Komisi Kateketik Konferensi Wali Gereja Indonesia telah menyelenggarakan Pertemuan Nasional Katekis III di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan 22-25 September 2015 dengan tema “Katekis Sebagai Saksi Iman dan Moral di Tengah Keluarga dan Masyarakat Multikultural”. Ada sekitar 80 orang katekis lapangan atau katekis akar rumput yang hadir. Para katekis yang datang dari 35 Keuskupan di Indonesia ini memiliki kisah kehidupan berkaitan dengan panggilan hidupnya sebagai rasul awam di tengah masyarakat yang terus bergeliat menghadapi berbagai tantangan jaman. Untuk saling memperkaya pengalaman hidup dan karya katekese, redaksi dalam beberapa edisi kedepan akan mengangkat kisah para katekis lapangan yang berkarya mewartakan Khabar Baik Kerajaan Allah di pelosak-pelosok Tanah Air Indonesia ini. Berikut kami mulai dengan kisah hidup bapak Senja Wijaya
Katekis dari Keuskupan Agung Pontianak (DBK).
Tidak pernah terbayang atau terpikirkan untuk menjadi katekis. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi seorang guru. Guru, bagi saya suatu profesi yang mengagumkan. Ia bisa “menyulap” seseorang yang semula tidak tahu menjadi tahu. Yang semula kosong menjadi berisi. Pesona dan teladan guru sewaktu SD begitu melekat bagi saya sehingga saya pun ingin menjadi seorang guru.
Waktu terus berlalu. Menyeret, menghempaskan, dan memaksa saya untuk menyadari bahwa cita-cita untuk menjadi seorang guru harus di tinggalkan jauh-jauh. Ya, biaya kendalanya. Dua tahun setelah tamat SMU (Sekolah Menengah Umum) timbul niat untuk menjadi Imam. “toh seorang Imam juga bisa mengajar”. Pikir ku kala itu.
Saya pun membulatkan tekat. Setelah bicara dengan orang tua, saya diantar masuk TOPANG (Tahun Orientasi Panggilan) di seminari menengah St. Paulus Nyarumkop. selama di sana saya terus memupuk “panggilan” dengan sungguh- sungguh belajar dan mengikuti ritme di seminari. Di sana saya baru mengetahui makna dan dampak dari sakramen, terutama sakramen inisiasi (sebelumnya tidak tau sama sekali). Turut serta mengemban tugas perutusan Yesus, menjadi imam, raja dan nabi serta bersatu dengan Tuhan dalam ekaristi.
Namun kembali langkah saya harus terhenti. Ketika akhir tahun pelajaran rektor seminari mengatakan bahwa saya harus menunda dulu karena alasan kesehatan. Sedih tentunya. Niat sudah bulat, segala rintangan yang sekiranya menghadang akan kutantang. Akan di lewati. Namun fakta berbicara lain. Saya harus mundur.
Waktu kembali menyeret pada ketidak pastian. Bingung, galau, gundah gulana menjadi satu membayangi hari-hariku. Saya mencoba melarikannya dengan aktif dikegiatan OMK. Di sana saya menemukan tempat. Menerapkan makna Sakramen inisiasi.
Titik Baru
Aktif di berbagai kegiatan OMK baik di Stasi maupun di Paroki menantang saya untuk lebih memahami ajaran gereja Katolik. Dengan modal sedikit nekat karena keterbatasan biaya saya memberanikan diri untuk kuliah di Sekolah Tinggi Pastoran, kala itu masih filial di Nyarumkop. Dari situ saya banyak menimba ilmu terutama peran sebagai seorang katekis. Kami diajari dan dituntut untuk selalu “siap” bertugas terutama dalam hal Liturgi.
Peran penting seorang katekis semakin saya sadari ketika Praktik Pastoral Lapangan (PPL). Selama kurang lebih satu semester kami menjalani masa PPL. Kurang lebih empat bulan kami tinggal bersama umat, mengalami apa yang dialami umat. Turut merasakan apa yang dirasakan umat. Waktu itu saya ditempakan di stasi Nanga Masau dan Stasi Pengongsah, Paroki Salib Suci Nanga Tebidah Keuskupan Sintang. Tempat yang bagi saya sangat jauh. Harus melewati 4-5 jam perjalanan dengan sampan dari pusat paroki. Itu dalam kondisi normal. Tidak normalnya jika sedang surut, maka perjalanan akan sangat panjang. Bisa memakan waktu berjam-jam.
Selama PPL saya banyak sekali mendapat pengalaman yang berharga. Mendapat pengalaman baru di lapangan yang kadang kala berbeda dengan teori yang didapat dibangku kuliah. saya mengalami langsung kehidupan umat di stasi tempat saya PPL. Kehidupan sehari-hari, rutinitas mereka. Hidup dalam kesederhanaan yang nyaris tak tersentuh “ke-modern-an”. Hanya ada 2-3 Televisi di stasi tersebut dengan mesin genset nya yang menjadi satu-satunya sebagai hiburan bagi mereka. Selebihnya mereka isi dengan bekerja di ladang. Kehidupan yang begitu tenang dan damai dengan tetap memelihara kearifan lokal menggugah hati saya. Mereka mungkin tak begitu banyak mengetahui tentang Iman Katolik tapi mengenai penerapan iman dalam hidup sehari-hari mereka ahlinya. Ditunjukkan dengan gotong-royong saat manam dan memanen, mengolah dan memfaatkan hasil hutan dengan bijak. Dalam liturgi misalnya, hanya ada satu orang yang diharapkan dapat memimpin ibadat itupun karena bisa baca tulis. Mengenai lagu-lagu mereka hanya bisa menghafal tanpa tahu not dan birama yang benar. Tapi dengan penuh semangat dan iman mereka ikut dalam ibadat. Di sini kembali saya tergugah. Peran seorang katekis disini sangat diperlukan. Namun saya juga sadar tugas katekis tidaklah mudah apalagi pada masa sekarang ini. Kesediaan memberikan diri dengan sepenuh hati sangatlah berat. Honor seorang katekis kadang tak mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Menjadi saksi iman dan moral.
Selesai PPL kami kembali lagi ke kampus menyelesaikan laporan dan melanjutkan semester berikutnya. Semangat dan niat menjadi katekis semakin bulat bukan lagi sekedar pelarian. Di tempat PPL saya ditempa dan di perlihatkan dengan mata kepala sendiri bahwa mereka membutuhkan pelayanan.
Sambil melanjutkan kuliah saya diminta untuk mendampingi retret di rumah retret Emaus tepatnya di pusat Komisi Kateketik Keuskupan Agung Pontianak. menjadi mahasiswa dan pendamping retret “memaksa” saya untuk menjaga sikap. Harus mampu memberi teladan yang baik kepada peserta retret dan orang sekitar. Beberapa bahan retret kami antara lain berkaitan dengan bahaya NARKOBA. Saya turut serta menyusun materinya. Di dalam materi tersebut juga berbicara mengenai bahaya rokok sebagai salah satu gerbang seseorang “mencicipi” NARKOBA. Sewaktu saya menyusun materi, saya melihat diri saya sendiri. Bahan retret yang saya susun mengharuskan untuk tidak merokok tapi dalam keseharian saya akrab dengan rokok. sejak saat itu saya berhenti merokok dan “mengkampanyekan” untuk tidak merokok kepada peserta retret dan teman-teman OMK yang lebih muda dari saya.
Turut ambil peran di Paroki
Semester akhir kuliah, ditengah sibuk-sibuknya menyelesaikan skripsi saya dipilih untuk menjadi koordinator seksi liturgi pada hari Raya Natal 2012 dan Pekan Paska 2013. Berat pastinya karena harus menjadi koordinator. Harus “mengatur” liturgi agar berjalan dengan baik dan penuh khidmat. Pikir saya kala itu hanya menyiapkan liturgi ketika misa akan dimulai. Namun ternyata harus menyiapkan keseluruhan rangkaian liturgi. Seolah-olah menjadi sutradara dalam sebuah acara. Beruntung saya dikelilingi orang-orang baik yang mau membantu saya. Akhirnya rangakian liturgi natal dan paskah berjalan dengan baik namun efek sampingnya saya dimintai untuk menangani liturgi selanjutnya sampai sekarang.
Saat ini saya, lebih dari setahun saya menyandang gelar sarjana agama, resmi menjadi katekis. Banyak suka duka yang dialami. Sukanya ketika mampu membagikan diri bagi orang lain, membagi kegembiraan Injil bagi sesama. Dukanya ketika harus “mati-matian mencari biaya kuliah. Sebagai petugas paroki saya dituntut untuk “lebih” mampu melaksanakan tugas perutusan Yesus di dunia ditambah dengan melaksanakan lima tugas Gereja. Dengan sedikit kemampuan dan keahlian yang saya miliki saya mencoba menerapkannya dalam hidup menggereja dan masyarakat. Saya sadar menjadi katekis tidaklah mudah. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Iman bukan hanya ditunjukan dengan kesalehan atau sering ikut perayaan Ekaristi namun juga harus menjaga sikap dan tutur kata yang baik terhadap semua orang.
Bagi saya mengikut Yesus berarti harus rela turut serta mengemban salib. Mengikuti-Nya dalam penderitaan. Saya hanya berusaha menjadi murid-Nya.
sumber artikel : Catatan Senja Wijaya untuk Pernas ke-III Katekis
sumber foto: FB Senja Wijaya