun terkena halangan untuk menerima tahbisan, menerimanya secara illegitim;
20 yang menderita kegilaan atau penyakit psikis lain yang disebut dalam kan. 1041, 10, sampai Ordinaris mengizinkan pelaksana-an tahbisan itu, sesudah berkonsultasi dengan seorang ahli.
Kan. 1045 – Ketidaktahuan akan irregularitas dan halangan tidak membebaskan dari padanya.
Kan. 1046 – Irregularitas dan halangan menjadi berlipat-ganda dari sebab-sebabnya yang berbagai macam, tetapi tidak oleh sebab sama yang berulang-ulang, kecuali mengenai irregularitas yang timbul dari pembunuhan sengaja atau dari pengguguran terencana jika berhasil.
Kan. 1047 – § 1. Dispensasi dari segala irregularitas direservasi hanya bagi Takhta Apostolik, jika fakta yang menjadi dasar irregularitas itu telah dibawa ke forum pengadilan.
§ 2. Bagi Takhta Apostolik itu juga direservasi dispensasi dari irregularitas dan halangan untuk menerima tahbisan berikut ini:
10 irregularitas dari tindak pidana publik yang disebut dalam kan. 1041, 20 dan 30;
20 irregularitas dari tindak pidana, baik publik maupun tersembunyi, yang disebut dalam kan. 1041, 40;
30 dari halangan yang disebut dalam kan. 1042, 10.
§ 3. Bagi Takhta Apostolik juga direservasi dispensasi dari irregularitas untuk melaksanakan tahbisan yang telah diterima, yang disebut dalam kan. 1041, 30, hanya dalam kasus-kasus publik; dan dalam kanon yang sama 40, juga dalam kasus-kasus tersembunyi.
§ 4. Dari irregularitas dan halangan yang tidak direservasi bagi Takhta Suci, Ordinaris dapat membebaskannya.
Kan. 1048 – Dalam kasus-kasus mendesak yang tersembunyi, jika Ordinaris tak dapat dihubungi, atau jika mengenai irregularitas yang dibicarakan dalam kan. 1041, 30 dan 40 Penitensiaria tidak dapat dihubungi, dan ada bahaya kerugian berat atau bahaya bagi nama baik, orang yang terhalang untuk melakukan tahbisan suci karena irregularitas, dapat melakukannya, tetapi dengan tetap ada kewajiban untuk secepat mungkin menghubungi Ordinaris atau Penitensiaria, dengan merahasiakan nama dan lewat bapa pengakuan.
Kan. 1049 – § 1. Dalam permohonan untuk memperoleh dispensasi dari irregularitas dan halangan-halangan, semua irregularitas dan halangan-halangan harus disebut, tetapi dispensasi umum berlaku juga untuk yang tak dikatakan dengan itikad baik, kecuali irregularitas yang disebut dalam kan. 1041, 40, serta lain-lain yang telah diajukan ke pengadilan; namun tidak berlaku bagi irregularitas yang tidak dikatakan dengan itikad buruk.
§ 2. Jika mengenai irregularitas yang timbul dari pembunuhan yang disengaja atau pengguguran kandungan yang disengaja, juga jumlah tindak pidana harus ditegaskan demi sahnya dispensasi.
§ 3. Dispensasi umum dari irregularitas serta halangan untuk menerima tahbisan berlaku bagi semua tahbisan.
Artikel 4
DOKUMEN-DOKUMEN YANG DITUNTUT DAN PENYELIDIKAN
Kan. 1050 – Agar seseorang dapat diajukan untuk menerima tahbisan suci dituntut dokumen-dokumen sebagai berikut:
l0 surat keterangan mengenai studi yang telah ditempuh dengan baik menurut norma kan. 1032;
20 jika mengenai calon tahbisan presbiterat, surat keterangan mengenai tahbisan diakonat yang telah diterimanya;
30 jika mengenai calon tahbisan diakon, surat keterangan baptis dan penguatan, serta telah menerima pelantikan-pelantikan yang disebut dalam kan. 1035; demikian pula surat keterangan mengenai pernyataan yang telah dibuat yang disebut dalam kan. 1036, dan jika mengenai calon diakonat permanen yang beristri, juga surat keterangan mengenai perkawinan yang telah diteguhkan dan persetujuan istrinya.
Kan. 1051 – Untuk penyelidikan tentang kualitas yang dituntut dalam diri calon tahbisan, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan berikut:
l0 hendaknya ada surat keterangan dari rektor seminari atau rumah pembinaan mengenai kualitas yang dituntut untuk tahbisan yang akan diterima, yakni ajaran yang benar dari si calon, kesalehan yang sejati, moral yang baik, kecakapan untuk melaksanakan pelayanan; demikian pula sesudah diadakan pemeriksaan seperlunya, surat keterangan tentang keadaan kesehatan fisik dan psikis;
20 Uskup diosesan atau Pemimpin tinggi, agar dapat melakukan penyelidikan dengan baik, dapat menggunakan sarana-sarana lain yang ia nilai berguna menurut keadaan waktu dan tempat, seperti surat-surat kesaksian, penerbitan atau informasi-informasi lain.
Kan. 1052 – § 1. Agar Uskup yang dengan haknya sendiri memberikan penahbisan dapat melaksanakannya, haruslah baginya pasti bahwa dokumen-dokumen yang disebut dalam kan. 1050 itu benar-benar ada, dan sesudah diadakan penyelidikan menurut norma-norma hukum, yakin bahwa kecakapan calon telah teruji dengan argumen-argumen yang positif.
§ 2. Agar Uskup dapat melangkah lebih lanjut untuk menahbiskan bawahan orang lain, cukuplah bila surat dimisoria menyatakan bahwa dokumen-dokumen itu ada, bahwa penyelidikan telah dilakukan menurut norma hukum, dan bahwa ada kepastian mengenai kecakapan calon; jika calon itu adalah anggota suatu tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, surat dimisoria itu harus juga menerangkan bahwa calon itu telah diterima secara definitif dalam tarekat atau serikat, serta adalah bawahan Pemimpin yang memberikan surat.
§ 3. Meskipun dalam semua hal itu tidak ada hambatan, jika atas alasan-alasan tertentu Uskup masih ragu-ragu apakah calon cakap untuk menerima tahbisan, janganlah ia menahbiskannya.
BAB III
PENCATATAN DAN SURAT KETERANGAN
MENGENAI PENAHBISAN YANG TELAH DILAKSANAKAN
Kan. 1053 – § 1. Seselesainya tahbisan, nama tiap-tiap orang yang ditahbiskan dan pelayan yang menahbiskannya, tempat dan tanggal penahbisan, hendaknya dicatat dalam buku khusus yang harus disimpan dengan cermat pada kuria tempat penahbisan, dan semua dokumen tiap-tiap penahbisan hendaknya dipelihara secara cermat.
§ 2. Kepada setiap orang yang ditahbiskan, Uskup penahbis hendaknya memberikan surat keterangan otentik mengenai penahbisan yang telah mereka terima; jika mereka ditahbiskan oleh Uskup luar dengan surat dimisoria, keterangan itu hendaknya disampaikan kepada Ordinarisnya sendiri untuk dibuat catatan penahbisan dalam buku khusus yang harus disimpan dalam arsip.
Kan. 1054 – Ordinaris wilayah, jika mengenai klerus sekular, atau Pemimpin tinggi yang berwenang, jika mengenai bawahannya sendiri, hendaknya mengirim berita mengenai setiap penahbisan yang telah dilaksanakan kepada pastor paroki tempat mereka dibaptis, agar hal itu dicatat dalam buku baptis menurut norma kan. 535, § 2.
JUDUL VII
PERKAWINAN
Kan. 1055 – § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
§ 2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Kan. 1056 – Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Kan. 1057 – § 1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang menurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.
§ 2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengan-nya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Kan. 1058 – Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang hukum.
Kan. 1059 – Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
Kan. 1060 – Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya.
Kan. 1061 – § 1. Perkawinan sah antara orang-orang yang dibaptis disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum, bila suami-istri telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara manusiawi yang pada sendirinya terbuka untuk kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menurut kodratnya terarahkan, dan dengannya suami-istri menjadi satu daging.
§ 2. Setelah perkawinan dirayakan, bila suami istri tinggal ber-sama, diandaikan adanya persetubuhan, sampai terbukti kebalikannya.
§ 3. Perkawinan yang tidak sah disebut putatif bilamana dirayakan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak, sampai kedua pihak menjadi pasti mengenai nulitasnya itu.
Kan. 1062 – § 1. Janji untuk menikah, baik satu pihak maupun dua belah pihak, yang disebut pertunangan, diatur menurut hukum parti-kular yang ditetapkan Konferensi para Uskup dengan mempertim-bangkan kebiasaan serta hukum sipil, bila itu ada.
§ 2. Dari janji untuk menikah tidak timbul hak pengaduan untuk menuntut peneguhan perkawinan; tetapi ada hak pengaduan untuk menuntut ganti rugi, bila ada.
BAB I
REKSA PASTORAL DAN HAL-HAL YANG HARUS
MENDAHULUI PERAYAAN PERKAWINAN
Kan. 1063 – Para gembala jiwa-jiwa wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masing-masing memberikan pendampingan kepada umat beriman kristiani, supaya status perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan itu terutama harus diberikan:
10 dengan khotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda serta dewasa, juga dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman kristiani mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani dan tugas suami-istri serta orangtua kristiani;
20 dengan persiapan pribadi untuk memasuki perkawinan, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas dari statusnya yang baru;
30 dengan perayaan liturgi perkawinan yang membawa hasil agar dengan itu memancarlah bahwa suami-istri menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya;
40 dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh.
Kan. 1064 – Ordinaris wilayah harus mengusahakan agar pendam-pingan tersebut diatur dengan semestinya, bila ia memandang baik juga dengan mendengarkan nasihat dari orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang teruji karena pengalaman dan keahliannya.
Kan. 1065 – § 1. Orang-orang katolik yang belum menerima sakramen penguatan, hendaklah menerimanya sebelum diizinkan menikah, bila hal itu dapat dilaksanakan tanpa keberatan besar.
§ 2. Agar dapat menerima sakramen perkawinan dengan membawa hasil, sangatlah dianjurkan agar mempelai menerima sakramen tobat dan sakramen Ekaristi mahakudus.
Kan. 1066 – Sebelum perkawinan dirayakan, haruslah pasti bahwa tak satu hal pun menghalangi perayaannya yang sah dan licit.
Kan. 1067 – Konferensi para Uskup hendaknya menentukan norma-norma mengenai penyelidikan calon mempelai, serta mengenai pengumuman nikah atau cara-cara lain yang tepat untuk melakukan penyelidikan yang perlu sebelum perkawinan; setelah menepati hal-hal tersebut secara seksama, pastor paroki dapat melangkah lebih lanjut untuk meneguhkan perkawinan.
Kan. 1068 – Dalam bahaya maut, bilamana tidak dapat diperoleh bukti-bukti lain, cukuplah, kecuali ada indikasi sebaliknya, pernyataan calon mempelai, jika perlu juga dibawah sumpah, bahwa mereka telah dibaptis dan tidak terkena suatu halangan.
Kan. 1069 – Semua orang beriman wajib melaporkan halangan-halangan yang mereka ketahui kepada pastor paroki atau Ordinaris wilayah sebelum perayaan perkawinan.
Kan. 1070 – Bila orang lain, dan bukan pastor paroki yang sebenarnya bertugas meneguhkan perkawinan, melakukan penyelidikan tersebut, hendaknya ia selekas mungkin memberitahukan hasil penyelidikan itu dengan dokumen otentik kepada pastor paroki.
Kan. 1071 – § 1. Kecuali dalam kasus mendesak, tanpa izin Ordinaris wilayah, janganlah seseorang meneguhkan:
10 perkawinan orang-orang pengembara;
20 perkawinan yang menurut norma undang-undang sipil tidak dapat diakui atau tidak dapat dirayakan;
30 perkawinan orang yang terikat kewajiban-kewajiban kodrati terhadap pihak lain atau terhadap anak-anak yang lahir dari hubungan sebelumnya;
40 perkawinan orang yang telah meninggalkan iman katolik secara terbuka;
50 perkawinan orang yang terkena censura;
60 perkawinan anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk akal tidak disetujui oleh orangtuanya;
70 perkawinan yang akan dilangsungkan dengan perantaraan orang yang dikuasakan, yang disebut dalam kan. 1105.
§ 2. Ordinaris wilayah jangan memberi izin untuk meneguhkan perkawinan orang yang secara terbuka meninggalkan iman katolik, kecuali telah diindahkan norma yang disebut dalam kan. 1125, dengan penyesuaian seperlunya.
Kan. 1072 – Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkan kaum muda dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima.
BAB II
HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN
PADA UMUMNYA
Kan. 1073 – Halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens) membuat seseorang tidak mampu untuk melangsungkan perkawinan secara sah.
Kan. 1074 – Halangan dianggap publik, bila dapat dibuktikan dalam tata-lahir; bila tidak, tersembunyi.
Kan. 1075 – § 1. Hanya otoritas tertinggi Gereja mempunyai kewenangan untuk menyatakan secara otentik kapan hukum ilahi melarang atau menggagalkan perkawinan.
§ 2. Juga hanya otoritas tertinggi itu berhak menetapkan halangan-halangan lain bagi orang-orang yang dibaptis.
Kan. 1076 – Kebiasaan yang memasukkan halangan baru atau yang berlawanan dengan halangan-halangan yang ada, ditolak.
Kan. 1077 – § 1. Ordinaris wilayah dapat melarang perkawinan dalam kasus khusus bagi bawahannya sendiri di mana pun mereka berada serta bagi semua orang yang sedang berada di wilayahnya, tetapi hanya untuk sementara, atas alasan yang berat dan selama alasan itu ada.
§ 2. Hanya otoritas tertinggi Gereja dapat menambahkan pada suatu larangan klausul yang menggagalkan.
Kan. 1078 – § 1. Ordinaris wilayah dapat memberikan dispensasi kepada bawahannya sendiri di mana pun mereka berada dan kepada semua orang yang sedang berada di wilayahnya, dari semua halangan yang bersifat gerejawi, kecuali halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik.
§ 2. Halangan-halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik ialah:
10 halangan yang timbul dari tahbisan suci atau dari kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius bertingkat kepausan;
20 halangan kejahatan yang disebut dalam kan. 1090.
§ 3. Tidak pernah diberikan dispensasi dari halangan hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau dalam garis keturunan menyamping tingkat kedua.
Kan. 1079 – § 1. Bila bahaya mati mendesak, Ordinaris wilayah dapat memberikan dispensasi, baik dari tata peneguhan yang seharusnya ditepati dalam perayaan perkawinan, maupun dari semua dan setiap halangan nikah gerejawi, entah yang publik entah yang tersembunyi, kepada bawahannya sendiri di mana pun mereka berada, dan kepada semua orang yang sedang berada di wilayahnya, terkecuali halangan yang timbul dari tahbisan presbiterat suci.
§ 2. Dalam keadaan yang sama sebagaimana disebut dalam § 1, tetapi hanya dalam kasus dimana Ordinaris wilayah tidak dapat dihubungi, kuasa untuk memberikan dispensasi tersebut dimiliki baik oleh pastor paroki, pelayan suci yang mendapat delegasi secara benar, maupun oleh imam atau diakon yang meneguhkan perkawinan menurut norma kan. 1116, § 2.
§ 3. Dalam bahaya maut bapa pengakuan memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi dari halangan-halangan tersembunyi untuk tata-batin, entah didalam entah diluar penerimaan sakramen pengakuan.
§ 4. Dalam kasus yang disebut § 2, Ordinaris wilayah dianggap tidak dapat dihubungi, bila hal itu hanya dapat terjadi lewat telegram atau telepon.
Kan. 1080 – § 1. Setiap kali halangan diketahui sewaktu segala sesuatu sudah siap untuk perayaan perkawinan dan perkawinan tidak dapat ditangguhkan sampai diperoleh dispensasi dari otoritas yang berwenang tanpa bahaya kerugian besar yang mungkin timbul, maka Ordinaris wilayah memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi dari semua halangan terkecuali yang disebut dalam kan. 1078, § 2, 10; dan asalkan kasusnya tersembunyi, kuasa itu juga dimiliki oleh semua yang disebut dalam kan. 1079, §§ 2-3, dengan menepati syarat-syarat yang ditentukan di situ.
§ 2. Kuasa itu berlaku juga untuk mengesahkan perkawinan bila ada bahaya yang sama kalau tertunda, serta tiada waktu untuk menghubungi Takhta Apostolik atau Ordinaris wilayah mengenai halangan-halangan yang dapat didispensasi olehnya.
Kan. 1081 – Pastor paroki atau imam atau diakon yang disebut dalam kan. 1079, § 2, hendaknya segera memberitahu Ordinaris wilayah mengenai dispensasi yang diberikan untuk tata-lahir; dan hendaknya hal itu dicatat di dalam buku perkawinan.
Kan. 1082 – Kecuali reskrip Penitensiaria menyatakan lain, dispensasi yang diberikan dalam tata-batin non-sakramental dari halangan nikah tersembunyi, hendaknya dicatat dalam buku yang harus disimpan dalam arsip rahasia kuria, dan untuk tata-lahir tidak dibutuhkan dispensasi lain, bila kemudian halangan yang tersembunyi itu menjadi publik.
BAB III
HALANGAN-HALANGAN YANG MENGGAGALKAN
PADA KHUSUSNYA
Kan. 1083 – § 1. Laki-laki sebelum berumur genap enambelas tahun, dan perempuan sebelum berumur genap empatbelas tahun, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah.
§ 2. Konferensi para Uskup berwenang penuh menetapkan usia yang lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.
Kan. 1084 – § 1. Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang mendahului (antecedens) perkawinan dan bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan, entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri.
§ 2. Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum entah keraguan fakta, perkawinan tidak boleh dihalangi dan, sementara dalam keraguan, perkawinan tidak boleh dinyatakan tidak ada (nullum).
§ 3. Sterilitas tidak melarang dan tidak menggagalkan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1098.
Kan. 1085 – § 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum consummatum.
§ 2. Meskipun perkawinan yang terdahulu tidak sah atau telah diputus atas alasan apapun, namun karena itu saja seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi sebelum ada kejelasan secara legitim dan pasti mengenai nulitas dan pemutusannya.
Kan. 1086 – § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
§ 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
§ 3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis.
Kan. 1087 – Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Kan. 1088 – Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kekal publik kemurnian dalam suatu tarekat religius.
Kan. 1089 – Antara laki-laki dan perempuan yang diculiknya atau sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan, kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya sendiri memilih perkawinan itu.
Kan. 1090 – § 1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya sendiri.
§ 2. Juga tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan antara mereka yang dengan kerja sama fisik atau moril melakukan pembunuhan terhadap salah satu dari pasangan itu.
Kan. 1091 – § 1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik yang sah maupun yang natural.
§ 2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat keempat.
§ 3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.
§ 4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.
Kan. 1092 – Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun.
Kan. 1093 – Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak-sah setelah terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang diketahui umum atau publik, dan menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita, dan sebaliknya.
Kan. 1094 – Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.

BAB IV
KESEPAKATAN NIKAH
Kan. 1095 – Tidak mampu melangsungkan perkawinan:
10 yang kekurangan penggunaan akal-budi yang memadai;
20 yang menderita cacat berat dalam kemampuan menegaskan penilaian mengenai hak-hak serta kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan yang harus diserahkan dan diterima secara timbal-balik;
30 yang karena alasan-alasan psikis tidak mampu mengemban kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan.
Kan. 1096 – § 1. Agar dapat ada kesepakatan nikah, perlulah para mempelai sekurang-kurangnya mengetahui bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sama seksual.
§ 2. Ketidak-tahuan itu setelah pubertas tidak diandaikan.
Kan. 1097 – § 1. Kekeliruan mengenai diri orang (error in persona) membuat perkawinan tidak sah.
§ 2. Kekeliruan mengenai kualitas orang (error in qualitate personae), meskipun memberikan alasan kontrak, tidak membuat perkawinan tidak sah, kecuali kualitas itu merupakan tujuan langsung dan utama.
Kan. 1098 – Orang yang melangsungkan perkawinan karena tertipu oleh muslihat yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan, mengenai suatu kualitas dari pihak lain yang menurut hakikatnya sendiri dapat sangat mengacau persekutuan hidup perkawinan, menikah dengan tidak sah.
Kan. 1099 – Kekeliruan mengenai unitas atau indissolubilitas atau mengenai martabat sakramental perkawinan, asalkan tidak menentukan kemauan, tidak meniadakan kesepakatan perkawinan.
Kan. 1100 – Pengetahuan atau pendapat bahwa perkawinan tidak sah tidak perlu meniadakan kesepakatan perkawinan.
Kan. 1101 – § 1. Kesepakatan batin dalam hati diandaikan sesuai dengan kata-kata atau isyarat yang dinyatakan dalam merayakan perkawinan.
§ 2. Tetapi bila salah satu atau kedua pihak dengan tindakan positif kemauannya mengecualikan perkawinan itu sendiri, atau salah satu unsur hakiki perkawinan, atau salah satu proprietas perkawinan yang hakiki, ia melangsungkan perkawinan dengan tidak sah.
Kan. 1102 – § 1. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara sah dengan syarat mengenai sesuatu yang akan datang.
§ 2. Perkawinan yang dilangsungkan dengan syarat mengenai sesuatu yang lampau atau mengenai sesuatu yang sekarang, adalah sah atau tidak sah tergantung dari terpenuhi atau tidaknya hal yang dijadikan syarat itu.
§ 3. Namun, syarat yang disebut dalam § 2 itu tidak dapat dibubuhkan secara licit, kecuali dengan izin Ordinaris wilayah yang diberikan secara tertulis.
Kan. 1103 – Tidak sahlah perkawinan yang dilangsungkan karena paksaan atau ketakutan berat yang dikenakan dari luar, meskipun tidak dengan sengaja, sehingga untuk melepaskan diri dari ketakutan itu seseorang terpaksa memilih perkawinan.
Kan. 1104 – § 1. Untuk melangsungkan perkawinan secara sah perlulah mempelai hadir secara bersamaan, sendiri atau diwakili oleh orang yang dikuasakan.
§ 2. Para mempelai hendaknya menyatakan kesepakatan nikahnya dengan kata-kata; tetapi jika tidak dapat berbicara, dengan isyarat-isyarat yang senilai.
Kan. 1105 – § 1. Agar perkawinan dengan perantaraan orang yang dikuasakan dapat dilaksanakan secara sah, dituntut:
10 supaya ada mandat khusus untuk melangsungkan perkawinan dengan orang tertentu;
20 supaya orang yang dikuasakan itu ditunjuk oleh pemberi mandat itu sendiri, dan menunaikan tugasnya secara pribadi.
§ 2 Mandat itu, demi sahnya, haruslah ditandatangani oleh pemberi mandat, dan selain itu oleh pastor paroki atau Ordinaris wilayah tempat mandat dibuat, atau oleh imam yang didelegasikan oleh salah satu dari mereka, atau sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi; atau dibuat dengan dokumen otentik menurut norma hukum sipil.
§ 3. Jika pemberi mandat tidak dapat menulis, hendaknya hal itu dicatat dalam surat mandat itu dan hendaknya ditambahkan seorang saksi lain yang juga menandatangani surat itu; jika tidak, mandat itu tidak sah.
§ 4. Jika pemberi mandat menarik kembali mandatnya atau menjadi gila sebelum orang yang dikuasakannya melangsungkan perkawinan atas namanya, perkawinan tidaklah sah, meskipun orang yang dikuasakan atau pihak lain yang melangsungkan perkawinan itu tidak mengetahuinya.
Kan. 1106 – Perkawinan dapat dilangsungkan lewat penerjemah; tetapi pastor paroki jangan meneguhkannya, kecuali ia merasa pasti bahwa penerjemah itu dapat dipercaya.
Kan. 1107 – Meskipun perkawinan itu dilangsungkan dengan tidak sah karena halangan atau karena cacat sehubungan dengan tata-peneguhannya, kesepakatan yang telah dinyatakan diandaikan berlangsung terus, sampai jelas ditarik kembali.
BAB V
TATA PENEGUHAN PERAYAAN PERKAWINAN
Kan. 1108 – § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang dinyatakan dalam kanon-kanon di bawah ini, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127, § 1-2.
§ 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.
Kan. 1109 – Bila tidak dijatuhi putusan atau dekret ekskomunikasi, interdik atau suspensi dari jabatan, atau dinyatakan demikian, Ordinaris wilayah dan pastor paroki, karena jabatannya, di dalam batas-batas wilayahnya, meneguhkan dengan sah tidak hanya perkawinan orang-orang bawahannya, melainkan juga perkawinan orang-orang bukan bawahannya, asalkan salah satu pihak adalah dari ritus latin.
Kan. 1110 – Ordinaris dan pastor paroki personal, karena jabatannya meneguhkan perkawinan dengan sah, hanya bila sekurang-kurangnya salah seorang dari kedua calon berada dalam batas-batas kewenangannya.
Kan. 1111 – § 1. Ordinaris wilayah dan pastor paroki, selama mengemban jabatan dengan sah, dapat mendelegasikan kewenangan meneguhkan perkawinan dalam batas-batas wilayahnya, juga secara umum, kepada imam-imam dan diakon-diakon.
§ 2. Agar delegasi kewenangan meneguhkan perkawinan itu sah, haruslah secara jelas diberikan kepada pribadi-pribadi tertentu; jika mengenai delegasi khusus, haruslah diberikan untuk perkawinan tertentu; namun jika mengenai delegasi umum, haruslah diberikan secara tertulis.
Kan. 1112 – § 1. Dimana tiada imam dan diakon, Uskup diosesan dapat memberi delegasi kepada orang-orang awam untuk meneguhkan perkawinan, setelah ada dukungan dari Konferensi para Uskup dan diperoleh izin dari Takhta Suci.
§ 2. Hendaknya dipilih awam yang cakap, mampu memberikan pengajaran kepada calon mempelai dan yang cakap untuk melaksanakan liturgi perkawinan dengan baik.
Kan. 1113 – Sebelum diberikan delegasi khusus, hendaklah telah dibereskan segala sesuatu yang ditentukan oleh hukum untuk membuktikan status bebas.
Kan. 1114 – Peneguh perkawinan bertindak tidak licit bila baginya belum ada kepastian menurut norma hukum mengenai status bebas calon mempelai, dan sedapat mungkin dengan izin pastor paroki, setiap kali ia meneguhkan perkawinan berdasarkan delegasi umum.
Kan. 1115 – Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasi-domisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.
Kan. 1116 – § 1. Jika peneguh yang berwenang menurut norma hukum tidak dapat ada atau tidak dapat dikunjungi tanpa kesulitan besar, mereka yang bermaksud melangsungkan perkawinan yang sejati dapat menikah secara sah dan licit di hadapan saksi-saksi saja:
l0 dalam bahaya maut;
20 di luar bahaya maut, asalkan diperkirakan dengan arif bahwa keadaan itu akan berlangsung selama satu bulan.
§ 2. Dalam kedua kasus tersebut, jika ada imam atau diakon lain yang dapat hadir, haruslah ia dipanggil dan bersama para saksi menghadiri perayaan perkawinan, tanpa mengurangi sahnya perkawinan di hadapan dua orang saksi saja.
Kan. 1117 – Tata peneguhan yang ditetapkan di atas harus ditepati, jika sekurang-kurangnya salah seorang dari mempelai telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.
Kan. 1118 – § 1. Perkawinan antara orang-orang katolik atau antara pihak katolik dan pihak yang dibaptis bukan katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.
§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan perkawinan dirayakan di tempat lain yang layak.
§ 3. Perkawinan antara pihak katolik dan pihak yang tidak dibaptis dapat dirayakan di gereja atau di tempat lain yang layak.
Kan. 1119 – Diluar keadaan mendesak, dalam merayakan perkawinan hendaknya ditepati ritus yang ditentukan dalam buku-buku liturgi yang disetujui oleh Gereja atau diterima oleh kebiasaan yang legitim.
Kan. 1120 – Konferensi para Uskup dapat menyusun ritus perkawinan sendiri, yang harus diperiksa oleh Takhta Suci; tata perayaan yang selaras dengan kebiasaan tempat dan bangsa itu disesuaikan dengan semangat kristiani, tetapi dengan mempertahankan ketentuan bahwa peneguh perkawinan hadir, meminta pernyataan kesepakatan mempelai dan menerima itu.
Kan. 1121 – § 1. Seselesai perayaan perkawinan, pastor paroki tempat perayaan atau yang menggantikannya, meskipun mereka tidak meneguhkan perkawinan itu, hendaknya secepat mungkin mencatat dalam buku perkawinan nama-nama mempelai, peneguh serta para saksi, tempat dan hari perayaan perkawinan, menurut cara yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup atau oleh Uskup diosesan.
§ 2. Setiap kali perkawinan dilangsungkan menurut ketentuan kan. 1116, imam atau diakon yang menghadiri perkawinan itu, atau kalau tidak, para saksi, diwajibkan bersama dengan para mempelai untuk secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dilangsungkan itu kepada pastor paroki atau Ordinaris wilayah.
§ 3. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak katolik, yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.
Kan. 1122 – § 1. Perkawinan yang telah dilangsungkan hendaknya juga dicatat dalam buku baptis, tempat baptis pasangan itu dicatat.
§ 2. Jika pasangan melangsungkan perkawinan tidak di paroki tempat ia dibaptis, pastor paroki dari tempat perayaan hendaknya secepat mungkin mengirim berita tentang perkawinan yang dilangsungkan kepada pastor paroki tempat orang itu dibaptis.
Kan. 1123 – Setiap kali perkawinan disahkan untuk tata-lahir, atau dinyatakan tidak sah, atau diputus secara legitim selain oleh kematian, pastor paroki tempat perayaan perkawinan harus diberitahu, agar dibuat catatan semestinya dalam buku perkawinan dan baptis.
BAB VI
PERKAWINAN CAMPUR

Kan. 1124 – Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Kan. 1125 – Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Kan. 1126 – Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.
Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108; tetapi jikalau pihak katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.
§ 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
§ 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.
Kan. 1128 – Para Ordinaris wilayah serta gembala jiwa-jiwa lain hendaknya mengusahakan agar pasangan yang katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tidak kekurangan bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, serta hendaknya mereka menolong pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.
Kan. 1129 – Ketentuan-ketentuan kan. 1127 dan 1128 harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda agama, yang disebut dalam kan. 1086, § 1.
BAB VII
MERAYAKAN PERKAWINAN SECARA RAHASIA
Kan. 1130 – Atas alasan yang berat dan mendesak Ordinaris wilayah dapat mengizinkan agar perkawinan dirayakan secara rahasia.

Kan. 1131 – Izin merayakan perkawinan secara rahasia membawa-serta:
10 bahwa penyelidikan yang harus diadakan sebelum perkawinan dilaksanakan secara rahasia;
20 bahwa kerahasiaan perkawinan yang telah dirayakan dijaga oleh Ordinaris wilayah, peneguh, para saksi dan pasangan sendiri.
Kan. 1132 – Kewajiban menjaga rahasia yang disebut kan. 1131, 20 dari pihak Ordinaris wilayah terhenti jika dengan dipertahankannya rahasia tersebut timbul bahaya sandungan berat atau ketidakadilan terhadap kesucian perkawinan, dan itu hendaknya diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan sebelum perayaan perkawinan.
Kan. 1133 – Perkawinan rahasia yang sudah dirayakan hendaknya dicatat hanya dalam buku catatan khusus, yang harus disimpan dalam arsip rahasia kuria.

BAB VIII
EFEK PERKAWINAN

Kan. 1134 – Dari perkawinan sah timbul ikatan antara pasangan, yang dari kodratnya tetap dan eksklusif; selain itu dalam perkawinan kristiani pasangan, dengan sakramen khusus ini, diperkuat dan bagaikan dibaktikan (consecrare) untuk tugas-tugas dan martabat statusnya.
Kan. 1135 – Kedua suami-istri memiliki kewajiban dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan.
Kan. 1136 – Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.
Kan. 1137 – Adalah legitim anak yang dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif.
Kan. 1138 – § 1. Ayah ialah orang yang ditunjuk oleh perkawinan yang sah, kecuali bila kebalikannya dibuktikan dengan argumen-argumen yang jelas.
§ 2. Diandaikan legitim anak yang lahir sekurang-kurangnya sesudah 180 hari dari hari perkawinan dirayakan, atau dalam 300 hari sejak hidup perkawinan diputuskan.
Kan. 1139 – Anak yang tidak legitim dilegitimasi melalui perka-winan orangtuanya yang menyusul, entah secara sah entah secara putatif, atau dengan reskrip dari Takhta Suci.
Kan. 1140 – Mengenai efek kanoniknya, anak-anak yang telah dilegitimasi dalam semua hal disamakan dengan anak-anak legitim, kecuali dalam hukum secara jelas dinyatakan lain.

BAB IX
PERPISAHAN PASANGAN

Artikel 1
PEMUTUSAN IKATAN

Kan. 1141 – Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat di-putus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.
Kan. 1142 – Perkawinan non-consummatum antara orang-orang yang telah dibaptis atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua pihak atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.
Kan. 1143 – § 1. Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tak dibaptis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman pihak yang telah menerima baptis, oleh kenyataan bahwa pihak yang telah dibaptis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan pihak yang tak dibaptis pergi.
§ 2. Pihak tak dibaptis dianggap pergi, jika ia tidak mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis atau tidak mau hidup bersama dengan damai tanpa menghina Pencipta, kecuali orang itu setelah baptis yang telah diterimanya memberi alasan wajar kepadanya untuk pergi.
Kan. 1144 – § 1. Agar pihak yang dibaptis dapat melangsungkan perkawinan baru dengan sah, pihak yang tak dibaptis selalu harus diinterpelasi:
10 apakah ia sendiri mau menerima baptis;
20 apakah sekurang-kurangnya ia mau hidup bersama dalam damai dengan pihak yang dibaptis tanpa menghina Pencipta.
§ 2. Interpelasi itu harus terjadi sesudah baptis; tetapi Ordinaris wilayah, atas alasan yang berat, dapat mengizinkan untuk melakukan interpelasi sebelum baptis; bahkan dapat memberikan dispensasi dari interpelasi, entah sebelum atau sesudah baptis, asalkan pasti sekurang-kurangnya dengan cara singkat dan luar pengadilan, bahwa interpelasi tidak dapat dilakukan atau tidak akan ada gunanya.
Kan. 1145 – § 1. Interpelasi hendaklah pada umumnya dilakukan atas otoritas Ordinaris wilayah dari pihak yang bertobat; kepada pihak yang lain, Ordinaris itu dapat memberikan tenggang waktu untuk menjawab, jika ia memintanya, tetapi dengan peringatan bahwa jika tenggang waktu itu lewat tanpa dimanfaatkan, maka sikap diam itu dianggap sebagai jawaban negatif.
§ 2. Juga interpelasi yang dilakukan secara pribadi oleh pihak yang bertobat sendiri adalah valid, bahkan licit, jika bentuk yang ditetapkan di atas tidak dapat ditepati.
§ 3. Dalam kedua kasus tersebut di atas haruslah ada kepastian secara legitim dalam tata-lahir, baik mengenai interpelasi yang telah dilakukan maupun mengenai hasilnya.
Kan. 1146 – Pihak yang dibaptis mempunyai hak untuk melang-sungkan perkawinan baru dengan pihak katolik:
10 Jika pihak yang lain menjawab negatif terhadap interpelasi, atau secara legitim interpelasi tidak dilakukan;
20 jika pihak tak dibaptis, entah sudah diinterpelasi entah tidak, pada mulanya bertahan dalam hidup bersama dalam damai tanpa menghina Pencipta, kemudian tanpa alasan wajar pergi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1144 dan 1145.
Kan. 1147 – Namun Ordinaris wilayah, atas alasan berat, dapat mengizinkan bahwa pihak dibaptis, yang menggunakan privilegium paulinum, melangsungkan perkawinan dengan pihak tak katolik, entah baptis entah tak dibaptis, dengan tetap memperhatikan juga ketentuan-ketentuan kanon mengenai perkawinan campur.
Kan. 1148 – § 1. Seorang tak baptis yang mempunyai lebih dari satu istri tak baptis secara serentak, setelah menerima baptis dalam Gereja katolik, jika berat baginya untuk tetap hidup bersama dengan yang pertama dari istri-istri itu, dapat mempertahankan satu dari mereka, sedangkan yang lain dilepaskan. Hal yang sama berlaku bagi perempuan tak baptis, yang mempunyai lebih dari satu suami tak baptis secara serentak.
§ 2. Dalam kasus-kasus yang disebut § 1, sesudah menerima baptis, perkawinan haruslah dilangsungkan dengan tata peneguhan yang legitim, jika perlu juga dengan memenuhi ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan campur serta ketentuan lain yang menurut hukum perlu ditepati.
§ 3. Ordinaris wilayah, dengan memperhatikan keadaan moral, sosial, ekonomi setempat serta orang-orangnya, hendaknya mengusaha-kan agar cukup terjamin keperluan istri pertama serta istri-istri lain yang dilepaskan, menurut ukuran keadilan, cintakasih kristiani dan kewajaran kodrati.
Kan. 1149 – Seorang tak baptis, yang setelah menerima baptis dalam Gereja katolik, tidak dapat memulihkan kehidupan bersama dengan pasangan karena penahanan atau penganiayaan, dapat melangsungkan perkawinan lain, meskipun pihak yang lain sementara itu sudah dibaptis, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1141.
Kan. 1150 – Dalam keraguan, privilegi iman memperoleh perlindungan hukum.

Artikel 2
BERPISAH DENGAN TETAP ADANYA IKATAN PERKAWINAN

Kan. 1151 – Suami-istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali ada alasan legitim yang membebaskan mereka.
Kan. 1152 – § 1. Sangat dianjurkan agar pasangan, tergerak oleh cintakasih kristiani dan prihatin akan kesejahteraan keluarga, tidak menolak mengampuni pihak yang berzinah dan tidak memutus kehidupan perkawinan. Namun jika ia tidak mengampuni kesalahannya secara jelas atau diam-diam, ia berhak untuk memutus hidup bersama perkawinan, kecuali ia menyetujui perzinahan itu atau menyebab-kannya atau ia sendiri juga berzinah.
§ 2. Dianggap sebagai pengampunan diam-diam jika pasangan yang tak bersalah, setelah mengetahui perzinahan itu, tetap hidup bersama secara bebas dengan sikap sebagai seorang pasangan; hal itu diandaikan jika ia meneruskan hidup bersama sebagai suami-istri selama enam bulan, tanpa membuat rekursus pada otoritas gerejawi atau sipil.
§ 3. Jika pasangan yang tak bersalah dari kemauannya sendiri memutus kehidupan bersama perkawinan, hendaknya ia dalam waktu enam bulan mengajukan alasan perpisahan itu kepada otoritas gerejawi yang berwenang; otoritas gerejawi itu hendaknya menyelidiki segala sesuatunya dan mempertimbangkan apakah pasangan yang tak bersalah itu dapat diajak untuk mengampuni kesalahan serta tidak memper-panjang perpisahan untuk seterusnya.
Kan. 1153 – § 1. Jika salah satu pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan.
§ 2. Dalam semua kasus itu, bila alasan berpisah sudah berhenti, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.
Kan. 1154 – Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.
Kan. 1155 – Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi; dalam hal demikian ia melepaskan haknya untuk berpisah.

BAB X
KONVALIDASI PERKAWINAN

Artikel 1
KONVALIDASI BIASA (CONVALIDATIO SIMPLEX)

Kan. 1156 – § 1. Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
§ 2. Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.
Kan. 1157 – Pembaruan kesepakatan itu harus merupakan suatu tindakan kehendak baru terhadap perkawinan, yang oleh pihak yang memperbarui diketahui atau dikira sebagai tidak sah sejak semula.
Kan. 1158 – § 1. Jika halangan itu publik, kesepakatan harus diperbarui oleh kedua pihak dalam tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.
§ 2. Jika halangan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah bahwa kesepakatan diperbarui secara pribadi dan rahasia, dan itu oleh pihak yang sadar akan adanya halangan, asalkan pihak yang lain masih bertahan dalam kesepakatan yang pernah dinyatakannya, atau oleh kedua pihak, jika halangan itu diketahui oleh keduanya.
Kan. 1159 – § 1. Perkawinan yang tidak sah karena cacat kesepa-katannya, menjadi sah jika pihak yang tidak sepakat sekarang telah memberikannya, asalkan kesepakatan yang diberikan oleh pihak lain masih berlangsung.
§ 2. Jika cacat kesepakatan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah kalau pihak yang tidak memberikan kesepakatan itu secara pribadi dan rahasia menyatakan kesepakatannya.
§ 3. Jika cacat kesepakatan itu dapat dibuktikan, perlulah bahwa kesepakatan itu dinyatakan dalam tata peneguhan kanonik.
Kan. 1160 – Perkawinan yang tidak sah karena cacat tata pene-guhannya, agar menjadi sah haruslah dilangsungkan kembali dengan tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.

Artikel 2
PENYEMBUHAN PADA AKAR (SANATIO IN RADICE)

Kan. 1161 – § 1. Penyembuhan pada akar suatu perkawinan yang tidak sah ialah konvalidasi perkawinan itu, tanpa pembaruan kesepakatan, yang diberikan oleh otoritas yang berwenang; hal itu mencakup dispensasi dari halangan, jika ada, dan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, jika hal itu dulu tidak ditepati, dan juga daya surut efek kanonik ke masa lampau.
§ 2. Konvalidasi terjadi sejak saat kemurahan itu diberikan; sedangkan daya surut dihitung sejak saat perayaan perkawinan, kecuali bila secara jelas dinyatakan lain.
§ 3. Penyembuhan pada akar jangan diberikan, kecuali besar kemungkinannya bahwa pihak-pihak yang bersangkutan mau bertekun dalam hidup perkawinan.
Kan. 1162 – § 1. Jika pada salah satu atau kedua pihak tidak ada kesepakatan, perkawinan tidak dapat disembuhkan pada akarnya, entah kesepakatan itu sejak semula tidak ada, ataupun pada permulaan ada tetapi kemudian ditarik kembali.
§ 2. Jika kesepakatan semula tidak ada tetapi kemudian diberikan, penyembuhan dapat diberikan sejak saat diberikan kesepakatan itu.
Kan. 1163 – § 1. Perkawinan yang tidak sah karena halangan atau cacat tata peneguhannya yang legitim, dapat disembuhkan asalkan kesepakatan kedua pihak masih berlangsung.
§ 2. Perkawinan yang tidak sah karena halangan dari hukum kodrati atau hukum ilahi positif hanya dapat disembuhkan sesudah halangan itu terhenti.
Kan. 1164 – Penyembuhan dapat diberikan secara sah juga tanpa sepengetahuan salah satu atau kedua pihak; tetapi jangan diberikan kecuali atas alasan yang berat.
Kan. 1165 – § 1. Penyembuhan pada akar dapat diberikan oleh Takhta Apostolik.
§ 2. Dapat diberikan oleh Uskup diosesan dalam tiap-tiap kasus, juga jika terdapat beberapa alasan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak sah; untuk penyembuhan perkawinan campur harus dipenuhi juga syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125; tetapi tidak dapat diberikan oleh Uskup diosesan, jikalau ada halangan yang dispensasinya direservasi bagi Takhta Apostolik sesuai dengan norma kan. 1078, § 2, atau jika mengenai halangan dari hukum kodrati atau hukum ilahi positif yang telah terhenti.

BAGIAN II
TINDAKAN LAIN IBADAT ILAHI

JUDUL I
SAKRAMENTALI

Kan. 1166 – Sakramentali ialah tanda suci yang dengan cara yang mirip sakramen menandakan hasil-hasil, terlebih yang rohani, yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja.
Kan. 1167 – § 1. Hanya Takhta Apostolik dapat mengadakan sakramentali baru atau memberi tafsiran otentik atas sakramentali yang ada, serta menghapus atau mengubah beberapa daripadanya.
§ 2. Dalam melaksanakan atau melayani sakramentali hendaknya dituruti dengan seksama ritus dan rumusan yang disetujui oleh otoritas Gereja.
Kan. 1168 – Pelayan sakramentali ialah klerikus yang dibekali dengan kuasa yang perlu untuk itu; beberapa sakramentali, sesuai norma buku-buku liturgi, menurut penilaian Ordinaris wilayah, dapat juga dilayani oleh orang awam yang memiliki kualitas yang sesuai.
Kan. 1169 – § 1. Konsekrasi (consecratio) dan persembahan (dedicatio) dapat dilaksanakan secara sah oleh mereka yang dimeteraikan dengan martabat Uskup, dan juga oleh imam-imam yang diizinkan untuk itu oleh hukum atau penugasan yang legitim.
§ 2. Pemberkatan (benedictio) dapat diberikan oleh setiap imam, kecuali yang direservasi bagi Paus atau para Uskup.
§ 3. Diakon hanya dapat memberikan pemberkatan yang dalam hukum secara jelas diizinkan baginya.
Kan. 1170 – Pemberkatan-pemberkatan yang terutama diberikan kepada orang-orang katolik, dapat diberikan pula kepada para katekumen, bahkan juga kepada mereka yang bukan katolik, kecuali hal itu dilarang oleh Gereja.
Kan. 1171 – Hendaknya benda-benda suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi karena dipersembahkan atau diberkati diperlakukan dengan hormat dan jangan dipergunakan untuk pemakaian profan atau yang asing baginya, juga jika benda-benda suci itu milik privat.
Kan. 1172 – § 1. Tak seorang pun dapat dengan legitim melakukan eksorsisme terhadap orang yang kerasukan, kecuali telah memperoleh izin khusus dan jelas dari Ordinaris wilayah.
§ 2. Izin itu oleh Ordinaris wilayah hendaknya diberikan hanya kepada imam yang unggul dalam kesalehan, pengetahuan, kebijak-sanaan dan integritas hidup.

JUDUL II
IBADAT HARIAN

Kan. 1173 – Gereja, dalam melaksanakan tugas imamat Kristus, merayakan ibadat harian; dalam ibadat itu Gereja mendengarkan Allah yang bersabda kepada umat-Nya, merayakan peringatan akan misteri keselamatan, dengan tak henti-hentinya memuji-Nya dengan nyanyian dan doa, serta mendoakan keselamatan seluruh dunia.
Kan. 1174 – § 1. Para klerikus wajib melaksanakan ibadat harian menurut norma kan. 276, § 2, 30; sedangkan para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, menurut norma konstitusi mereka masing-masing.
§ 2. Umat beriman kristiani lain, menurut keadaannya, diajak dengan sangat untuk ambil bagian dalam ibadat harian sebagai suatu kegiatan Gereja.
Kan. 1175 – Dalam melaksanakan ibadat harian itu sedapat mung-kin hendaknya ditepati waktu yang sebenarnya dari setiap ibadat.

JUDUL III
PEMAKAMAN GEREJAWI

Kan. 1176 – § 1. Umat beriman kristiani yang telah meninggal dunia harus diberi pemakaman gerejawi menurut norma hukum.
§ 2. Dengan pemakaman gerejawi Gereja mohon bantuan rohani bagi mereka yang telah meninggal dan menghormati tubuh mereka serta sekaligus memberikan penghiburan berupa harapan bagi yang masih hidup; pemakaman itu haruslah dirayakan menurut norma undang-undang liturgi.
§ 3. Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.

BAB I
MERAYAKAN PEMAKAMAN

Kan. 1177 – § 1. Pemakaman bagi setiap orang beriman yang telah meninggal dunia harus dirayakan pada umumnya dalam gereja parokinya sendiri.
§ 2. Namun setiap orang beriman ataupun mereka yang berwenang mengurus pemakaman seorang beriman yang telah meninggal, boleh memilih suatu gereja lain untuk pemakaman itu, dengan persetujuan orang yang mengepalai gereja, dan setelah memberitahu pastor paroki orang yang meninggal.
§ 3. Jika kematian itu terjadi di luar parokinya sendiri dan jenazah tidak dipindahkan ke sana, sedangkan tidak ada gereja lain yang dipilih dengan legitim untuk pemakamannya, hal itu hendaknya dirayakan di gereja paroki di mana orang itu meninggal, kecuali suatu gereja lain ditunjuk dalam hukum partikular.
Kan. 1178 – Pemakaman Uskup diosesan hendaknya dirayakan di gereja katedralnya sendiri, kecuali Uskup itu telah memilih suatu gereja lain.
Kan. 1179 – Pemakaman para religius atau anggota-anggota serikat hidup kerasulan pada umumnya hendaklah dirayakan di gereja atau tempat ibadatnya sendiri, dilakukan oleh Pemimpin tarekat atau serikat, jika tarekat atau serikat itu bersifat klerikal; jika tidak, dilakukan oleh kapelan.
Kan. 1180 – § 1. Jika paroki memiliki tempat pemakaman sendiri, maka orang-orang beriman yang telah meninggal harus dimakamkan di sana, kecuali suatu tempat pemakaman lain telah dipilih secara legitim oleh orang yang telah meninggal itu atau oleh mereka yang berwenang untuk mengurus pemakamannya.
§ 2. Namun setiap orang boleh memilih tempat pemakamannya, kecuali dilarang oleh hukum.
Kan. 1181 – Mengenai persembahan yang diberikan pada kesem-patan pemakaman itu, hendaknya diindahkan ketentuan-ketentuan kan. 1264; namun hendaknya diusahakan agar dalam pemakaman jangan ada pandang bulu dan orang-orang miskin jangan sampai tidak diberi pemakaman yang semestinya.
Kan. 1182 – Selesai pemakaman, hendaknya dibuat catatan dalam buku orang-orang mati menurut norma hukum partikular.

BAB II
PENGABULAN ATAU PENOLAKAN PEMAKAMAN GEREJAWI

Kan. 1183 – § 1. Sejauh mengenai pemakaman, para katekumen harus diperlakukan sama seperti orang beriman kristiani.
§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan agar anak-anak kecil yang sebenarnya mau dibaptis oleh orangtuanya, namun telah mening-gal dunia sebelumnya, diberi pemakaman gerejawi.
§ 3. Orang-orang dibaptis yang termasuk pada suatu Gereja atau persekutuan gerejawi bukan-katolik, dapat diberi pemakaman gerejawi menurut penilaian arif Ordinaris wilayah, kecuali nyata kehendak mereka yang berlawanan, dan asalkan pelayannya sendiri tidak bisa didapatkan.
Kan. 1184 – § 1. Pemakaman gerejawi harus ditolak, kecuali sebelum meninggal menampakkan suatu tanda penyesalan, bagi:
10 mereka yang nyata-nyata murtad, menganut bidaah dan skisma;
20 mereka yang memilih kremasi jenazah mereka sendiri karena alasan yang bertentangan dengan iman kristiani;
30 pendosa-pendosa nyata (peccatores manifesti) lain yang tidak bisa diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan san-dungan publik bagi kaum beriman.
§ 2. Jika ada suatu keraguan, hal itu hendaknya dikonsultasikan kepada Ordinaris wilayah yang penilaiannya harus dituruti.
Kan. 1185 – Bagi orang yang tidak boleh dimakamkan secara gerejawi, juga tidak boleh dipersembahkan Misa pemakaman apapun.

JUDUL IV
MENGHORMATI ORANG KUDUS, GAMBAR, PATUNG DAN RELIKWI SUCI

Kan. 1186 – Untuk memupuk pengudusan umat Allah, Gereja menganjurkan agar umat beriman kristiani secara khusus dan dengan sikap seorang anak menghormati Santa Maria selalu Perawan dan Bunda Allah, yang diangkat oleh Kristus menjadi Bunda semua orang; Gereja juga memajukan penghormatan yang benar dan sejati kepada Orang-orang Kudus lain, yang dengan teladannya umat beriman kristiani dibangun serta dengan pengantaraannya umat itu didukung.
Kan. 1187 – Hanya para hamba Allah yang oleh otoritas Gereja sudah dimasukkan ke dalam daftar nama para Santo atau para Beato boleh dihormati dengan ibadat publik.
Kan. 1188 – Hendaknya dipertahankan praktek untuk menempat-kan gambar atau patung suci dalam gereja-gereja demi penghormatan oleh kaum beriman; namun hendaknya dalam jumlah yang layak serta dengan tata susunan yang wajar, jangan sampai membangkitkan keheranan umat kristiani atau memberikan peluang untuk devosi yang kurang sehat.
Kan. 1189 – Gambar atau arca berharga, yakni yang unggul karena nilai-nilai kekunoan, kesenian ataupun penghormatannya, yang ditempatkan di gereja-gereja atau ruang-ruang doa demi penghormatan oleh kaum beriman, bilamana membutuhkan pemugaran janganlah dilaksanakan tanpa izin tertulis dari Ordinaris, yang hendaknya tidak memberikan izin itu sebelum minta nasihat para ahli.
Kan. 1190 – § 1. Sama sekali tidak dibenarkan menjual relikwi-relikwi suci.
§ 2. Relikwi-relikwi yang bernilai tinggi dan relikwi lain, yang sangat dihormati oleh umat, tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan cara apapun atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin Takhta Apostolik.
§ 3. Ketentuan § 2 itu berlaku juga untuk gambar atau patung suci yang dalam suatu gereja sangat dihormati oleh umat.

JUDUL V
KAUL DAN SUMPAH
BAB I
KAUL

Kan. 1191 – § 1. Kaul, yakni janji yang telah dipertimbangkan dan bebas mengenai sesuatu yang lebih baik dan terjangkau yang dinyata-kan kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan religi.
§ 2. Kecuali dilarang oleh hukum, semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara wajar, mampu mengucapkan kaul.
§ 3. Kaul yang diucapkan karena didorong oleh ketakutan yang berat dan tak adil atau oleh tipu muslihat, adalah tidak sah demi hukum sendiri.
Kan. 1192 – § 1. Kaul adalah publik jika diterima oleh Pemimpin yang sah atas nama Gereja; jika tidak, privat.
§ 2. Meriah, jika diakui demikian oleh Gereja; jika tidak, sederhana.
§ 3. Personal, dengannya dijanjikan suatu kegiatan pengucap kaul; real, dengannya dijanjikan suatu benda; campur, yang mengandung unsur personal dan real.
Kan. 1193 – Dari kodratnya kaul mewajibkan hanya yang mengu-capkannya.
Kan. 1194 – Kaul terhenti karena habisnya waktu yang ditentukan untuk memenuhi kewajiban itu, karena perubahan substansial dari isi yang dijanjikan, karena tak terpenuhi persyaratan yang melekat pada kaul itu atau tiada lagi tujuannya, karena dispensasi atau penggantian kaul.
Kan. 1195 – Yang mempunyai kuasa terhadap isi kaul dapat menangguhkan kewajiban kaul itu selama pemenuhan kaul itu merugikan dirinya.
Kan. 1196 – Selain Paus, yang dapat memberikan dispensasi atas kaul privat karena alasan yang wajar, asalkan tidak melanggar hak yang telah diperoleh orang lain, ialah:
10 Ordinaris wilayah dan pastor paroki sejauh menyangkut semua bawahan mereka sendiri dan juga para pendatang;
20 Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika mereka itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, sejauh menyangkut anggota-anggota, para novis serta orang-orang yang siang-malam tinggal dalam rumah tarekat atau serikat itu;
30 mereka yang diberi delegasi kuasa memberikan dispensasi oleh Takhta Apostolik atau oleh Ordinaris wilayah.
Kan. 1197 – Karya yang dijanjikan dalam kaul privat dapat diganti oleh orangnya sendiri dengan sesuatu yang baik yang lebih besar atau yang sama; tetapi hanya dapat diganti dengan sesuatu yang baik yang lebih kecil oleh orang yang berkuasa untuk memberi dispensasi, menurut norma kan. 1196.
Kan. 1198 – Kaul-kaul yang diucapkan sebelum profesi religius ditangguhkan selama pengucap kaul tinggal dalam tarekat religius.

BAB II
SUMPAH
Kan. 1199 – § 1. Sumpah, yakni menyerukan Nama ilahi sebagai saksi kebenaran, tidak dapat diberikan, kecuali dalam kebenaran, penilaian dan keadilan.
§ 2. Sumpah yang dituntut atau diizinkan oleh kanon-kanon, tidak dapat diberikan secara sah dengan perantaraan seorang yang di-kuasakan.
Kan. 1200 – § 1. Yang dengan bebas bersumpah bahwa akan berbuat sesuatu, berdasarkan keutamaan religi terikat kewajiban khusus untuk melaksanakan apa yang diperkokoh dengan sumpahnya.
§ 2. Sumpah yang didesakkan dengan muslihat, paksaan atau ketakutan besar, tidaklah sah demi hukum sendiri.
Kan. 1201 – § 1. Sumpah-janji mengikuti hakikat dan syarat-syarat yang dibubuhkan padanya.
§ 2. Jika tindakan yang secara langsung merugikan orang lain atau kesejahteraan umum atau keselamatan kekal dibubuhi sumpah, tindakan itu tidak diperkokoh oleh sumpah itu.
Kan. 1202 – Kewajiban yang muncul dari suatu sumpah-janji berhenti:
10 jika dihapuskan oleh dia yang dimaksudkan mendapat keuntungan dari sumpah itu;
20 jika hal yang disumpahkan itu sendiri sudah berubah secara substansial, atau, karena perubahan keadaan, menjadi buruk atau tanpa nilai sama sekali atau bahkan menghalangi sesuatu yang lebih baik;
30 dengan tiadanya tujuan atau syarat yang mungkin dicantumkan pada sumpah itu;
40 dengan dispensasi, pengubahan menurut norma kan. 1203.
Kan. 1203 – Mereka yang dapat untuk menangguhkan, memberi dispensasi atau mengubah suatu kaul, mempunyai kuasa yang sama dan dengan dasar yang sama terhadap sumpah-janji; tetapi jika dispensasi dari sumpah itu mengakibatkan kerugian bagi orang lain yang menolak menghapuskan kewajiban itu, maka hanya Takhta Apostoliklah yang dapat memberi dispensasi.
Kan. 1204 – Sumpah harus ditafsirkan secara ketat menurut hu-kum dan menurut maksud orang yang mengucapkan sumpah itu; atau, jika orang ini melakukannya dengan maksud menipu, sumpah itu harus ditafsirkan menurut maksud orang yang dituju dengan sumpah itu.

BAGIAN III
TEMPAT DAN WAKTU SUCI

JUDUL I
TEMPAT SUCI

Kan. 1205 – Tempat-tempat suci ialah tempat yang dikhususkan untuk ibadat ilahi atau pemakaman kaum beriman yang dipersembah-kan atau diberkati sesuai dengan buku-buku liturgi yang ditetapkan.
Kan. 1206 – Mempersembahkan suatu tempat untuk ibadat menjadi wewenang Uskup diosesan dan mereka yang dalam hukum disamakan dengannya; mereka ini dapat menyerahkan kepada Uskup siapapun atau, dalam kasus-kasus kekecualian, kepada seorang imam untuk melakukan tugas itu di wilayahnya.
Kan. 1207 – Tempat-tempat suci diberkati oleh Ordinaris; sedangkan pemberkatan gereja-gereja direservasi bagi Uskup diosesan; namun keduanya dapat mendelegasikan kepada seorang imam lain untuk itu.
Kan. 1208 – Mengenai dipersembahkannya dan diberkatinya gereja yang telah dilangsungkan, demikian pula mengenai diberkatinya tempat pemakaman, hendaknya dibuat dokumen: satu eksemplar disimpan dalam kuria keuskupan dan satu eksemplar disimpan dalam arsip gereja.
Kan. 1209 – Dipersembahkannya atau diberkatinya suatu tempat, asalkan tidak merugikan seseorang, cukuplah dibuktikan dengan satu orang saksi saja yang terpercaya.
Kan. 1210 – Dalam tempat suci hanya dapat diizinkan hal-hal yang berguna bagi pelaksanaan atau peningkatan ibadat, kesalehan dan keagamaan, serta dilarang segala sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu. Namun Ordinaris dapat sesekali memberi izin untuk penggunaan lain, asalkan tidak bertentangan dengan kesucian tempat itu.
Kan. 1211 – Tempat-tempat suci dinodai oleh perbuatan-perbuatan yang secara berat sangat merugikan yang dilakukan di sana dengan menimbulkan sandungan bagi kaum beriman dan yang menurut penilaian Ordinaris wilayah sedemikian berat dan sedemikian berlawanan dengan kesucian tempat sehingga tidak boleh lagi diselenggarakan ibadat di sana sampai kerugian itu diperbaiki dengan suatu upacara tobat menurut norma buku-buku liturgi.
Kan. 1212 – Tempat-tempat suci kehilangan nilai-dipersembah-kannya atau nilai-diberkatinya, jika sebagian besar dari padanya hancur atau jika tempat-tempat itu dengan dekret Ordinaris yang berwenang atau menurut kenyataannya telah dialihkan untuk penggunaan profan secara tetap.
Kan. 1213 – Di tempat-tempat suci otoritas gerejawi menjalankan kuasa serta tugas-tugas mereka secara bebas.

BAB I
GEREJA

Kan. 1214 – Dengan sebutan gereja dimaksudkan bangunan suci yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi dimana kaum beriman berhak untuk masuk melaksanakan ibadat ilahi, terutama ibadat yang dilangsungkan secara publik.
Kan. 1215 – § 1. Tak satu gereja pun boleh didirikan tanpa perse-tujuan jelas Uskup diosesan yang diberikan secara tertulis.
§ 2. Hendaknya Uskup diosesan tidak memberikan persetujuannya kecuali ia, sesudah mendengarkan dewan imam dan rektor gereja-gereja tetangga, berpendapat bahwa gereja baru itu akan dapat bermanfaat bagi kebaikan jiwa-jiwa dan bahwa sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pembangunan gereja dan penyelenggaraan ibadat ilahi tidak akan berkekurangan.
§ 3. Juga tarekat-tarekat religius, meskipun telah memperoleh persetujuan dari Uskup diosesan untuk mendirikan rumah baru dalam keuskupan atau kota, namun sebelum membangun gereja di suatu tempat tertentu harus memperoleh izin dari padanya.
Kan. 1216 – Dalam membangun atau memugar gereja-gereja, selain nasihat-nasihat para ahli hendaknya diindahkan asas-asas dan norma-norma liturgi serta seni suci.
Kan. 1217 – § 1. Setelah pembangunan selesai dengan semestinya, hendaknya gereja baru selekas mungkin dipersembahkan atau sekurang-kurangnya diberkati dengan mengindahkan undang-undang liturgi suci.
§ 2. Hendaknya gereja-gereja dipersembahkan dengan ritus meriah, terutama gereja-gereja katedral dan gereja-gereja paroki.
Kan. 1218 – Setiap gereja harus mempunyai nama (titulus) yang, sesudah dipersembahkannya, tidak dapat diubah.
Kan. 1219 – Dalam gereja yang telah dipersembahkan atau diber-kati secara legitim, dapat dilaksanakan semua kegiatan ibadat ilahi, dengan tetap menghormati hak-hak paroki.
Kan. 1220 – § 1. Hendaknya semua orang yang bersangkutan berusaha agar di gereja-gereja dipelihara kebersihan dan keindahan yang layak bagi rumah Allah dan agar segala sesuatu yang tidak cocok dengan kesucian tempat itu dijauhkan dari padanya.
§ 2. Untuk melindungi benda-benda suci dan berharga hendaknya dipergunakan cara pemeliharaan yang biasa dan sarana-sarana penga-manan yang tepat.
Kan. 1221 – Masuk ke dalam gereja pada saat perayaan-perayaan suci hendaknya bebas dan gratis.
Kan. 1222 – § 1. Jika suatu gereja sama sekali tidak dapat diper-gunakan lagi untuk ibadat ilahi dan juga tidak ada kemungkinan untuk memperbaikinya, gereja itu dapat diubah oleh Uskup diosesan untuk penggunaan profan, tetapi bukan penggunaan kotor.
§ 2. Bila alasan-alasan berat lain menganjurkan agar suatu gereja tidak lagi dipakai untuk ibadat ilahi, Uskup diosesan sesudah mendengarkan dewan imam dapat mengubah gereja itu untuk penggunaan profan yang tidak kotor, tetapi dengan persetujuan mereka yang secara legitim mempunyai hak terhadap gereja itu; dan asalkan hal itu tidak merugikan kebaikan jiwa-jiwa.

BAB II
RUANG DOA DAN KAPEL PRIVAT

Kan. 1223 – Dengan sebutan ruang doa dimaksudkan suatu tempat yang dengan izin Ordinaris diperuntukkan bagi ibadat ilahi untuk kegunaan suatu komunitas atau kelompok umat beriman yang berkumpul di situ, sedangkan umat beriman lain dengan persetujuan Pemimpin yang berwenang juga dapat masuk.
Kan. 1224 – § 1. Hendaknya Ordinaris jangan memberi izin yang dibutuhkan untuk menjadikan suatu tempat sebagai ruang doa, kecuali sebelumnya ia sendiri atau wakilnya mengunjungi tempat yang diperuntukkan bagi ruang doa itu dan mendapatkannya dibangun secara layak.
§ 2. Namun sesudah izin itu diberikan, ruang doa itu tidak dapat diubah untuk penggunaan profan tanpa otoritas Ordinaris yang sama.
Kan. 1225 – Di ruang-ruang doa yang dibangun secara legitim dapat dilangsungkan semua perayaan suci, kecuali perayaan yang dikesampingkan oleh hukum atau oleh ketentuan Ordinaris wilayah, atau terhalang oleh norma-norma liturgi.
Kan. 1226 – Dengan sebutan kapel privat dimaksudkan suatu tempat yang dengan izin Ordinaris wilayah diperuntukkan bagi ibadat ilahi untuk kegunaan satu atau beberapa orang.
Kan. 1227 – Para Uskup dapat membuat kapel pribadi bagi dirinya; dan kapel itu mempunyai hak-hak seperti halnya ruang doa.
Kan. 1228 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1227, untuk menyelenggarakan perayaan Misa atau perayaan-perayaan suci lain di dalam suatu kapel privat, dituntut izin dari Ordinaris wilayah.
Kan. 1229 – Patutlah bahwa ruang doa dan kapel-kapel privat diberkati menurut ritus yang ditentukan dalam buku-buku liturgi; tetapi tempat-tempat itu harus dikhususkan hanya untuk ibadat ilahi dan bebas dari semua penggunaan rumahtangga.

BAB III
TEMPAT ZIARAH (SANCTUARIUM)

Kan. 1230 – Dengan sebutan tempat ziarah (sanctuarium) dimaksudkan gereja atau tempat suci lain yang dengan persetujuan Ordinaris wilayah sering dikunjungi kaum beriman untuk berziarah karena suatu alasan kesalehan yang khusus.
Kan. 1231 – Agar tempat ziarah itu dapat dikatakan nasional, harus ada persetujuan dari Konferensi para Uskup; agar dapat dikatakan internasional, dituntut persetujuan dari Takhta Suci.
Kan. 1232 – § 1. Untuk mengesahkan statuta tempat ziarah diosesan, kewenangan ada pada Ordinaris wilayah; untuk statuta tempat ziarah nasional ada pada Konferensi para Uskup; untuk statuta tempat ziarah international ada pada Takhta Suci saja.
§ 2. Dalam statuta itu hendaknya ditentukan terutama tujuan, otoritas rektor, hak milik, dan pengelolaan harta-benda.
Kan. 1233 – Kepada tempat-tempat ziarah itu dapat diberikan beberapa privilegi, setiap kali keadaan tempat, jumlah para peziarah dan terutama kesejahteraan umat beriman tampak menganjurkannya.
Kan. 1234 – § 1. Di tempat-tempat ziarah itu hendaknya disediakan sarana-sarana keselamatan bagi umat beriman secara lebih berlimpah dengan rajin mewartakan sabda Allah, membina dengan tepat hidup liturgi, terutama dengan perayaan sakramen Ekaristi dan tobat, dan juga dengan memelihara bentuk-bentuk kesalehan rakyat yang teruji.
§ 2. Ungkapan syukur kerakyatan atas nazar (votiva artis popularis) dan kesaksian-kesaksian kesalehan di tempat-tempat ziarah atau tempat-tempat yang berhubungan dengan itu hendaknya dipasang secara tampak dan dijaga dengan aman.

BAB IV
ALTAR

Kan. 1235 – § 1. Altar atau meja tempat Kurban Ekaristi dirayakan disebut tetap, jika dibuat sedemikian sehingga menjadi satu dengan lantai, dan karena itu tidak dapat dipindahkan; disebut dapat dipindahkan, jika dapat digeser.
§ 2. Sebaiknya dalam setiap gereja ada altar yang tetap; sedangkan di tempat-tempat lain yang diperuntukkan bagi perayaan-perayaan suci ada altar tetap atau altar yang dapat dipindahkan.
Kan. 1236 – § 1. Menurut kebiasaan yang diwariskan Gereja, meja altar-tetap hendaknya dibuat dari batu, bahkan dari satu batu alami; tetapi menurut penilaian Konferensi para Uskup dapat juga dipergunakan bahan lain yang pantas dan kokoh. Sedangkan kaki atau bagian bawah dari altar dapat dibuat dari bahan apapun.
§ 2. Altar yang dapat dipindahkan bisa dibuat dari bahan apapun yang kuat, yang cocok untuk penggunaan liturgis.
Kan. 1237 – § 1. Altar-tetap haruslah dipersembahkan, sedangkan altar yang dapat dipindahkan dipersembahkan atau diberkati, menurut ritus yang ditetapkan dalam buku-buku liturgi.
§ 2. Hendaknya tradisi kuno untuk meletakkan relikwi-relikwi para Martir atau orang-orang Kudus lain di bawah altar-tetap, dipertahankan menurut norma-norma yang diberikan dalam buku-buku liturgi.
Kan. 1238 – § 1. Altar kehilangan nilai-dipersembahkannya atau diberkatinya menurut norma kan. 1212.
§ 2. Jika suatu gereja atau tempat suci lain diubah untuk kegunaan profan, altar, baik yang tetap maupun yang dapat dipindahkan, tidak kehilangan nilai-dipersembahkannya atau diberkatinya.
Kan. 1239 – § 1. Baik altar-tetap maupun yang dapat dipindahkan hanya boleh dipakai bagi ibadat ilahi saja, dan sama sekali tidak boleh dipakai untuk kegunaan profan apapun.
§ 2. Di bawah altar tidak boleh dimakamkan jenazah; kalau ada jenazahnya, Misa tidak boleh dirayakan di atas altar itu.

BAB V
TEMPAT PEMAKAMAN

Kan. 1240 – § 1. Hendaknya Gereja mempunyai tempat pema-kaman sendiri kalau hal itu mungkin, atau sekurang-kurangnya ada bagian tertentu dari pemakaman umum yang diperuntukkan bagi orang beriman yang meninggal; bagian itu harus diberkati secara semestinya.
§ 2. Namun kalau hal itu tidak mungkin, hendaknya setiap kali makam satu demi satu diberkati sewajarnya.
Kan. 1241 – § 1. Paroki dan tarekat religius dapat memiliki tempat pemakamannya sendiri.
§ 2. Juga badan hukum lain atau keluarga dapat memiliki tempat pemakaman atau makam khusus, yang menurut penilaian Ordinaris wilayah harus diberkati.
Kan. 1242 – Dalam gereja-gereja jangan dimakamkan jenazah-jenazah, kecuali Paus atau para Kardinal atau Uskup diosesan, juga yang sudah purnabakti, yang harus dimakamkan di dalam gerejanya sendiri.
Kan. 1243 – Hendaknya dengan hukum partikular ditetapkan norma-norma yang cocok mengenai disiplin yang harus diindahkan di tempat-tempat pemakaman, terutama untuk melindungi serta menjaga sifat suci tempat pemakaman yang bersangkutan.

JUDUL II
WAKTU SUCI

Kan. 1244 – § 1. Hanya otoritas tertinggi Gereja, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1246, § 2, berhak menetapkan, memindahkan, dan menghapus hari-hari raya, demikian juga hari-hari tobat yang umum berlaku bagi seluruh Gereja.
§ 2. Uskup diosesan hanya secara kasus demi kasus dapat menetapkan hari raya atau hari tobat yang khusus bagi keuskupan atau wilayahnya.
Kan. 1245 – Dengan tetap berlaku hak para Uskup diosesan yang disebut dalam kan. 87, pastor paroki, dengan alasan yang wajar dan menurut ketentuan Uskup diosesan, dapat memberi dispensasi kasus demi kasus dari kewajiban untuk menaati hari raya atau hari tobat, atau menggantinya dengan karya saleh lain; hal itu juga dapat dilakukan oleh Pemimpin tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, jika mereka itu bersifat klerikal bertingkat kepausan, terhadap bawahannya sendiri serta orang lain yang siang-malam tinggal dalam rumah itu.

BAB I
HARI RAYA

Kan. 1246 – § 1. Hari Minggu, menurut tradisi apostolik, adalah hari dirayakannya misteri paskah, maka harus dipertahankan sebagai hari raya wajib primordial di seluruh Gereja. Begitu pula harus dipertahankan sebagai hari-hari wajib: hari Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Penampakan Tuhan, Kenaikan Tuhan, Tubuh dan Darah Kristus, Santa Perawan Maria Bunda Allah, Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda dan Santa Perawan Maria diangkat ke surga, Santo Yusuf, Rasul Santo Petrus dan Paulus, dan akhirnya hari raya Semua Orang Kudus.
§ 2. Namun Konferensi para Uskup dengan persetujuan sebelum-nya dari Takhta Apostolik, dapat menghapus beberapa dari antara hari-hari raya wajib itu atau memindahkan hari raya itu ke hari Minggu.
Kan. 1247 – Pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa; selain itu, hendaknya mereka tidak melakukan pekerjaan dan urusan-urusan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Allah atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga.
Kan. 1248 – § 1. Perintah untuk ambil bagian dalam Misa dipenuhi oleh orang yang menghadiri Misa di manapun Misa itu dirayakan menurut ritus katolik, entah pada hari raya itu sendiri atau pada sore hari sebelumnya.
§ 2. Jika tidak ada pelayan suci atau karena alasan berat lain tidak mungkin ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan agar kaum beriman ambil bagian dalam liturgi Sabda, jika hal itu ada di gereja paroki atau di tempat suci lain, yang dirayakan menurut ketentuan Uskup diosesan; atau hendaknya secara perorangan atau dalam keluarga atau jika mungkin beberapa keluarga bersama, meluangkan waktu untuk berdoa selama waktu yang pantas.

BAB II
HARI TOBAT

Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.
Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.
Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.

BUKU V
HARTA BENDA GEREJA

Kan. 1254 – § 1. Gereja katolik mempunyai hak asli, tidak tergan-tung pada kuasa sipil, untuk memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih-milikkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang khas.
§ 2. Adapun tujuan-tujuan yang khas itu terutama ialah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal-kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan.
Kan. 1255 – Gereja universal dan Takhta Apostolik, Gereja-gereja partikular serta badan hukum lain manapun, baik publik maupun privat, merupakan subyek-subyek yang dapat memperoleh, memiliki, menge-lola dan mengalih-milikkan harta benda menurut norma hukum.
Kan. 1256 – Hak milik atas harta benda, dibawah otoritas tertinggi Paus, berada pada badan hukum yang memperoleh harta benda itu secara legitim.
Kan. 1257 – § 1. Semua harta benda milik Gereja universal, Takhta Apostolik atau badan-badan hukum publik lain dalam Gereja, adalah harta benda gerejawi dan diatur oleh kanon-kanon berikut dan juga statuta masing-masing.
§ 2. Harta benda badan hukum privat diatur oleh statutanya sendiri, tidak oleh kanon-kanon ini, kecuali secara jelas dinyatakan lain.
Kan. 1258 – Dalam kanon-kanon berikut, dengan sebutan Gereja dimaksudkan bukan hanya Gereja universal atau Takhta Apostolik, melainkan juga badan hukum publik manapun dalam Gereja, kecuali dari konteks pembicaraan atau dari hakikat perkaranya tampak lain.

JUDUL I
MEMPEROLEH HARTA BENDA

Kan. 1259 – Gereja dapat memperoleh harta benda dengan semua cara yang adil baik menurut hukum kodrat maupun menurut hukum positif, sama seperti yang diperbolehkan bagi semua orang lain.
Kan. 1260 – Gereja mempunyai hak asli untuk menuntut dari umat beriman kristiani apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuannya yang khas.
Kan. 1261 – § 1. Adalah sepenuhnya hak umat beriman kristiani untuk memberikan harta benda demi kepentingan Gereja.
§ 2. Uskup diosesan wajib memperingatkan umat beriman mengenai kewajiban yang disebut dalam kan. 222, § 1, dan mendesak-nya dengan cara yang tepat.
Kan. 1262 – Umat beriman hendaknya mendukung Gereja dengan bantuan-bantuan yang diminta dan menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup.
Kan. 1263 – Adalah hak Uskup diosesan, sesudah mendengarkan dewan keuangan dan dewan imam, mewajibkan untuk membayar pajak yang tak berlebihan bagi kepentingan-kepentingan keuskupan, badan-badan hukum publik yang dibawahkan olehnya, sepadan dengan peng-hasilan mereka; bagi orang-perorangan dan badan-badan hukum lain ia dapat mewajibkan pungutan luar biasa dan tak berlebihan hanya dalam kebutuhan yang amat mendesak dan dengan syarat-syarat yang sama, dengan tetap berlaku undang-undang serta kebiasaan-kebiasaan partiku-lar yang memberikan kepadanya kewenangan-kewenangan lebih besar.
Kan. 1264 – Kecuali ditentukan lain dalam hukum, pertemuan para Uskup provinsi bertugas:
10 menentukan tarif untuk tindakan kuasa eksekutif yang mem-berikan kemurahan atau untuk pelaksanaan reskrip dari Takhta Apostolik, yang harus disetujui oleh Takhta Apostolik itu sendiri;
20 menentukan sumbangan pada kesempatan pelayanan sakramen-sakramen dan sakramentali.
Kan. 1265 – § 1. Dengan tetap berlaku hukum para religius-men-dikan, orang-perorangan atau badan hukum privat manapun dilarang mengumpulkan dana untuk lembaga atau tujuan saleh maupun gerejawi apapun, tanpa izin yang diberikan secara tertulis dari Ordinarisnya sendiri serta Ordinaris wilayah.
§ 2. Konferensi para Uskup dapat menetapkan norma-norma untuk mencari dana, yang harus ditaati oleh semua saja, tak terkecuali mereka yang dari kelembagaannya disebut dan adalah mendikan.
Kan. 1266 – Dalam semua gereja dan ruang doa, juga yang menja-di milik tarekat religius yang de facto biasa terbuka bagi umat beriman kristiani, Ordinaris wilayah dapat memerintahkan agar dikumpulkan dana khusus untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang sifatnya parokial, keuskupan, nasional ataupun universal, yang kemudian harus dikirim kepada kuria keuskupan dengan cermat.
Kan. 1267 – § 1. Kecuali nyata kebalikannya, sumbangan-sum-bangan yang diberikan kepada Pemimpin-pemimpin atau pengelola badan hukum gerejawi manapun, juga yang privat, diandaikan diberikan kepada badan hukum itu sendiri.
§ 2. Dalam hal badan hukum publik, sumbangan-sumbangan yang disebut dalam § 1 itu tidak dapat ditolak kecuali dengan alasan yang wajar dan, dalam hal-hal yang penting, seizin Ordinaris; dibutuhkan izin Ordinaris juga untuk menerima sumbangan-sumbangan yang disertai beban untuk dipenuhi atau bersyarat, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1295.
§ 3. Sumbangan yang diberikan oleh umat beriman untuk tujuan tertentu boleh digunakan hanya untuk tujuan itu.
Kan. 1268 – Gereja mengakui daluwarsa sebagai cara untuk memperoleh harta benda atau melepaskan diri darinya, menurut norma kan. 197-199.
Kan. 1269 – Benda-benda suci, jika milik orang-orang privat, dapat diperoleh oleh orang-orang privat lewat daluwarsa, tetapi tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan profan, kecuali sudah kehilangan nilai-dipersembahkannya atau diberkatinya; sedangkan jika benda-benda itu milik suatu badan hukum gerejawi publik, maka dapat diperoleh menjadi milik hanya oleh badan hukum gerejawi publik lain.
Kan. 1270 – Benda-benda tak bergerak, benda-benda bergerak yang berharga, hak-hak dan pengaduan-pengaduan baik mengenai orang maupun benda milik Takhta Apostolik, didaluwarsa dengan jangka waktu seratus tahun; milik badan hukum gerejawi publik lain, dengan jangka waktu tiga puluh tahun.
Kan. 1271 – Atas dasar ikatan kesatuan dan cintakasih, para Uskup, sesuai dengan kemampuan keuskupannya, hendaknya turut serta mengusahakan sarana-sarana yang dibutuhkan oleh Takhta Apos-tolik menurut keadaan zaman, agar dapat melaksanakan pengabdiannya kepada Gereja universal dengan semestinya.
Kan. 1272 – Di wilayah-wilayah dimana masih terdapat benefisi dalam arti yang sesungguhnya, Konferensi para Uskup hendaknya mengaturnya dengan norma-norma yang tepat, yang disepakati bersama dengan dengan Takhta Apostolik serta disetujui olehnya, sedemikian sehingga penghasilannya, bahkan sedapat mungkin modal benefisi itu sendiri, lambat-laun diubah menjadi lembaga seperti yang disebut dalam kan. 1274, § 1.

JUDUL II
PENGELOLAAN HARTA BENDA

Kan. 1273 – Paus, berdasarkan primat kepemimpinannya, adalah pengelola (administrator) dan pengatur (dispensator) tertinggi segenap harta benda gerejawi.
Kan. 1274 – § 1. Di setiap keuskupan hendaknya ada suatu lembaga khusus, yang mengumpulkan harta benda atau sumbangan-sumbangan dengan tujuan untuk mendukung sustentasi para klerikus, yang memberi pelayanan bagi kepentingan keuskupan, menurut norma kan. 281, kecuali bagi mereka telah dicukupi secara lain.
§ 2. Dimana jaminan sosial bagi klerus belum diatur dengan baik, hendaknya Konferensi para Uskup mengusahakan agar ada lembaga, yang secara cukup memberi jaminan sosial bagi para klerikus.
§ 3. Di setiap keuskupan, sejauh perlu, hendaknya dibentuk suatu dana umum (massa communis), agar para Uskup dapat memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang lain yang mengabdikan diri kepada Gereja dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain dari keuskupan; dan juga agar keuskupan-keuskupan yang lebih kaya dapat membantu yang lebih miskin.
§ 4. Menurut keadaan setempat yang berbeda-beda, tujuan-tujuan yang disebut dalam § 2 dan § 3 dapat lebih mudah dicapai lewat lembaga-lembaga keuskupan yang berserikat satu sama lain, atau lewat kerja sama, atau juga lewat asosiasi yang tepat, yang dibentuk untuk pelbagai keuskupan, bahkan juga untuk seluruh wilayah Konferensi para Uskup sendiri.
§ 5. Lembaga-lembaga ini, jika dapat, hendaknya dibentuk sede-mikian sehingga mendapat pengakuan juga dalam hukum sipil.
Kan. 1275 – Dana harta benda yang dikumpulkan dari pelbagai keuskupan hendaknya dikelola menurut norma-norma yang disepakati dengan tepat oleh para Uskup yang bersangkutan.
Kan. 1276 – § 1. Ordinaris harus mengawasi dengan seksama pengelolaan semua harta benda milik badan-badan hukum publik yang dibawahkan padanya, dengan tetap berlaku dasar-dasar legitim yang memberi kewenangan cukup besar kepadanya.
§ 2. Dengan memperhitungkan hak-hak, kebiasaan-kebiasaan legitim serta situasi, para Ordinaris hendaknya mengatur seluruh urusan pengelolaan harta benda gerejawi dengan mengeluarkan instruksi-instruksi khusus, dalam batas-batas hukum universal dan partikular.
Kan. 1277 – Untuk mengambil tindakan-tindakan pengelolaan yang menurut keadaan ekonomi keuskupan termasuk lebih penting, Uskup harus mendengarkan nasihat dewan keuangan dan kolegium konsultor; tetapi membutuhkan persetujuan baik dewan tersebut maupun kolegium konsultor, untuk mengambil tindakan-tindakan pengelolaan luar biasa, kecuali dalam kasus-kasus yang secara khusus ditegaskan dalam hukum umum atau dalam piagam fundasi. Namun, Konferensi para Uskup harus menentukan tindakan-tindakan mana yang harus dianggap pengelolaan luar biasa.
Kan. 1278 – Selain tugas-tugas yang disebut dalam kan. 494, § 3 dan § 4, kepada ekonom dapat dipercayakan oleh Uskup diosesan tugas-tugas yang disebut dalam kan. 1276, § 1 dan 1279, § 2.
Kan. 1279 – § 1. Pengelolaan harta benda gerejawi berada pada orang yang langsung memimpin badan yang memiliki harta itu, kecuali ditentukan lain oleh hukum partikular, oleh statuta atau kebiasaan yang legitim, dan dengan tetap berlaku hak Ordinaris untuk campur tangan dalam kasus kelalaian pengelola.
§ 2. Dalam pengelolaan harta benda badan hukum publik, yang dari hukum atau piagam fundasi atau statutanya sendiri tidak memiliki pengelolanya sendiri, Ordinaris yang membawahkan badan hukum itu hendaknya mengangkat orang-orang yang cakap untuk masa tiga tahun; mereka itu dapat diangkat lagi oleh Ordinaris.
Kan. 1280 – Setiap badan hukum hendaknya mempunyai dewan keuangan atau sekurang-kurangnya dua penasihat, yang membantu pengelola dalam melaksanakan tugasnya menurut norma statuta.
Kan. 1281 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan statuta, para pengelola tidak dapat dengan sah mengambil tindakan-tindakan yang melampaui batas-batas serta cara-cara pengelolaan biasa, kecuali sebelumnya telah memperoleh kewenangan dari Ordinaris, yang diberikan secara tertulis.
§ 2. Dalam statuta hendaknya ditetapkan tindakan-tindakan yang melampaui batas serta cara pengelolaan biasa; namun jika mengenai hal itu statuta tidak menyebutkan sesuatu, adalah wewenang Uskup dio-sesan, setelah mendengarkan nasihat dewan keuangan, untuk menetap-kan tindakan-tindakan itu bagi badan-badan yang dibawahkan padanya.
§ 3. Kecuali apabila dan sejauh tidak menguntungkan dirinya, badan hukum tidak wajib bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak sah oleh para pengelola; tetapi mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pengelola secara tidak legitim tetapi sah, badan hukum sendiri akan bertanggungjawab, dengan tetap ada hak pengaduan atau rekursus terhadap pengelola yang telah mengakibatkan kerugian.
Kan. 1282 – Semua baik klerikus maupun awam, yang dengan dasar legitim mengambil bagian dalam pengelolaan harta benda gerejawi, diwajibkan memenuhi tugasnya atas nama Gereja menurut norma hukum.
Kan. 1283 – Sebelum para pengelola memulai tugasnya:
10 mereka harus berjanji dengan sumpah di hadapan Ordinaris atau orang yang dikuasakan bahwa mereka akan mengelola dengan baik dan setia;
20 hendaknya dibuat suatu daftar inventaris yang teliti dan terinci, yang harus mereka tandatangani, mengenai benda-benda tak bergerak, benda-benda bergerak atau yang berharga atau yang umum dianggap termasuk benda budaya, dan mengenai benda-benda lain dengan penggambaran serta perkiraan harganya; daftar inventaris itu setelah dibuat hendaknya disahkan;
30 satu eksemplar dari daftar inventaris itu hendaknya disimpan dalam arsip administrasi, satu lembar lain dalam arsip kuria; setiap perubahan yang mungkin dialami oleh kekayaan-pokok (patrimonium) itu hendaknya dicatat di dalam keduanya.
Kan. 1284 – § 1. Semua pengelola diwajibkan memenuhi tugas mereka dengan ketelitian seorang bapa keluarga yang baik.
§ 2. Karena itu mereka haruslah:
10 mengawasi agar harta benda yang dipercayakan kepada reksa-nya janganlah hilang atau mengalami kerugian dengan cara apapun; kalau perlu, untuk tujuan itu, dengan membuat kontrak asuransi;
20 mengusahakan agar pemilikan harta benda gerejawi diamankan dengan cara-cara yang sah secara sipil;
30 mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum, baik kanonik maupun sipil, atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pendiri, atau penderma, atau otoritas yang legitim, dan terutama harus menjaga agar Gereja jangan mengalami kerugian karena tidak diindahkannya undang-undang sipil;
40 menuntut secara cermat dan pada waktu yang tepat hasil harta benda serta keuntungannya; menyimpannya dengan aman dan menggunakannya sesuai dengan maksud pendiri atau norma-norma yang legitim;
50 membayar pada waktu yang ditetapkan bunga pinjaman atau hipotik yang harus dibayarkan dan mengusahakan dengan baik pengembalian modal itu;
60 dengan persetujuan Ordinaris, memanfaatkan uang yang tersisa dari pengeluaran dan menginventasikannya secara berguna untuk tujuan-tujuan badan hukum;
70 memelihara dengan baik buku-buku pemasukan dan pengeluaran;
80 membuat laporan pengelolaan pada akhir tiap tahun;
90 mengatur dan memelihara dalam arsip yang rapi dan serasi dokumen-dokumen serta barang-barang bukti yang memberi-kan dasar hak-hak Gereja ataupun lembaga terhadap harta bendanya; jika dapat dilakukan dengan mudah, berkas-berkas yang otentik haruslah disimpan dalam arsip kuria.
§ 3. Sangat dianjurkan agar para pengelola setiap tahun membuat anggaran penerimaan dan pengeluaran; tetapi diserahkan kepada hukum partikular untuk mewajibkannya serta menentukan dengan lebih rinci cara-cara penyajiannya.
Kan. 1285 – Dalam batas-batas pengelolaan biasa, para pengelola dibenarkan memberi sumbangan-sumbangan dari harta benda bergerak, yang tidak termasuk kekayaan-pokok tetap, untuk tujuan-tujuan kesalehan atau amal-kasih kristiani.
Kan. 1286 – Para pengelola harta benda:
10 dalam mempekerjakan orang hendaknya mengindahkan dengan seksama juga undang-undang sipil yang menyangkut ketenaga-kerjaan dan hidup sosial, menurut prinsip-prinsip yang diberi-kan oleh Gereja;
20 memberikan kepada mereka yang bekerja di bawah kontrak, balas-karya yang adil dan wajar, sedemikian sehingga mereka itu dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan tang-gungannya dengan layak.
Kan. 1287 – § 1. Dengan menghapus semua kebiasaan yang berlawanan, para pengelola harta benda gerejawi manapun, baik klerikus maupun awam, yang secara legitim tidak dibebaskan dari kuasa kepemimpinan Uskup diosesan, setiap tahun diwajibkan memberikan pertanggungjawaban kepada Ordinaris wilayah, yang harus menyerahkannya kepada dewan keuangan untuk diteliti.
§ 2. Mengenai harta benda yang oleh umat beriman dipersembah-kan kepada Gereja, para pengelola hendaknya memberikan pertang-gungjawaban kepada umat beriman menurut norma-norma yang harus ditentukan oleh hukum partikular.
Kan. 1288 – Para pengelola jangan memulai atau mengadukan perkara atas nama badan hukum publik di pengadilan sipil, tanpa mendapat izin tertulis dari Ordinarisnya sendiri.
Kan. 1289 – Meskipun tidak diwajibkan untuk pengelolaan berda-sarkan jabatan gerejawi, para pengelola tidak dapat sekehendaknya melepaskan tugas yang telah diterimanya; jika karena mereka sekehendak sendiri melepaskan tugas itu Gereja mengalami kerugian, mereka diwajibkan memberi ganti rugi.

JUDUL III
KONTRAK DAN TERUTAMA PENGALIH-MILIKAN

Kan. 1290 – Yang ditetapkan oleh hukum sipil setempat mengenai kontrak, baik secara umum maupun secara khusus, dan mengenai pemenuhannya, hendaknya juga diberlakukan dalam hukum kanonik bagi perkara-perkara yang berada dibawah kuasa kepemimpinan Gereja dengan akibat-akibat yang sama, kecuali hukum sipil itu berlawanan dengan hukum ilahi atau dalam hukum kanonik ditetapkan lain, dan dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1547.
Kan. 1291 – Untuk mengalih-milikkan secara sah harta benda, yang dari penentuan yang legitim membentuk kekayaan-pokok tetap suatu badan hukum publik dan yang nilainya melampaui jumlah yang ditetapkan hukum, dibutuhkan izin dari otoritas yang berwenang menurut norma hukum.
Kan. 1292 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 638, § 3, apabila nilai harta benda yang hendak dialih-milikkan berada diantara jumlah minimum dan jumlah maksimum yang harus ditetapkan oleh Konferensi para Uskup untuk daerahnya masing-masing, otoritas yang berwenang, jika mengenai badan hukum yang tidak dibawahkan pada Uskup diosesan, hendaknya ditentukan oleh statuta badan hukum itu sendiri; jika tidak, otoritas yang berwenang adalah Uskup diosesan dengan persetujuan dewan keuangan dan kolegium konsultor serta mereka yang bersangkutan. Uskup diosesan sendiri juga membutuhkan persetujuan mereka untuk mengalih-milikkan harta benda keuskupan.
§ 2. Namun jika mengenai benda yang dinilainya melebihi jumlah maksimum, atau mengenai harta yang diberikan kepada Gereja berda-sarkan nazar, atau mengenai harta berharga karena nilai seni atau sejarah, untuk sahnya pengalih-milikan dibutuhkan, selain itu, izin Takhta Suci.
§ 3. Jika benda yang hendak dialih-milikkan itu dapat dibagi, dalam meminta izin untuk pengalih-milikan itu harus diungkapkan bagian-bagian yang sebelumnya sudah dialih-milikkan; jika tidak, izin itu tidak sah.
§ 4. Mereka yang harus memberikan nasihat atau persetujuan dalam mengalih-milikkan harta benda, jangan memberikan nasihat atau persetujuan itu, kecuali terlebih dahulu telah mendapatkan informasi yang tepat, baik mengenai keadaan keuangan badan hukum yang harta bendanya hendak dialih-milikkan, maupun mengenai pengalih-milikan yang telah dilakukan.
Kan. 1293 – § 1. Untuk mengalih-milikkan harta benda yang nilainya melampaui jumlah minimum yang ditentukan, selain itu dituntut:
10 alasan yang wajar, seperti keperluan mendesak, kegunaan yang jelas, kesalehan, amal-kasih atau alasan pastoral berat lain;
20 penaksiran benda yang mau dialih-milikkan secara tertulis oleh ahli.
§ 2. Langkah-langkah pengamanan lain yang diperintahkan oleh otoritas yang legitim hendaknya diindahkan, agar kerugian bagi Gereja dihindarkan.
Kan. 1294 – § 1. Biasanya benda tidak boleh dialih-milikkan dengan harga yang lebih rendah daripada yang ditunjuk dalam penaksiran.
§ 2. Uang yang diterima dari pengalih-milikan itu hendaknya diinvestasikan dengan hati-hati demi keuntungan Gereja atau dimanfaatkan dengan arif menurut tujuan pengalih-milikan itu.
Kan. 1295 – Tuntutan-tuntutan menurut norma kan. 1291-1294, dengannya statuta badan-badan hukum juga harus disesuaikan, harus diindahkan bukan hanya dalam pengalih-milikan, melainkan juga dalam urusan apapun, dimana keadaan harta-kekayaan badan hukum dapat menjadi lebih buruk.
Kan. 1296 – Apabila harta benda gerejawi telah dialih-milikkan tanpa formalitas kanonik yang seharusnya, tetapi pengalih-milikan itu sah secara sipil, otoritas yang berwenang, setelah mempertimbangkan segala sesuatu masak-masak, berhak memutuskan apakah harus meng-ajukan pengaduan dan macam apa, yakni mengenai orangnya atau ben-danya, oleh siapa dan terhadap siapa, untuk membela hak-hak Gereja.
Kan. 1297 – Konferensi para Uskup, dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan setempat, bertugas menetapkan norma-norma untuk menyewakan harta benda Gereja, terutama mengenai izin yang harus diperoleh dari otoritas gerejawi yang berwenang.
Kan. 1298 – Kecuali mengenai benda yang kurang bernilai, harta benda gerejawi tidak boleh dijual atau disewakan kepada para pengelola sendiri atau kepada kaum kerabat mereka sampai dengan tingkat keempat dalam hubungan darah atau kesemendaan tanpa izin khusus dari otoritas yang berwenang yang diberikan secara tertulis.

JUDUL IV
KEHENDAK SALEH PADA UMUMNYA DAN
FUNDASI SALEH

Kan. 1299 – § 1. Yang dari hukum kodrati dan hukum kanonik dapat menentukan dengan bebas penggunaan harta bendanya, dapat menyerahkan harta benda untuk karya-karya saleh, baik lewat hibah maupun lewat wasiat.
§ 2. Dalam pemberian lewat wasiat demi kepentingan Gereja, jika dapat, hendaknya ditepati formalitas hukum sipil; jika hal itu tidak dilakukan, para ahli waris harus diperingatkan mengenai kewajiban mereka untuk memenuhi kehendak pembuat wasiat.
Kan. 1300 – Kehendak umat beriman yang memberikan atau meninggalkan harta-kekayaannya untuk karya-karya saleh, entah lewat hibah entah lewat wasiat, yang telah diterima secara legitim, hendaknya dilaksanakan secara sangat cermat juga mengenai cara pengelolaan dan pemanfaatan harta bendanya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1301, § 3.
Kan. 1301 – § 1. Ordinaris adalah pelaksana semua kehendak saleh, baik dalam bentuk wasiat maupun hibah.
§ 2. Berdasarkan hak itu Ordinaris dapat dan harus mengawasi, juga lewat visitasi, agar kehendak-kehendak saleh dipenuhi, dan kepadanya semua pelaksana lain wajib memberi pertanggungjawaban setelah selesai tugas mereka.
§ 3. Klausul-klausul yang berlawanan dengan hak Ordinaris itu, yang ditambahkan pada kehendak-kehendak terakhir, dianggap sebagai tidak dibubuhkan.
Kan. 1302 – § 1. Yang menerima harta benda yang dipercayakan untuk karya-karya saleh, entah lewat hibah entah lewat wasiat, haruslah memberitahu Ordinaris bahwa kepada dirinya dipercayakan itu, dan menunjukkan kepadanya semua harta benda itu, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, dengan beban-beban yang terkait padanya; apabila penderma secara jelas dan mutlak melarangnya, janganlah ia menerima penyerahan itu.
§ 2. Ordinaris harus menuntut agar harta benda yang dipercayakan itu diamankan, demikian juga mengawasi pelaksanaan kehendak saleh itu menurut norma kan. 1301.
§ 3. Apabila harta benda dipercayakan kepada salah seorang anggota tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, dan harta benda itu diperuntukkan bagi tempat atau keuskupan atau penduduknya atau untuk membantu karya-karya saleh, Ordinaris yang dimaksud dalam § 1 dan § 2 adalah Ordinaris wilayah; jika tidak, Ordinaris itu adalah Pemimpin tinggi dalam tarekat klerikal bertingkat kepausan dan dalam serikat hidup kerasulan klerikal bertingkat kepausan, atau dalam tarekat religius lain Ordinaris sendiri dari anggota tersebut.
Kan. 1303 – § 1. Dalam hukum yang disebut fundasi-fundasi saleh ialah:
10 fundasi saleh otonom, yakni kelompok benda yang diperuntukkan bagi tujuan yang disebut dalam kan. 114, § 2 dan oleh kuasa gerejawi yang berwenang didirikan sebagai badan hukum;
20 fundasi saleh tidak-otonom, yakni harta benda yang dengan cara apapun diberikan kepada suatu badan hukum publik, dengan beban jangka panjang yang harus ditetapkan oleh hukum partikular, agar dari hasil tahunan dipersembahkan Misa atau dilaksanakan fungsi-fungsi gerejawi lain yang telah ditentukan sebelumnya, atau untuk mencapai tujuan-tujuan lain yang disebut dalam kan. 114, § 2.
§ 2. Harta benda fundasi saleh tidak-otonom, jika dipercayakan kepada badan hukum yang dibawahkan pada Uskup diosesan, apabila telah selesai waktunya, harus diperuntukkan bagi lembaga yang disebut dalam kan. 1274, § 1, kecuali kehendak pendiri secara jelas dinyatakan lain; jika tidak, harta benda itu menjadi milik badan hukum itu sendiri.
Kan. 1304 – § 1. Agar fundasi dapat diterima secara sah oleh suatu badan hukum, dibutuhkan izin tertulis dari Ordinaris; Ordinaris jangan memberikan izin itu, sebelum secara legitim mendapat kepastian bahwa badan hukum itu dapat memenuhi kewajiban baru baik yang hendak diterima maupun yang telah diterima; terutama hendaknya ia memper-hatikan agar penghasilannya sungguh-sungguh seimbang dengan kewa-jiban yang terkait padanya, menurut kebiasaan tempat serta wilayah yang bersangkutan.
§ 2. Syarat-syarat selanjutnya yang berhubungan dengan pemben-tukan dan penerimaan fundasi hendaknya ditetapkan oleh hukum partikular.
Kan. 1305 – Uang dan harta benda bergerak yang dimaksudkan sebagai pemberian, hendaknya segera ditempatkan pada tempat aman yang harus disetujui oleh Ordinaris, dengan tujuan agar uang atau nilai harta benda bergerak itu diamankan; dan selekas mungkin dengan hati-hati serta bermanfaat menurut penilaian arif dari Ordinaris tersebut, setelah mendengarkan mereka yang berkepentingan dan dewan keuangannya, diinvestasikan demi keuntungan fundasi itu sendiri dengan disebutkan kewajibannya secara jelas dan rinci.
Kan. 1306 – § 1. Fundasi-fundasi, juga yang dibuat secara lisan, hendaknya dirumuskan secara tertulis.
§ 2. Hendaknya disimpan dengan aman satu eksemplar naskah dalam arsip kuria, satu eksemplar lain dalam arsip badan hukum yang memiliki fundasi itu.
Kan. 1307 – § 1. Setelah memenuhi ketentuan-ketentuan kan. 1300-1302 dan kan. 1287, hendaknya dibuat suatu daftar beban-beban yang timbul dari fundasi-fundasi saleh, yang hendaknya dipasang di tempat terbuka, agar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi itu jangan terlupakan.
§ 2. Selain buku yang disebut dalam kan. 958, § 1, hendaknya ada satu buku lain dan itu disimpan pada pastor paroki atau rektor, dimana masing-masing beban dan pemenuhannya serta persembahan (eleemosynae) dicatat.
Kan. 1308 – § 1. Pengurangan beban Misa, yang hanya dapat dilakukan karena alasan yang wajar dan perlu, direservasi bagi Takhta Apostolik, dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang berikut.
§ 2. Jika secara jelas disebutkan dalam piagam fundasi, Ordinaris dapat mengurangi beban Misa atas dasar hasil yang berkurang.
§ 3. Uskup diosesan mempunyai kuasa untuk mengurangi kewajiban Misa yang dibebankan dalam warisan atau fundasi macam apapun yang hanya menyangkut soal Misa, atas dasar berkurangnya penghasilan, selama alasan itu berlangsung, sesuai dengan ukuran persembahan yang berlaku secara legitim di keuskupan, asalkan tidak ada orang yang wajib dan dapat berhasil dipaksa untuk menambah persembahan.
§ 4. Demikian pula ia mempunyai kuasa untuk mengurangi beban atau kewajiban Misa yang memberatkan lembaga gerejawi, apabila penghasilannya menjadi tidak cukup untuk mencapai tujuan lembaga itu sendiri secara wajar.
§ 5. Kuasa yang sama, sebagaimana disebut dalam § 3 dan § 4, dimiliki oleh Pemimpin tertinggi tarekat religius klerikal bertingkat kepausan.
Kan. 1309 – Selain itu otoritas yang sama sebagaimana disebut dalam kan. 1308 mempunyai kewenangan, atas alasan yang sepadan, untuk memindahkan beban-beban Misa ke hari-hari, gereja-gereja atau altar-altar yang lain daripada yang ditetapkan dalam fundasi.
Kan. 1310 – § 1. Jika pendiri secara jelas memberi kuasa itu kepadanya, hanya atas alasan yang wajar dan perlu, Ordinaris dapat mengurangi, mengatur dan mengganti kehendak-kehendak dari orang-orang beriman untuk karya-karya saleh.
§ 2. Jika pelaksanaan beban yang diwajibkan menjadi tidak mungkin karena berkurangnya penghasilan atau sebab lain, tanpa kesalahan para pengelola, Ordinaris, setelah mendengarkan mereka yang bersangkutan serta dewan keuangannya dan dengan sedapat mungkin memelihara kehendak pendiri, dapat mengurangi beban itu sewajarya, terkecuali pengurangan Misa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan kan. 1308.
§ 3. Dalam hal-hal lain haruslah perkaranya diajukan ke Takhta Apostolik.

BUKU VI
SANKSI DALAM GEREJA

BAGIAN I
TINDAK PIDANA DAN HUKUMAN PADA UMUMNYA

JUDUL I
PENGHUKUMAN TINDAK PIDANA PADA UMUMNYA

Kan. 1311 – Gereja mempunyai hak asli dan sendiri untuk mengendalikan umat beriman kristiani yang melakukan tindak kejahatan dengan sanksi hukuman.
Kan. 1312 – § 1. Sanksi-sanksi hukuman dalam Gereja ialah:
10 hukuman-hukuman medisinal atau censura, yang disebut dalam kan. 1331-1333;
20 hukuman-hukuman silih, yang disebut dalam kan. 1336.
§ 2. Undang-undang dapat menetapkan hukuman-hukuman silih lain, yang mencabut dari orang beriman kristiani suatu harta rohani atau keduniaan dan selaras dengan tujuan adikodrati Gereja.
§ 3. Kecuali itu ada juga remedia poenalia serta paenitentiae; remedia poenalia terutama untuk mencegah tindak pidana, sedangkan paenitentiae lebih untuk menggantikan hukuman atau tambahan pada hukuman.

JUDUL II
UNDANG-UNDANG PIDANA DAN PERINTAH PIDANA

Kan. 1313 – § 1. Jika sesudah tindak pidana dilakukan undang-undang berubah, harus diterapkan undang-undang yang lebih lunak bagi orang yang bersalah.
§ 2. Jika undang-undang yang dibuat kemudian menghapus suatu undang-undang atau sekurang-kurangnya hukumannya, maka hukuman itu segera terhenti.
Kan. 1314 – Hukuman biasanya ferendae sententiae (masih harus diputuskan), sedemikian sehingga tidak mengenai orang yang berbuat salah, sebelum dijatuhkan padanya; tetapi latae sententiae (langsung kena), jika undang-undang atau perintah menetapkan hal itu secara jelas, sedemikian sehingga dengan sendirinya orang terkena hukuman jika melakukan tindak pidana.
Kan. 1315 – § 1. Yang memiliki kuasa legislatif dapat pula membuat undang-undang pidana; selain itu dapat pula dengan undang-undangnya memberi sanksi hukuman yang setimpal dengan hukum ilahi atau hukum gerejawi yang dibuat oleh otoritas yang lebih tinggi, dengan tetap mengindahkan batas-batas kewenangannya atas dasar wilayah atau pribadi orang-orangnya.
§ 2. Undang-undang sendiri dapat menentukan hukuman atau menyerahkannya kepada penilaian arif dari hakim.
§ 3. Undang-undang partikular dapat juga menambahkan hukuman pada hukuman yang telah ditetapkan oleh undang-undang universal atas suatu tindak pidana; tetapi hal itu janganlah dilakukan, jika tidak sangat perlu. Jika undang-undang universal mengancam dengan hukuman yang tidak ditentukan atau fakultatif, undang-undang partikular dapat menentukan hukuman tertentu atau hukuman wajib sebagai gantinya.
Kan. 1316 – Jika ada undang-undang pidana yang harus dibuat, para Uskup diosesan hendaknya berusaha sedapat mungkin membuat-nya seragam di negara atau wilayah yang sama.
Kan. 1317 – Hukuman-hukuman hendaknya ditetapkan hanya sejauh sungguh-sungguh perlu untuk memelihara disiplin gerejawi dengan lebih baik. Namun mengeluarkan seseorang dari status klerikal tidak dapat ditetapkan oleh undang-undang partikular.
Kan. 1318 – Legislator jangan mengancam dengan hukuman latae sententiae, kecuali mungkin atas beberapa tindak pidana yang licik, yang dapat membuat sandungan berat atau tidak dapat dihukum secara efektif dengan hukuman-hukuman ferendae sententiae; sedangkan censura, terutama ekskomunikasi, jangan ditetapkan kecuali dengan sangat terbatas serta hanya atas tindak pidana yang amat berat.
Kan. 1319 – § 1. Sejauh seseorang dapat memberikan perintah dalam tata-lahir berdasarkan kuasa kepemimpinan, sejauh itu pula ia dapat mengancam dengan hukuman tertentu lewat perintah, terkecuali hukuman silih yang tetap.
§ 2. Perintah pidana jangan dijatuhkan, kecuali masalahnya sudah dipertimbangkan dengan matang dan dengan mengindahkan hal-hal yang ditetapkan dalam kan. 1317 dan 1318 mengenai undang-undang partikular.
Kan. 1320 – Dalam segala sesuatu dimana para religius tunduk kepada Ordinaris wilayah, mereka dapat dikendalikan dengan hukuman olehnya.

JUDUL III
SUBYEK YANG TERKENA SANKSI PIDANA

Kan. 1321 – § 1. Tak seorang pun dihukum, kecuali ada pelang-garan lahiriah atas suatu undang-undang atau perintah, yang dilakukan oleh orang yang dapat sungguh bertanggungjawab atas kesengajaan atau kelalaiannya.
§ 2. Terkena pidana yang ditetapkan oleh undang-undang atau perintah, orang yang secara sengaja melanggar suatu undang-undang atau perintah; sedangkan orang yang melakukan itu karena melalaikan kewaspadaan yang seharusnya, tidak dihukum, kecuali undang-undang atau perintah menentukan lain.
§ 3. Jika ada pelanggaran lahiriah, orang diandaikan mampu bertanggungjawab, kecuali nyata lain.
Kan. 1322 – Mereka yang biasanya tidak dapat menggunakan akal budinya, meskipun melanggar undang-undang atau perintah pada waktu kelihatan sehat, dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.
Kan. 1323 – Tidak terkena hukuman pelaku pelanggaran undang-undang atau perintah yang:
10 belum berusia genap enambelas tahun;
20 tanpa kesalahan sendiri tidak mengetahui bahwa ia melanggar suatu undang-undang atau perintah; tetapi ketidakwaspadaan dan kesesatan disamakan dengan ketidaktahuan;
30 bertindak karena paksaan fisik atau karena kebetulan, yang tidak diprakirakan sebelumnya, atau diprakirakan akan tetapi tidak dapat dicegahnya;
40 terpaksa bertindak karena ketakutan berat meski hanya relatif, atau karena keadaan mendesak atau kerugian besar, kecuali kalau perbuatan itu intrinsik buruk atau menyebabkan kerugian terhadap jiwa-jiwa;
50 bertindak untuk secara legitim membela diri atau orang lain terhadap penyerang yang tidak adil, dengan menjaga keseim-bangan yang semestinya;
60 tidak dapat menggunakan akal budi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1324 § 1, no. 2 dan 1325;
70 tanpa kesalahan mengira bahwa terdapat salah satu situasi yang disebut dalam no. 4 atau 5.
Kan. 1324 – § 1. Pelaku pelanggaran tidak bebas dari hukuman, tetapi hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang atau perintah harus diperlunak atau sebagai gantinya digunakan penitensi, jika tindak pidana dilakukan:
10 oleh orang yang penggunaan akal budinya kurang sempurna saja;
20 oleh orang yang tidak dapat menggunakan akal budinya karena mabuk atau gangguan mental lain yang serupa, yang disebab-kan oleh kesalahannya sendiri;
30 karena dorongan nafsu yang hebat, tetapi yang tidak menge-sampingkan dan mencegah sepenuhnya pertimbangan akal budi dan persetujuan kehendak, dan asalkan nafsu tersebut tidak secara sengaja ditimbulkan atau dipupuk;
40 oleh orang belum dewasa, yang sudah berumur genap enam-belas tahun;
50 oleh orang yang terpaksa bertindak karena ketakutan berat meski hanya relatif, atau karena keadaan mendesak atau kerugian besar, jika tindak pidana itu intrinsik buruk atau menyebabkan kerugian terhadap jiwa-jiwa;
60 oleh orang yang bertindak untuk secara legitim membela diri atau orang lain terhadap penyerang yang tidak adil, namun dengan tidak menjaga keseimbangan yang semestinya;
70 terhadap seseorang yang telah melakukan provokasi yang berat dan tidak adil;
80 oleh orang yang karena kekeliruan, tetapi karena kesalahannya, mengira bahwa terdapat salah satu dari situasi yang disebut dalam kan. 1323, no. 4 atau 5;
90 oleh orang yang tanpa kesalahannya tidak mengetahui bahwa undang-undang atau perintah itu disertai hukuman;
100 oleh orang yang berbuat tanpa kemampuan bertanggungjawab penuh, asalkan ketidakmampuan bertanggungjawab itu tetap berat.
§ 2. Hakim dapat melakukan hal yang sama, jika ada situasi lain yang mengurangi beratnya tindak pidana.
§ 3. Dalam keadaan-keadaan yang disebut dalam § 1 pelaku pelanggaran tidak terkena hukuman latae sententiae.
Kan. 1325 – Ketidaktahuan yang disebabkan karena nekad, atau teledor, atau disengaja, tidak pernah dapat dipertimbangkan dalam menerapkan ketentuan kan. 1323 dan 1324; demikian pula kemabukan atau gangguan mental lainnya, jika sengaja dicari untuk melakukan tindak pidana atau mencari dalih, juga nafsu yang sengaja ditimbulkan atau dipupuk.
Kan. 1326 – § 1. Hakim dapat menghukum lebih berat daripada yang ditetapkan oleh undang-undang atau perintah:
10 orang yang sesudah dijatuhi hukuman atau dinyatakan terkena hukuman masih terus berbuat kejahatan, sehingga dari keadaan itu dapat diperkirakan dengan arif bahwa ia membandel dalam kehendak yang jahat;
20 orang yang diangkat dalam suatu kedudukan tinggi, atau yang menyalahgunakan otoritas atau jabatan, untuk berbuat tindak pidana;
30 pelaku pelanggaran yang sebelumnya telah melihat akibat tindakannya, meskipun untuk tindak pidana yang tidak lepas dari kesalahan itu sudah ditetapkan hukumannya, namun tidak mengambil langkah-langkah untuk menghindarinya, seperti layaknya dilakukan oleh setiap orang yang berhati-hati.
§ 2. Dalam kasus-kasus yang disebut dalam § 1, apabila hukuman yang ditetapkan itu latae sententiae, dapat ditambahkan hukuman lain atau penitensi.
Kan. 1327 – Undang-undang partikular dapat menetapkan keadaan-keadaan lain yang bersifat meniadakan, meringankan atau memberatkan hukuman, diluar kasus-kasus yang disebut dalam kan. 1323-1326, entah sebagai norma umum entah untuk masing-masing tindak pidana. Demikian pula dalam perintah dapat ditetapkan keadaan-keadaan yang meniadakan hukuman yang ditetapkan dalam perintah itu, atau meringankannya atau memberatkannya.
Kan. 1328 – § 1. Seseorang yang untuk berbuat tindak pidana melakukan atau melalaikan sesuatu, tetapi diluar kehendaknya tidak menyelesaikan tindak pidana itu, tidak terkena hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana itu, kecuali undang-undang atau perintah menyatakan lain.
§ 2. Apabila perbuatan atau kelalaiannya itu dari hakikatnya sendiri menuju kepada pelaksanaan tindak pidana, pelaku dapat dijatuhi penitensi atau remedia poenalia, kecuali dari kemauannya sendiri menghentikan pelaksanaan tindak pidana yang sudah dimulai. Namun, jika telah timbul sandungan atau kerugian berat lain atau bahaya, pelaku, meskipun dari kehendaknya sendiri telah berhenti, dapat dihukum dengan hukuman yang wajar, tetapi yang lebih ringan daripada yang ditentukan atas tindak pidana yang diselesaikan.
Kan. 1329 – § 1. Mereka yang dengan perencanaan bersama untuk berbuat jahat bekerjasama dalam tindak pidana, dan dalam undang-undang atau perintah tidak disebutkan secara jelas, apabila ditetapkan hukuman ferendae sententiae untuk pelaku utama, terkena hukuman yang sama, atau dapat dikenakan hukuman lain yang beratnya sama atau kurang.
§ 2. Rekan-rekan yang terlibat (complices), yang tidak disebutkan dalam undang-undang atau perintah, terkena hukuman latae sententiae yang terkait pada suatu tindak pidana, jika seandainya tanpa bantuan mereka tindak pidana tersebut tidak akan terlaksana, dan hukuman itu sedemikian sehingga dapat mengenai mereka; jika tidak, mereka dapat dijatuhi hukuman ferendae sententiae.
Kan. 1330 – Tindak pidana yang berupa pernyataan atau pengungkapan lain dari kehendak atau ajaran atau pengetahuan, harus dianggap belum selesai dilakukan, jika tidak ada orang yang menangkap pernyataan atau pengungkapan itu.

JUDUL IV
HUKUMAN DAN PENGHUKUMAN LAINNYA

BAB I
CENSURA

Kan. 1331 – § 1. Orang yang terkena ekskomunikasi dilarang:
10 ambil bagian apapun sebagai pelayan dalam perayaan Kurban Ekaristi atau upacara-upacara ibadat lain manapun;
20 merayakan sakramen-sakramen atau sakramentali dan menyambut sakramen-sakramen;
30 menunaikan jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan atau tugas-tugas gerejawi manapun, atau juga melakukan tindakan kepemimpinan.
§ 2. Apabila ekskomunikasi itu dijatuhkan atau dinyatakan, maka pelanggar:
10 jika mau berbuat berlawanan dengan ketentuan § l, no. l haruslah ditolak atau upacara liturgi harus dihentikan, kecuali ada alasan yang berat;
20 melakukan secara tidak sah perbuatan kepemimpinan yang menurut norma § 1, no. 3 adalah tidak licit;
30 dilarang menikmati privilegi-privilegi yang dulu diberikan kepadanya;
40 tidak dapat secara sah memperoleh kedudukan, jabatan atau tugas lainnya dalam Gereja;
50 tidak dapat memiliki hasil-hasil kedudukan, jabatan, tugas manapun, atau pensiun yang diperolehnya dalam Gereja.
Kan. 1332 – Yang terkena interdik terikat larangan-larangan yang disebut dalam kan. 1331 §1. no. 1-2; apabila interdik itu dijatuhkan atau dinyatakan, ketentuan kan. 1331 §2, no. 1 haruslah diindahkan.
Kan. 1333 – §1. Suspensi, yang dapat mengenai hanya para klerikus, melarang:
10 semua atau beberapa perbuatan kuasa tahbisan;
20 semua atau beberapa perbuatan kuasa kepemimpinan;
30 pelaksanaan semua atau beberapa hak atau tugas yang terkait pada jabatan.
§ 2. Dalam undang-undang atau perintah dapat ditetapkan, bahwa sesudah putusan kondemnatoris atau deklaratoris, orang yang terkena suspensi tidak dapat melakukan perbuatan kepemimpinan secara sah.
§ 3. Larangan tersebut tidak pernah mengenai:
10 jabatan-jabatan atau kuasa kepemimpinan, yang tidak berada dibawah kuasa Pemimpin yang menjatuhkan hukuman;
20 hak untuk bertempat-tinggal, yang dimiliki atas dasar jabatan oleh pelaku pelanggaran;
30 hak mengelola harta-benda, yang mungkin terkait pada jabatan orang yang terkena suspensi, apabila hukuman itu latae sententiae.
§ 4. Suspensi melarang menerima penghasilan, gaji, pensiun atau sejenis, dan mewajibkan untuk mengembalikan apapun yang diterimanya secara tidak legitim meskipun dengan itikad baik.
Kan. 1334 – § 1. Jangkauan suspensi, dalam batas-batas yang ditentukan oleh kanon di atas, ditetapkan oleh undang-undang atau perintah itu sendiri, atau oleh putusan maupun dekret yang men-jatuhkan hukuman.
§ 2. Undang-undang, tetapi bukan perintah, dapat menetapkan suspensi latae sententiae tanpa ditambah suatu ketentuan atau pembatasan; tetapi hukuman semacam itu mempunyai semua akibat yang disebut dalam kan. 1333, § 1.
Kan. 1335 – Jika censura melarang untuk merayakan sakramen-sakramen atau sakramentali atau untuk melakukan suatu tindakan kepemimpinan, larangan tersebut ditangguhkan apabila hal itu perlu untuk menolong umat beriman yang berada dalam bahaya maut; disamping itu, apabila censura yang latae sententiae tidak dinyatakan, larangan ditangguhkan setiap kali ada seorang beriman minta pelayanan sakramen atau sakramentali atau suatu tindakan kepemimpinan; permintaan semacam itu diperbolehkan atas setiap alasan yang wajar.

BAB II
HUKUMAN SILIH

Kan. 1336 – § 1. Hukuman-hukuman silih, yang dapat mengenai secara tetap atau untuk waktu tertentu maupun tidak tertentu orang yang melakukan tindak pidana, disamping lain-lain yang mungkin akan ditetapkan oleh undang-undang, ialah sebagai berikut:
10 larangan atau perintah untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu;
20 pencabutan kuasa, jabatan, tugas, hak, privilegi, kewenangan, kemurahan, gelar, tanda penghargaan, juga yang sifatnya semata-mata kehormatan;
30 larangan melaksanakan hal-hal yang disebut dalam no. 2, atau larangan untuk melaksanakannya di tempat tertentu atau di luar tempat tertentu; larangan-larangan itu tidak pernah disertai sanksi menggagalkan;
40 pemindahan yang bersifat hukuman ke jabatan lain;
50 pemecatan dari status klerikal.
§ 2. Hanya hukuman silih yang disebut dalam § 1, no. 3 dapat latae sententiae.
Kan. 1337 – § 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu dapat mengenai baik klerikus maupun religius; tetapi perintah untuk tinggal, dapat mengenai klerikus sekular dan, dalam batas-batas konstitusi, dapat mengenai religius.
§ 2. Untuk memerintahkan tinggal di tempat atau wilayah tertentu, perlu ada persetujuan Ordinaris wilayah itu, kecuali mengenai rumah yang diperuntukkan bagi klerikus luar keuskupan yang harus melakukan penitensi atau harus menjalani pemulihan.
Kan. 1338 – § 1. Pencabutan dan larangan yang disebut dalam kan. 1336 § 1, no. 2 dan 3, tidak pernah mengenai kuasa, jabatan, tugas, hak, privilegi, kewenangan, kemurahan, gelar, tanda penghargaan, yang tidak berada dibawah kekuasaan Pemimpin yang menjatuhkan hukuman.
§ 2. Tidak dapat dilakukan pencabutan kuasa tahbisan, melainkan hanyalah larangan untuk melaksanakan kuasa itu atau beberapa tindakan dari kuasa itu; demikian pula tidak dapat dicabut gelar-gelar akademis.
§ 3. Mengenai larangan-larangan yang ditunjuk dalam kan. 1336 § 1, no. 3 haruslah ditepati norma yang diberikan mengenai censura dalam kan. 1335.

BAB III
REMIDIUM POENALE DAN PENITENSI

Kan. 1339 – § 1. Orang yang berada dalam kesempatan terdekat untuk melakukan kejahatan, atau yang setelah dilakukan penyelidikan layak dicurigai telah melakukan tindak pidana, dapat diberi peringatan oleh Ordinaris, secara pribadi atau lewat orang lain.
§ 2. Ordinaris juga dapat menegur orang yang tingkah-lakunya menimbulkan sandungan atau gangguan berat yang mengacaukan tatanan, dengan cara yang sepadan dengan keadaan pribadi dan peristiwanya.
§ 3. Mengenai adanya peringatan dan teguran haruslah selalu nyata sekurang-kurangnya dari suatu dokumen, yang hendaknya disimpan dalam arsip rahasia kuria.
Kan. 1340 – § 1. Penitensi, yang dapat diwajibkan dalam tata-lahir, ialah suatu perbuatan keagamaan, kesalehan, atau amal-kasih yang harus dilaksanakan.
§ 2. Atas pelanggaran tersembunyi jangan pernah dijatuhkan penitensi publik.
§ 3. Menurut kearifannya, Ordinaris dapat menambahkan penitensi pada remidium poenale yang berupa peringatan atau teguran.

JUDUL V
MENJATUHKAN HUKUMAN

Kan. 1341 – Ordinaris hendaknya baru mengusahakan prosedur peradilan atau administratif untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman, hanya ketika ia menilai bahwa baik peringatan persaudaraan maupun teguran atau sarana-sarana keprihatinan pastoral lain tidak mencukupi lagi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran.
Kan. 1342 – § 1. Setiap kali terdapat alasan-alasan wajar yang menghalangi untuk membuat proses peradilan, hukuman dapat dijatuhkan atau dinyatakan lewat suatu dekret di luar peradilan; sedangkan remedium poenale dan penitensi dapat diterapkan lewat dekret dalam kasus manapun.
§ 2. Lewat dekret tidak dapat dijatuhkan atau dinyatakan hukum-an-hukuman yang bersifat tetap, dan juga hukuman-hukuman, yang undang-undang atau perintah yang menetapkannya, melarang untuk diterapkan lewat suatu dekret.
§ 3. Yang dalam undang-undang atau perintah dikatakan mengenai hakim, sejauh mengenai menjatuhkan atau menyatakan hukuman dalam peradilan, harus pula diterapkan pada Pemimpin, yang lewat suatu dekret di luar peradilan menjatuhkan atau menyatakan suatu hukuman, kecuali dinyatakan lain dan tidak mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut prosedur saja.
Kan. 1343 – Jika undang-undang atau perintah memberikan kepada hakim kuasa untuk menerapkan atau tidak menerapkan hukuman, hakim dapat juga, menurut hati nurani dan kearifannya, memperlunak hukuman atau sebagai gantinya mewajibkan suatu penitensi.
Kan. 1344 – Meskipun undang-undang mempergunakan kata-kata yang sifatnya memerintahkan, hakim, menurut hati nuraninya dan kearifannya, dapat:
10 menangguhkan penetapan hukuman sampai waktu yang lebih cocok, jika diperkirakan akan timbul keburukan lebih besar apabila orang yang bersalah cepat-cepat dihukum;
20 tidak menjatuhkan hukuman, atau menjatuhkan hukuman yang lebih lunak, atau menggunakan penitensi, jika pelaku pelang-garan itu sudah memperbaiki diri dan meniadakan sandungan, atau ia sudah dihukum atau diperkirakan akan dihukum oleh otoritas sipil;
30 menangguhkan kewajiban untuk melakukan hukuman silih, jika pelaku pelanggaran itu baru pertama kali melakukan kejahatan sesudah hidup secara terpuji dan tidak ada keharusan mendesak untuk meniadakan sandungan; tetapi kalau pelaku pelanggaran tadi dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh hakim sendiri melakukan kejahatan lagi, haruslah ia menjalani hukuman untuk kedua tindak pidana itu, kecuali sementara itu telah terpenuhi waktu untuk mendaluwarsa gugatan pidana bagi tindak pidana yang terdahulu.
Kan. 1345 – Setiap kali orang yang melakukan kejahatan mempunyai penggunaan akal budi yang kurang sempurna saja, atau melakukan tindak pidana itu terdorong oleh rasa takut, karena keadaan mendesak, atau oleh gejolak nafsu, atau sedang mabuk atau oleh gangguan mental lain semacam itu, hakim juga dapat tidak menjatuh-kan hukuman apapun, jika ia menilai perbaikannya dapat ditempuh lebih baik dengan cara lain.
Kan. 1346 – Setiap kali pelanggar melakukan beberapa tindak pidana, dan jika tumpukan hukuman ferendae sententiae tampak berlebihan, diserahkan kepada pertimbangan arif hakim untuk memperlunak hukuman dalam batas-batas yang wajar.
Kan. 1347 – § 1. Censura tidak dapat dijatuhkan dengan sah, kecuali sebelum itu pelaku pelanggaran sudah pernah diperingatkan sekurang-kurangnya sekali agar bertobat dari ketegarannya, dengan diberikan waktu yang wajar untuk memperbaiki diri.
§ 2. Pelaku pelanggaran harus dinilai menjauhi ketegarannya, jika ia sungguh menyesalinya, dan disamping itu memberi ganti rugi dan meniadakan sandungan sewajarnya atau sekurang-kurangnya menjanji-kannya secara serius.
Kan. 1348 – Jika pelaku pelanggaran dibebaskan dari dakwaannya atau tidak dijatuhi hukuman apapun, Ordinaris dapat dengan peringatan-peringatan yang sesuai atau sarana-sarana lain keprihatinan pastoral, atau jika perlu juga dengan remedium poenale, mengusahakan kebaikannya dan kepentingan umum.
Kan. 1349 – Jika hukuman tidak ditentukan dan undang-undang tidak membuat ketentuan lain, hakim janganlah menjatuhkan hukuman yang lebih berat, terutama censura, kecuali beratnya perkara benar-benar menuntutnya; tetapi ia tidak dapat menjatuhkan hukuman yang bersifat tetap.
Kan. 1350 – § 1. Dalam menjatuhkan hukuman kepada seorang klerikus, harus selalu diperhatikan, agar ia jangan kekurangan apa yang perlu untuk penghidupan layak, kecuali dalam hal ia dikeluarkan dari status klerikal.
§ 2. Namun untuk klerikus yang dikeluarkan dari status klerikal, yang karena hukuman itu sungguh-sungguh berkekurangan, Ordinaris hendaknya mencukupi kebutuhannya dengan cara yang sebaik mungkin.
Kan. 1351 – Hukuman mengikat pelaku pelanggaran di manapun, juga meski kuasa orang yang menetapkan atau menjatuhkan hukuman itu telah berhenti, kecuali secara jelas dinyatakan lain.
Kan. 1352 – § 1. Jika hukuman melarang menerima sakramen-sakramen atau sakramentali, larangan itu ditangguhkan selama pelaku pelanggaran berada dalam bahaya maut.
§ 2. Kewajiban untuk menaati hukuman latae sententiae yang tidak dinyatakan atau tidak dikenal di tempat orang yang melakukan kejahatan itu berada, ditangguhkan seluruhnya atau sebagian, sejauh pelaku pelanggaran tidak dapat menaatinya tanpa bahaya sandungan berat atau kehilangan nama baik.
Kan. 1353 – Naik banding atau rekursus atas putusan peradilan atau atas dekret, yang menjatuhkan atau menyatakan hukuman manapun, mempunyai akibat penangguhan.

JUDUL VI
BERHENTINYA HUKUMAN

Kan. 1354 – § 1. Kecuali mereka yang disebut dalam kan. 1355-1356, semua yang dapat memberikan dispensasi dari suatu undang-undang yang digantungi hukuman, atau dapat membebaskan dari suatu perintah dengan ancaman hukuman, dapat juga menghapus hukuman itu.
§ 2. Kecuali itu, undang-undang atau perintah yang menetapkan suatu hukuman, dapat juga memberi kepada orang-orang lain kuasa untuk menghapuskannya.
§ 3. Jika Takhta Apostolik mereservasi bagi dirinya sendiri atau bagi orang-orang lain penghapusan suatu hukuman, reservasi itu harus ditafsirkan secara ketat.
Kan. 1355 – §1. Asalkan tidak direservasi bagi Takhta Apostolik, hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang, meski dijatuhkan atau dinyatakan, dapat dihapus oleh:
10 Ordinaris yang memprakarsai peradilan untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman itu, dengan dekret secara pribadi atau lewat orang lain;
20 Ordinaris wilayah tempat pelaku berada, tetapi setelah berkonsultasi dengan Ordinaris yang disebut dalam no. 1, kecuali hal itu tidak mungkin karena keadaan yang luar biasa.
§2. Hukuman latae sententiae yang ditetapkan oleh undang-undang dan belum dinyatakan, kalau tidak direservasi bagi Takhta Apostolik, dapat dihapus oleh Ordinaris terhadap bawahan-bawahannya, atau terhadap mereka yang berada di wilayahnya, atau yang berbuat kejahatan di situ; dan juga dapat dihapus oleh setiap Uskup, tetapi dalam rangka tindakan Sakramen Tobat.
Kan. 1356 – § 1. Hukuman ferendae sententiae atau latae sententiae yang ditetapkan oleh suatu perintah, yang tidak dikeluarkan oleh Takhta Apostolik, dapat dihapus oleh:
10 Ordinaris wilayah tempat pelaku itu berada;
20 jika hukuman itu dijatuhkan atau dinyatakan, juga dapat dihapus oleh Ordinaris yang memprakarsai peradilan untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman itu, atau yang dengan suatu dekret menjatuhkan atau menyatakannya, secara pribadi atau lewat orang lain.
§ 2. Sebelum diberikan penghapusan, pemberi perintah haruslah diminta pendapatnya, kecuali hal itu tidak mungkin karena keadaan yang luar biasa.
Kan. 1357 – §1. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 508 dan 976, censura latae sententiae yang berupa ekskomunikasi atau interdik yang tidak dinyatakan, dapat dihapus oleh bapa pengakuan dalam tata-batin sakramental, kalau peniten merasa berat berada dalam keadaan berdosa berat selama waktu yang diperlukan bagi Pemimpin yang berwenang untuk mengurusnya.
§ 2. Dalam memberikan penghapusan itu bapa pengakuan hendaknya memberikan kewajiban kepada peniten, agar dalam waktu satu bulan menghubungi Pemimpin yang berwenang atau imam yang memiliki kewenangan, dengan sanksi bahwa hukuman akan jatuh kembali, serta kewajiban agar menaati perintahnya; sementara itu bapa pengakuan hendaknya memberikan penitensi yang layak, dan sejauh keadaan mendesak, mewajibkan peniadaan sandungan dan ganti kerugian; tetapi rekursus dapat juga dilakukan lewat bapa pengakuan, tanpa menyebutkan nama.
§ 3. Terikat oleh kewajiban yang sama untuk membuat rekursus, setelah sembuh, mereka yang menurut norma kan. 976 mendapat penghapusan atas censura yang dijatuhkan atau dinyatakan atau direservasi bagi Takhta Apostolik.
Kan. 1358 – § 1. Penghapusan censura tidak dapat diberikan kepada pelaku, kecuali sudah mejauh dari ketegarannya, menurut norma kan. 1347 § 2; tetapi kepada yang menjauh dari ketegarannya, penghapusan itu tidak dapat ditolak.
§2. Yang menghapus censura dapat bertindak menurut norma kan. 1348 atau juga mewajibkan penitensi.
Kan. 1359 – Jika seseorang terkena beberapa hukuman, pengha-pusan hanya berlaku untuk hukuman-hukuman yang dinyatakan dalam penghapusan; sedangkan penghapusan umum menghapus semua hukuman, terkecuali yang dalam permohonan disembunyikan dengan itikad buruk oleh pelaku.
Kan. 1360 – Penghapusan hukuman yang dipaksakan karena rasa takut yang berat, tidak sah.
Kan. 1361 – § 1. Penghapusan dapat diberikan juga kepada orang yang tidak hadir atau bersyarat.
§ 2. Penghapusan untuk tata-lahir hendaknya diberikan secara tertulis, kecuali ada alasan berat yang menganjurkan lain.
§ 3. Hendaknya dijaga agar permohonan penghapusan atau penghapusan itu sendiri tidak tersebar luas, kecuali sejauh hal itu berguna untuk melindungi nama baik pelaku atau perlu untuk meniadakan sandungan.
Kan. 1362 – § 1. Pengaduan pidana habis oleh daluwarsa tiga tahun, kecuali:
10 mengenai tindak pidana yang direservasi bagi Congregatio pro Doctrina Fidei;
20 mengenai hak pengaduan atas tindak pidana yang disebut dalam kan. 1394, 1395, 1397, 1398, yang didaluwarsa dengan lima tahun;
30 mengenai tindak pidana yang tidak dihukum oleh hukum umum, jika undang-undang partikular menetapkan jangka waktu daluwarsa lain.
§ 2. Daluwarsa dihitung sejak hari tindak pidana dilakukan atau, jika tindak pidana itu bersifat tetap atau habitual, dihitung sejak hari berhentinya.
Kan. 1363 – § 1. Jika dalam batas waktu yang disebut dalam kan. 1362, terhitung sejak hari putusan kondemnatoris menjadi perkara teradili, kepada terpidana tidak diberitahukan dekret pelaksanaan dari hakim yang disebut dalam kan. 1651, maka pelaksanaan hukuman habis oleh daluwarsa.
§ 2. Hal yang sama berlaku, dengan penyesuaian seperlunya, jika hukuman dijatuhkan lewat suatu dekret di luar peradilan.

BAGIAN II
HUKUMAN ATAS MASING-MASING TINDAK PIDANA

JUDUL I
TINDAK PIDANA MELAWAN AGAMA
DAN PERSATUAN GEREJA

Kan. 1364 – § 1. Orang yang murtad dari iman, heretik atau skismatik terkena ekskomunikasi latae sententiae, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 194, § 1, no. 2; seorang klerikus, selain itu, dapat dihukum dengan hukuman yang disebut dalam kan. 1336, § 1, no. 1, 2 dan 3.
§2. Jika ketegaran berlangsung lama atau sandungan yang berat menuntutnya, dapat ditambahkan hukuman-hukuman lain, tak ter-kecuali dikeluarkan dari status klerikal.
Kan. 1365 – Yang bersalah melanggar larangan ikut ambil bagian dalam ibadat antaragama (communicatio in sacris), hendaknya dihu-kum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1366 – Orangtua atau mereka yang menggantikan kedudukan orangtua, yang menyerahkan anak-anaknya untuk dibaptis atau dididik dalam agama tidak-katolik, hendaknya dihukum dengan censura atau hukuman lain yang adil.
Kan. 1367 – Yang membuang hosti suci atau membawa maupun menyimpannya untuk tujuan sakrilegi, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik; seorang klerikus, selain itu, dapat dihukum dengan hukuman lain, tak terkecuali dikeluarkan dari status klerikal.
Kan. 1368 – Jika seseorang, dalam menyatakan atau menjanjikan sesuatu di hadapan otoritas gerejawi, mengucapkan sumpah palsu, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1369 – Yang dalam suatu pertunjukan atau pertemuan umum, atau tulisan yang tersebar secara publik, atau secara lain dengan menggunakan alat-alat komunikasi sosial, menghujat, atau melanggar moral umum secara berat, atau menyatakan penghinaan atau membangkitkan kebencian maupun pelecehan terhadap agama atau Gereja, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.

JUDUL II
TINDAK PIDANA MELAWAN OTORITAS GEREJAWI
DAN KEBEBASAN GEREJA

Kan. 1370 – § 1. Yang menggunakan tindak kekerasan fisik terhadap Paus, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik; jika ia seorang klerikus, dapat ditambahkan hukuman lain selaras dengan beratnya tindak pidana, tak terkecuali dikeluarkan dari status klerikal.
§ 2. Yang melakukan demikian terhadap seorang yang bermeterai-kan Uskup, terkena interdik latae sententiae, dan jika ia seorang klerikus, juga terkena suspensi latae sententiae.
§ 3. Yang menggunakan tindak kekerasan fisik terhadap seorang klerikus atau religius dengan maksud menghina iman atau Gereja atau kuasa maupun pelayanan gerejawi, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1371 – Hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil:
10 orang yang, di 1uar kasus yang disebut dalam kan. 1364, § 1, mengajarkan ajaran yang telah dikutuk oleh Paus atau oleh Konsili Ekumenis, atau dengan keras kepala menolak ajaran yang disebut dalam kan. 752, dan sudah diperingatkan oleh Takhta Apostolik atau oleh Ordinaris, tidak mencabutnya kembali;
20 orang yang dengan salah satu cara tidak mau taat kepada Takhta Apostolik, Ordinaris, atau Pemimpin yang memerintah-kan atau melarangnya secara legitim, dan sesudah diperingat-kan tetap membandel dalam ketidakpatuhannya.
Kan. 1372 – Yang melakukan rekursus melawan tindakan Paus kepada Konsili Ekumenis atau Kolegium para Uskup, hendaknya dihukum dengan censura.
Kan. 1373 – Yang secara publik membangkitkan permusuhan atau kebencian bawahan-bawahannya terhadap Takhta Apostolik atau Ordinaris karena suatu tindakan kuasa ataupun pelayanan gerejawi, atau menghasut bawahannya untuk tidak taat kepada mereka, hendaknya dihukum dengan interdik atau hukuman yang adil lainnya.
Kan. 1374 – Yang mendaftarkan diri pada suatu perkumpulan, yang bersekongkol melawan Gereja, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil; sedangkan yang mempropagandakan atau memimpin perkumpulan semacam itu, hendaknya dihukum dengan interdik.
Kan. 1375 – Yang menghalangi kebebasan pelayanan atau pemilihan atau kuasa gerejawi, atau menghalangi penggunaan secara legitim harta-benda suci maupun harta-benda gerejawi lainnya, atau menakut-nakuti pemilih maupun terpilih, atau orang yang melakukan kuasa maupun pelayanan gerejawi, dapat dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1376 – Yang memprofanasi suatu benda suci, baik benda bergerak maupun tak bergerak, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan.1377 – Yang mengalih-milikkan harta-benda gerejawi tanpa izin yang diwajibkan, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.

JUDUL III
PENYALAHGUNAAN JABATAN-JABATAN GEREJAWI
DAN TINDAK PIDANA DALAM MELAKSANAKANNYA

Kan. 1378 – § 1. Imam, yang bertindak melawan ketentuan kan. 977, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik.
§ 2. Terkena hukuman interdik latae sententiae atau, jika seorang klerikus, suspensi:
10 yang tanpa tahbisan imamat, nekad melakukan liturgi Kurban Ekaristi;
20 yang di luar kasus yang disebut dalam § 1 meskipun tidak dapat dengan sah memberikan absolusi sakramental, nekad memberi-kannya atau mendengarkan pengakuan sakramental.
§ 3. Dalam kasus-kasus yang disebut dalam § 2, sesuai dengan beratnya tindak pidana dapat ditambahkan hukuman-hukuman lain, tak terkecuali ekskomunikasi.
Kan. 1379 – Selain kasus yang disebut dalam kan. 1378, yang berpura-pura memberikan pelayanan sakramen, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1380 – Yang dengan simoni merayakan atau menyambut sakramen, hendaknya dihukum dengan interdik atau suspensi.
Kan. 1381 – § 1. Yang menyalahgunakan jabatan gerejawi hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.
§ 2. Disamakan dengan penyalahgunaan ialah bercokol dalam jabatan secara tidak legitim, sesudah dicabut atau berhenti dari tugas.
Kan. 1382 – Uskup yang tanpa mandat kepausan mengkonsekrasi seseorang menjadi Uskup, demikian pula orang yang menerima konsekrasi darinya, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik.
Kan. 1383 – Uskup yang menahbiskan bawahan orang lain tanpa surat dimisoria yang legitim, melawan ketentuan kan. 1015, dilarang melakukan penahbisan selama satu tahun. Sedangkan orang yang menerima tahbisan itu dengan sendirinya terkena suspensi dari tahbisan yang diterimanya.
Kan. 1384 – Selain kasus yang disebut dalam kan.1378-1383, yang melakukan tugas imam atau pelayanan suci lainnya secara tidak legitim, dapat dihukum dengan hukuman yang adil.
Kan. 1385 – Yang secara tidak legitim menarik keuntungan dari stips Misa, hendaknya dihukum dengan censura atau hukuman yang adil lainnya.
Kan. 1386 – Yang memberi atau menjanjikan sesuatu, agar seseorang yang memangku jabatan dalam Gereja melakukan atau melalaikan sesuatu secara tidak legitim, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil; demikian pula orang yang menerima pemberian atau janji-janji itu.
Kan. 1387 – Imam, yang dalam melayani atau dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam dari Dekalog, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana dengan suspensi, larangan, pencabutan, dan dalam kasus-kasus yang lebih berat hendaknya dikeluarkan dari status klerikal.
Kan. 1388 – § 1. Bapa pengakuan, yang secara langsung melang-gar rahasia sakramental, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana.
§ 2. Penerjemah dan lain-lainnya yang disebut dalam kan. 983, § 2, yang melanggar rahasia, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil, tak terkecuali ekskomunikasi.
Kan. 1389 – § 1. Yang menyalahgunakan kuasa atau tugas gerejawi, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindakan atau kelalaian, tak terkecuali pencabutan jabatan, kecuali terhadap penyalah-gunaan itu telah ditetapkan hukuman oleh undang-undang atau perintah.
§ 2. Sedangkan yang, karena kelalaian yang mengandung kesalahan, melakukan atau melalaikan perbuatan kuasa, pelayanan, ataupun tugas gerejawi secara tidak legitim dengan mengakibatkan kerugian bagi orang lain, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil.

JUDUL IV
KEJAHATAN PEMALSUAN

Kan. 1390 – § 1. Yang secara palsu melaporkan bapa pengakuan mengenai tindak pidana yang disebut dalam kan. 1387 kepada Pemimpin gerejawi, terkena interdik latae sententiae dan, jika ia klerikus, juga terkena suspensi.
§ 2. Yang menyampaikan laporan-fitnah lain mengenai suatu tindak pidana kepada Pemimpin gerejawi, atau dengan cara lain mencemarkan nama baik orang lain, dapat dihukum dengan hukuman yang adil, tak terkecuali censura.
§ 3. Pemfitnah dapat juga dipaksa untuk memberikan pemulihan yang sesuai.
Kan. 1391 – Dapat dihukum dengan hukuman yang adil sesuai dengan beratnya tindak pidana:
10 yang membuat dokumen publik gerejawi palsu, atau mengubah, merusak, menyembunyikan yang benar, atau menggunakan yang palsu atau yang telah diubah;
20 yang menggunakan dokumen lain yang palsu atau telah diubah dalam urusan gerejawi;
30 yang menyatakan sesuatu yang palsu dalam suatu dokumen publik gerejawi.

JUDUL V
TINDAK PIDANA MELAWAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN KHUSUS

Kan. 1392 – Klerikus atau religius yang berdagang atau berbisnis melawan ketentuan-ketentuan kanon, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana.
Kan. 1393 – Yang melanggar kewajiban yang dibebankan pada dirinya oleh suatu hukuman, dapat dijatuhi hukuman yang adil.
Kan. 1394 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 194, § 1, no. 3, klerikus yang mencoba menikah, juga secara sipil saja, terkena suspensi latae sententiae; apabila ia, meskipun sudah diperingatkan, tidak menyesal dan terus membuat sandungan, dapat dihukum secara bertahap dengan pencabutan-pencabutan, sampai dikeluarkan dari status klerikal.
§ 2. Religius berkaul kekal yang bukan klerikus, yang mencoba menikah, juga secara sipil saja, terkena interdik latae sententiae, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 694.
Kan. 1395 – § 1. Klerikus yang berkonkubinat, selain kasus yang disebut dalam kan. 1394, dan klerikus yang tetap berada dalam dosa lahiriah lain melawan perintah keenam dari Dekalog dengan memberikan sandungan, hendaknya dihukum dengan suspensi; jika sesudah diperingatkan, tindak pidana masih berjalan terus, secara bertahap dapat ditambah dengan hukuman-hukuman lain sampai dikeluarkan dari status klerikal.
§ 2. Klerikus yang melakukan kejahatan lain melawan perintah keenam dari Dekalog, apabila tindak pidana itu dilakukan dengan paksaan atau ancaman atau secara publik atau dengan anak di bawah umur enam belas tahun, hendaknya dihukum dengan hukuman-hukuman lain yang adil, tak terkecuali, jika perlu, dikeluarkan dari status klerikal.
Kan. 1396 – Yang melakukan pelanggaran berat terhadap wajib residensi yang mengikatnya atas dasar jabatan gerejawi, hendaknya dihukum dengan hukuman yang adil, tak terkecuali pemberhentian dari jabatan setelah diberi peringatan.

JUDUL VI
TINDAK PIDANA MELAWAN KEHIDUPAN
DAN KEBEBASAN MANUSIA

Kan. 1397 – Yang melakukan pembunuhan, atau secara paksa atau dengan muslihat menculik atau menahan atau membuat cacat atau secara berat melukai manusia, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana dengan pencabutan-pencabutan dan larangan-larangan yang disebut dalam kan. 1336; sedangkan pembunuhan terhadap orang-orang yang disebut dalam kan. 1370 dihukum dengan hukuman-hukuman yang ditetapkan di situ.
Kan. 1398 – Yang melakukan aborsi dan berhasil, terkena ekskomunikasi latae sententiae.

JUDUL VII
NORMA UMUM

Kan. 1399 – Selain kasus-kasus yang ditetapkan dalam undang-undang ini atau undang-undang lainnya, pelanggaran lahiriah suatu hukum ilahi atau undang-undang kanonik hanya dapat dihukum dengan hukuman yang adil, apabila keistimewaan beratnya pelanggaran menuntut penghukuman, dan sungguh diperlukan untuk mencegah atau memperbaiki sandungan.

BUKU VII
HUKUM ACARA

BAGIAN I
PERADILAN PADA UMUMNYA

Kan. 1400 – § 1. Obyek peradilan ialah:
10 penuntutan dan pembelaan hak-hak orang-perorangan atau badan hukum, atau penyataan fakta yuridis;
20 tindak pidana yang menyangkut hukuman yang harus dijatuh-kan atau dinyatakan.
§ 2. Namun sengketa yang timbul dari tindakan kuasa administratif hanya dapat diajukan kepada Pemimpin atau pengadilan administratif.
Kan. 1401 – Gereja memiliki hak sendiri dan eksklusif untuk mengadili:
10 perkara-perkara yang menyangkut urusan-urusan spiritual dan hal-hal yang berkaitan dengannya;
20 pelanggaran undang-undang gerejawi dan segala sesuatu yang mengandung unsur dosa sejauh menyangkut penentuan kesalahan dan penjatuhan hukuman-hukuman gerejawi.
Kan. 1402 – Semua pengadilan Gereja diatur oleh kanon-kanon berikut, dengan tetap berlaku norma-norma pengadilan-pengadilan Takhta Apostolik.
Kan. 1403 – § 1. Perkara-perkara kanonisasi para Hamba Allah diatur dengan undang-undang khusus kepausan.
§ 2. Mengenai perkara-perkara kanonisasi tersebut, selain itu juga diterapkan ketentuan-ketentuan Kodeks ini, setiap kali undang-undang khusus itu menunjuk hukum umum atau setiap kali mengenai norma-norma yang dari hakikatnya juga menyangkut perkara-perkara yang sama.

JUDUL I
PENGADILAN YANG BERWENANG

Kan. 1404 – Takhta Pertama tidak diadili oleh siapa pun.
Kan. 1405 – § 1. Hanya Paus sendirilah yang berhak mengadili perkara-perkara yang disebut dalam kan. 1401:
10 para pemegang kepemimpinan tertinggi pemerintahan sipil;
20 para Bapa Kardinal;
30 para Duta Takhta Apostolik dan, dalam perkara-perkara pidana, para Uskup;
40 perkara-perkara lain yang peradilannya ditarik pada dirinya sendiri.
§ 2. Seorang hakim tidak dapat memeriksa suatu tindakan atau dokumen yang telah dikukuhkan secara khusus (in forma specifica) oleh Paus, kecuali ia telah mendapat mandat darinya.
§ 3. Direservasi bagi Rota Romana untuk mengadili:
10 para Uskup dalam perkara perdata, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1419, § 2;
20 Abas primas atau Abas superior kongregasi monastik dan Pemimpin tertinggi tarekat-tarekat religius bertingkat kepausan;
30 keuskupan-keuskupan dan orang-perorangan atau badan hukum gerejawi lain, yang tidak memiliki Pemimpin dibawah Paus.
Kan. 1406 – § 1. Apabila ketentuan kan. 1404 dilanggar, akta dan putusan-putusan dianggap tidak ada.
§ 2. Dalam perkara-perkara yang disebut kan. 1405 ketidak-wenangan hakim-hakim lain adalah mutlak.
Kan. 1407 – § 1. Tak seorang pun dapat digugat di pengadilan tingkat pertama, kecuali di hadapan hakim gerejawi yang memiliki kewenangan berdasarkan salah satu dari dasar-dasar yang ditentukan dalam kan. 1408-1414.
§ 2. Ketidakwenangan hakim, yang tidak memiliki salah satu dari dasar-dasar tersebut, disebut relatif.
§ 3. Penggugat mengikuti pengadilan pihak tergugat; apabila pihak tergugat memiliki beberapa pengadilan, penggugat dapat memilih salah satu darinya.
Kan. 1408 – Siapa pun dapat digugat di hadapan pengadilan domisili atau kuasi-domisili.
Kan. 1409 – § 1. Pengembara memiliki pengadilan di tempat ia sedang berada.
§ 2. Orang yang tidak diketahui domisili atau kuasi-domisili atau tempat beradanya, dapat digugat di pengadilan penggugat, asalkan tidak ada pengadilan lain yang legitim.
Kan. 1410 – Atas dasar tempat benda, pihak tergugat dapat diadukan di pengadilan wilayah tempat benda sengketa itu, setiap kali pengaduan itu ditujukan kepada benda tersebut atau mengenai pemulihannya kembali.
Kan. 1411 – § 1. Atas dasar kontrak, pihak tergugat dapat diadukan ke pengadilan wilayah tempat kontrak itu diadakan atau harus dipenuhi, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan sepakat memilih pengadilan lain.
§ 2. Jika perkara mengenai kewajiban-kewajiban yang timbul dari dasar lain, pihak tergugat dapat diadukan ke pengadilan wilayah tempat kewajiban itu timbul atau harus dipenuhi.
Kan. 1412 – Dalam perkara-perkara pidana terdakwa, meskipun tidak hadir, dapat diadukan ke pengadilan wilayah tempat tindak pidana telah dilakukan.
Kan. 1413 – Pihak tergugat dapat diadukan:
10 dalam perkara-perkara mengenai administrasi, ke pengadilan wilayah tempat administrasi itu dilaksanakan;
20 dalam perkara-perkara yang menyangkut warisan atau peninggalan-peninggalan saleh, ke pengadilan tempat domisili atau kuasi-domisili atau tempat tinggal, menurut norma kan. 1408-1409, dari orang yang warisan atau peninggalan salehnya disengketakan, kecuali semata-mata mengenai pelaksanaan peninggalan yang harus diperiksa menurut norma-norma kewenangan biasa.
Kan. 1414 – Atas dasar keterkaitan, perkara-perkara yang saling berkaitan harus diperiksa oleh satu pengadilan yang sama dan dalam satu proses yang sama, kecuali ketentuan undang-undang menghalanginya.
Kan. 1415 – Atas dasar prevensi, apabila dua pengadilan atau lebih sama-sama berwenang, hak memeriksa perkara ada pada pengadilan yang lebih dahulu memanggil pihak tergugat secara legitim.
Kan. 1416 – Konflik kewenangan antara pengadilan-pengadilan yang dibawahkan pada satu pengadilan-banding yang sama, dipecahkan oleh pengadilan-banding itu; jika tidak dibawahkan pada pengadilan-banding yang sama, dipecahkan oleh Signatura Apostolica.

JUDUL II
BERBAGAI TINGKAT DAN MACAM PENGADILAN

Kan. 1417 – § 1. Karena primat Paus, setiap orang beriman berhak penuh untuk mengajukan atau mengalihkan perkaranya kepada Takhta Suci untuk diputus, baik perkara perdata maupun pidana, dalam tingkat peradilan manapun dan pada tahap persengketaan manapun.
§ 2. Tetapi pengajuan ke Takhta Apostolik itu tidak menangguh-kan pelaksanaan yurisdiksi hakim yang telah mulai memeriksa perkara tersebut, kecuali dalam perkara naik banding; oleh karena itu hakim tersebut dapat melanjutkan peradilan sampai putusan definitif, kecuali Takhta Apostolik memberitahukan kepada hakim tersebut bahwa ia menarik perkara itu kepada dirinya.
Kan. 1418 – Setiap pengadilan manapun berhak minta bantuan pengadilan lain untuk melaksanakan proses perkara atau menyampai-kan tindakan yuridis.

BAB I
PENGADILAN INSTANSI PERTAMA

Artikel 1
HAKIM

Kan. 1419 – § 1. Di setiap keuskupan dan untuk semua perkara yang dalam hukum tidak dikecualikan secara jelas, hakim instansi pertama ialah Uskup diosesan, yang dapat melaksanakan kuasa yudisialnya, sendiri atau lewat orang lain, menurut kanon-kanon berikut.
§ 2. Namun jika mengenai hak-hak atau harta benda badan hukum yang diwakili oleh Uskup, pada tingkat pertama diadili oleh pengadilan-banding.
Kan. 1420 – § 1. Uskup diosesan manapun wajib mengangkat seorang Vikaris yudisial atau Ofisial, yang bukan Vikaris jenderal, dengan kuasa jabatan untuk mengadili, kecuali kecilnya keuskupan atau sedikitnya jumlah perkara menganjurkan lain.
§ 2. Vikaris yudisial bersama Uskup membentuk satu pengadilan, tetapi tidak dapat mengadili perkara-perkara yang direservasi oleh Uskup bagi dirinya sendiri.
§ 3. Vikaris yudisial dapat diberi pembantu-pembantu, yang namanya Vikaris-yudisial-pembantu atau Wakil-ofisial.
§ 4. Baik Vikaris yudisial maupun para Vikaris-yudisial-pembantu haruslah imam, mempunyai nama baik, doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat, berumur tidak kurang dari tiga puluh tahun.
§ 5. Mereka itu, apabila takhta lowong, tidak terhenti dari jabatan dan tidak dapat diberhentikan oleh Administrator diosesan; tetapi apabila ada Uskup baru, membutuhkan pengukuhan.
Kan. 1421 – § 1. Dalam keuskupan hendaknya oleh Uskup diangkat hakim-hakim keuskupan, yang hendaknya klerikus.
§ 2. Konferensi para Uskup dapat mengizinkan agar juga orang beriman awam diangkat menjadi hakim; dari antara mereka, jika diperlukan, satu orang dapat diambil untuk membentuk suatu kolegium.
§ 3. Para hakim hendaknya orang yang memiliki nama baik dan doktor dalam hukum kanonik atau sekurang-kurangnya lisensiat.
Kan. 1422 – Vikaris yudisial, para Vikaris-yudisial-pembantu dan para hakim lain diangkat untuk jangka waktu tertentu, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1420, § 5, dan tidak dapat diberhentikan kecuali karena alasan yang legitim dan berat.
Kan. 1423 – § 1. Atas persetujuan Takhta Apostolik, beberapa Uskup diosesan dapat bersepakat untuk membentuk satu pengadilan instansi pertama dalam keuskupan-keuskupan mereka, sebagai ganti pengadilan-pengadilan diosesan yang disebut dalam kan. 1419-1421; dalam hal itu kelompok Uskup tersebut atau salah seorang Uskup yang mereka tunjuk memiliki semua kekuasaan, yang dimiliki oleh Uskup diosesan mengenai pengadilannya.
§ 2. Pengadilan-pengadilan yang disebut dalam § 1 ini dapat dibentuk untuk menangani segala macam perkara atau hanya untuk beberapa macam perkara.
Kan. 1424 – Hakim tunggal dalam peradilan apapun dapat mengambil sebagai pendamping dua orang asesor, yang adalah klerikus atau orang awam yang teruji kehidupannya.
Kan. 1425 – § 1. Dengan menghapus kebiasaan yang berlawanan, bagi kolegium tiga orang hakim direservasi:
10 perkara-perkara perdata: a) ikatan tahbisan suci; b) ikatan per-kawinan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1686 dan 1688;
20 perkara-perkara pidana: a) tindak pidana yang dapat membawa-serta hukuman dikeluarkan dari status klerikal; b) ekskomu-nikasi yang harus dijatuhkan atau dinyatakan.
§ 2. Uskup dapat menyerahkan perkara-perkara yang amat sulit atau amat penting kepada peradilan tiga atau lima orang hakim.
§ 3. Vikaris yudisial hendaknya menunjuk hakim-hakim menurut urutan bergilir untuk memeriksa masing-masing perkara, kecuali Uskup menentukan lain untuk setiap kasus.
§ 4. Dalam peradilan tingkat pertama, jika barangkali tidak dapat dibentuk suatu kolegium, Konferensi para Uskup, selama ketidak-mungkinan itu masih ada, dapat mengizinkan agar Uskup menyerahkan perkara-perkara kepada seorang klerikus sebagai hakim tunggal, yang jika mungkin, hendaknya menyertakan seorang asesor dan seorang auditor.
§ 5. Vikaris yudisial, janganlah menggantikan hakim-hakim yang sekali telah ditunjuknya, kecuali atas dasar alasan yang sangat berat, yang harus dinyatakan dalam dekret.
Kan. 1426 – § 1. Pengadilan kolegial harus bertindak secara kolegial, dan menjatuhkan putusan lewat suara terbanyak.
§ 2. Pengadilan kolegial itu sejauh mungkin harus diketuai oleh Vikaris yudisial atau Vikaris-yudisial-pembantu.
Kan. 1427 – § 1. Apabila terjadi sengketa antara para religius atau antara rumah-rumah dari satu tarekat religius klerikal bertingkat kepausan, maka yang menjadi hakim instansi pertama adalah Pemimpin provinsi, atau, jika mengenai biara mandiri, Abas setempat, kecuali dalam konstitusi dinyatakan lain.
§ 2. Dengan tetap berlaku ketentuan yang berbeda dari konstitusi, apabila menyangkut perkara perdata antara dua provinsi, maka yang mengadili pada instansi pertama adalah Pemimpin tertinggi sendiri atau lewat orang yang dikuasakan olehnya; apabila antara dua biara monastik, Abas superior dari kongregasi monastik.
§ 3. Akhirnya apabila perselisihan timbul antara orang-perorangan atau badan hukum religius dari berbagai tarekat religius, atau juga antara orang-perorangan atau badan hukum dari tarekat klerikal atau laikal bertingkat keuskupan, atau antara orang-perorangan dengan klerikus sekular atau awam atau badan hukum bukan religius, pada instansi pertama yang mengadili adalah pengadilan keuskupan.

Artikel 2
AUDITOR DAN RELATOR

Kan. 1428 – § 1. Hakim atau ketua pengadilan kolegial dapat menunjuk seorang auditor untuk melaksanakan proses perkara, dengan memilih seorang entah dari antara para hakim pengadilan entah dari orang-orang yang telah disetujui oleh Uskup untuk tugas itu.
§ 2. Untuk tugas auditor Uskup dapat menyetujui klerikus atau awam, yang unggul dalam moral yang baik, kearifan dan ajaran.
§ 3. Tugas auditor, sesuai mandat dari hakim, hanyalah mengum-pulkan bukti-bukti, dan setelah terkumpul menyerahkannya kepada hakim; tetapi kecuali mandat hakim melarang, sementara itu ia dapat memutuskan bukti-bukti mana dan bagaimana bukti-bukti tersebut dikumpulkan, jika barangkali timbul pertanyaan tentang hal itu, sementara ia menunaikan tugasnya.
Kan. 1429 – Ketua pengadilan kolegial harus menunjuk seorang dari kolegium hakim sebagai ponens atau relator, yang harus melaporkan perkaranya dalam sidang para hakim dan merumuskan putusan tertulis; atas alasan yang wajar ketua dapat mengganti dia dengan orang lain.

Artikel 3
PROMOTOR IUSTITIAE, DEFENSOR VINCULI
DAN NOTARIUS

Kan. 1430 – Untuk perkara-perkara perdata, yang dapat membahayakan kepentingan umum, dan untuk perkara-perkara pidana, hendaknya dalam keuskupan diangkat seorang promotor iustitiae, yang oleh jabatannya wajib menyelenggarakan kepentingan umum.
Kan. 1431 – § 1. Dalam perkara-perkara perdata, Uskup diosesan berhak menilai apakah kepentingan umum dapat dibahayakan atau tidak, kecuali campurtangan promotor iustitae diperintahkan oleh hukum atau kalau dari hakikat perkaranya jelas perlu.
§ 2. Jika promotor iustitiae telah campurtangan pada instansi sebelumnya, maka campurtangan itu diandaikan perlu pada tingkat berikutnya.
Kan. 1432 – Untuk perkara-perkara yang menyangkut nulitas penahbisan suci atau nulitas atau pemutusan perkawinan, hendaknya dalam keuskupan diangkat seorang defensor vinculi, yang demi jabatan wajib mengetengahkan serta menguraikan segala sesuatu yang secara wajar dapat diajukan melawan nulitas atau pemutusan.
Kan. 1433 – Dalam perkara-perkara dimana dituntut kehadiran promotor iustitiae atau defensor vinculi, apabila mereka tidak diundang, maka akta adalah tidak sah, kecuali mereka, meskipun tidak diundang, nyatanya hadir, atau sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan, mereka dapat memenuhi tugasnya dengan memeriksa akta.
Kan. 1434 – Kecuali secara jelas dinyatakan lain:
10 setiap kali undang-undang memerintahkan agar hakim men-dengar pihak-pihak yang berperkara atau salah satu dari mereka, maka juga promotor iustitiae dan defensor vinculi, jika melibatkan diri dalam sidang peradilan, haruslah didengarkan;
20 setiap kali pengajuan pihak yang bersangkutan dibutuhkan agar hakim dapat memutuskan sesuatu, maka pengajuan perkara oleh promotor iustitiae atau defensor vinculi yang melibatkan diri dalam peradilan mempunyai kekuatan yang sama.
Kan. 1435 – Tugas Uskuplah mengangkat promotor iustitiae dan defensor vinculi, yang hendaknya klerikus atau awam, yang memiliki nama baik, doktor atau lisensiat dalam hukum kanonik, teruji dalam kearifan serta semangat keadilannya.
Kan. 1436 – § 1. Orang yang sama, tetapi tidak dalam perkara yang sama, dapat mengemban tugas promotor iustitiae dan defensor vinculi.
§ 2. Promotor dan defensor dapat ditetapkan untuk semua perkara atau untuk perkara-perkara tertentu; tetapi dapat diberhentikan oleh Uskup atas alasan yang wajar.
Kan. 1437 – § 1. Dalam proses manapun haruslah hadir notarius, sedemikian sehingga akta dianggap tak ada jika tidak ditandatangani olehnya.
§ 2. Akta yang dibuat oleh notarius merupakan akta resmi (publicam fidem facere).

BAB II
PENGADILAN INSTANSI KEDUA

Kan. 1438 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1444, § 1, 10:
10 dari pengadilan Uskup sufragan, naik banding diajukan ke pengadilan Uskup Metropolit, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1439;
20 dalam perkara-perkara yang pada instansi pertama diselesaikan di hadapan Uskup Metropolit, naik banding diajukan ke penga-dilan yang ditunjuknya sendiri secara tetap dengan persetujuan Takhta Apostolik;
30 untuk perkara-perkara yang ditangani di hadapan Pemimpin provinsi, pengadilan instansi kedua adalah Pemimpin tertinggi; untuk perkara-perkara yang ditangani di hadapan Abas setempat, di hadapan Abas superior kongregasi monastik.
Kan. 1439 – § 1. Jika dibentuk suatu pengadilan tunggal sebagai pengadilan instansi pertama untuk beberapa keuskupan, menurut norma kan. 1423, maka Konferensi para Uskup haruslah membentuk pengadilan instansi kedua, dengan persetujuan Takhta Apostolik, kecuali semua keuskupan itu merupakan sufragan dari satu keuskupan agung yang sama.
§ 2. Konferensi para Uskup, dengan persetujuan Takhta Apostolik, dapat membentuk satu atau beberapa pengadilan instansi kedua, juga diluar kasus yang disebut dalam § 1.
§ 3. Mengenai pengadilan instansi kedua yang disebut dalam §§ 1-2, Konferensi para Uskup atau Uskup yang ditunjuk oleh Konfe-rensi itu memiliki semua kuasa sebagaimana yang dimiliki oleh Uskup diosesan terhadap pengadilannya.
Kan. 1440 – Jika wewenang atas dasar tingkat menurut norma kan. 1438 dan 1439 tidak ditepati, ketidak-wenangan hakim adalah mutlak.
Kan. 1441 – Pengadilan instansi kedua harus dibentuk dengan cara yang sama seperti pengadilan instansi pertama. Namun jika dalam tingkat pertama, menurut kan. 1425, § 4, hakim tunggal menjatuhkan putusan, pengadilan tingkat kedua haruslah bertindak secara kolegial.

BAB III
PENGADILAN-PENGADILAN TAKHTA APOSTOLIK

Kan. 1442 – Paus adalah hakim tertinggi untuk seluruh dunia katolik, yang mengadili sendiri atau lewat pengadilan-pengadilan biasa Takhta Apostolik, atau lewat hakim-hakim yang diberi delegasi olehnya.
Kan. 1443 – Pengadilan biasa yang dibentuk oleh Paus untuk menerima banding ialah Rota Romana.
Kan. 1444 – § 1. Rota Romana mengadili:
10 pada instansi kedua, perkara-perkara yang sudah diputus oleh pengadilan-pengadilan biasa pada instansi pertama dan diajukan ke Takhta Suci lewat permohonan-banding yang legitim;
20 pada instansi ketiga atau instansi selanjutnya, perkara-perkara yang telah diperiksa oleh Rota Romana sendiri dan oleh pengadilan-pengadilan lain manapun, kecuali perkaranya sudah menjadi perkara teradili (res iudicata).
§ 2. Pengadilan itu juga mengadili pada instansi pertama perkara-perkara yang disebut dalam kan. 1405, § 3, serta perkara-perkara lain yang ditarik oleh Paus bagi pengadilannya sendiri, entah dari kehendaknya sendiri ataupun atas permohonan pihak-pihak yang bersangkutan, dan diserahkan kepada Rota Romana; dan mengenai perkara-perkara itu Rota juga mengadilinya dalam instansi kedua dan selanjutnya, kecuali disebutkan lain dalam surat penugasannya.
Kan. 1445 – § 1. Pengadilan Tertinggi Signatura Apostolica memeriksa:
10 pengaduan nulitas dan permohonan peninjauan kembali secara menyeluruh (restitutio in integrum), dan rekursus-rekursus lain melawan putusan-putusan Rota;
20 rekursus dalam perkara-perkara mengenai status pribadi-pribadi, yang pemeriksaan ulangnya ditolak oleh Rota Romana;
30 eksepsi-eksepsi yang menyangkut kecurigaan dan alasan-alasan lain melawan para Auditor Rota Romana karena kinerja mereka;
40 konflik kewenangan yang disebut dalam kan. 1416.
§ 2. Pengadilan itu mengadili sengketa-sengketa yang timbul dari tindakan kuasa administratif gerejawi yang secara legitim diajukan kepadanya, perselisihan administratif lain yang oleh Paus atau oleh dikasteri Kuria Roma diajukan kepadanya, dan konflik kewenangan antar dikasteri itu.
§ 3. Selain itu Pengadilan Tertinggi ini juga bertugas:
10 mengawasi pelayanan keadilan yang benar dan jika perlu menegur para pengacara atau orang yang dikuasakan;
20 memperluas wewenang pengadilan-pengadilan;
30 memajukan dan menyetujui pembentukan pengadilan-pengadilan yang disebut dalam kan. 1423 dan 1439.

JUDUL III
TATA-TERTIB YANG HARUS DITAATI DI PENGADILAN

BAB I
TUGAS HAKIM DAN PETUGAS PENGADILAN

Kan. 1446 – § 1. Semua orang beriman kristiani, terutama para Uskup, hendaknya berusaha sungguh-sungguh agar, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan, sengketa-sengketa di kalangan umat Allah sedapat mungkin dihindarkan dan secepat mungkin diselesaikan dengan damai.
§ 2. Pada awal sengketa, dan juga pada tahap lain manapun, setiap kali melihat adanya harapan akan berhasil, hakim jangan lalai mendorong dan menolong pihak-pihak yang bersengketa, agar bersama-sama mencari pemecahan yang wajar dari perselisihan mereka, menunjukkan kepada mereka jalan-jalan yang tepat untuk tujuan itu, juga dengan menggunakan penengah yang berwibawa.
§ 3. Apabila sengketa berkisar pada harta benda privat pihak-pihak yang bersangkutan, hakim hendaknya mempertimbangkan apakah dengan suatu musyawarah atau putusan arbitrasi perselisihan itu dapat diakhiri secara menguntungkan, menurut norma kan. 1713-1716.
Kan. 1447 – Barangsiapa sudah menangani suatu perkara sebagai hakim, promotor iustitiae, defensor vinculi, orang yang dikuasakan, pengacara, saksi atau tenaga ahli, tidak dapat kemudian secara sah memutuskan perkara yang sama itu sebagai hakim pada instansi lainnya atau menerima tugas sebagai asesor dalam perkara itu juga.
Kan. 1448 – § 1. Hakim tidak boleh memeriksa perkara, dimana kepentingan pribadinya tersangkut atas dasar hubungan darah atau kesemendaan dalam garis keturunan lurus tingkat manapun dan dalam garis keturunan menyamping sampai dengan tingkat keempat, atau atas dasar perwalian dan pengawasan, hubungan akrab, permusuhan berat, atau untuk memperoleh untung maupun menghindari kerugian.
§ 2. Dalam keadaan yang sama juga promotor iustitiae, defensor vinculi, asesor dan auditor harus menjauhkan diri dari pelaksanaan tugas mereka.
Kan. 1449 – § 1. Dalam kasus yang disebut dalam kan. 1448, jika hakim sendiri tidak menjauhkan diri dari tugasnya, pihak yang berkepentingan dapat menolaknya.
§ 2. Terhadap penolakan itu hendaknya Vikaris yudisial mengambil keputusan; jika ia sendiri yang ditolak, hendaknya Uskup yang mengetuai pengadilan memutuskannya.
§ 3. Jika Uskup sendiri menjadi hakim dan terhadap dia diajukan penolakan, janganlah ia melakukan peradilan.
§ 4. Jika penolakan diajukan terhadap promotor iustitiae, defensor vinculi atau petugas pengadilan lain, hendaknya ketua dalam pengadilan kolegial atau hakim sendiri dalam hal hakim tunggal, membuat putusan atas eksepsi ini.
Kan. 1450 – Jika penolakan itu diterima, personalia harus diganti, tetapi bukan tingkat peradilannya.
Kan. 1451 – § 1. Masalah penolakan hendaknya diputuskan secepat mungkin, dengan mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan, promotor iustitiae atau defensor vinculi, jika mereka itu terlibat dan bukan mereka itu sendiri yang ditolak.
§ 2. Tindakan yang dilakukan oleh hakim sebelum ia ditolak adalah sah; tetapi yang dilakukan sesudah diajukan penolakan, harus dibatalkan, apabila pihak yang bersangkutan memintanya dalam waktu sepuluh hari sesudah penolakan diterima.
Kan. 1452 – § 1. Dalam urusan yang melulu menyangkut kepentingan privat, hakim hanya dapat bertindak atas permintaan pihak yang bersangkutan. Tetapi dalam perkara-perkara pidana atau perkara-perkara lain yang mengenai kepentingan umum Gereja atau keselamatan jiwa-jiwa, sekali perkara dimulai secara legitim, hakim dapat dan harus bertindak, juga demi jabatannya.
§ 2. Namun selain itu hakim dapat melengkapi kelalaian pihak-pihak yang bersangkutan dalam mengutarakan bukti-bukti atau mengajukan eksepsi, setiap kali ia sendiri menilainya perlu untuk menghindari putusan yang sangat tidak adil, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1600.
Kan. 1453 – Para hakim dan pengadilan-pengadilan hendaknya mengusahakan agar semua perkara secepat mungkin diselesaikan, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan, dan agar pada pengadilan instansi pertama jangan sampai berlangsung melebihi satu tahun; sedangkan dalam pengadilan instansi kedua, jangan melebihi enam bulan.
Kan. 1454 – Semua anggota pengadilan atau yang membantunya harus mengucapkan sumpah untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan setia.
Kan. 1455 – § 1. Para hakim dan petugas pengadilan wajib menyimpan rahasia jabatan; dalam peradilan pidana, selalu; sedangkan dalam peradilan perdata, jika pengungkapan suatu akta proses dapat merugikan pihak yang bersangkutan.
§ 2. Mereka juga selalu wajib menyimpan rahasia mengenai diskusi yang dilangsungkan antara para hakim pada pengadilan kolegial sebelum menjatuhkan putusan, dan juga tentang berbagai pemungutan suara serta pendapat-pendapat yang dikemukakan di situ, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1609, § 4.
§ 3. Bahkan, setiap kali hakikat perkara atau pembuktian adalah sedemikian sehingga penyebaran akta atau pembuktian dapat membahayakan nama baik orang lain, atau memberi alasan percekcokan, atau menimbulkan sandungan atau semacam kerugian lain, hakim dapat mewajibkan dengan sumpah para saksi, ahli, pihak-pihak yang berperkara dan pengacaranya serta orang yang dikuasakan untuk menyimpan rahasia.
Kan. 1456 – Hakim dan semua petugas pengadilan dilarang menerima pemberian apapun karena melaksanakan peradilan.
Kan. 1457 – § 1. Hakim-hakim yang, meskipun pasti dan jelas berwenang, menolak melakukan peradilan, atau tanpa dasar ketentuan hukum menyatakan diri berwenang dan memeriksa serta memutus perkara, atau melanggar peraturan kerahasiaan, atau menyebabkan kerugian lain bagi pihak-pihak yang bersengketa karena muslihat atau kelalaiannya yang berat, dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal oleh otoritas yang berwenang, tak terkecuali pemecatan dari jabatannya.
§ 2. Sanksi yang sama juga dikenakan pada petugas-petugas dan pembantu-pembantu pengadilan, jika mereka melalaikan tugasnya seperti di atas; dan mereka semua itu juga dapat dihukum oleh hakim.

BAB II
URUTAN PEMERIKSAAN

Kan. 1458 – Perkara-perkara harus diperiksa menurut urutan diajukannya serta dicatat dalam daftar, kecuali ada yang harus digarap lebih cepat dari yang lain-lain, dan itupun harus ditetapkan dengan suatu dekret khusus dengan mencantumkan alasan-alasannya.
Kan. 1459 – § 1. Cacat-cacat, yang dapat menyebabkan nulitas putusan, dapat diajukan sebagai eksepsi pada tahap atau tingkat peradilan manapun; demikian pula dapat dinyatakan oleh hakim ex officio.
§ 2. Di luar kasus yang disebut dalam § 1, eksepsi yang minta penundaan, terutama yang mengenai pribadi-pribadi serta cara peradilan, haruslah diajukan sebelum penentuan pokok sengketa, kecuali baru muncul sesudah penentuan pokok sengketa; jika demikian, harus secepat mungkin dibuat keputusan atasnya.
Kan. 1460 – § 1. Jika eksepsi diajukan melawan wewenang hakim, hakim itu sendiri harus memutuskannya.
§ 2. Dalam hal eksepsi mengenai ketidak-wenangan relatif, jika hakim menyatakan dirinya berwenang, maka putusannya tidak mengenal banding, akan tetapi tidak menghalangi pengaduan nulitas dan peninjauan-kembali secara menyeluruh.
§ 3. Namun jika hakim menyatakan dirinya tidak berwenang, pihak yang merasa berkeberatan, dapat menghubungi pengadilan banding dalam waktu-guna lima belas hari.
Kan. 1461 – Hakim yang dalam tahap perkara manapun menyadari dirinya tidak berwenang secara mutlak, harus menyatakan ketidakwenangannya.
Kan. 1462 – § 1. Eksepsi atas perkara sudah teradili, eksepsi atas perkara sudah terselesaikan dengan kesepakatan, dan eksepsi lain yang-menghentikan-proses (peremptoir) yang disebut litis finitae (kasus tertutup) haruslah diajukan dan diputuskan sebelum penentuan pokok sengketa; jika mengajukannya kemudian, orang yang baru kemudian mengajukannya, tidak harus ditolak, tetapi hendaknya didenda membayar ongkos, kecuali ia membuktikan bahwa tanpa itikad buruk ia menunda pengajuan penyanggahan itu.
§ 2. Eksepsi-eksepsi lain yang-menghentikan-proses hendaknya diajukan dalam penentuan pokok sengketa, dan pada waktunya ditangani menurut peraturan-peraturan mengenai masalah-masalah sela.
Kan. 1463 – § 1. Gugatan balik tidak dapat diajukan secara sah, kecuali dalam waktu tiga puluh hari sejak penentuan pokok sengketa.
§ 2. Namun gugatan semacam itu hendaknya diperiksa bersama dengan gugatan semula, yakni pada tingkat yang sama, kecuali gugatan balik itu perlu diperiksa secara terpisah, atau hakim menilai lebih tepat demikian.
Kan. 1464 – Masalah-masalah jaminan ongkos peradilan yang harus dibayarkan atau pemberian bantuan hukum cuma-cuma, yang harus diajukan segera sejak awal dan hal-hal lain semacam itu biasanya harus diputuskan sebelum penentuan pokok sengketa.

BAB III
BATAS WAKTU DAN PENUNDAAN

Kan. 1465 – § 1. Fatalia legis, yakni batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk gugurnya hak-hak, tidak dapat diperpanjang, dan tidak dapat diperpendek dengan sah, kecuali atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan.
§ 2. Namun batas-batas waktu pengadilan dan yang disepakati, sebelum habis waktu, dapat diperpanjang oleh hakim atas dasar alasan yang wajar, setelah mendengarkan atau atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan; tetapi tak pernah dapat dikurangi secara sah tanpa persetujuan mereka.
§ 3. Namun hakim harus menjaga agar sengketa jangan menjadi terlalu berlarut-larut karena perpanjangan.
Kan. 1466 – Apabila undang-undang tidak menentukan batas waktu untuk menyelesaikan tindakan-tindakan proses, hakim harus menentukan itu sebelumnya, dengan mengingat hakikat masing-masing tindakan.
Kan. 1467 – Jika pada hari yang ditunjuk untuk suatu tindakan peradilan, pengadilan libur, batas waktu dianggap diundur ke hari berikut yang tidak libur.

BAB IV
TEMPAT PERADILAN

Kan. 1468 – Tempat kedudukan setiap pengadilan hendaknya sedapat mungkin tetap dan buka pada jam-jam yang ditentukan.
Kan. 1469 – § 1. Hakim yang secara paksa diusir dari wilayahnya atau di situ terhalang melaksanakan kuasanya, dapat melaksanakan kuasanya dan menjatuhkan putusan di luar wilayahnya, tetapi setelah memberitahukan hal itu kepada Uskup diosesan.
§ 2. Diluar kasus yang disebut dalam § l, hakim, atas alasan yang wajar dan setelah mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan, dapat pergi juga ke luar wilayahnya sendiri untuk mendapatkan bukti-bukti, tetapi seizin Uskup diosesan dari wilayah yang akan didatangi dan di tempat yang ditunjuk oleh Uskup itu.

BAB V
ORANG-ORANG YANG DIIZINKAN HADIR
DALAM RUANG SIDANG
DAN CARA MENYUSUN SERTA MENYIMPAN AKTA

Kan. 1470 – § 1. Kecuali undang-undang partikular menentukan lain, selama perkara dibicarakan di hadapan pengadilan, hanyalah mereka yang ditentukan oleh undang-undang atau hakim bahwa mereka dibutuhkan untuk jalannya proses peradilan, hadir dalam ruang sidang.
§ 2. Semua yang menghadiri peradilan, jika secara berat tidak menunjukkan sikap hormat dan taat yang semestinya terhadap pengadilan, dapat ditertibkan dengan hukuman yang wajar oleh hakim; selain itu hakim dapat menangguhkan pelaksanaan tugas para pengacara dan orang yang dikuasakan pada pengadilan-pengadilan gerejawi.
Kan. 1471 – Jika orang yang harus diperiksa menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh hakim atau pihak-pihak yang bersangkutan, hendaknya digunakan penerjemah yang ditunjuk oleh hakim dan disumpah. Tetapi pernyataan-pernyataan hendaknya ditulis dalam bahasa asli dan ditambahkan terjemahannya. Penerjemah juga diguna-kan jika seorang yang tuli atau bisu harus diperiksa, kecuali barangkali hakim lebih menyukai jawaban atas pertanyaan yang diajukannya secara tertulis.
Kan. 1472 – § 1. Akta peradilan, baik yang mengenai isi masalah atau akta perkara, maupun yang termasuk tata-prosedural atau akta proses, haruslah tertulis.
§ 2. Setiap lembar akta hendaknya diberi nomor dan dibubuhi tanda keaslian.
Kan. 1473 – Setiap kali dalam akta peradilan dituntut tanda-tangan pihak-pihak yang bersangkutan atau tanda-tangan saksi, padahal pihak atau saksi itu tidak dapat atau tidak mau membubuhkan tanda-tangan, hendaknya hal itu dicatat dalam akta itu juga, sekaligus hakim dan notarius memberi kesaksian bahwa akta itu telah dibacakan kata demi kata kepada pihak atau saksi tersebut, dan bahwa pihak atau saksi itu tidak dapat atau tidak mau membubuhkan tanda-tangan.
Kan. 1474 – § 1. Dalam hal naik banding, salinan akta yang telah disahkan oleh notarius mengenai keasliannya dikirim ke pengadilan yang lebih tinggi.
§ 2. Jika akta disusun dalam bahasa yang tidak dikenal oleh pengadilan yang lebih tinggi, hendaknya diterjemahkan ke dalam bahasa lain yang dikenal oleh pengadilan itu; haruslah dijaga agar terjemahannya setia.
Kan. 1475 – § 1. Sesudah peradilan selesai, dokumen-dokumen yang menjadi milik pribadi haruslah dikembalikan, tetapi dengan ditinggalkan salinannya.
§ 2. Notarius dan Cancellarius dilarang menyerahkan salinan akta peradilan dan dokumen-dokumen yang diperoleh untuk proses tanpa perintah hakim.

JUDUL IV
PIHAK YANG BERPERKARA

BAB I
PENGGUGAT DAN PIHAK TERGUGAT

Kan. 1476 – Siapa pun, baik dibaptis maupun tidak, dapat menggugat di pengadilan; adapun pihak tergugat secara legitim harus menjawabnya.
Kan. 1477 – Meskipun penggugat atau pihak tergugat telah menunjuk orang yang dikuasakan atau pengacara, namun ia selalu wajib hadir secara pribadi dalam sidang pengadilan menurut ketentuan hukum atau hakim.
Kan. 1478 – § 1. Orang yang belum dewasa dan mereka yang tidak dapat menggunakan akal-budi hanya dapat tampil di pengadilan lewat orangtua atau wali atau pengawas mereka, dengan tetap berlaku ketentuan § 3.
§ 2. Jika hakim menilai bahwa hak-hak mereka yang belum dewasa berselisih dengan hak orangtua atau wali atau pengawas mereka, maka mereka tampil di pengadilan lewat wali atau pengawas yang ditunjuk oleh hakim.
§ 3. Tetapi dalam perkara-perkara spriritual dan yang berkaitan dengannya, jika mereka yang belum dewasa itu sudah dapat menggunakan akalbudi, dapat menggugat dan menjawab tanpa persetujuan orangtua atau wali, dan dapat tampil sendiri, jika sudah berumur genap empat belas tahun; jika tidak, lewat pengasuh yang ditunjuk oleh hakim.
§ 4. Mereka yang dilarang mengurusi harta bendanya, dan mereka yang lemah mental, dapat tampil secara pribadi di pengadilan hanya untuk menjawab mengenai tindak pidananya sendiri, atau atas perintah hakim; dalam hal-hal lain mereka harus menggugat dan menjawab melalui para pengawas mereka.
Kan. 1479 – Setiap kali ada wali atau pengawas yang ditetapkan oleh otoritas sipil, ia dapat diterima oleh hakim gerejawi, sedapat mungkin sesudah mendengarkan Uskup diosesan dari orang yang diberi wali atau pengawas itu; sedangkan jika tidak ada wali atau pengasuh atau agaknya tidak dapat diterima, hakim sendiri hendaknya menunjuk wali atau pengawas untuk perkara itu.
Kan. 1480 – § 1. Badan hukum tampil di pengadilan melalui wakil-wakilnya yang legitim.
§ 2. Namun dalam hal tidak adanya wakil atau kelalaian wakil, Ordinaris sendiri atau utusannya dapat tampil di pengadilan atas nama badan hukum yang berada dibawah kuasanya.

BAB II
KUASA HUKUM DALAM SENGKETA
DAN PENGACARA

Kan. 1481 – § 1. Pihak yang berperkara dapat dengan bebas menunjuk pengacara dan kuasa hukum bagi dirinya; tetapi di luar kasus yang ditetapkan dalam § 2 dan § 3, ia dapat juga menggugat dan menjawab sendiri, kecuali hakim menilai bahwa pelayanan kuasa hukum atau pengacara perlu.
§ 2. Dalam peradilan pidana terdakwa selalu harus didampingi pengacara yang ditunjuk sendiri atau diberikan oleh hakim.
§ 3. Dalam peradilan perdata, jika mengenai orang yang belum dewasa atau mengenai peradilan yang menyangkut kepentingan umum, kecuali dalam hal perkara-perkara perkawinan, hakim hendaknya mengangkat pembela ex officio bagi pihak yang tidak memilikinya.
Kan. 1482 – § 1. Setiap orang dapat menunjuk hanya seorang kuasa hukum bagi dirinya, yang tidak dapat mencari orang lain sebagai ganti dirinya, kecuali kewenangan yang jelas diberikan kepadanya.
§ 2. Namun jika atas alasan yang wajar beberapa kuasa hukum telah ditunjuk oleh orang yang sama, hendaknya mereka ditentukan dengan cara prevensi di antara mereka.
§ 3. Namun beberapa pengacara dapat diangkat sekaligus.
Kan. 1483 – Kuasa hukum dan pengacara haruslah orang dewasa dan memiliki nama baik; selain itu pengacara harus katolik, kecuali Uskup diosesan mengizinkan lain, dan bergelar doktor dalam hukum kanonik, atau kalau tidak mungkin sekurang-kurangnya sungguh ahli serta disetujui oleh Uskup itu juga.
Kan. 1484 – § 1. Kuasa hukum dan pengacara sebelum menunai-kan tugasnya harus menyerahkan surat mandat asli kepada pengadilan.
§ 2. Namun untuk menghindari hilangnya hak, hakim dapat menerima kuasa hukum, meskipun belum menunjukkan mandat; jika perlu, dengan jaminan secukupnya; tetapi tindakan-tindakannya tidak mempunyai kekuatan apapun, jika dalam batas waktu akhir yang harus ditentukan hakim, kuasa hukum itu tidak menyerahkan surat mandat dengan semestinya.
Kan. 1485 – Kecuali memiliki mandat khusus, kuasa hukum tidak dapat secara sah menarik kembali gugatan, pengajuan atau akta peradilan, dan tidak dapat membuat musyawarah, perjanjian, menyetujui arbitrasi, dan pada umumnya tidak dapat berbuat hal-hal dimana hukum menuntut mandat khusus.
Kan. 1486 – § 1. Penarikan kembali kuasa hukum atau pengacara agar efektif haruslah diberitahukan kepada mereka; dan apabila pokok sengketa sudah ditentukan, hakim dan pihak lawan hendaknya diberitahu tentang penarikan kembali itu.
§ 2. Apabila putusan definitif telah dijatuhkan, hak dan kewajiban naik banding tetap pada kuasa hukum, jika pemberi mandat tidak melawannya.
Kan. 1487 – Baik kuasa hukum maupun pengacara dapat dibebas-tugaskan oleh hakim dengan suatu dekret, entah ex officio entah atas permintaan pihak yang berperkara, tetapi harus atas alasan yang berat.
Kan. 1488 – § 1. Kedua-duanya dilarang membeli sengketa, atau mencari keuntungan yang keterlaluan atau menuntut sebagian dari obyek sengketa. Jika mereka berbuat demikian, maka perjanjian itu tidak berlaku dan mereka dapat dihukum denda uang oleh hakim. Selain itu pengacara dapat diskors dari jabatannya atau juga, jika berkali-kali terjadi, dapat dihapus dari daftar pengacara oleh Uskup yang mengetuai pengadilan.
§ 2. Dapat dihukum dengan cara demikian juga pengacara dan kuasa hukum yang dengan manipulasi hukum, menarik kembali perkara dari pengadilan yang berwenang agar diputuskan oleh pengadilan lain dengan lebih menguntungkan.
Kan. 1489 – Para pengacara dan kuasa hukum yang karena pembe-rian atau janji-janji atau alasan lain apapun mengkhianati tugasnya, hendaknya diskors dari tugas pembelaannya, dan dihukum dengan denda uang atau hukuman lain yang setimpal.
Kan. 1490 – Dalam setiap pengadilan, sedapat mungkin hendak-nya diangkat pembela-pembela tetap, yang menerima gaji dari pengadilan itu sendiri; mereka hendaknya melaksanakan tugas pengacara atau kuasa hukum terutama dalam perkara-perkara perkawinan bagi pihak-pihak yang mau memilih mereka.

JUDUL V
PENGADUAN DAN EKSEPSI

BAB I
PENGADUAN DAN EKSEPSI PADA UMUMNYA

Kan. 1491 – Setiap hak dilindungi tidak hanya dengan pengaduan, kecuali dengan jelas dinyatakan lain, melainkan juga dengan eksepsi.
Kan. 1492 – § 1. Pengaduan manapun gugur karena daluwarsa sesuai norma hukum atau dengan cara lain yang legitim, terkecuali pengaduan mengenai status pribadi yang tidak pernah gugur.
§ 2. Eksepsi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1462, selalu mungkin dan dari hakikatnya bersifat tetap.
Kan. 1493 – Penggugat dapat mengadukan seseorang dalam beberapa gugatan sekaligus, mengenai perkara yang sama atau perkara-perkara yang berbeda tetapi tidak bertentangan satu sama lain, asalkan tidak melampaui wewenang pengadilan yang didatanginya.
Kan. 1494 – § 1. Pihak tergugat dapat mengajukan gugatan balik terhadap penggugat di hadapan hakim itu juga dalam peradilan yang sama, karena hubungan perkara dengan gugatan utama, baik untuk menggagalkan maupun mengurangi permintaan penggugat.
§ 2. Gugatan balik atas gugatan balik tidak diperkenankan.
Kan. 1495 – Gugatan balik haruslah diajukan kepada hakim yang menerima gugatan pertama, juga meskipun ia hanya ditugaskan untuk menangani satu perkara atau kalau tidak, tidak berwenang secara relatif.

BAB II
PENGADUAN DAN EKSEPSI PADA KHUSUSNYA

Kan. 1496 – § 1. Orang, yang dapat menunjukkan dengan alasan-alasan yang sekurang-kurangnya layak dipercaya bahwa ia mempunyai hak atas benda yang berada dalam kekuasaan orang lain, dan bahwa dirinya terancam rugi apabila benda itu tidak diserahkan untuk diamankan, mempunyai hak untuk memperoleh dari hakim simpan-paksa (sequestratio) benda itu.
§ 2. Dalam keadaan serupa, seseorang dapat dikabulkan permohonannya agar orang lain dilarang melaksanakan haknya.
Kan. 1497 – § 1. Simpan-paksa benda juga dapat diizinkan sebagai jaminan utang, asalkan cukup nyata mengenai hak orang yang berpiutang.
§ 2. Simpan-paksa dapat juga diperluas atas benda-benda orang yang berutang, yang atas suatu dasar berada pada orang lain, serta atas piutang orang yang berutang itu.
Kan. 1498 – Simpan-paksa benda dan larangan pelaksanaan hak itu sama sekali tidak boleh diputuskan, jika kerugian yang dikhawatirkan itu dapat diganti dengan cara lain dan ditawarkan jaminan yang memadai untuk penggantiannya.
Kan. 1499 – Hakim, yang mengizinkan simpan-paksa benda atau larangan pelaksanaan hak, dapat lebih dahulu mewajibkan suatu jaminan kepada orang yang dikabulkan permohonannya itu, bahwa akan mengganti kerugian apabila ia tidak dapat membuktikan haknya.
Kan. 1500 – Mengenai hakikat dan kekuatan gugatan kepemilikan, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan hukum sipil setempat di mana benda yang dipersoalkan kepemilikannya itu berada.

BAGIAN II
PERADILAN PERDATA

SEKSI I
PERADILAN PERDATA BIASA

JUDUL I
PEMBUKA PERKARA

BAB I
SURAT-GUGAT PEMBUKA POKOK SENGKETA

Kan. 1501 – Hakim tidak dapat memeriksa suatu perkara, kecuali ada permohonan yang diajukan oleh orang yang berkepentingan atau oleh promotor iustitiae menurut norma hukum.
Kan. 1502 – Yang mau menggugat seseorang, haruslah menyampaikan surat-gugat (libellus) kepada hakim yang berwenang, dalamnya diuraikan pokok sengketa, dan diminta pelayanan hakim.
Kan. 1503 – § 1. Hakim dapat menerima permohonan lisan, setiap kali penggugat terhalang untuk menyampaikan surat-gugat atau perkaranya mudah diperiksa dan tidak begitu berat.
§ 2. Namun dalam kedua kasus tersebut hakim hendaknya memerintahkan notarius untuk menyusunnya secara tertulis, yang kemudian harus dibacakan kepada penggugat dan disetujui olehnya; dan itu menggantikan surat-gugat yang ditulis oleh penggugat untuk semua akibat hukum.
Kan. 1504 – Surat-gugat yang membuka pokok sengketa harus:
10 menyatakan perkara itu diajukan ke hadapan hakim yang mana, apa yang dimohon dan kepada siapa permohonan itu ditujukan;
20 menunjukkan atas hukum mana penggugat bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum fakta dan pembuktian mana yang membenarkan apa yang dinyatakan;
30 ditandatangani oleh penggugat atau kuasa hukumnya, dengan disebutkan hari, bulan dan tahun, serta tempat di mana penggugat atau kuasa hukumnya bertempat tinggal, atau mengatakan di mana alamat untuk menerima akta;
40 menunjukkan domisili atau kuasi-domisili pihak tergugat.
Kan. 1505 – § 1. Hakim tunggal atau ketua pengadilan kolegial, sesudah memastikan diri bahwa perkara memang termasuk wewenangnya dan penggugat memiliki kemampuan menurut hukum untuk tampil di pengadilan, haruslah secepat mungkin dengan suatu dekret menerima atau menolak surat-gugat itu.
§ 2. Surat-gugat hanya dapat ditolak:
10 jika hakim atau pengadilan tidak berwenang;
20 jika tanpa ragu nyata bahwa penggugat bukan pribadi yang legitim untuk tampil di pengadilan;
30 jika tidak ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1504, 10-30;
40 jika pasti nyata dari surat-gugat itu sendiri bahwa permohonannya tidak mempunyai dasar apapun, dan tidak mungkin terjadi bahwa dari proses akan muncul suatu dasar.
§ 3. Jika surat-gugat ditolak karena cacat yang dapat diperbaiki, penggugat dapat membuat suatu surat-gugat baru yang disusun secara baik dan menyampaikannya lagi kepada hakim.
§ 4. Melawan penolakan surat-gugat, pihak penggugat selalu berhak penuh dalam waktu-guna sepuluh hari mengajukan rekursus disertai alasan-alasan kepada pengadilan banding atau, jika surat-gugat ditolak oleh ketua, kepada kolegium hakim; tetapi masalah penolakan itu harus diputuskan secepat mungkin.
Kan. 1506 – Jika hakim dalam waktu sebulan sejak surat-gugat disampaikan tidak mengeluarkan suatu dekret dengan mana ia menerima atau menolak surat itu menurut norma kan. 1505, maka pihak yang berkepentingan dapat memohon agar hakim menunaikan tugasnya; jika kendati demikian hakim tetap diam, maka setelah lewat sepuluh hari sejak permohonan itu tanpa ada keterangan, surat-gugat dianggap sebagai diterima.

BAB II
PEMANGGILAN DAN PEMBERITAHUAN AKTA PERADILAN

Kan. 1507 – § 1. Dalam dekret yang menerima surat-gugat penggugat, hakim atau ketua harus memanggil pihak-pihak yang lain ke pengadilan atau memanggil untuk menentukan pokok sengketa, dengan menetapkan apakah mereka harus menjawab secara tertulis atau harus datang menghadap padanya untuk menyepakati hal-hal yang dipersoalkan. Jika dari jawaban tertulis dipandang perlu memanggil pihak-pihak yang bersangkutan, ia dapat memutuskannya dengan suatu dekret baru.
§ 2. Jika surat-gugat dianggap diterima menurut norma kan. 1506, dekret pemanggilan untuk menghadap di pengadilan harus dibuat dalam waktu duapuluh hari sejak diajukan permohonan yang disebut dalam kanon itu juga.
§ 3. Jika pihak-pihak yang bersengketa de facto menghadap hakim untuk berperkara, maka tidak perlu ada pemanggilan, tetapi aktuarius hendaknya mencatat dalam akta bahwa pihak-pihak yang bersangkutan hadir di pengadilan.
Kan. 1508 – § 1. Dekret pemanggilan ke pengadilan harus segera diberitahukan kepada pihak tergugat, dan sekaligus harus diberitahukan kepada lain-lain yang harus tampil di hadapan pengadilan.
§ 2. Pada pemanggilan hendaknya dilampirkan surat-gugat pembuka pokok sengketa, kecuali hakim atas alasan-alasan yang berat menilai bahwa surat-gugat tidak boleh disampaikan kepada pihak tergugat, sebelum ia tampil di pengadilan.
§ 3. Jika pokok sengketa ditujukan melawan orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melaksanakan hak-haknya, atau tidak memiliki kebebasan untuk mengelola benda-benda yang disengketakan, maka pemanggilan, kalau perlu, haruslah disampaikan kepada wali, atau pengawas, atau kuasa-hukum khusus, yakni orang yang atas namanya wajib tampil di pengadilan menurut norma hukum.
Kan. 1509 – § 1. Pemberitahuan mengenai pemanggilan-pemanggilan, dekret-dekret, putusan-putusan serta akta peradilan lain, haruslah lewat pos umum atau cara lain yang paling aman, dengan tetap mengindahkan norma-norma yang ditetapkan oleh undang-undang partikular.
§ 2. Mengenai fakta pemberitahuan serta caranya itu harus nyata dalam akta.
Kan. 1510 – Tergugat yang menolak surat pemanggilan, atau menghalangi agar pemanggilan jangan sampai pada dirinya, dianggap sebagai sudah dipanggil secara legitim.
Kan. 1511 – Jika pemanggilan tidak disampaikan secara legitim, akta peradilan tidak sah, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1507, § 3.
Kan. 1512 – Jika pemanggilan sudah disampaikan secara legitim atau pihak-pihak yang bersangkutan sudah menghadap hakim untuk berperkara, maka:
10 masalah sudah menjadi perkara sengketa;
20 perkara jatuh di tangan hakim atau pengadilan itu, yang menerima pengaduan yang diajukan, dan memang berwenang;
30 yurisdiksi hakim yang didelegasikan menjadi kokoh, sehingga tidak terhenti meskipun kuasa pemberi delegasi telah tiada;
40 daluwarsa terputus, kecuali ditentukan lain;
50 pokok sengketa mulai dibuka; maka segera berlaku prinsip “selama sengketa, jangan mengubah apa-apa” (lite pendente, nihil innovetur).

JUDUL II
PENENTUAN POKOK SENGKETA

Kan. 1513 – § 1. Penentuan pokok sengketa ialah apabila dengan dekret hakim dirumuskan pokok-pokok sengketa, yang diambil dari permohonan dan jawaban pihak-pihak yang bersangkutan.
§ 2. Permohonan dan jawaban pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali dalam surat-gugat pembuka pokok sengketa, dapat juga terungkap dalam jawaban atas pemanggilan atau dalam pernyataan-pernyataan lisan di hadapan hakim; tetapi dalam persoalan-persoalan yang lebih sulit pihak-pihak yang bersangkutan haruslah dipanggil oleh hakim untuk menyepakati hal atau hal-hal yang dipersoalkan, yang nantinya dalam putusan harus terjawab.
§ 3. Dekret hakim harus diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan; mereka dalam waktu sepuluh hari dapat datang mohon kepada hakim itu agar dekret diubah, kecuali memang sudah setuju; tetapi masalah itu harus secepatnya diselesaikan dengan dekret hakim itu sendiri.
Kan. 1514 – Pokok-pokok sengketa, sekali ditetapkan, tidak dapat diubah dengan sah, kecuali dengan suatu dekret baru, atas alasan yang berat, atas permohonan satu pihak, dan sesudah mendengarkan pihak-pihak lain serta mempertimbangkan alasan-alasannya.
Kan. 1515 – Sesudah pokok sengketa ditentukan, pemegang benda milik orang lain terhenti berada dalam itikad baik; karena itu, jika ia dihukum untuk mengembalikan benda itu, ia harus juga mengembalikan hasilnya sejak hari penentuan itu dan mengganti kerugiannya.
Kan. 1516 – Setelah pokok sengketa ditentukan, hakim hendaknya memberi waktu yang layak kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengajukan serta melengkapi bukti-bukti.

JUDUL III
PERADILAN POKOK SENGKETA

Kan. 1517 – Awal peradilan mulai dengan pemanggilan; namun berakhir tidak hanya dengan diumumkannya putusan definitif, melainkan juga dengan cara-cara lain yang ditetapkan oleh hukum.
Kan. 1518 – Jika pihak yang bersengketa meninggal dunia atau berganti status atau berhenti dari jabatan yang menjadi dasar pengajuan perkaranya, maka:
10 bila perkara belum ditutup, peradilan ditangguhkan sampai ahli-waris dari orang yang meninggal, atau penggantinya, atau orang yang berkepentingan, membuka kembali sengketa itu;
20 bila perkara sudah ditutup, hakim harus maju ke langkah-langkah selanjutnya, dengan memanggil kuasa-hukum, jika ada; kalau tidak, ahli-waris dari orang yang meninggal atau penggantinya.
Kan. 1519 – § 1. Jika wali atau pengawas atau kuasa-hukum yang dibutuhkan menurut norma kan. 1481, § 1 dan § 3 berhenti dari tugasnya, peradilan untuk sementara ditangguhkan.
§ 2. Tetapi hakim hendaknya sesegera mungkin mengangkat wali atau pengawas lain; dan ia dapat menetapkan kuasa hukum untuk perkara itu, jika pihak yang bersangkutan melalaikannya dalam waktu singkat yang ditentukan oleh hakim sendiri.
Kan. 1520 – Jika selama enam bulan, meski tiada halangan apapun, tidak ada suatu tindakan peradilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka proses peradilan itu berhenti. Undang-undang partikular dapat menentukan batas waktu lain berhentinya proses.
Kan. 1521 – Berhentinya proses peradilan terjadi karena hukum sendiri dan melawan semua, juga mereka yang belum dewasa serta lain-lain yang disamakan dengan mereka; dan juga harus dinyatakan ex officio, dengan tetap ada hak minta ganti rugi terhadap wali, pengawas, pengelola, kuasa hukum, yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.
Kan. 1522 – Berhentinya proses peradilan mematikan akta proses, tetapi bukan akta perkara; bahkan akta perkara itu dapat mempunyai kekuatan juga pada instansi peradilan lain, asalkan perkaranya berkisar antara orang-orang yang sama dan mengenai hal yang sama pula; tetapi sejauh menyangkut orang lain, tidak memiliki kekuatan lain kecuali nilai dokumen.
Kan. 1523 – Ongkos peradilan yang prosesnya berhenti hendaknya ditanggung sendiri-sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Kan. 1524 – § 1. Penggugat dapat mencabut kembali peradilan dalam setiap tahap dan tingkat peradilan; demikian pula baik penggugat maupun pihak tergugat dapat mencabut kembali akta proses, seluruhnya atau beberapa saja.
§ 2. Wali dan pengelola badan hukum, untuk dapat mencabut kembali peradilan, membutuhkan nasihat atau persetujuan dari mereka, yang campur-tangannya dibutuhkan untuk melakukan suatu tindakan yang melebihi batas-batas pengelolaan biasa.
§ 3. Pencabutan kembali itu demi sahnya harus dibuat secara tertulis, dan harus ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, atau kuasa hukumnya namun yang telah dibekali dengan mandat khusus, harus diberitahukan kepada pihak yang lain dan diterima olehnya atau sekurang-kurangnya tidak dilawan, dan harus diterima oleh hakim.
Kan. 1525 – Pencabutan kembali yang diterima oleh hakim, mempunyai akibat sama seperti berhentinya proses peradilan dan mewajibkan pihak yang mencabut kembali untuk membayar ongkos yang timbul dari akta yang dicabut itu.

JUDUL IV
BUKTI-BUKTI

Kan. 1526 – § 1. Beban untuk membuktikan ada pada orang yang membuat pernyataan.
§ 2. Tidak membutuhkan bukti:
10 apa yang diandaikan oleh undang-undang sendiri;
20 fakta yang dinyatakan oleh salah satu pihak yang berperkara dan diakui oleh pihak yang lain, kecuali sekalipun demikian pembuktian dituntut oleh hukum atau hakim.
Kan. 1527 – § 1. Bukti macam apapun, yang kiranya perlu untuk memeriksa perkara dan licit, dapat diajukan.
§ 2. Jika pihak yang bersangkutan mendesak agar bukti yang telah ditolak oleh hakim diterimanya, hakim itu sendiri hendaknya secepat mungkin membuat keputusan atas hal itu.
Kan. 1528 – Jika pihak yang bersangkutan atau seorang saksi menolak menghadap hakim untuk menjawab pertanyaannya, mereka dapat juga didengar lewat seorang awam yang ditunjuk oleh hakim atau diminta pernyataannya di hadapan notaris publik atau dengan cara lain apapun yang legitim.
Kan. 1529 – Hakim jangan mulai mengumpulkan bukti-bukti sebelum penentuan pokok sengketa, kecuali atas alasan yang berat.

BAB I
PERNYATAAN PIHAK-PIHAK YANG BERSANGKUTAN

Kan. 1530 – Untuk dapat menggali dengan lebih tepat kebenaran, hakim selalu dapat menanyai pihak-pihak yang bersangkutan, bahkan harus, jika atas desakan salah satu pihak atau untuk membuktikan suatu fakta yang demi kepentingan umum perlu diperjelas.
Kan. 1531 – § 1. Pihak yang ditanyai secara legitim harus menjawab dan mengatakan kebenaran secara utuh.
§ 2. Jika ia menolak untuk menjawab, hakim bertugas menilai apa yang dari situ dapat disimpulkan untuk membuktikan fakta.
Kan. 1532 – Dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, hakim hendaknya menyuruh pihak yang bersangkutan untuk mengucapkan sumpah bahwa akan mengatakan kebenaran atau sekurang-kurangnya sumpah bahwa telah mengatakan yang benar, kecuali alasan berat menganjurkan lain; dalam hal-hal lain, hakim dapat mengambil sumpah menurut kearifannya.
Kan. 1533 – Pihak-pihak yang bersangkutan, promotor iustitiae dan defensor vinculi dapat menyampaikan butir-butir yang hendaknya ditanyakan kepada pihak yang lain.
Kan. 1534 – Mengenai pertanyaan-pertanyaan kepada pihak-pihak yang bersangkutan hendaknya diindahkan secara proporsional peraturan-peraturan yang ditetapkan bagi para saksi dalam kan. 1548, § 2, 10, kan. 1552 dan 1558-1565.
Kan. 1535 – Pernyataan mengenai suatu fakta, tertulis atau lisan, di hadapan hakim yang berwenang, yang dibuat oleh salah satu pihak melawan dirinya sendiri mengenai materi peradilan itu sendiri, baik dari kemauan sendiri atau atas pertanyaan hakim, disebut pengakuan peradilan.
Kan. 1536 – § 1. Pengakuan peradilan salah satu pihak, jika mengenai suatu urusan privat dan tidak menyangkut kepentingan umum, membebaskan pihak-pihak yang lain dari beban membuktikan.
§ 2. Namun dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan publik, pengakuan peradilan dan pernyataan-pernyataan yang bukan pengakuan dari pihak-pihak yang bersangkutan, dapat mempunyai daya bukti yang harus dinilai oleh hakim bersama dengan keadaan perkara lain, tetapi tidak dapat dianggap mempunyai daya bukti penuh, kecuali ditambah dengan unsur-unsur yang benar-benar menguatkannya.
Kan. 1537 – Mengenai pengakuan di luar peradilan yang dibawa ke pengadilan, adalah wewenang hakim untuk menetapkan apa nilai-nya, setelah mempertimbangkan segala keadaan.
Kan. 1538 – Pengakuan atau pernyataan lain apapun dari pihak yang bersangkutan tidak mempunyai daya bukti apapun, jika nyata bahwa itu dibuat karena kekeliruan fakta, atau didorong oleh paksaan atau rasa takut yang berat.

BAB II
PEMBUKTIAN LEWAT DOKUMEN

Kan. 1539 – Dalam peradilan macam apapun dapat diterima pembuktian lewat dokumen, baik yang bersifat publik maupun privat.

Artikel 1
HAKIKAT DAN KREDIBILITAS DOKUMEN

Kan. 1540 – § 1. Dokumen publik gerejawi ialah dokumen yang dibuat oleh pejabat dalam melaksanakan tugasnya dalam Gereja, dengan memenuhi formalitas yang ditentukan hukum.
§ 2. Dokumen publik sipil ialah yang oleh undang-undang setiap tempat diakui demikian menurut hukum.
§ 3. Dokumen-dokumen lainnya bersifat privat.
Kan. 1541 – Kecuali dapat dipastikan lain dengan argumen-argumen yang berlawanan dan jelas, dokumen publik memberi bukti mengenai segala hal yang ditegaskan secara langsung dan pokok.
Kan. 1542 – Dokumen privat, baik yang diakui oleh pihak yang bersangkutan maupun yang diterima oleh hakim, memiliki daya bukti yang sama seperti pengakuan di luar peradilan melawan pembuatnya atau penandatangannya dan terhadap orang-orang yang perkaranya bersandar pada mereka; melawan orang-orang luar memiliki daya bukti yang sama dengan pernyataan yang bukan pengakuan dari pihak-pihak yang bersangkutan, menurut norma kan. 1536, § 2.
Kan. 1543 – Jika terbukti bahwa dalam dokumen itu terdapat penghapusan, pembetulan, pemalsuan atau cacat lain, maka menjadi tugas hakim untuk menilai apakah dan sejauh mana dokumen itu masih berlaku.

Artikel 2
PENYAMPAIAN DOKUMEN

Kan. 1544 – Dokumen-dokumen tidak mempunyai daya bukti dalam peradilan, kecuali asli atau disampaikan salinan otentik dan disimpan di ruang cancellarius pengadilan, agar dapat diteliti oleh hakim dan oleh lawan.
Kan. 1545 – Hakim dapat memerintahkan agar dokumen milik bersama kedua belah pihak ditunjukkan dalam persidangan.
Kan. 1546 – § 1. Tidak seorang pun diwajibkan untuk menyampai-kan dokumen, meskipun merupakan milik bersama, yang tidak dapat ditunjukkan tanpa bahaya kerugian menurut norma kan. 1548, § 2, 20 atau tanpa bahaya pelanggaran rahasia yang harus dijaga.
§ 2. Namun jika mungkin menyalin sekurang-kurangnya sebagian dari dokumen itu dan disampaikan salinan itu tanpa kerugian tersebut di atas, hakim dapat memutuskan agar disampaikan dalam bentuk itu.

BAB III
SAKSI DAN KETERANGANNYA

Kan. 1547 – Pembuktian lewat saksi dalam perkara manapun diizinkan, dibawah pimpinan hakim.
Kan. 1548 – § 1. Kepada hakim yang bertanya secara legitim saksi-saksi harus menyatakan kebenaran.
§ 2. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1550, § 2, 20, dibebaskan dari kewajiban menjawab:
10 para klerikus, sejauh menyangkut hal-hal yang dinyatakan kepada dirinya atas dasar pelayanan suci; pejabat-pejabat sipil, dokter, bidan, pengacara, notaris serta lain-lain yang terikat rahasia jabatan, juga meski hanya berupa pemberian nasihat, sejauh mengenai urusan-urusan yang termasuk rahasia itu;
20 mereka yang dengan kesaksiannya mengkhawatirkan akan kehilangan nama baik, atau menimbulkan perlakuan-perlakuan berbahaya atau kerugian-kerugian berat lain bagi diri sendiri atau pasangannya atau sanak keluarga terdekat dalam hubungan darah atau kesemendaan.

Artikel 1
YANG DAPAT MENJADI SAKSI

Kan. 1549 – Semua orang dapat menjadi saksi, kecuali ditolak secara tegas dalam hukum, entah untuk seluruhnya entah untuk sebagian saja.
Kan. 1550 – § 1. Jangan diizinkan memberikan kesaksian, anak-anak di bawah umur empat belas tahun dan orang-orang yang lemah mental; namun mereka dapat didengarkan atas dekret hakim, yang menyatakan bahwa hal itu berguna.
§ 2. Dianggap tidak mampu:
10 pihak-pihak yang berperkara, atau yang tampil di pengadilan atas nama pihak-pihak yang bersangkutan, hakim serta pembantu-pembantunya, pengacara dan lain-lain yang membantu atau pernah membantu pihak-pihak yang bersangkutan dalam perkara itu juga;
20 para imam, mengenai segala sesuatu yang diketahui lewat pengakuan sakramental, meskipun peniten minta agar mereka menyatakannya; bahkan apa-apa yang didengar oleh siapa pun dan dengan cara apapun dalam kesempatan pengakuan, tidak dapat diterima, meski hanya sebagai indikasi kebenaran.

Artikel 2
MENGAJUKAN DAN MENOLAK SAKSI

Kan. 1551 – Pihak yang mengajukan saksi dapat membatalkan pemeriksaan saksi itu; tetapi pihak lawan dapat menuntut agar kendatipun demikian saksi tersebut didengarkan.
Kan. 1552 – § 1. Jika dituntut pembuktian lewat saksi-saksi, hendaklah nama-nama serta alamat mereka diberitahukan kepada pengadilan.
§ 2. Butir-butir pertanyaan yang dimintakan keterangan para saksi, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hakim, hendaknya disampaikan; jika tidak, permintaan kesaksian itu dianggap dilepaskan.
Kan. 1553 – Hakim bertugas membatasi jumlah saksi yang berlebihan.
Kan. 1554 – Sebelum saksi-saksi diperiksa, hendaknya nama-nama mereka diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan; tetapi jika atas penilaian yang arif dari hakim hal itu tidak dapat dilaksanakan tanpa kesulitan berat, hendaknya dilakukan sekurang-kurangnya sebelum pengumuman kesaksian-kesaksian mereka.
Kan. 1555 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1550, pihak yang bersangkutan dapat minta agar seorang saksi ditolak, jika dapat menunjukkan alasan yang wajar dari penolakan itu sebelum keterangan saksi didengarkan.
Kan. 1556 – Pemanggilan saksi dilakukan dengan dekret hakim yang diberitahukan kepada saksi secara legitim.
Kan. 1557 – Saksi yang dipanggil secara benar hendaknya meng-hadap atau memberitahukan alasan ketidakhadirannya kepada hakim.

Artikel 3
PEMERIKSAAN SAKSI

Kan. 1558 – § 1. Saksi-saksi harus diperiksa di tempat kedudukan pengadilan sendiri, kecuali hakim berpandangan lain.
§ 2. Para Kardinal, Batrik, Uskup dan mereka yang menurut hukum sipil memiliki keistimewaan serupa, hendaknya didengarkan di tempat yang mereka pilih sendiri.
§ 3. Hakim hendaknya memutuskan di mana harus didengar saksi-saksi yang karena jarak jauh, sakit atau halangan-halangan lain tidak mungkin atau sulit mendatangi pengadilan dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1418 dan 1469, § 2.
Kan. 1559 – Pihak-pihak yang berperkara tidak boleh menghadiri pemeriksaan para saksi, kecuali hakim menilai dapat mengizinkan mereka, terutama jika perkara itu mengenai kepentingan privat. Namun pengacara atau kuasa-hukum mereka dapat menghadirinya, kecuali hakim menilai bahwa pemeriksaan harus berlangsung secara rahasia, karena keadaan perkara dan orang-orangnya.
Kan. 1560 – § 1. Para saksi harus diperiksa satu demi satu secara terpisah.
§ 2. Jika dalam suatu perkara penting para saksi saling berlainan pendapat atau berlainan pendapat dengan salah satu pihak, hakim dapat mempertemukan atau mengkonfrontasikan mereka yang saling berbeda, dengan sedapat mungkin menghindari perselisihan dan sandungan.
Kan. 1561 – Pemeriksaan saksi dilakukan oleh hakim atau oleh utusannya atau oleh auditor, yang harus dihadiri oleh notarius; karena itu pihak-pihak yang bersangkutan atau promotor iustitiae atau defensor vinculi atau pengacara yang menghadiri pemeriksaan, jika mempunyai pertanyaan-pertanyaan lain kepada saksi, hendaknya mengajukannya tidak langsung kepada saksi, melainkan kepada hakim atau penggantinya, agar ia membawakan pertanyaan itu, kecuali undang-undang partikular menentukan lain.
Kan. 1562 – § 1. Hakim hendaknya mengingatkan saksi akan kewajibannya yang berat untuk mengatakan seluruh dan hanya kebenaran.
§ 2. Hakim hendaknya mengambil sumpah saksi menurut kan. 1532; jika saksi menolak mengucapkan sumpah, hendaknya didengar-kan tanpa disumpah.
Kan. 1563 – Pertama-tama hakim harus memeriksa identitas saksi; hendaknya ia menanyakan bagaimana hubungannya dengan pihak-pihak yang bersangkutan dan, jika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai perkaranya, hendaknya ia menanyakan juga dari mana ia tahu dan kapan tepatnya ia mengetahui hal-hal yang dinyatakannya.
Kan. 1564 – Pertanyaan-pertanyaan hendaknya singkat, disesuaikan dengan daya tangkap orang yang harus ditanya, jangan sekaligus mencakup hanyak hal, jangan menjebak, jangan menyesatkan, jangan sugestif, bebas dari penghinaan, dan mengena pada perkara yang dimasalahkan.
Kan. 1565 – § 1. Pertanyaan-pertanyaan hendaknya tidak diberitahukan sebelumnya kepada para saksi.
§ 2. Namun jika materi kesaksian itu begitu jauh dari ingatan, sehingga pasti tidak dapat ditegaskan tanpa diingat-ingat lebih dahulu, hakim dapat memberitahu saksi sebelumnya tentang beberapa hal, jika ia menilai hal itu dapat dilakukan tanpa bahaya.
Kan. 1566 – Saksi hendaknya menyampaikan kesaksiannya secara lisan, dan jangan membacakan yang telah tertulis, kecuali mengenai angka-angka dan perhitungan; namun dalam kasus ini ia dapat melihat catatan-catatan yang dibawanya.
Kan. 1567 – § 1. Jawaban harus segera dirumuskan secara tertulis oleh notarius, dan harus mencerminkan kata-kata kesaksiannya, sekurang-kurangnya sejauh menyangkut hal-hal yang langsung berhubungan dengan materi peradilan.
§ 2. Dapat diizinkan memakai alat perekam, asalkan jawaban-jawaban itu kemudian ditulis dan ditandatangani, sedapat mungkin, oleh mereka yang menyatakannya.
Kan. 1568 – Notarius dalam akta hendaknya menyebutkan apakah saksi mengucapkan, melewatkan atau menolak sumpah; menyebutkan kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan dan orang-orang lain, pertanyaan-pertanyaan yang ditambahkan ex officio, dan pada umum-nya segala sesuatu yang layak diingat, yang barangkali terjadi sementara saksi didengarkan keterangannya.
Kan. 1569 – § 1. Pada akhir pemeriksaan, kepada saksi harus dibacakan apa yang ditulis mengenai kesaksiannya oleh notarius, atau diperdengarkan rekaman dari kesaksiannya, dengan diberikan kepadanya kesempatan untuk menambah, menghapus, membetulkan dan mengubah.
§ 2. Akhirnya laporan tertulis itu harus ditandatangani oleh saksi, hakim, dan notarius.
Kan. 1570 – Saksi, meskipun sudah didengarkan, atas permintaan pihak yang bersangkutan atau ex officio dapat dipanggil untuk didengarkan lagi keterangannya sebelum akta atau kesaksiannya diumumkan, jika hakim menganggap hal itu perlu atau berguna, asal tidak ada bahaya kolusi atau korupsi apapun.
Kan. 1571 – Kepada para saksi harus diberikan ganti rugi menurut penilaian yang wajar dari hakim, baik ongkos-ongkos yang telah dikeluarkannya maupun keuntungan yang hilang karena memberikan kesaksian itu.

Artikel 4
KREDIBILITAS KESAKSIAN

Kan. 1572 – Dalam menilai kesaksian-kesaksian, jika perlu setelah meminta surat-surat kesaksian, hakim harus mempertimbangkan:
10 bagaimana keadaan pribadi serta kejujurannya;
20 apakah ia memberi kesaksian dari pengetahuan sendiri, terutama karena melihat dan mendengar sendiri, atau itu perkiraannya saja, dari berita atau mendengar dari orang lain;
30 apakah saksi konstan dan konsisten atau berubah-ubah, tidak merasa pasti atau ragu-ragu tidak menentu;
40 apakah ada saksi-saksi lain atas kesaksiannya, ataukah diperkuat oleh unsur-unsur pembuktian lain atau tidak.
Kan. 1573 – Kesaksian satu orang saksi tidak dapat membuat sesuatu terbuktikan penuh, kecuali mengenai saksi resmi yang memberikan kesaksian tentang hal yang dilakukan ex officio, atau karena keadaan barang-barang serta orang-orang menyarankan lain.

BAB IV
PARA AHLI

Kan. 1574 – Bantuan para ahli harus dipergunakan setiap kali dari ketentuan hukum atau hakim pemeriksaan atau pendapat mereka, yang berdasar pada kaidah-kaidah seni atau pengetahuan mereka, dibutuhkan untuk menentukan fakta atau mengenali hakikat sebenarnya dari suatu hal.
Kan. 1575 – Adalah tugas hakim untuk mengangkat para ahli, sesudah mendengarkan atau atas usul pihak-pihak yang bersangkutan, atau jika perlu, untuk menerima laporan-laporan yang telah dibuat oleh ahli-ahli lain.
Kan. 1576 – Juga para ahli dapat tidak diizinkan atau ditolak atas dasar alasan-alasan yang sama seperti halnya saksi.
Kan. 1577 – § 1. Hakim, dengan memperhatikan semua yang barangkali sudah dihasilkan oleh pihak-pihak yang bersengketa, hendaknya menetapkan dengan dekretnya setiap pokok yang perlu dinilai oleh bantuan para ahli.
§ 2. Kepada ahli haruslah disampaikan akta perkara dan dokumen-dokumen lain, serta bahan-bahan lain yang dapat dibutuhkannya untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan setia.
§ 3. Hakim, setelah mendengarkan ahli itu, hendaknya menentukan jangka waktu untuk menyelesaikan pemeriksaan serta menyampaikan laporan.
Kan. 1578 – § 1. Para ahli hendaknya menyusun laporan masing-masing secara terpisah, kecuali hakim memerintahkan agar membuat satu laporan yang ditandatangani oleh setiap ahli; jika demikian, apabila terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, hendaknya dicatat dengan seksama.
§ 2. Para ahli harus menunjukkan dengan jelas atas dasar dokumen-dokumen mana atau dengan cara-cara tepat lain mana mereka sampai pada kepastian mengenai identitas orang-orang atau benda-benda atau tempat-tempat, jalan dan cara mana yang ditempuhnya dalam memenuhi tugas yang diserahkan kepadanya, dan terutama atas argumen-argumen mana mereka mendasarkan kesimpulan-kesimpulan mereka.
§ 3. Ahli dapat dipanggil oleh hakim untuk melengkapi penjelasan-penjelasan, sekiranya diperlukan lebih lanjut.
Kan. 1579 – § 1. Hakim hendaknya mempertimbangkan dengan cermat tidak hanya kesimpulan para ahli, meski mereka sepakat, melainkan juga keadaan-keadaan lain dari perkara itu.
§ 2. Dalam menyusun alasan-alasan keputusannya, ia harus menyatakan atas argumen-argumen apa ia tergerak untuk menerima atau menolak kesimpulan-kesimpulan para ahli.
Kan. 1580 – Kepada para ahli itu harus dibayar biaya dan honorarium, yang harus ditetapkan oleh hakim menurut kelayakan dan keadilan, dengan tetap mengindahkan hukum partikular.
Kan. 1581 – § 1. Pihak-pihak dapat menunjuk ahli-ahli privat yang harus disetujui oleh hakim.
§ 2. Mereka ini, jika hakim mengizinkan, dapat memeriksa akta perkara sejauh perlu, dan boleh hadir apabila ahli-ahli yang ditunjuk melakukan peranan mereka; namun mereka selalu dapat menyampaikan laporannya.

BAB V
KUNJUNGAN DAN INSPEKSI PERADILAN

Kan. 1582 – Jika untuk memutuskan perkara hakim menganggap perlu untuk mengunjungi suatu tempat atau memeriksa sesuatu, hendaknya ia menentukan itu dengan suatu dekret; dalam dekret itu hendaknya ia secara ringkas menyebutkan yang harus dipersiapkan dalam kunjungan itu, sesudah ia mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan.
Kan. 1583 – Sesudah pemeriksaan dilaksanakan, hendaknya dibuat suatu laporan tertulis.

BAB VI
PRESUMSI

Kan. 1584 – Presumsi ialah perkiraan yang masuk akal mengenai suatu hal yang tidak pasti; disebut presumsi hukum, jika ditentukan oleh undang-undang sendiri; disebut presumsi orang, jika dilakukan oleh hakim.
Kan. 1585 – Orang yang memiliki presumsi hukum untuk dirinya, bebas dari beban untuk membuktikan; beban ini ada pada pihak lawan.
Kan. 1586 – Hakim janganlah membuat presumsi-presumsi yang tidak ditetapkan oleh hukum, kecuali dari fakta yang pasti dan tertentu, langsung terkait dengan apa yang menjadi bahan perselisihan.

JUDUL V
PERKARA-PERKARA SELA

Kan. 1587 – Suatu perkara sela muncul, setiap kali sesudah peradilan dimulai dengan pemanggilan, diajukan suatu masalah, yang meskipun tidak secara tegas tercantum dalam surat-gugat yang membuka pokok sengketa, namun demikian terkait pada perkara itu, sehingga biasanya harus dipecahkan lebih dahulu sebelum perkara yang utama.
Kan. 1588 – Perkara sela diajukan secara tertulis atau lisan kepada hakim yang berwenang memutus perkara utama, dengan ditunjukkan hubungan yang ada antara perkara itu dengan perkara utama.
Kan. 1589 – § 1. Setelah menerima permohonan dan mendengar pihak-pihak yang bersangkutan, hendaknya hakim secepat mungkin memutuskan apakah masalah sela yang diajukan itu mempunyai dasar dan hubungan dengan peradilan utama, atau apakah harus ditolak sejak awal; dan jika ia menerimanya, apakah demikian penting, sehingga harus dipecahkan dengan putusan sela atau dengan dekret.
§ 2. Namun jika ia memutuskan bahwa masalah sela itu tidak perlu dipecahkan sebelum putusan definitif, hendaknya ia memutuskan agar masalah itu kemudian diperhitungkan apabila memutus perkara yang utama.
Kan. 1590 – § 1. Jika masalah sela harus dipecahkan dengan suatu putusan, hendaknya diindahkan norma-norma mengenai proses perdata lisan, kecuali hakim berpendapat lain mengingat beratnya perkara.
§ 2. Namun jika harus diselesaikan dengan dekret, pengadilan dapat menyerahkan perkara tersebut kepada auditor atau ketua.
Kan. 1591 – Sebelum mengakhiri perkara utama, hakim atau pengadilan dapat mencabut atau mengubah dekret atau putusan sela itu, atas alasan yang wajar, entah oleh permohonan salah satu pihak entah ex officio, setelah mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan.

BAB I
PIHAK BERPERKARA YANG TIDAK MUNCUL

Kan. 1592 – § 1. Jika pihak tergugat yang sudah dipanggil tidak tampil dan tidak memberikan alasan wajar atas ketidak-hadirannya atau tidak menjawab menurut norma kan. 1507, § 1, hakim hendaknya menyatakan bahwa ia tidak hadir dalam peradilan, dan hendaknya memutuskan agar perkaranya diteruskan sampai putusan definitif serta pelaksanaannya, dengan menepati ketentuan-ketentuan yang ada.
§ 2. Sebelum dikeluarkan dekret yang disebut dalam § 1 itu, haruslah nyata, jika perlu dengan mengulangi pemanggilan lagi, bahwa pemanggilan telah dilakukan secara legitim dan sampai pada pihak tergugat dalam waktu-guna.
Kan. 1593 – § 1. Jika pihak tergugat kemudian muncul di pengadilan atau memberikan jawaban sebelum perkara diputus, ia dapat mengajukan kesimpulan-kesimpulan dan bukti-bukti, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1600; tetapi hakim hendaknya menjaga agar peradilan jangan dengan sengaja diulur-ulur dengan penundaan yang lebih lama dan tidak perlu.
§ 2. Meskipun tidak muncul atau tidak memberikan jawaban sebelum perkara diputus, ia dapat menggunakan sanggahan melawan putusan. Jika ia membuktikan bahwa ia terhambat halangan yang legitim, yang tidak dapat ditunjukkan sebelumnya tanpa kesalahannya sendiri, ia dapat menggunakan pengaduan nulitas.
Kan. 1594 – Jika pada hari dan jam yang ditetapkan untuk menentukan pokok sengketa penggugat tidak muncul dan tidak memberitahukan alasan yang wajar:
10 hakim hendaknya memanggil dia lagi;
20 jika penggugat tidak mematuhi pemanggilan ulang tersebut, diandaikan ia menarik kembali permohonannya menurut norma kan. 1524-1525;
30 jika kemudian ia mau campur-tangan dalam proses, hendaknya ditepati kan. 1593.
Kan. 1595 – § 1. Pihak yang tidak hadir dalam peradilan, baik penggugat maupun tergugat, jika tidak dapat menunjukkan bahwa terhalang secara wajar, wajib membayar biaya sengketa yang diakibatkan oleh ketidak-hadirannya itu; jika perlu juga memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain.
§ 2. Jika baik penggugat maupun tergugat tidak hadir dalam pengadilan, mereka diwajibkan membayar seluruh biaya sengketa in solidum.

BAB II
CAMPUR-TANGAN ORANG KETIGA DALAM PERKARA

Kan. 1596 – § 1. Orang yang berkepentingan dapat diizinkan campur-tangan dalam perkara, dalam tahap perselisihan manapun juga, entah sebagai pihak yang mempertahankan haknya sendiri, entah dalam peranan tambahan untuk membantu salah satu pihak yang berperkara.
§ 2. Namun untuk diizinkan, haruslah ia sebelum penutupan perkara menyampaikan surat permohonan kepada hakim, yang menunjukkan secara singkat haknya untuk campur-tangan.
§ 3. Orang yang campur-tangan dalam perkara harus diterima dalam tahap dimana perkara berada; jika perkara sudah sampai pada tahap pembuktian, kepadanya diberikan waktu yang pendek dan peremptoir untuk menyampaikan bukti-buktinya.
Kan. 1597 – Hakim, sesudah mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan, harus memanggil ke pengadilan orang ketiga yang campur-tangannya dipandang perlu.

JUDUL VI
PENGUMUMAN AKTA, PENUTUPAN DAN
PEMBAHASAN PERKARA

Kan. 1598 – § 1. Setelah memperoleh bukti-bukti, hakim dengan suatu dekret, dengan sanksi nulitas, harus mengizinkan pihak-pihak yang bersangkutan serta pengacara-pengacara mereka untuk melihat akta pada kantor kanselarius pengadilan yang belum mereka ketahui; bahkan kepada pengacara yang memohonnya dapat juga diberikan salinan akta; tetapi dalam perkara-perkara yang menyangkut kepen-tingan umum, hakim dapat memutuskan bahwa, untuk menghindari bahaya-bahaya yang sangat berat, akta tertentu tidak boleh diperlihat-kan kepada siapa pun; akan tetapi hendaknya diusahakan agar hak pembelaan selalu tetap utuh.
§ 2. Untuk melengkapi bukti-bukti, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan bukti-bukti lain kepada hakim; sesudah bukti-bukti itu masuk, jika hakim memandang perlu, sekali lagi dibuat dekret yang disebut dalam § 1.
Kan. 1599 – § 1. Selesai segala sesuatu yang menyangkut pengumpulan bukti-bukti, sampailah pada penutupan perkara.
§ 2. Penutupan ini terjadi setiap kali pihak yang bersangkutan menyatakan dirinya tidak akan mengemukakan sesuatu lagi, atau waktu-guna yang ditetapkan oleh hakim untuk mengajukan bukti-bukti sudah lewat, atau hakim menyatakan bahwa ia menganggap perkaranya sudah cukup ditangani.
§ 3. Mengenai penutupan perkara itu, bagaimanapun terjadinya, hendaklah hakim membuat suatu dekret.
Kan. 1600 – § 1. Sesudah penutupan perkara, hakim masih dapat memanggil saksi-saksi yang sama atau yang lain, atau mempertimbang-kan bukti-bukti lain yang sebelumnya tidak diminta, hanya:
10 dalam perkara-perkara yang mempersoalkan hanya kepentingan pribadi pihak-pihak yang bersangkutan, jika semua pihak menyetujuinya;
20 dalam perkara-perkara lain, setelah mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan dan asalkan terdapat alasan yang berat serta tiada bahaya penipuan atau penghasutan;
30 dalam semua perkara, setiap kali besar kemungkinannya bahwa putusan akan menjadi tidak adil karena alasan-alasan yang disebut dalam kan. 1645, § 2, 10-30, jika tidak diizinkan pembuktian baru.
§ 2. Namun hakim dapat memerintahkan atau mengizinkan, agar ditunjukkan dokumen, yang sebelumnya barangkali tidak dapat ditunjukkan tanpa kesalahan orang yang berkepentingan.
§ 3. Bukti-bukti baru hendaknya diumumkan, dengan mengindah-kan kan.1598, § 1.
Kan. 1601 – Sesudah penutupan perkara, hakim hendaknya memberikan tenggang waktu yang wajar untuk menyampaikan pembelaan atau pengamatan.
Kan. 1602 – § 1. Pembelaan dan pengamatan hendaknya tertulis, kecuali hakim, dengan disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, menilai cukup perdebatan selama sidang pengadilan saja.
§ 2. Jika pembelaan dengan dokumen-dokumen utama hendak dicetak, dibutuhkan izin sebelumnya dari hakim, dengan tetap harus menjaga rahasia, jika ada.
§ 3. Mengenai panjangnya pembelaan, jumlah salinan dan hal-hal lain semacam itu, hendaknya diindahkan peraturan pengadilan.
Kan. 1603 – § 1. Apabila kedua pihak sudah tukar-menukar pembelaan dan pengamatan, mereka dapat menyampaikan jawaban dalam waktu singkat yang ditentukan oleh hakim.
§ 2. Hak ini hendaknya satu kali saja diberikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali atas alasan yang berat hakim berpendapat bahwa perlu memberikannya lagi; tetapi jika diberikan kepada pihak yang satu, berarti diberikan juga kepada pihak yang lain.
§ 3. Promotor iustitiae dan defensor vinculi mempunyai hak untuk menanggapi jawaban-jawaban dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Kan. 1604 – § 1. Sama sekali dilarang bahwa keterangan-keterangan dari pihak yang bersangkutan atau dari pengacara atau juga dari orang-orang lain yang diberikan kepada hakim, tidak dimasukkan dalam akta perkara.
§ 2. Jika pembahasan perkara dilakukan secara tertulis, hakim dapat menetapkan agar sekedar perdebatan lisan dibuat dalam sidang pengadilan, untuk menjelaskan beberapa masalah.
Kan. 1605 – Perdebatan lisan, yang disebut dalam kan. 1602, § 1 dan 1604, § 2, hendaknya dihadiri oleh notarius, dengan tujuan agar, jika hakim memerintahkan atau pihak yang bersangkutan memohon serta disetujui oleh hakim, dapat segera dibuat laporan tertulis mengenai perdebatan dan kesimpulan-kesimpulannya.
Kan. 1606 – Jika pihak-pihak yang bersangkutan dalam waktu-guna lalai mempersiapkan pembelaan, atau menyerahkannya kepada pengetahuan dan hati nurani hakim, maka hakim, jika dari akta dan hasil pembuktian menganggap perkaranya sudah cukup jelas, dapat segera menjatuhkan putusan, akan tetapi sesudah promotor iustitiae dan defensor vinculi memberikan catatannya, jika mereka menghadiri peradilan.

JUDUL VII
PUTUSAN HAKIM

Kan. 1607 – Perkara yang ditangani lewat jalan peradilan, jika merupakan perkara utama, diputuskan oleh hakim dengan suatu putusan definitif; jika merupakan perkara sela, diputuskan dengan putusan sela, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1589, § 1.
Kan. 1608 – § 1. Untuk menjatuhkan putusan apapun, di dalam diri hakim dituntut adanya suatu kepastian moral mengenai perkara yang harus ditetapkan dengan suatu putusan.
§ 2. Kepastian itu harus diperoleh hakim dari akta dan apa yang terbukti.
§ 3. Namun hakim harus menilai bukti-bukti berdasarkan hati nurani, dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan undang-undang mengenai kekuatan bukti-bukti tertentu.
§ 4. Hakim yang tidak dapat memperoleh kepastian itu hendaknya memutuskan bahwa tidak ada kepastian mengenai hak penggugat, dan hendaknya membebaskan tergugat, kecuali dalam perkara yang menikmati perlindungan hukum, dalam hal ini harus diambil keputusan yang menguntungkan perkara itu.
Kan. 1609 – § 1. Dalam pengadilan kolegial ketua kolegium hakim hendaknya menentukan hari dan jam kapan para hakim harus bersidang untuk membahas perkara, dan jika tidak ada alasan khusus yang menyarankan lain, sidang hendaknya diadakan di tempat kedudukan pengadilan itu sendiri.
§ 2. Pada hari yang telah ditunjuk untuk sidang, setiap hakim hendaknya menyampaikan secara tertulis kesimpulannya mengenal perkara itu, dan juga alasan-alasan, baik in iure maupun in facto, yang mendorong mereka sampai pada pendapat itu; pendapat mereka itu, yang harus tetap dipelihara kerahasiannya, hendaknya dijadikan satu dengan akta perkara.
§ 3. Setelah menyebut Nama Allah, pendapat-pendapat itu diuraikan satu per satu menurut urutan presedensi, tetapi selalu hakim ponens atau relator memulai lebih dahulu; kemudian dilangsungkan pembahasan dibawah pimpinan ketua pengadilan, terutama untuk mencapai kesepakatan bersama, apa yang harus ditetapkan dalam bagian uraian dari putusan.
§ 4. Namun dalam pembahasan setiap hakim dapat merubah pendapatnya yang semula. Tetapi hakim yang tidak mau menyetujui putusan hakim-hakim lain, dapat menuntut agar, bila terjadi naik banding, pendapatnya itu diteruskan ke pengadilan yang lebih tinggi.
§ 5. Jika para hakim dalam pembahasan pertama tidak mau atau tidak dapat sampai pada putusan, pengambilan putusan dapat diundur sampai sidang berikutnya, tetapi jangan lebih dari seminggu, kecuali penyusunan perkara perlu dilengkapi menurut norma kan. 1600.
Kan. 1610 – § 1. Jika hakim itu tunggal, ia sendiri menyusun putusan.
§ 2. Dalam pengadilan kolegial, ponens atau relator bertugas menyusun putusan, dengan mengambil alasan-alasan yang dikemukakan oleh setiap hakim dalam pembahasan, kecuali alasan-alasan yang harus dikemukakan sudah ditentukan oleh suara terbanyak para hakim; lalu putusan itu harus disampaikan untuk disetujui oleh masing-masing hakim.
§ 3. Putusan harus dikeluarkan tidak lebih lama dari satu bulan sejak hari perkara itu diputus, kecuali dalam pengadilan kolegial para hakim menentukan waktu lebih lama, atas alasan yang berat.
Kan. 1611 – Putusan haruslah:
10 merumuskan perselisihan yang diadukan di hadapan pengadilan, dengan memberikan jawaban yang sewajarnya pada setiap keraguan;
20 menentukan mana kewajiban-kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan yang muncul dari peradilan dan bagaimana harus ditepati;
30 menguraikan alasan-alasan atau dasar-dasar, baik in iure maupun in facto, yang menjadi landasan dari bagian uraian putusan itu;
40 menetapkan biaya perkara.
Kan. 1612 – § 1. Putusan, sesudah Nama Allah disebut, harus mengungkapkan secara berturut-turut siapa hakim atau pengadilan mana, siapa penggugat, pihak tergugat, kuasa hukum, dengan menyebut secara benar nama dan domisili, promotor iustitiae, defensor vinculi, jika mereka itu ambil bagian dalam peradilan.
§ 2. Kemudian secara ringkas harus dilaporkan macam kejadian-nya dengan kesimpulan-kesimpulan pihak-pihak yang bersangkutan dan rumusan keraguan.
§ 3. Lalu menyusul bagian uraian putusan itu, setelah dikemuka-kan alasan-alasan yang melandasinya.
§ 4. Ditutup dengan mencantumkan hari dan tempat di mana putusan itu dibuat, dan dibubuhkan tanda-tangan hakim, atau dalam hal pengadilan kolegial tanda-tangan semua hakim dan notarius.
Kan. 1613 – Peraturan-peraturan yang ditetapkan di atas mengenai putusan definitif harus juga diterapkan pada putusan-putusan sela.
Kan. 1614 – Putusan hendaknya secepat mungkin diumumkan, dengan menyebutkan cara-cara untuk menyanggahnya; dan sebelum diumumkan tidak memiliki kekuatan apapun, meskipun bagian dispositif, seizin hakim, sudah diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Kan. 1615 – Pengumuman atau pemakluman putusan dapat terjadi dengan menyerahkan salinan putusan kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau kuasa hukum mereka, atau dengan mengirimkan kepada mereka salinan itu menurut norma kan. 1509.
Kan. 1616 – § 1. Jika dalam teks putusan terdapat kesalahan dalam perhitungan, atau kesalahan material dalam menyalin bagian dispositif, atau dalam melukiskan kejadian maupun permintaan pihak-pihak yang bersangkutan, atau melalaikan apa yang dituntut kan. 1612, § 4, putusan itu haruslah dibetulkan atau dilengkapi oleh pengadilan yang menjatuhkannya, entah atas permintaan pihak yang bersangkutan entah ex officio, tetapi selalu setelah mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan serta dengan menambahkan suatu dekret pada akhir putusan itu.
§ 2. Jika salah satu pihak menentangnya, masalah sela itu hendaknya diputus dengan dekret.
Kan. 1617 – Putusan-putusan hakim lain, selain putusan perkara, ialah dekret-dekret, yang jika bukan melulu pengaturan tata-tertib, tidak mempunyai kekuatan kecuali mengemukakan alasan-alasannya sekurang-kurangnya secara singkat, atau menunjuk alasan-alasan yang ditegaskan dalam bagian lain.
Kan. 1618 – Putusan sela atau dekret memiliki kekuatan putusan definitif jika menghalangi kelanjutan peradilan atau mengakhiri peradilan itu sendiri atau salah satu tahap dari padanya, terhadap sekurang-kurangnya salah satu pihak yang berperkara.

JUDUL VIII
SANGGAHAN TERHADAP PUTUSAN

BAB I
KEBERATAN NULITAS MELAWAN PUTUSAN

Kan. 1619 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1622 dan 1623, nulitas akta yang ditentukan oleh hukum positif, yang meski diketahui oleh pihak yang mengajukan pengaduan tetapi tidak diberitahukan kepada hakim sebelum dijatuhkan putusan, disembuhkan dengan putusan itu sendiri, setiap kali menyangkut perkara yang hanya mengenai kepentingan privat.
Kan. 1620 – Putusan adalah batal secara tak-tersembuhkan, jika:
10 dijatuhkan oleh hakim yang tidak berwenang secara mutlak;
20 dijatuhkan oleh orang yang tidak memiliki kuasa mengadili pada pengadilan dimana perkara itu diputus;
30 hakim menjatuhkan putusan karena terdesak oleh paksaan atau ketakutan berat;
40 peradilan itu dilakukan tanpa permohonan yudisial yang disebut dalam kan. 1501, atau tidak diajukan melawan salah satu pihak tergugat;
50 dijatuhkan antara pihak-pihak, yang sekurang-kurangnya salah satu tidak memiliki kemampuan untuk tampil di pengadilan;
60 salah seorang bertindak atas nama orang lain tanpa mandat yang legitim;
70 hak untuk membela diri salah satu pihak diingkari;
80 perselisihannya bahkan sebagian pun tidak diputus.
Kan. 1621 – Keberatan atas nulitas, yang disebut dalam kan. 1620, dapat diajukan sebagai eksepsi tanpa batas waktu, tetapi sebagai pengaduan di hadapan hakim yang menjatuhkan putusan, dalam waktu sepuluh tahun sejak hari putusan diumumkan.
Kan. 1622 – Putusan hanya batal tetapi dapat disembuhkan, jika:
10 dijatuhkan oleh hakim yang jumlahnya tidak legitim, bertentangan dengan ketentuan kan. 1425, § 1;
20 tidak memuat alasan-alasan atau dasar-dasar putusannya;
30 kurang tanda-tangan yang ditentukan oleh hukum;
40 tidak menyebutkan tahun, bulan, hari dan tempat dikeluarkannya putusan itu;
50 didasarkan pada tindak peradilan yang batal dan nulitas itu tidak disembuhkan menurut norma kan. 1619;
60 dijatuhkan melawan pihak yang secara legitim tidak hadir, menurut kan. 1593, § 2.
Kan. 1623 – Keberatan atas nulitas dalam kasus-kasus yang disebut dalam kan. 1622 dapat diajukan dalam waktu tiga bulan sejak berita publikasi putusan.
Kan. 1624 – Keberatan atas nulitas diperiksa sendiri oleh hakim yang telah menjatuhkan putusan; jika pihak yang bersangkutan khawatir kalau-kalau hakim, yang telah menjatuhkan putusan yang disanggah dengan keberatan atas nulitas itu akan berprasangka dan oleh karenanya layak dicurigai, ia dapat menuntut agar hakim lain menggantikannya menurut norma kan. 1450.
Kan. 1625 – Keberatan atas nulitas dapat diajukan bersama dengan naik banding, dalam batas waktu yang ditetapkan untuk naik banding.
Kan. 1626 – § 1. Yang dapat mengajukan keberatan atas nulitas tidak hanya pihak-pihak yang merasa berkeberatan, melainkan juga promotor iustitiae atau defensor vinculi, setiap kali mereka mempunyai hak untuk campurtangan.
§ 2. Hakim itu sendiri dapat ex officio menarik kembali atau memperbaiki putusan batal yang telah dibuatnya, dalam batas waktu yang ditetapkan oleh kan. 1623 untuk bertindak, kecuali sementara itu telah diajukan banding bersama dengan keberatan atas nulitas, atau nulitas telah disembuhkan dengan lewatnya batas waktu yang disebut dalam kan. 1623.
Kan. 1627 – Perkara-perkara keberatan atas nulitas dapat ditangani menurut norma-norma tentang proses perdata lisan.

BAB II
NAIK BANDING

Kan. 1628 – Pihak yang merasa berkeberatan terhadap suatu putusan, demikian pula promotor iustitiae dan defensor vinculi dalam perkara-perkara yang menuntut kehadirannya, mempunyai hak untuk naik banding atas putusan itu kepada hakim yang lebih tinggi, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1629.
Kan. 1629 – Tidak ada kemungkinan naik banding:
10 atas putusan Paus sendiri atau Signatura Apostolica;
20 atas putusan yang terkena cacat nulitas, kecuali disatukan dengan keberatan nulitas menurut norma kan. 1625;
30 atas putusan yang telah menjadi perkara teradili;
40 atas dekret hakim atau atas putusan sela, yang tidak mempunyai kekuatan putusan definitif, kecuali disatukan dengan naik banding atas putusan definitif;
50 atas putusan atau atas dekret dalam perkara di mana hukum menentukan bahwa perkara harus secepat mungkin diputuskan.
Kan. 1630 – § 1. Naik banding harus diajukan di hadapan hakim yang telah memutus perkara, dalam kurun waktu lima belas hari-guna yang menghentikan proses sejak berita publikasi putusan.
§ 2. Jika naik banding dilakukan secara lisan, hendaknya notarius merumuskannya secara tertulis di hadapan pemohon banding itu sendiri.
Kan. 1631 – Jika timbul masalah hak naik banding, hendaknya pengadilan banding secepat mungkin memeriksanya menurut norma-norma proses perdata lisan.
Kan. 1632 – § 1. Jika dalam naik banding tidak disebutkan pada pengadilan mana naik banding tersebut diajukan, diandaikan pada pengadilan yang disebut dalam kan. 1438 dan 1439.
§ 2. Jika pihak yang lain naik banding pada pengadilan banding lain, hendaknya pengadilan yang lebih tinggi tingkatnya memutuskan perkara itu, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1415.
Kan. 1633 – Permohonan banding harus diteruskan kepada hakim ad quem (hakim pengadilan banding) dalam waktu satu bulan sejak diajukan, kecuali hakim a quo (hakim pemutus perkara) memberikan kurun waktu lebih lama kepada pihak bersangkutan untuk meneruskannya.
Kan. 1634 – § 1. Agar permohonan banding dapat diteruskan, dibutuhkan dan cukuplah bahwa pihak yang bersangkutan memohon pelayanan hakim yang lebih tinggi untuk memperbaiki putusan yang disanggah, dengan melampirkan salinan putusan itu serta dengan menyebutkan alasan-alasan bandingnya.
§ 2. Jika pihak yang bersangkutan, dalam waktu-guna tidak dapat memperoleh salinan putusan yang disanggah dari pengadilan a quo, maka sementara itu batas waktu tidak dihitung; dan halangan itu hendaknya diberitahukan kepada hakim tingkat banding, yang dengan suatu perintah harus mewajibkan hakim a quo agar selekas mungkin memenuhi tugasnya.
§ 3. Sementara itu hakim a quo harus mengirim akta menurut norma kan. 1474 kepada hakim banding.
Kan. 1635 – Jika kesempatan mengajukan banding telah lewat tanpa digunakan, entah pada hakim a quo entah pada hakim a quem, permohonan banding dianggap telah ditinggalkan.
Kan. 1636 – § 1. Pemohon banding dapat mencabut permohonan bandingnya dengan akibat-akibat yang disebut dalam kan. 1525.
§ 2. Jika permohonan banding itu diajukan oleh defensor vinculi atau promotor iustitiae, dapat dicabut oleh defensor vinculi atau promotor iustitiae dari pengadilan banding, kecuali undang-undang menentukan lain.
Kan. 1637 – § 1. Naik banding yang diajukan oleh pemohon berlaku juga untuk pihak tergugat, dan sebaliknya.
§ 2. Jika ada beberapa tergugat atau penggugat dan putusan disanggah hanya oleh atau terhadap satu dari mereka, sanggahan dianggap diajukan oleh semua atau melawan semua, setiap kali hal yang diminta tidak dapat dibagi-bagi atau merupakan kewajiban bersama (obligatio solidalis).
§ 3. Jika permohonan banding diajukan oleh satu pihak atas satu pokok dari putusan, pihak lawan, meskipun jangka waktu banding telah lewat, dapat mengajukan banding sela atas pokok-pokok lainnya dalam kurun waktu akhir lima belas hari yang menghentikan proses sejak hari permohonan banding yang utama diberitahukan kepadanya.
§ 4. Kecuali nyata lain, permohonan banding diandaikan diajukan melawan semua pokok putusan.
Kan. 1638 – Naik banding menangguhkan pelaksanaan putusan.
Kan. 1639 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1683, pada tingkat banding tidak dapat diterima suatu dasar baru untuk menggugat, juga tidak dalam bentuk kumulasi dasar-dasar yang berguna; maka penentuan pokok sengketa hanya dapat berkisar pada pengukuhan atau peninjauan kembali putusan pertama, entah secara keseluruhan atau sebagian.
§ 2. Pembuktian-pembuktian baru dapat diterima hanya menurut norma kan. 1600.
Kan. 1640 – Pada tingkat banding proses haruslah berjalan dengan cara yang sama seperti pada instansi pertama, dengan penyesuaian seperlunya; tetapi, kecuali barangkali pembuktian harus dilengkapi, segera sesudah menentukan pokok sengketa menurut norma kan. 1513 § 1 dan kan. 1639 § 1, hendaklah langsung masuk pada pembahasan perkara serta pada putusan.

JUDUL IX
PERKARA TERADILI
DAN
PENINJAUAN KEMBALI SECARA MENYELURUH
(restitutio in integrum)

BAB I
PERKARA TERADILI

Kan. 1641 – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1643, perkara dianggap sebagai teradili:
10 jika ada putusan yang sama antara dua pihak yang sama tentang gugatan yang sama dan mengenai perkara yang sama;
20 jika permohonan banding melawan putusan tidak diajukan dalam jangka waktu-guna;
30 jika pada tingkat banding, peradilannya gugur atau dicabut;
40 jika dijatuhkan putusan definitif yang tidak memberi kesempatan naik banding menurut norma kan. 1629.
Kan 1642 – § 1. Perkara yang teradili memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat disanggah secara langsung, kecuali sesuai norma kan. 1645 § 1.
§ 2. Hal itu menyelesaikan perkara antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan memberi hak atas pelaksanaan putusan serta eksepsi karena perkara telah teradili; hal itu dapat juga dinyatakan oleh hakim ex officio, untuk mencegah diajukannya lagi perkara itu.
Kan. 1643 – Perkara-perkara mengenai status pribadi tidak pernah menjadi perkara teradili, tak terkecuali perkara-perkara perpisahan suami-istri.
Kan. 1644 – § 1. Jika dijatuhkan dua putusan yang sesuai dalam perkara mengenai status pribadi, sewaktu-waktu yang bersangkutan dapat mengadu ke pengadilan banding, dengan mengajukan bukti-bukti atau argumen-argumen yang baru dan berat dalam kurun waktu tiga puluh hari yang menghentikan proses sejak sanggahan diajukan. Sedangkan pengadilan banding, dalam waktu sebulan sejak bukti-bukti dan argumen-argumen baru disampaikan, harus menetapkan dengan dekret apakah pengaduan baru perkara itu harus diterima atau tidak.
§ 2. Naik banding ke pengadilan lebih tinggi agar perkaranya diperiksa kembali, tidak menangguhkan pelaksanaan putusan, kecuali undang-undang menentukan lain atau pengadilan banding, menurut norma kan. 1650 § 3, memerintahkan penangguhannya.

BAB II
PENINJAUAN KEMBALI SECARA MENYELURUH

Kan. 1645 – § 1. Melawan putusan yang telah menjadi perkara teradili, dapat dibuat peninjauan kembali secara menyeluruh, asal nyata secara terbuka ada ketidakadilan dari putusan itu.
§ 2. Akan tetapi ketidakadilan itu tidak dinilai nyata secara terbuka, kecuali:
10 putusan itu didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian diketahui palsu, sehingga tanpa bukti-bukti itu bagian dispositif dari putusan tersebut tidak dapat dipertahankan;
20 di kemudian hari ditemukan dokumen-dokumen yang tanpa ragu menunjukkan fakta baru dan menuntut putusan yang sebaliknya;
30 putusan dahulu dijatuhkan dengan tipu muslihat salah satu pihak untuk merugikan pihak yang lain;
40 ternyata dilalaikan ketentuan undang-undang yang bukan semata-mata bersifat prosedural;
50 putusan itu berlawanan dengan putusan sebelumnya, yang telah menjadi perkara teradili.
Kan. 1646 – § 1. Peninjauan kembali secara menyeluruh karena sebab-sebab yang disebut dalam kan. 1645 § 2.10-30, dalam waktu tiga bulan terhitung sejak hari diketahuinya sebab-sebab itu, harus dimohon kepada hakim yang telah menjatuhkan putusan itu.
§ 2. Peninjauan kembali secara menyeluruh karena sebab-sebab yang disebut dalam kan. 1645 § 2. 40 dan 50 harus diminta kepada pengadilan banding, dalam waktu tiga bulan sejak berita pengumuman putusan; jika dalam kasus yang disebut kan. 1645 § 2.50 berita putusan sebelumnya baru diperoleh kemudian, jangka waktu dihitung sejak tanggal itu.
§ 3. Jangka waktu tersebut tidak dihitung selama orang yang dirugikan berada dalam usia belum dewasa.
Kan. 1647 – § 1. Permohonan peninjauan kembali secara menyeluruh menangguhkan pelaksanaan putusan yang belum dimulai.
§ 2. Namun jika dari gejala-gejala yang dapat dipercaya ada kecurigaan bahwa permohonan itu dibuat untuk menunda-nunda pelaksanaan, hakim dapat menetapkan agar putusan dilaksanakan; tetapi kepada pemohon peninjauan kembali hendaknya diberikan jaminan memadai, bahwa jika perkara ditinjau kembali secara menyeluruh ia tidak akan dirugikan.
Kan. 1648 – Jika peninjauan kembali secara menyeluruh dikabul-kan, hakim harus membuat putusan mengenai kesimpulan perkara.

JUDUL X
BIAYA PERADILAN DAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA

Kan. 1649 – § 1. Uskup yang bertugas memimpin pengadilan hendaknya menetapkan norma-norma mengenai:
10 pihak-pihak yang harus dihukum untuk membayar atau mengganti biaya peradilan;
20 honorarium bagi kuasa hukum, pengacara, ahli dan penerjemah serta ganti rugi bagi saksi;
30 bantuan hukum cuma-cuma atau keringanan biaya yang dapat diberikan;
40 ganti rugi yang disebabkan oleh orang yang bukan saja kalah dalam perkara, melainkan gegabah mengajukan perkara;
50 uang muka atau jaminan yang harus diserahkan untuk membayar biaya perkara dan ganti rugi.
§ 2. Terhadap ketetapan mengenai biaya perkara, honorarium dan ganti rugi yang harus dibayar, tidak ada permohonan banding tersendiri, tetapi pihak yang bersangkutan dalam waktu lima belas hari dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang sama, yang dapat mengubah tarifnya.

JUDUL XI
PELAKSANAAN PUTUSAN

Kan. 1650 – § 1. Putusan yang telah menjadi perkara teradili dapat diperintahkan untuk dilaksanakan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1647.
§ 2. Hakim yang menjatuhkan putusan dan, jika diajukan permo-honan banding, juga hakim pengadilan banding, dapat memerintahkan ex officio atau atas permintaan pihak yang bersangkutan, agar putusan yang belum menjadi perkara teradili dilaksanakan untuk sementara, jika perlu dengan membuat jaminan yang memadai bila mengenai ketetapan-ketetapan atau pembayaran-pembayaran untuk biaya hidup yang perlu, atau karena alasan wajar yang lain.
§ 3. Jika putusan yang disebut dalam § 2 itu disanggah, hakim yang harus memeriksa sanggahan, jika melihat bahwa sanggahan itu barangkali mempunyai dasar dan dari pelaksanaan putusan dapat timbul kerugian yang tak dapat diperbaiki, dapat menunda pelaksanaan tersebut atau menempatkannya dibawah jaminan.
Kan. 1651 – Putusan tidak dapat dilaksanakan sebelum hakim mengeluarkan dekret pelaksanaan yang menegaskan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan; dekret itu, sesuai dengan hakikat perkaranya, hendaknya tercantum dalam teks putusan itu sendiri atau dikeluarkan secara tersendiri.
Kan. 1652 – Jika pelaksanaan putusan menuntut pertanggung-jawaban lebih dahulu, timbullah pertanyaan sela yang harus diputuskan oleh hakim itu sendiri, yang memerintahkan agar putusan dilaksanakan.
Kan. 1653 – § 1. Kecuali undang-undang partikular menetapkan lain, Uskup dari keuskupan tempat putusan tingkat pertama dikeluarkan, harus sendiri atau lewat orang lain memerintahkan agar putusan dilaksanakan.
§ 2. Jika ia menolak atau melalaikannya, atas desakan pihak yang berkepentingan atau juga ex officio, pelaksanaan menjadi wewenang otoritas yang membawahkan pengadilan banding sesuai norma kan. 1439, § 3.
§ 3. Di kalangan para religius Pemimpin bertugas memerintahkan pelaksanaan putusan atau mendelegasikannya kepada hakim.
Kan. 1654 – § l. Pelaksana harus melaksanakan putusan tersebut sesuai dengan arti katanya yang jelas, kecuali dalam teks putusan itu sendiri terdapat sesuatu yang diserahkan kepada keputusannya.
§ 2. Ia boleh mempertimbangkan eksepsi mengenai cara dan daya-paksa dari pelaksanaan, tetapi tidak mengenai kesimpulan perkara; jika dari sumber lain ia mengetahui bahwa putusan itu tidak sah atau jelas tidak adil menurut norma kan. 1620, 1622, 1645, ia jangan melaksana-kan putusan itu dan hendaknya mengirim kembali perkaranya ke pengadilan yang mengeluarkan putusan, serta memberitahu pihak-pihak yang bersangkutan.
Kan. 1655 – § 1. Dalam perkara yang mengadukan kepemilikan benda, setiap kali diputuskan bahwa suatu benda adalah milik penggugat, maka benda itu harus diserahkan kepada penggugat segera sesudah perkara menjadi teradili.
§ 2. Namun dalam perkara yang mengadukan orang, jika orang yang bersalah dihukum untuk menyerahkan suatu benda bergerak, atau untuk membayar uang, atau untuk memberikan atau melaksanakan sesuatu lain, hakim dalam teks putusan itu sendiri, atau pelaksana menurut pertimbangan dan kearifannya, hendaknya menentukan batas waktu untuk memenuhi kewajiban itu, tetapi tidak kurang dari lima belas hari dan tidak lebih lama dari enam bulan.

SEKSI II
PROSES PERDATA LISAN

Kan. 1656 – § 1. Proses perdata lisan yang dibicarakan dalam seksi ini, dapat digunakan untuk menangani semua perkara yang tidak dikecualikan oleh hukum, kecuali pihak yang bersangkutan memohon proses perdata biasa.
§ 2. Jika proses perdata lisan digunakan di luar kasus-kasus yang diizinkan oleh hukum, tindakan-tindakan peradilan itu adalah batal.
Kan. 1657 – Proses perdata lisan pada tingkat pertama dilakukan di hadapan hakim tunggal, menurut norma kan. 1424.
Kan. 1658 – § 1. Surat gugat yang membuka pokok sengketa, selain hal-hal yang disebut dalam kan. 1504, harus:
10 secara singkat, utuh dan jelas menguraikan fakta yang mendasari permohonan penggugat;
20 menunjukkan bukti-bukti yang dimaksudkan oleh penggugat untuk menyatakan fakta, dan yang tidak dapat diajukan sekaligus, sedemikian sehingga segera dapat dikumpulkan oleh hakim.
§ 2. Pada surat gugat itu harus dilampirkan dokumen-dokumen yang menjadi dasar permohonannya, sekurang-kurangnya dalam bentuk salinan otentik.
Kan. 1659 – § 1. Jika upaya damai menurut norma kan. 1446 § 2 tidak berhasil, hakim, jika menilai bahwa surat-gugat itu mempunyai suatu dasar, dalam waktu tiga hari, dengan dekret yang dicantumkan pada bagian akhir surat gugat itu sendiri, hendaknya memerintahkan agar salinan permohonannya diberitahukan kepada pihak tergugat, sambil memberikan kesempatan kepadanya untuk mengirim jawaban ke kantor kanselarius pengadilan dalam waktu lima belas hari.
§ 2. Pemberitahuan itu juga berarti pemanggilan peradilan yang disebut dalam kan. 1512.
Kan. 1660 – Jika eksepsi pihak tergugat menuntutnya, kepada pihak penggugat hakim hendaknya menentukan batas waktu untuk menjawab, sedemikian sehingga dari unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pihak, ia sendiri memperoleh kejelasan mengenai obyek perselisihannya.
Kan. 1661 – § 1. Setelah lewat batas waktu yang disebut dalam kan. 1659 dan 1660, hakim, sesudah memeriksa akta, hendaknya menetapkan rumusan perkara; lalu ia hendaknya memanggil semua yang harus hadir dalam sidang, yang sudah harus diselenggarakan sebelum lewat tiga puluh hari; kepada pihak-pihak yang bersangkutan ia tambahkan rumusan keraguannya.
§ 2. Dalam pemanggilan pihak-pihak yang bersangkutan hendak-nya diberitahu bahwa mereka dapat menyampaikan catatan tertulis singkat kepada pengadilan untuk mendukung pernyataan-pernyataan mereka, sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang.
Kan. 1662 – Dalam sidang itu lebih dulu dibicarakan masalah-masalah yang disebut dalam kan. 1459-1464.
Kan. 1663 – § 1. Bukti-bukti dikumpulkan di dalam sidang itu, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1418.
§ 2. Pihak yang satu dan pengacaranya dapat menghadiri pemeriksaan pihak-pihak yang lain, saksi-saksi dan ahli-ahli.
Kan. 1664 – Jawaban dari pihak-pihak yang bersangkutan, para saksi, para ahli, permohonan-permohonan dan eksepsi-eksepsi pengacara, harus dicatat oleh notarius, tetapi secara ringkas dan hanya dalam hal-hal yang mengenai pokok masalah sengketa, dan kemudian harus ditandatangani oleh mereka yang menyampaikannya.
Kan. 1665 – Bukti-bukti yang tidak tercantum dalam permohonan atau jawaban yang disampaikan atau diminta, dapat diizinkan oleh hakim hanya menurut norma kan. 1452; tetapi sesudah mendengarkan satu orang saksi, hakim dapat memutuskan bukti-bukti baru hanya menurut norma kan. 1600.
Kan. 1666 – Jika dalam satu sidang tidak semua bukti dapat terkumpul, hendaknya ditetapkan sidang lagi.
Kan. 1667 – Sesudah bukti-bukti terkumpul, dalam sidang itu juga dilangsungkan pembahasan lisan.
Kan. 1668 – § 1. Kecuali dalam pembahasan ternyata ada sesuatu yang harus dilengkapi di dalam penyusunan perkara atau ada hal lain yang menghalangi dijatuhkannya putusan secara baik, hakim pada akhir sidang, secara terpisah, hendaknya langsung memutus perkara; bagian dispositif dari putusan itu hendaknya segera dibacakan di hadapan pihak-pihak yang hadir.
§ 2. Tetapi pengadilan dapat menunda putusan sampai pada hari-guna kelima karena sulitnya perkara atau karena alasan lain yang wajar.
§ 3. Teks putusan seutuhnya, dengan menjelaskan alasan-alasannya, hendaknya secepat mungkin disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, biasanya tidak lebih dari lima belas hari.
Kan. 1669 – Jika pengadilan banding melihat bahwa pada penga-dilan yang lebih rendah proses perdata lisan digunakan dalam kasus-kasus yang dikecualikan oleh hukum, hendaknya menyatakan nulitas putusan itu dan mengirim kembali perkara itu kepada pengadilan yang telah menjatuhkan putusan.
Kan. 1670 – Dalam hal-hal lainnya sejauh menyangkut prosedur, hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan mengenai peradilan perdata biasa. Namun untuk mempercepat jalannya perkara, dengan tetap menjunjung tinggi keadilan, lewat dekret yang dilengkapi dengan alasan-alasannya, pengadilan dapat menghapus sebagian norma-norma proses prosedural yang ditetapkan tidak demi validitasnya.

BAGIAN III
BEBERAPA PROSES KHUSUS

JUDUL I
PROSES PERKARA PERKAWINAN

BAB I
PERKARA UNTUK MENYATAKAN NULITAS PERKAWINAN

Artikel 1
PENGADILAN YANG BERWENANG

Kan. 1671 – Perkara-perkara perkawinan orang-orang yang telah dibaptis merupakan wewenang hakim gerejawi berdasarkan haknya sendiri.
Kan. 1672 – Perkara-perkara mengenai akibat-akibat perkawinan yang sifatnya semata-mata sipil merupakan wewenang pengadilan sipil, kecuali hukum partikular menetapkan bahwa perkara-perkara itu, jika sifatnya insidental dan tambahan, dapat diperiksa dan diputus oleh hakim gerejawi.
Kan. 1673 – Dalam perkara-perkara nulitas perkawinan yang tidak direservasi bagi Takhta Apostolik, yang berwenang ialah:
10 pengadilan dari tempat perkawinan dilangsungkan;
20 pengadilan dari tempat pihak tergugat memiliki domisili atau kuasi-domisili;
30 pengadilan dari tempat pihak penggugat memiliki domisili, asalkan kedua pihak tinggal dalam wilayah Konferensi para Uskup yang sama, dan Vikaris yudisial dari domisili pihak tergugat menyetujuinya, setelah juga didengarkan pihak tergugat sendiri;
40 pengadilan dari tempat de facto sebagian besar bukti dapat dikumpulkan, asalkan ada persetujuan Vikaris yudisial dari domisili pihak tergugat, yang sebelumnya sudah ditanya apakah mempunyai suatu keberatan.

Artikel 2
HAK MENGGUGAT PERKAWINAN

Kan. 1674 – Dapat menggugat perkawinan:
10 pasangan suami/istri;
20 promotor iustitiae, jika nulitasnya sudah tersiar, apabila perkawinan itu tidak dapat atau tidak selayaknya disahkan.
Kan. 1675 – § 1. Perkawinan, yang semasa pasangan masih hidup tidak digugat, juga tidak dapat digugat sesudah kematian salah seorang atau keduanya, kecuali masalah validitasnya merupakan hal yang harus diputus lebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa, entah dalam pengadilan kanonik entah dalam pengadilan sipil.
§ 2. Namun jika suami atau istri meninggal selama perkara berjalan, hendaknya diindahkan kan. 1518.

Artikel 3
TUGAS PARA HAKIM

Kan. 1676 – Hakim, sebelum menerima perkara dan setiap kali melihat ada harapan akan hasil yang baik, hendaknya menggunakan sarana-sarana pastoral, agar suami-istri sedapat mungkin diajak untuk barangkali mengesahkan perkawinannya dan memperbaiki kehidupan bersama suami-istri.
Kan. 1677 – § 1. Setelah surat-gugat diterima, hakim ketua atau ponens hendaknya memberitahukan dekret pemanggilan menurut norma kan. 1508.
§ 2. Setelah lewat lima belas hari sejak pemberitahuan itu, jika tidak ada pihak yang meminta sidang untuk menentukan pokok sengketa, dalam jangka waktu sepuluh hari hakim ketua atau ponens hendaknya ex officio menetapkan rumusan perkara atau perkara-perkara, dan memberitahukannya kepada pihak-pihak yang bersang-kutan dengan dekret.
§ 3. Rumusan keraguan tidak hanya memasalahkan apakah nyata ada nulitas perkawinan yang bersangkutan, melainkan juga harus menetapkan atas dasar atau atas dasar-dasar apa validitas perkawinan itu digugat.
§ 4. Setelah sepuluh hari sejak dekret diberitahukan, jika pihak-pihak yang bersangkutan tidak melawan apapun, hakim ketua atau ponens hendaknya menetapkan penyusunan perkara dengan dekret baru.

Artikel 4
BUKTI-BUKTI

Kan. 1678 – § 1. Defensor vinculi, para pembela pihak-pihak yang bersangkutan, dan juga promotor iustitiae jika tampil dalam pengadilan, berhak:
10 menghadiri pemeriksaan pihak-pihak yang bersangkutan, saksi-saksi, dan para ahli, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1559;
20 melihat akta peradilan, meskipun belum diumumkan, dan memeriksa dokumen-dokumen yang diserahkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
§ 2. Pihak-pihak yang berperkara tidak boleh menghadiri pemeriksaan yang disebut dalam § 1.10.
Kan. 1679 – Kecuali dari lain sumber bukti-bukti dianggap penuh, hakim, untuk menilai pernyataan pihak yang bersangkutan menurut norma kan. 1536, hendaknya sedapat mungkin menggunakan saksi-saksi mengenai kredibilitas pihak yang bersangkutan, selain petunjuk-petunjuk dan faktor-faktor lain yang mendukung.
Kan. 1680 – Dalam perkara-perkara impotensi atau cacat kesepakatan karena sakit jiwa, hendaknya hakim menggunakan bantuan seorang atau beberapa orang ahli, kecuali dari keadaan nampak dengan jelas tidak ada gunanya; dalam perkara-perkara lainnya hendaknya diindahkan ketentuan kan. 1574.

Artikel 5
PUTUSAN DAN NAIK BANDING

Kan. 1681 – Setiap kali dalam penyusunan perkara menjadi nyata bahwa sangat mungkin perkawinan itu non-consummatum, pengadilan dapat menangguhkan perkara nulitas dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, dan melengkapi penyusunan perkara untuk mohon dispensasi super rato, dan kemudian akta dikirimkan ke Takhta Apostolik bersama dengan permohonan dispensasi oleh salah seorang atau kedua suami-istri, dan disertai votum pengadilan dan Uskup.
Kan. 1682 – § 1. Putusan, yang pertama kali menyatakan nulitas perkawinan, bersama dengan permohonan banding, jika ada, dan akta peradilan lainnya, dalam waktu dua puluh hari dari pengumuman putusan hendaknya ex officio dikirim ke pengadilan banding.
§ 2. Jika putusan pada tingkat peradilan pertama menetapkan nulitas perkawinan, pengadilan banding, setelah mempertimbangkan catatan-catatan dari defensor vinculi, dan jika ada juga dari pihak-pihak yang bersangkutan, hendaknya dengan dekret segera mengukuhkan putusan itu atau menerima perkara itu untuk diperiksa secara biasa pada tingkat baru.
Kan. 1683 – Jika pada tingkat banding diajukan dasar baru untuk nulitas perkawinan, pengadilan dapat menerimanya dan mengadilinya seperti dalam instansi pertama.

Kan. 1684 – § 1. Sesudah putusan yang pertama kali menyatakan nulitas perkawinan itu dikukuhkan pada tingkat banding dengan dekret atau dengan putusan kedua, mereka yang perkawinannya dinyatakan tidak sah dapat melangsungkan nikah baru segera setelah dekret atau putusan kedua itu diberitahukan kepada mereka, kecuali terhalang oleh suatu larangan yang dicantumkan pada putusan atau dekret itu, atau oleh ketetapan Ordinaris wilayah.
§ 2. Ketentuan-ketentuan kan. 1644 harus ditepati, juga jika putusan yang menyatakan nulitas perkawinan itu dikukuhkan tidak dengan suatu putusan kedua, melainkan dengan dekret.
Kan. 1685 – Segera setelah putusan itu dapat dilaksanakan, Vikaris yudisial harus memberitahukan putusan itu kepada Ordinaris wilayah tempat perkawinan telah dirayakan. Ia kemudian harus mengusahakan agar secepat mungkin nulitas perkawinan serta barangkali larangan-larangan yang ditetapkan itu dicatat dalam buku-buku perkawinan dan baptis.

Artikel 6
PROSES DOKUMENTAL

Kan. 1686 – Setelah menerima permohonan yang diajukan menurut norma kan. 1677, Vikaris yudisial atau hakim yang ditunjuk olehnya, dapat menyatakan nulitas perkawinan dengan suatu putusan, dengan melewatkan tindakan-tindakan resmi proses biasa, tetapi sesudah memanggil pihak-pihak yang bersangkutan serta dengan campur-tangan defensor vinculi, jika dari dokumen yang tak tergoyah-kan oleh bantahan atau keberatan apa pun nyata secara pasti mengenai adanya halangan yang menggagalkan atau mengenai cacat tata-peneguhan yang legitim, asalkan nyata juga kepastian yang sama bahwa dispensasi tidak diberikan, atau bahwa kuasa hukum tidak memiliki mandat yang sah.
Kan. 1687 – § 1. Melawan pernyataan itu defensor vinculi, jika dengan arif berpendapat bahwa cacat yang disebut dalam kan. 1686 atau tentang tidak adanya dispensasi itu tidak pasti, harus mengajukan banding kepada hakim instansi kedua; kepadanya akta harus dikirim, dan hakim itu harus diberitahu secara tertulis bahwa ini mengenai proses dokumental.
§ 2. Pihak yang merasa berkeberatan tetap berhak penuh untuk mengajukan banding.

Kan. 1688 – Hakim instansi kedua dengan campurtangan defensor vinculi dan dengan mendengarkan pihak-pihak yang bersangkutan, hendaknya memutuskan dengan cara yang sama seperti disebut dalam kan. 1686, apakah putusan itu harus dikukuhkan, atau perkara harus diperiksa menurut proses hukum yang biasa; dalam hal demikian ia hendaknya mengirim kembali perkara itu kepada pengadilan instansi pertama.

Artikel 7
NORMA-NORMA UMUM

Kan. 1689 – Dalam putusan, pihak-pihak yang bersangkutan hendaknya diperingatkan mengenai kewajiban-kewajiban moral atau juga sipil yang mungkin mereka miliki satu terhadap yang lain dan terhadap anak, sejauh mengenai sustentasi dan pendidikannya.

Kan. 1690 – Perkara-perkara untuk menyatakan nulitas perka-winan tidak dapat ditangani dengan proses perdata lisan.

Kan. 1691 – Dalam hal-hal lainnya sejauh menyangkut prosedur, kecuali hakikat perkara menghalanginya, haruslah diterapkan kanon-kanon mengenai peradilan pada umumnya dan peradilan perdata biasa, dengan tetap harus diindahkan norma-norma khusus mengenai perkara-perkara status pribadi dan perkara-perkara yang menyangkut kepen-tingan umum.

BAB II
PERKARA-PERKARA PERPISAHAN PASANGAN

Kan. 1692 – § 1. Perpisahan pribadi pasangan yang sudah dibaptis, kecuali untuk wilayah-wilayah khusus telah ditentukan lain secara legitim, dapat ditetapkan dengan dekret Uskup diosesan atau putusan hakim menurut norma kanon-kanon berikut.
§ 2. Dimana keputusan gerejawi tidak memberikan efek sipil, atau jika diperkirakan bahwa putusan sipil tidak akan berlawanan dengan hukum ilahi, Uskup dari keuskupan tempat kediaman pasangan, dengan mengingat keadaan khusus, dapat memberi izin untuk menghadap pengadilan sipil.
§ 3. Jika perkaranya juga menyangkut efek yang semata-mata sipil dari perkawinan, hakim hendaknya berusaha, dengan tetap mengindah-kan ketentuan § 2, agar perkara tersebut sejak semula dibawa ke pengadilan sipil.
Kan. 1693 – § 1. Kecuali salah satu pihak atau promotor iustitiae meminta proses perdata biasa, hendaknya digunakan proses perdata lisan.
§ 2. Jika digunakan proses perdata biasa dan diajukan permohonan banding, pengadilan tingkat kedua hendaknya bekerja menurut norma kan. 1682 § 2, dengan penyesuaian seperlunya.
Kan. 1694 – Mengenai wewenang pengadilan hendaknya ditepati ketentuan kan. 1673.
Kan. 1695 – Hakim, sebelum menerima perkara dan setiap kali melihat ada harapan akan hasil yang baik, hendaknya menggunakan sarana-sarana pastoral, agar pasangan dirukunkan dan diajak untuk memperbaiki kehidupan bersama.
Kan. 1696 – Perkara-perkara mengenai perpisahan suami-istri menyangkut juga kepentingan umum; karena itu promotor iustitiae harus selalu campurtangan menurut norma kan. 1433.

BAB III
PROSES UNTUK DISPENSASI ATAS PERKAWINAN
RATUM DAN NON-CONSUMMATUM

Kan. 1697 – Hanya pasangan suami-istri, atau salah satu meski yang lainnya tidak menghendaki, mempunyai hak untuk memohon kemurahan dispensasi atas perkawinan ratum dan non-consummatum.
Kan. 1698 – § 1. Hanyalah Takhta Apostolik yang memutuskan adanya fakta bahwa perkawinan itu non-consummatum dan adanya alasan-alasan yang wajar untuk memberikan dispensasi.
§ 2. Namun dispensasi diberikan hanya oleh Paus.
Kan. 1699 – § 1. Yang berwenang menerima surat permohonan untuk mohon dispensasi ialah Uskup diosesan dari domisili atau kuasi-domisili pemohon, yang harus mengatur penyusunan proses, jika nyata bahwa permohonan itu mempunyai dasar.
§ 2. Tetapi jika kasus yang diajukan mempunyai kesulitan-kesulitan khusus yang bersifat yuridis atau moral, Uskup diosesan hendaknya berkonsultasi dengan Takhta Apostolik.
§ 3. Melawan dekret Uskup yang menolak surat permohonan, terbuka rekursus ke Takhta Apostolik.
Kan. 1700 – § 1 Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1681, Uskup hendaknya menyerahkan penyusunan proses-proses itu, secara tetap atau untuk masing-masing kasus kepada pengadilannya atau pengadilan keuskupan lain atau kepada seorang imam yang cakap.
§ 2. Jika diajukan permohonan peradilan untuk menyatakan nulitas perkawinan itu, penyusunan perkara hendaknya diserahkan kepada pengadilan itu juga.
Kan. 1701 – § 1. Dalam proses-proses itu defensor vinculi harus selalu campur tangan.
§ 2. Tidak diperkenankan adanya pembela, akan tetapi karena sulitnya kasus, Uskup dapat mengizinkan agar pemohon atau pihak tergugat dibantu oleh pelayanan ahli hukum.
Kan. 1702 – Dalam penyusunan perkara, kedua suami-istri hendaknya didengarkan dan sedapat mungkin ditepati kanon-kanon mengenai pengumpulan bukti-bukti dalam peradilan perdata biasa dan dalam nulitas perkawinan, asalkan dapat diserasikan dengan ciri dari proses-proses itu.
Kan. 1703 – § 1. Akta tidak diumumkan; tetapi jika hakim melihat bahwa bukti-bukti yang diajukan merupakan halangan berat bagi permohonan pihak pemohon atau eksepsi pihak tergugat, hendaknya ia secara arif menyatakannya kepada pihak yang berkepentingan.
§ 2. Hakim dapat menunjukkan dokumen yang diajukan atau kesaksian yang diterima kepada pihak yang memintanya, serta menetapkan waktu untuk mengajukan kesimpulan-kesimpulannya.
Kan. 1704 – § 1. Hakim pemeriksa (instructor), seselesainya menyusun proses, hendaknya mengirim semua akta dengan laporan yang tepat kepada Uskup, yang harus memberikan votum tentang kebenaran perkara (votum pro rei veritate), baik mengenai fakta bahwa perkawinan non-consummatum maupun mengenai adanya alasan wajar untuk pemberian dispensasi dan kelayakan diberi kemurahan.
§ 2. Jika pemeriksaan perkara diserahkan kepada pengadilan lain menurut kan. 1700, catatan-catatan untuk membela ikatan perkawinan hendaknya dibuat di pengadilan itu juga, tetapi votum Uskup yang disebut dalam §1 berada pada Uskup yang menyerahkan perkara; kepadanya hakim pemeriksa hendaknya mengirimkan laporan yang tepat bersama dengan berkas perkara.
Kan. 1705 – § 1. Uskup hendaknya mengirim semua akta bersama dengan votumnya dan catatan-catatan dari defensor vinculi ke Takhta Apostolik.
§ 2. Jika menurut penilaian Takhta Apostolik dibutuhkan tam-bahan pemeriksaan perkara, hal itu akan diberitahukan kepada Uskup, dengan menunjukkan unsur-unsur yang harus dilengkapi dalam pemeriksaan.
§ 3. Jika Takhta Apostolik menjawab bahwa dari hasil pemerik-saan tidak nyata adanya inkonsumasi, di tempat kedudukan pengadilan ahli hukum yang disebut dalam kan. 1701 §2 dapat memeriksa kembali akta proses, tetapi tidak termasuk votum Uskup, untuk mempertimbang-kan apakah ada alasan berat untuk sekali lagi mengajukan permohonan.
Kan. 1706 – Reskrip dispensasi dari Takhta Apostolik dikirim kepada Uskup; namun ia kemudian memberitahukan reskrip itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan, dan selain itu secepat mungkin dikirim kepada pastor paroki, baik tempat perkawinan dilangsungkan maupun tempat baptis diterimakan, agar dibuat catatan mengenai dispensasi yang telah diberikan itu dalam buku-buku perkawinan dan baptis.

BAB IV
PROSES TENTANG PRESUMSI KEMATIAN PASANGAN

Kan. 1707 – § 1. Setiap kali kematian pasangan tidak dapat dibuktikan dengan dokumen gerejawi atau sipil, pasangan yang lain tidak dianggap terlepas dari ikatan perkawinan, kecuali setelah oleh Uskup diosesan mengeluarkan pernyataan mengenai presumsi kematian.
§ 2. Pernyataan yang dimaksud dalam §1 itu hanya dapat dikeluarkan oleh Uskup diosesan jika, setelah dilakukan penyelidikan sewajarnya, dari keterangan para saksi, berita-berita atau petunjuk-petunjuk lain, diperoleh kepastian moral mengenai kematian pasangan. Hanya kepergian pasangan, meskipun berlangsung lama, tidaklah cukup.
§ 3. Dalam kasus yang tidak pasti dan berbelit-belit, Uskup hendaknya berkonsultasi dengan Takhta Apostolik.

JUDUL II
PERKARA-PERKARA UNTUK MENYATAKAN NULITAS TAHBISAN SUCI

Kan. 1708 – Yang berhak untuk menggugat sahnya tahbisan suci ialah atau klerikus sendiri atau Ordinaris, yang membawahkan klerikus itu atau Ordinaris keuskupan tempat ia ditahbiskan.
Kan. 1709 – § 1. Surat permohonan harus dikirim kepada Kongregasi yang berwenang, yang akan memutuskan apakah perkara itu akan diperiksa oleh Kongregasi Kuria Roma sendiri atau oleh pengadilan yang ditunjuk olehnya.
§ 2. Setelah surat permohonan dikirim, klerikus, berdasarkan hukum sendiri, dilarang melaksanakan tahbisannya.
Kan. 1710 – Jika Kongregasi merujuk perkara itu kepada penga-dilan, kecuali hakikat halnya menghalangi, hendaknya ditepati kanon-kanon mengenai peradilan pada umumnya dan mengenai peradilan perdata biasa, dengan tetap berlaku ketentuan-ketentuan judul ini.
Kan. 1711 – Dalam perkara-perkara itu defensor vinculi memiliki hak-hak yang sama serta terikat kewajiban-kewajiban yang sama pula seperti halnya defensor vinculi perkawinan.
Kan. 1712 – Sesudah putusan kedua mengukuhkan nulitas tahbisan suci, klerikus kehilangan semua hak yang melekat pada status klerus dan dibebaskan dari segala kewajiban.

JUDUL III
CARA MENGHINDARI PERADILAN

Kan. 1713 – Untuk menghindari perselisihan peradilan dapat digunakan secara bermanfaat musyawarah atau rekonsiliasi, atau perselisihan dapat diserahkan kepada penilaian seorang atau beberapa orang penengah.
Kan. 1714 – Mengenai musyawarah, kompromi dan penilaian arbi-trasi hendaknya diindahkan norma-norma yang dipilih oleh pihak-pihak yang bersangkutan; atau jika pihak-pihak yang bersangkutan tidak memilihnya, hendaknya diindahkan undang-undang yang dibuat oleh Konferensi para Uskup, jika ada, atau undang-undang sipil yang berlaku di tempat perjanjian itu dibuat.
Kan. 1715 – § 1. Musyawarah atau kompromi tidak dapat diada-kan dengan sah mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan mengenai hal-hal lain yang tidak dapat diatur dengan bebas oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
§ 2. Jika mengenai harta benda gerejawi, setiap kali materi menuntutnya, hendaknya ditepati formalitas yang ditetapkan oleh hukum untuk pengalih-milikan harta benda gerejawi.
Kan. 1716 – § 1. Jika undang-undang sipil tidak mengakui kekuatan putusan arbitrasi, kecuali dikukuhkan oleh seorang hakim, putusan arbitrasi mengenai perselisihan gerejawi, agar mempunyai kekuatan dalam pengadilan kanonik, memerlukan pengukuhan dari hakim gerejawi setempat, di mana putusan dibuat.
§ 2. Namun jika undang-undang sipil menerima sanggahan terhadap putusan arbitrasi di hadapan hakim sipil, sanggahan yang sama dapat juga diajukan dalam pengadilan kanonik di hadapan hakim gerejawi yang berwenang mengadili perselisihan pada tingkat pertama.

BAGIAN IV
HUKUM ACARA PIDANA

BAB I
PENYELIDIKAN PENDAHULUAN

Kan. 1717 – § 1. Setiap kali Ordinaris mendapat informasi yang sekurang-kurangnya mendekati kebenaran mengenai suatu tindak pidana, hendaknya ia dengan hati-hati melakukan penyelidikan, sendiri atau lewat orang yang cakap, mengenai fakta, keadaan dan imputa-bilitas (dapat dan harus dipertanggungjawabkan), kecuali penyelidikan itu sama sekali dianggap berlebihan.
§ 2. Haruslah dijaga agar penyelidikan itu jangan sampai membahayakan nama baik seseorang.
§ 3. Yang melakukan penyelidikan memiliki kuasa dan kewajiban sama seperti yang dimiliki oleh hakim auditor dalam proses peradilan; dan orang tersebut tidak dapat menjadi hakim dalam proses perkara itu, jika masalah itu kemudian diajukan menjadi proses peradilan.
Kan. 1718 – § 1. Apabila unsur-unsur tampak sudah cukup terkumpul, hendaknya Ordinaris memutuskan:
10 apakah proses untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman dapat diajukan;
20 apakah hal itu berguna, mengingat kan. 1341;
30 apakah proses peradilan perlu digunakan atau, kecuali undang-undang melarangnya, dapat ditempuh jalan lewat dekret di luar peradilan.
§ 2. Ordinaris hendaknya menarik kembali atau mengubah dekret yang disebut dalam § 1, setiap kali ia berdasarkan unsur-unsur baru menganggap harus menentukan lain.
§ 3. Dalam mengeluarkan dekret-dekret yang disebut dalam § 1 dan § 2, Ordinaris hendaknya mendengarkan nasihat dua hakim atau ahli hukum lain, jika ia menganggap hal itu arif.
§ 4. Sebelum mengambil keputusan menurut norma §1, Ordinaris hendaknya mempertimbangkan apakah tidak lebih baik, guna meng-hindari peradilan yang tak berguna, bahwa ia sendiri atau pemeriksa, dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, menyelesaikan masalah kerugian menurut kelayakan dan keadilan.
Kan. 1719 – Akta penyelidikan dan dekret-dekret Ordinaris, yang mengawali dan mengakhiri penyelidikan, serta segala sesuatu yang mendahului penyelidikan itu, jika tidak diperlukan untuk proses pidana, hendaknya disimpan dalam arsip rahasia kuria.

BAB II
JALANNYA PROSES

Kan. 1720 – Jika Ordinaris menilai bahwa harus ditempuh jalan lewat dekret ekstra yudisial:
10 hendaknya kepada tersangka disampaikan dakwaan serta bukti-bukti, dengan diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali jika tersangka itu, meskipun telah dipanggil menurut aturan, lalai menghadap;
20 bersama dengan dua orang asesor menimbang bukti-bukti dan semua alasan dengan seksama;
30 jika nyata secara pasti mengenai adanya tindak pidana dan waktu untuk mengajukan gugatan pidana belum lewat, hendaknya ia mengeluarkan dekret menurut norma kan. 1342-1350, dengan menguraikan alasan-alasan dalam hukum dan fakta, sekurang-kurangnya secara singkat.
Kan. 1721 – § 1. Jika Ordinaris memutuskan bahwa harus ditempuh proses peradilan pidana, maka akta penyelidikan hendaknya diserahkan kepada promotor iustitiae, yang harus menyampaikan surat pengaduan kepada hakim menurut norma kan. 1502 dan 1504.
§ 2. Di hadapan pengadilan yang lebih tinggi promotor iustitiae yang diangkat untuk pengadilan itu bertindak sebagai penggugat.
Kan. 1722 – Untuk menghindari sandungan, untuk melindungi kebebasan para saksi dan mengamankan jalannya keadilan, Ordinaris, sesudah mendengarkan promotor iustitiae dan memanggil terdakwa sendiri, pada tahap proses manapun, dapat memberhentikan terdakwa dari pelayanan suci atau dari suatu tugas serta jabatan gerejawi, mengharuskan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah, atau juga melarang dia ikut ambil bagian dalam perayaan Ekaristi secara publik; semua itu, jika alasannya sudah terhenti, harus ditarik kembali, dan dari hukum sendiri berakhir jika proses pidana sudah selesai.
Kan. 1723 – § 1. Hakim sewaktu memanggil terdakwa harus mempersilakan dia untuk menunjuk seorang pengacara, menurut norma kan. 1481 § 1, dalam batas waktu yang ditentukan oleh hakim itu sendiri.
§ 2. Kalau terdakwa tidak melakukannya, hakim sendiri sebelum menentukan pokok sengketa hendaknya mengangkat pengacara, yang akan terus menunaikan tugas itu selama terdakwa tidak menentukan pengacaranya sendiri.
Kan. 1724 – § 1. Atas perintah atau persetujuan Ordinaris yang telah memutuskan untuk memulai perkara itu, pada tingkat peradilan manapun promotor iustitiae dapat mencabut pengaduannya.
§ 2. Pencabutan itu, untuk sahnya, harus diterima oleh terdakwa, kecuali ia sendiri dinyatakan tidak hadir dalam peradilan.
Kan. 1725 – Dalam pembahasan perkara, entah tertulis atau lisan, terdakwa selalu mempunyai hak untuk menulis atau berbicara terakhir, entah sendiri entah melalui pengacara atau kuasa hukumnya.
Kan. 1726 – Dalam tingkat dan tahap peradilan pidana manapun, jika nyata dengan jelas bahwa tindak pidana tidak dilakukan oleh terdakwa, hakim harus menyatakan hal itu dengan suatu putusan dan membebaskan terdakwa, juga meskipun sekaligus pasti bahwa batas waktu untuk mengajukan pengaduan pidana telah habis.
Kan. 1727 – § 1. Terdakwa dapat mengajukan banding, juga meskipun putusan membebaskan dia hanya karena hukumannya bersifat fakultatif, atau karena hakim menggunakan kuasa yang disebut dalam kan. 1344 dan 1345.
§ 2. Promotor iustitiae dapat naik banding, setiap kali menilai bahwa pemulihan sandungan atau restitusi keadilan tidak diusahakan secukupnya.
Kan. 1728 – § 1. Dengan tetap berlaku ketentuan kanon-kanon judul ini, dalam peradilan pidana haruslah diterapkan kanon-kanon mengenai peradilan pada umumnya serta peradilan perdata biasa, kecuali hakikat halnya menghalangi, dengan tetap diindahkan norma-norma khusus mengenai perkara-perkara yang menyangkut kepentingan umum.
§ 2. Tertuduh tidak diwajibkan untuk mengakui tindak pidananya dan tidak dapat dipaksa untuk mengucapkan sumpah.

BAB III
PENGADUAN UNTUK MENGGANTI KERUGIAN

Kan. 1729 – § 1. Pihak yang dirugikan dapat mengajukan pengaduan perdata dalam peradilan pidana itu sendiri, untuk minta ganti atas kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana itu, menurut norma kan. 1596.
§ 2. Campur tangan pihak yang dirugikan sebagaimana disebut dalam §1 itu, tidak dapat diterima lagi, jika tidak dilakukan pada tingkat pertama peradilan pidana itu.
§ 3. Permohonan banding dalam perkara ganti rugi dilakukan menurut norma kan. 1628-1640, meskipun dalam peradilan pidana tidak diajukan banding; jika kedua permohonan banding itu diajukan, meskipun oleh pihak-pihak yang berbeda, akan diselenggarakan hanya satu-satunya peradilan banding, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1730.
Kan. 1730 – § 1. Untuk menghindari berlangsungnya peradilan pidana yang berkepanjangan, hakim dapat menangguhkan peradilan ganti rugi sampai ia lebih dahulu menjatuhkan putusan definitif dalam peradilan pidana.
§ 2. Hakim yang berbuat demikian, sesudah menjatuhkan putusan dalam peradilan pidana, harus menilai kerugian, meskipun peradilan pidana karena sanggahan yang diajukan masih menggantung, atau terdakwa dibebaskan karena suatu alasan yang tidak menghapus kewajiban mengganti kerugian.
Kan. 1731 – Putusan yang dijatuhkan dalam peradilan pidana, meskipun telah menjadi perkara teradili, sama sekali tidak memberikan hak kepada pihak yang dirugikan, kecuali ia campur-tangan menurut norma kan. 1729.

BAGIAN V
PROSEDUR DALAM REKURSUS ADMINISTRATIF
DAN DALAM MEMBERHENTIKAN ATAU MEMINDAHKAN
PASTOR PAROKI

SEKSI I
REKURSUS MELAWAN DEKRET ADMINISTRATIF

Kan. 1732 – Hal-hal yang ditetapkan dalam kanon-kanon seksi ini tentang dekret-dekret, haruslah diterapkan pada semua tindakan administratif satu demi satu, yang dikeluarkan untuk tata-lahir ekstra yudisial, kecuali dekret-dekret yang dibuat oleh Paus atau oleh Konsili Ekumenis sendiri.
Kan. 1733 – § 1. Sangatlah diharapkan bahwa, setiap kali seseorang merasa berkeberatan atas suatu dekret, dihindari adanya perselisihan antara dia dengan pembuat dekret, dan antar mereka hendaknya diusahakan untuk mencari pemecahan yang adil lewat musyawarah, mungkin juga dengan bantuan orang-orang yang berwibawa untuk menengahi serta mempelajari masalahnya; dengan demikian persengketaan dapat dihindari atau diselesaikan dengan cara yang wajar.
§ 2. Konferensi para Uskup dapat menetapkan agar di setiap keuskupan dibentuk secara tetap suatu jabatan atau dewan yang bertugas untuk mencari dan menyarankan pemecahan yang adil, menurut norma-norma yang ditetapkan oleh Konferensi itu sendiri; jika Konferensi tidak mengatur demikian, Uskup dapat membentuk dewan atau jabatan semacam itu.
§ 3. Jabatan atau dewan sebagaimana dalam § 2, terutama hendaknya bekerja apabila dituntut penarikan kembali dekret menurut norma kan. 1734, dan batas waktu untuk membuat rekursus belum lewat; jika melawan suatu dekret diajukan suatu rekursus, pemimpin sendiri yang bertugas memutuskan rekursus itu hendaknya mendorong pihak yang mengajukan rekursus serta pembuat dekret, agar mencari pemecahan semacam itu, setiap kali ia melihat adanya harapan akan hasil baik.
Kan. 1734 – § 1. Sebelum mengajukan rekursus, seorang haruslah minta secara tertulis penarikan kembali atau perbaikan dekret kepada pembuat dekret itu sendiri; dengan mengajukan permohonan itu, dianggap dengan sendirinya juga minta penangguhan pelaksanaannya.
§ 2. Permohonan harus dibuat dalam batas waktu peremptoir sepuluh hari-guna yang menghentikan proses sejak dekret itu secara legitim disampaikan.
§ 3. Norma-norma § 1 dan § 2 itu tidak berlaku untuk:
10 rekursus yang diajukan kepada Uskup melawan dekret-dekret yang dikeluarkan oleh otoritas-otoritas yang dibawahkannya;
20 rekursus yang diajukan melawan dekret yang memutuskan rekursus hirarkis, kecuali keputusan itu diberikan oleh Uskup sendiri;
30 rekursus yang diajukan menurut norma kan. 57 dan 1735.
Kan. 1735 – Jika dalam tiga puluh hari, dari saat permohonan yang disebut dalam kan. 1734 diterima oleh pembuat dekret, ia memberitahu-kan dekret baru, yang memperbaiki dekret terdahulu atau memutuskan untuk menolak permohonan itu, maka batas waktu untuk rekursus dihitung dari saat pemberitahuan dekret baru; tetapi jika dalam waktu tiga puluh hari itu ia tidak memutuskan apa-apa, batas waktu dihitung sejak hari ketigapuluh.
Kan. 1736 – § 1. Dalam materi-materi dimana rekursus hirarkis menangguhkan pelaksanaan suatu dekret, permohonan yang disebut dalam kan. 1734 juga mempunyai efek yang sama.
§ 2. Dalam kasus-kasus lain, kecuali pembuat dekret tidak memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan dalam waktu sepuluh hari sejak saat permohonan yang disebut dalam kan. 1734 diterimanya, sementara itu penangguhan dapat dimohon kepada Pemimpin hirarkisnya, yang dapat memutuskan penangguhan hanya atas dasar alasan-alasan berat dan selalu harus dengan hati-hati agar keselamatan jiwa-jiwa jangan sampai dirugikan.
§ 3. Apabila pelaksanaan dekret ditangguhkan menurut norma § 2, jika kemudian diajukan rekursus, orang yang harus memeriksa rekursus itu menurut norma kan. 1737 § 3, hendaknya memutuskan apakah penangguhan itu harus dikukuhkan atau dicabut kembali.
§ 4. Jika tak satu rekursus pun diajukan melawan dekret dalam batas waktu yang ditentukan, penangguhan pelaksanaan, yang sementara itu terjadi menurut norma § 1 atau § 2, dengan sendirinya berhenti.
Kan. 1737 – § 1. Yang berkeberatan atas suatu dekret dapat membuat rekursus kepada Pemimpin hirarkis pembuat dekret, atas alasan yang layak apa pun; rekursus dapat disampaikan kepada pembuat dekret itu sendiri, yang harus segera meneruskannya kepada Pemimpin hirarkis yang berwenang.
§ 2. Rekursus harus diajukan dalam batas waktu peremptoir lima belas hari-guna, yang dalam kasus-kasus yang disebut dalam kan. 1734 § 3 dihitung dari hari saat dekret itu diberitahukan; sedangkan dalam kasus-kasus lainnya dihitung menurut norma kan. 1735.
§ 3. Juga dalam kasus-kasus dimana rekursus dari hukum sendiri tidak menangguhkan pelaksanaan dekret dan penangguhan tidak diputuskan menurut norma kan. 1736 § 2, atas alasan yang berat Pemimpin dapat memerintahkan agar pelaksanaan ditangguhkan, tetapi harus dengan hati-hati agar keselamatan jiwa-jiwa jangan sampai dirugikan.
Kan. 1738 – Yang mengajukan rekursus selalu mempunyai hak untuk menggunakan pengacara atau kuasa hukum, tetapi harus menghindari penundaan yang tidak perlu; bahkan seorang pembela ex officio harus ditunjuk, jika pembuat rekursus tidak mempunyainya dan Pemimpin menilai hal itu perlu; tetapi Pemimpin selalu dapat memerintahkan agar pembuat rekursus sendiri tampil untuk ditanyai.
Kan. 1739 – Pemimpin yang memeriksa rekursus, sesuai dengan kasusnya, tidak hanya dapat mengukuhkan dekret atau menyatakannya tidak sah, melainkan juga dapat membatalkan, mencabutnya kembali, atau jika Pemimpin menilainya lebih berguna, memperbaiki, mengganti, mengubah sebagian.

SEKSI II
PROSEDUR PEMBERHENTIAN ATAU PEMINDAHAN PASTOR PAROKI

BAB I
PROSEDUR PEMBERHENTIAN PASTOR PAROKI

Kan. 1740 – Apabila pelayanan seorang pastor paroki karena suatu hal merugikan atau sekurang-kurangnya menjadi tidak berdaya-guna, juga meskipun tanpa kesalahannya yang berat, ia dapat diberhentikan dari paroki oleh Uskup diosesan.
Kan. 1741 – Alasan-alasan yang menyebabkan seorang pastor paroki dapat diberhentikan dari parokinya secara legitim, terutama adalah hal-hal sebagai berikut:
10 cara bertindak yang sangat merugikan atau mengacau komunitas gerejawi;
20 kurangnya pengalaman atau kelemahan jiwa atau badan yang bersifat tetap, yang membuat pastor paroki itu tidak cakap untuk melaksanakan tugasnya dengan bermanfaat;
30 hilangnya nama baik di kalangan warga paroki yang saleh dan berwibawa atau ketidaksukaan terhadap pastor paroki, yang diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu singkat;
40 pelalaian berat atau pelanggaran tugas-tugas paroki yang berlangsung terus meski sudah diperingatkan;
50 pengelolaan harta benda secara buruk, yang sangat merugikan Gereja, setiap kali keburukan itu tidak dapat diatasi dengan cara lain.
Kan. 1742 – § 1. Jika dari pemeriksaan yang telah dilakukan nyata terdapat alasan yang disebut dalam kan. 1740, Uskup hendaknya membicarakan hal itu dengan dua pastor paroki yang dipilih dari kelompok yang ditentukan secara tetap untuk tujuan itu oleh dewan imam, atas usulan Uskup. Jika dari situ ia menilai bahwa harus memberhentikannya, Uskup demi sahnya harus menunjukkan alasan serta bukti-bukti kepada pastor paroki itu dan meyakinkannya secara kebapaan agar mengundurkan diri dalam waktu lima belas hari.
§ 2. Mengenai pastor paroki yang adalah anggota tarekat religius atau serikat hidup kerasulan, hendaknya ditepati ketentuan kan. 682 § 2.
Kan. 1743 – Pengunduran diri pastor paroki dapat terjadi bukan hanya secara murni dan biasa, melainkan juga dengan syarat, asalkan hal itu dapat diterima secara legitim oleh Uskup dan nyatanya memang diterima.
Kan. 1744 – § l. Jika pastor paroki dalam hari-hari yang ditetap-kan tidak menjawab, Uskup hendaknya mengulangi anjurannya dengan memperpanjang waktu-guna untuk menjawab.
§ 2. Jika pasti bagi Uskup bahwa pastor paroki tersebut telah menerima anjurannya yang kedua, tetapi tidak mau menjawab meskipun tidak terhalang sesuatu pun, atau jika pastor paroki menolak untuk mengundurkan diri tanpa mengajukan alasan-alasannya, Uskup hendaknya mengeluarkan dekret pemberhentian.
Kan. 1745 – Namun jika pastor paroki menyanggah perkara yang dikemukakan beserta dasar-dasarnya dengan mengajukan alasan-alasan yang dinilai oleh Uskup sebagai tidak mencukupi, untuk dapat bertindak dengan sah, Uskup:
10 hendaknya mengundang dia untuk memeriksa akta dan me-ngumpulkan sanggahan-sanggahannya dalam laporan tertulis, bahkan juga bukti-bukti sebaliknya, jika ia mempunyainya;
20 kemudian, jika perlu, setelah melengkapi pemeriksaan perkara, hendaknya mempertimbangkan perkara itu bersama pastor-pastor paroki yang disebut dalam kan. 1742 § 1, kecuali harus dipilih yang lain karena mereka itu tidak dimungkinkan;
30 akhirnya Uskup hendaknya memutuskan apakah pastor paroki itu harus diberhentikan atau tidak, dan harus segera membuat dekret tentang hal itu.
Kan. 1746 – Jika pastor paroki itu diberhentikan, Uskup hendak-nya mengusahakan, agar ia diberi tugas lain, jika ia cakap untuk itu, atau dipensiunkan, jika kasus menuntut dan keadaan mengizinkannya.
Kan. 1747 – § 1. Pastor paroki yang diberhentikan harus meng-hindar dari pelaksanaan tugas pastor paroki, secepat mungkin meninggalkan rumah pastoran, dan harus menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan paroki kepada orang yang diserahi paroki itu oleh Uskup.
§ 2. Tetapi jika mengenai seorang pastor paroki yang sakit, yang tidak dapat dipindahkan dari rumah pastoran ke tempat lain tanpa kesulitan, Uskup hendaknya membiarkan dia menggunakan rumah pastoran itu, juga secara eksklusif, selama kepentingan itu masih berlangsung.
§ 3. Selama rekursus melawan dekret pemberhentian masih berjalan, Uskup tidak dapat mengangkat seorang pastor paroki baru, tetapi sementara itu hendaknya mengusahakan adanya seorang administrator paroki.

BAB II
PROSEDUR PEMINDAHAN PASTOR PAROKI

Kan. 1748 – Jika kesejahteraan jiwa-jiwa atau kepentingan maupun manfaat Gereja menuntut agar seorang pastor paroki dipindahkan dari paroki yang dipimpinnya dengan bermanfaat, ke paroki lain atau ke tugas lain, Uskup hendaknya mengusulkan kepadanya perpindahan itu secara tertulis, dan menyarankan agar demi kasih akan Allah dan jiwa-jiwa ia menyetujuinya.
Kan. 1749 – Jika pastor paroki itu tidak mau menuruti nasihat dan saran-saran Uskup, hendaknya ia menguraikan alasan-alasannya secara tertulis.
Kan. 1750 – Uskup, jika, kendati alasan-alasan yang diajukan, menilai bahwa tidak harus mundur dari usulannya, hendaknya bersama dua orang pastor paroki yang dipilih menurut norma kan. 1742 § 1, menimbang alasan-alasan yang mendukung atau menghalangi pemindahannya; jika sesudah itu ia menyimpulkan bahwa pastor paroki yang bersangkutan harus dipindahkan, hendaknya ia mengulangi nasihat-nasihat kebapaan kepadanya.
Kan. 1751 – § 1. Jika sesudah hal itu dilakukan, pastor paroki masih menolak dan Uskup masih menilai bahwa pemindahan harus dilaksanakan, Uskup hendaknya membuat dekret pemindahan, dengan menetapkan bahwa setelah lewat jangka waktu tertentu, paroki akan lowong.
§ 2. Jika jangka waktu itu lewat tanpa hasil, ia harus menyatakan bahwa paroki itu lowong.
Kan. 1752 – Dalam perkara-perkara pemindahan hendaknya diterapkan ketentuan-ketentuan kan. 1747, dengan mengindahkan kewajaran kanonik dan memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa, yang dalam Gereja harus selalu menjadi hukum yang tertinggi.

2 thoughts on “Kitab Hukum Kanonik

  1. Bertrand says:

    Selamat Pagi Bapa Uskup, Pastor, Diakon, Frater, Bruder dan Suster.

    Apakah seorang umat dapat dikeluarkan dari anggota Stasi karena persoalan administrasi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *