Dosen PAK Yang Handal Di Era Milenial (DR. Agustinus Manfred Habur, Pr)

PENGANTAR

Pengajaran PAK di Perguruan Tinggi melibatkan generasi milenial, yakni mereka yang berusia 18-25 tahun. Generasi ini memiliki karakternya sendiri, yang mau tidak mau menuntut dari dosen PAK tidak hanya keterampilan mengajar dan pengetuahuan isi iman kristen, melainkan juga keandalan dalam sikap dan kepribadian.

Tulisan ini berusaha membahas tema “Dosen PAK yang Andal di Era Milenial”. Melalui metode penelitian kepustakaan, penulis menelusuri berbagai sumber rujukan yang mengupas hal-hal terkait tema, dan menarik benang merahnya untuk menjelaskan berikuti: pendidikan agama katolik, tantangan generasi/era milenial, pengajaran PAK yang diharapkan, dan implikasinya bagi dosen PAK yang andal.

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

Pendidikan Agama Katolik pada umumnya tidak terlepas dari panggilan dasar orang Kristen. Setiap orang kristen dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus dan bersatu dengan Kristus. Dalam surat kepada jemaat di Efesus, Paulus menegaskan bahawasetiap orang kristen mesti mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yangbenar tentang Allah; mencapai kedewasaan penuh yakni berpikir seperti Kristus, merasa seperti Kristus, dan bertindak seperti Kristus; selain itu juga mencapai tingkat pertumbuhan dalam segala hal ke arah Kristus sebagai Kepala (Ef 4:11-15).

Inti terdalam agama Katolik adalah keyakinan yang teguh bahwa Allah berkarya dalam diri manusia. Berkat rahmat Allah, segenap ciptaan teristimewa ciptaan yang dikaruniai Roh diundang Allah untuk mengambil bagian dalam kehidupan dan kemuliaan-Nya. Allah tidak hanya mencipta, tetapi juga mengkomunikasikan dirinya lewat kata dan perbuatan dan menyatakan kemuliaan serta kehidupannya yang terdalam.Sejarah penyelamatan dan pewahyuan diri Allah memuncak dalam diri Yesus Kristus.Yesus adalah garansi, manifestasi, dan revelasi historis dari pihak Allah untuk menebus umat manusia. Dan Kristus menginginkan adanya persekutuan dari mereka yang telah memperoleh penebusannya dan mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya serta mengaku diri sebagai murid-Nya (DV.4)

Dengan keyakinan tersebut agama Katolik tidak bisa diredusir hanya sebagai sistem institusional-organisatoris keagamaan belaka. Memang sebagai agama, dia memiliki sistem institusional sebagaimana agama pada umumnya. Seperti kategori Ninian Smart, agama Katolik memiliki dimensi praktis ritual, emosional-ekperiensial, naratif-mitis, filosofis-doktrinal, legal etis, sosial institusional, dan dimensi material (Bdk. Lalu, 2010, 6-10). Namun agama Katolik tidak bisa disederhanakan dengan berbagai dimensi tersebut.

Dalam praktek, sering terjadi salah kaprah dalam memahami agama Katolik. Ada yang berpikir agama Katolik sekedar untuk memenuhi sistem keagamaan. Yang diperlukan hanya doktrin untuk dipercaya, praktik agama, tahu dan baca banyak tentang Tuhan serta lakukan banyak kesibukan untuk Tuhan.Maka pendidikan agama hanya merupakan penerusan ajaran Gereja untuk diketahui. Ada juga yang menyangka bahwa agama Katolik hanyalah satu sistem moral. Agama hanya berususan dengan rangkaian perintah dan larangan, serta hukum salah benar.Konsekuensinya yang benar masuk surga dan yang salah masukneraka. Surga terutama dipahami sebagai tempat setelah kematian. Maka pendidikan agama penuh dengan nasihat-nasihat moral. Selain itu ada yang berkeyakinan bahwa hidup kristiani merupakan sistem kemanusiaan sosial. Sebagai institusi dia sama dengan lembaga-lembaga manusiawi yang mengurus hal-hal kemanusiaan. Yang dipentingkan adalah usaha manusia. Manusia berusaha sekuat tenaga untuk murah hati, senyum, ramah, dan menyenangkan orang dalam pergaulan sosial. Pendidikan agama lalu diredusir untuk mendorong keterlibatan sosial-kemasyarakatan.

Agama Katolik jauh melampaui sistem keagamaan, moral, dan sosial kemasyarakatan. Agama Katolik berkaitan dengan wahyu diri Allah yang diterima manusia dalam iman. Ekspresi iman memang nyata dalam aneka sistem tersebut, namun intinya yang terdalam adalah relasi dengan Allah yang hidup, yang diam di antara kita (Yoh 1,14).  Allah yang hidup memanggil manusia kedalam persekutuan dengan-Nya dan menjadi serupa dengan Anak-Nya. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia … Sebab semua orang yang dipilihnya sejak semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Anak-Nya itu menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga akan dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya” (Rm, 8: 28-30).

Dalam keyakinan tersebut, orang Kristen dipanggil menuju kekudusan (Bdk KGK 2013). Kekudusan itu menyangkut kepenuhan hidup Kristen, yaitu persekutuan mistik dengan Kristus. Konsili Vatikan II menegaskan: “Jadi jelaslah bagi semua, bahwa semua orang Kristen, dari status atau jajaran apa pun dipanggil kepada kepenuhan hidup Kristen dan kesempurnaan cinta kasih” (LG 40). Kepenuhan hidup Kristen itu nyata dalam “persekutuan yang semakin erat dengan Kristus” (KGK 2014). Persatuan tersebut bersifat mistik karena berpartisipasi dalam misteri Kristus melalui sakramen-sakramen, dan “di dalam Kristus mengambil bagian dalam Tritunggal Mahakudus” (KGK 2014). Persekutuan dengan Kristus pada gilirannya menggerakkan orang kristen untuk terlibat dalam perutusan-Nya untuk membangun Kerajaan Allah di tengah dunia. Di sini communio selalu melahirkan missio. Keterlibatan sosial orang kristen dengan demikian tidak sekedar peristiwa kemanusiaan belaka, melainkan peristiwa ilahi sekaligus karena lahir dari kesadaran persekutuan mistik dengan Kristus.

Dalam konteks panggilan dasar orang Kristen, pendidikan Agama Katolik, termasuk PAK di Perguruan Tinggi mesti diarahkan kepada persekutuan mistik tersebut.Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa tujuan pendidikan iman kristen adalah: “mengembangkan pengertian tentang misteri Kristus dalam cahaya Firman Allah, sehingga seluruh pribadi manusia diresapi oleh Firman itu. Begitulah orang kristen, yang berkat karya rahmat diubah menjadi ciptaan baru, memutuskan untuk mengikuti Kristus, dan dalam Gereja makin banyak belajar berpikir seperti Dia, menilai segalanya seperti Dia, bertindak seturut dengan perintah-peritntah-Nya, dan berharap sesuai dengan ajakan-Nya” (CT 20).

Dalam perspektif tersebut, PAK, pertama-tama merupakan komunikasi peristiwa penjelmaan cinta Allah di dalam Kritus. Di dalam PAK mesti diupayakan terjadinya perjumpaan dengan seorang pribadi, yakni Yesus dari Nazaret. Di dalam Yesus, manusia menemukan kunci untuk menafsir hidup dan sejarah serta jaminan dari perwujudan kemanusiaannya yang baru. Karena itu, PAK, harus menjadi komunikasi iman yang membantu orang tidak saja untuk mengenal Kristus melainkan untuk bersatu secara intim denganNya (bdk CT. 5).

         Kedua, PAK hendaknya menjadi medan perjumpaan dengan Allah yang terjadi melalui refleksi yang mendalam atas pengalaman manusiawi, personal dan sosial peserta. Pengalaman manusiawi sesungguhnya merupakan locus teologicusdari perwujudan diri Allah (revelasi). Melalui pengalaman sehari-hari manusia dipanggil untuk menyingkap kehadiran dan tindakan Allah dan serentak diundang untuk menjawab panggilan Allah itu dengan iman. Di sini,PAK berperan untuk menginterpretasikan pengalaman personal, sosial dan eklesial dalam terang Sabda Allah yang mengarah kepada penerimaan rencana Allah dan mewujudkannya secara konkret dalam pembaruan dunia yang lebih baik (bdk. Soravito, 1998:18; Alberic, 2001:91).

          Ketiga, PAK juga harus menjadi kegiatan gerejawi dan pendidikan untuk terlibat dalam kehidupan gereja dan perayaan sakramen-sakramennya. Kehadiran Kristus yang bangkit sekarang ini nyata kelihatan dalam komunitas kristiani atau Gereja sebagai tubuhNya yang konkret. Komunitas kristiani merupakan tempat di mana karyakeselamatan menyejarah dan dialami manusia. Dalam perspektif ini PAK tidak sekedar mengalihkan ajaran Gereja yang dipeliharanya dalam tradisi, tapi lebih dari itu menjadi kegiatan peserta untuk menafsirkan  ajaran tradisi dan pesan-pesan Kitab Suci dalam konteks keseharian. Selain itu PAK merupakan pendidikan untuk berkomunitas, untuk ikut terlibat dalam karya Gereja karena iman kristen sesungguhnya bersifat eklesial. Penerimaan akan Sabda Allah membentuk satu komunitas: “Satu iman, satu baptisan, satu Allah, Bapa dari semua orang …” (Ef. 4,5-6).

           Keempat, PAK adalah pendidikan untuk menjadi pelayan dan saksi iman di tengah dunia. Setiap orang kristen dipanggil untuk menghidupkan identitas baptisannya dalam sejarah: menjadi garam dan terang dunia. Di sini,PAK mendidik peserta untuk terlibat dalam kegiatan misioner dan pembangunan dunia. Orang kristen perlu diorong untuk terlibat dan menjadi saksi dalam keluarga, profesi, dan dunia sosial politik.

Sylabus PAK PT berdasarkan KKNI-SNPT yang disusun tahun 2017 dalam kerja sama Dirjen Bimas Katolik dan Komkat KWI telah coba digodok dalam arah dasar ini. Kompetensi yang disasar bukan saja berkaitan dengan pemahaman dan pengakuan inti iman Kristen tetapi juga menyangkut iman yang dirayakan dan iman yang diwujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahan kajian bermula dari pembahasan tentang hakekat manusia dan panggilannya, Yesus Kristus sebagai puncak wahyu Allah, dan berakhir dengan pembahasan tentang iman yang memasyarakat dalam konteks politik, ekologis, kultural, dll. Metode pembelajaran juga beragam, tidak hanya ceramah tapi juga diskusi, refleksi, penugasan, dialog, dan pembiasaan.

Perkuliahan PAK diharapkan betul mengikuti panduan Sylabus dan yang lebih penting adalah keandalan para dosen untuk mengkontekstualkannya sesuai tantangan ril yang dihadapi masa kini.

 

TANTANGAN PAK DI ERA MILENIAL

Era milenial muncul kurang lebih akhir tahun 1980-an sampai menjelang tahun 2000. Generasi milenial atau juga sering disebut generasi Y adalah kelompok orang muda yang sekarang berusia 19-35 tahun. Dalam cara berpikir era ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran post-modernisme. Mereka umumnya meragukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknik untuk memberikan segala jawaban terhadap persoalan manusia. Realitas perang, pengangguran dan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melahirkan sikap curiga bahwa Iptek tidak menjamin kebahagiaan manusia (Bdk. Putranto: 2012, 172).

Dalam kehidupan religius, generasi era milenial ini bersikap curiga terhadap segala bentuk otoritas dalam masyarakat, termasuk agama yang dogmatis. “Mereka mencurigai segala institusi yang mengklaim punya segala jawaban” (Putranto: 2012, 173). Mereka juga tidak serta-merta meyakini pembicaraan yang berada di luar lingkup pemikiran dan pengalaman mereka. Mereka memiliki sikap yang amat relatif tentang kebenaran. Tidak ada kebenaran objektif dan dogmatis. Kebenaran selalu “kebenaran menurut siapa”.

Kendati demikian, generasi era ini memiliki semacam kegandrungan terhadap agama-agama. Mereka menemukan kembali manfaat nilai-nilai rohani bagi kehidupan (Bdk. Pollo: 2010, 113-121). Akan tetapi agama yang dimaksud bukanlah agama-agama institusional-konvensional, melainkan agama yang berpusat pada kepentingan subjektif. Muncul sekte-sekte yang meyakini Allah yang personal yang menjawabi kebutuhan konkrit manusia terutama yang berkaitan dengan kebutuhan afektif seorang individu (Bdk. Alberich: 2001, 30-31; Alberich: 2002, 20). Orang-orang muda menyukai perkumpulan rohani yang penuh dengan musik, kelompok doa yang menawarkan kesembuhan fisik dan psikis, serta organisasi rohani yang menawarkan tenaga dalam.

Generasi milenial  cendrung mereduksi agama sebagai barang produksi yang “sekali pake bisa dibuang” (Alberich: 2002, 20). Generasi ini tidak bisa memegang komitmen yang bertahan lama. Ciri khas generasi ini adalah  antusiasme “terhadap nilai-nilai pergaulan baru, aktual, yang relevan untuk direguk dalam kehidupan masa kini. Apa yang bernilai dalam hal ini bukan lagi tradisi dari masa lampau dan yang layak disimpan, melainkan konsumsi dari masa kini, yang layak untuk dihabiskan, dinikmati, dan diganti lagi dengan nilai-nilai baru yang segera muncul (Sudiarja: 2006, 25). Generasi ini praktis menyukai yang sedang “ngepop” dan “ngetrend” (Sudiarja: 2006, 25). Mereka tertarik pada hal-hal praktis dan menyenangkan (mental pragmatisme dan hedonisme) dan kurang berminat terhadap hal-hal yang transenden. Bahkan mereka menganggap manusia sama dengan Allah dan yang dipentingkan adalah cara berpikir positif (Bdk. Pollo: 2010, 119-120). Mereka lalu menjadi masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap nilai-nilai transendental yang ditawarkan oleh agama-agama konvesnional termasuk yang diwartakan oleh kekristenan.

Dalam kultur seperti ini terjadi privatisasi iman. Iman menjadi urusan pribadi. Orang mungkin beragama Kristen tetapi seturut kebutuhan pribadinya. Orang mengambil nilai-nilai yang dianggapnya cocok dan mengabaikan nilai-nilai lain yang tidak sesuai dengan keinginannya. Apa yang cocok hari ini mungkin tidak cocok lagi esok dan bisa ditinggalkan sesukanya. Orang menghayati iman secara fragmentaris, untuk kepentingan hari ini dan mengabaikan nilai-nilai transendental yang bersifat absolut. Paus Fransiskus, dalam  anjuran apostolik Evangelii Gaudium mengungkapkan bahwa pada masa ini setiap orang cenderung mereduksi iman dan ajaran Gereja dalam lingkungan privat dan personal. Dengan penolakan terhadap segala bentuk transedensi, penghayatan moral melemah, makna dosa personal dan sosial berkurang dan terjadi relativisme kebenaran iman (Bdk EG 64).

Tak dapat dipungkiri bahwa PAK di Perguruan Tinggi sekarang ini akan berhadapan dengan generasi milenial ini. Pertanyaannya, seperti apakah corak PAK yang sebaiknya ditawarkan kepada mereka?

PENGAJARAN PAK YANG DIHARAPKAN DI PT

Kendati menantang, harus diakui bahwa ada hal-hal yang positif dari mentalitas era milenial ini. Generasi milenial memang cenderung bersifat indiferen terhadap agama atau kebenaran-kebenaran yang diklaim sebagai objektif dan universal, namun sesungguhnya mereka percaya pada perwujudan diri pribadi yang terus mencari kebenaran yang otentik, yang dipandang dapat memberi kepenuhan hidup (Bdk. Currò: 2011, 71). Mereka tetap mempunyai pencarian atau pergulatan religius untuk mencari makna hidup. Mereka akan dengan bebas menyatakan “keiaan” kepada sesuatu, bila hal itu dipandang layak untuk diterima dan dimiliki. Pada prinsipnya mereka ingin ikut serta “menentukan keselamatan dan masa depan mereka.” (Putranto: 2012, 176).  Dalam konteks ini, mereka lebih percaya pada pengalaman pribadi daripada ajaran yang datang dari luar. Penawaran nilai-nilai dari luar dapat diterima asalkan ditawarkan secara jujur dan otentik serta diletakkan dalam kerangka relasi personal. Di sini formasi iman dan pewartaan mengenai Allah serta ajaranNya harus terlebih dahulu menyentuh wilayah afeksi dan baru kemudian daya pikir, harus lebih menekankan kesaksian hidup daripada teori-teori (Bdk. Putranto: 2012, 174).

PAK di zaman ini hendaknya ditawarkan secara jujur dan otentik dalam semangat kerendahan hati dan dialog antar pribadi. PAK yang demikian mengandaikan tiga hal, yakni: kebebasan, kesukarelaan, dan “keibuan” Gereja (Bdk. Biemmi: 2011, 13). Kebebasan berarti bahwa harus dimungkinkan bahwa orang menerima pewartaan, perayaan dan pelayanan Injil secara bebas tanpa merasa terpaksa. Dia menerimanya karena dia mengimaninya dan secara bebas dan bertanggung jawab menyatakan “keiaan” total terhadap warta gembira Injil.

          Kesukarelaan berarti bahwa PAK harus menghormati sistem nilai personal setiap pribadi dan tidak memaksakan sistem nilai kristiani sebagai sesuatu yang wajib diterima karena bersifat objektif dan universal. Dalam hal ini, PAK tidak terutama mencemaskan institusi, dogma dan ajaran Gereja. Kecemasan utama adalah pribadi manusia yang harus dibimbing untuk persekutuan dan memperoleh kepenuhan hidup di dalam Kristus. Paus Fransiskus dengan tandas mengatakan bahwa awal mula kekristenan bukanlah dogma, rumusan etik, atau institusi melainkan sebuah kejadian atau peristiwa dan kejadian itu adalah seorang pribadi yakni Yesus dari Nazaret (Bdk. EG 7). Di sini yang dikedepankan bukanlah pendekatan-pendekatan kekuasaan melainkan pendekatan “kelemahan” Injili. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor, 12:9).

           Keibuan Gereja mengacu pada bentuk pendidikan iman dan yang tidak hanya menekankan pengalihan informasi tentang kebenaran-kebenaran Injili. Formasi iman dan pastoral Gereja harus merupakan seluruh cara hidup komunitas Gereja untuk menyaksikan Injil dalam kehidupan konkrit setiap hari (Bdk. EG 21). Dia mengutamakan persahabatan daripada pengajaran dan nasihat, lebih mengutamakan kesaksian hidup daripada kata-kata, lebih mengutamakan jalan bersama-sama dari pada sikap mengawasi.

DOSEN PAK YANG ANDAL DI ERA MILENIAL

Dosen PAK di era milenial ini seyogyanya adalah agen pastoral yang dapat mengedepankan prinsip kebebasan, kesukarelaan dan keibuan Gereja dalam tugas dan pengabdiannya. Di sini peran pendidik/dosen yang diharapkan adalah sebagai saksi, teman seperjalanan, bentara Sabda, dan pembangun komunitas (Bdk. Soravito: 1998, 278-290).

Sebagai saksi Dia tidak terutama berbicara banyak tentang Tuhan tetapi membiarkan Tuhan banyak berbicara melalui kesaksian hidupnya. Karyanya melibatkan keseluruhan dirinya. Sebelum Dia mengajarkan Sabda Allah, Dia harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Kebenaran hidupnya meneguhkan pesan yang dia ajarkan. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika  pengajar agama tidak “melaksanakan apa yang mereka ajarkan” dan mewartakan Tuhan yang diketahui secara teoritis, tetapi yang dengan-Nya dia tidak mempunyai kontak sama sekali (Bdk. GC 8-10).

Sebagai teman seperjalan, pengajar agama selalu mau ada di samping orang muda, mahasiswa/i yang mau dilayaninya, sebagaimana Kristus berjalan di samping kedua murid Emaus. Dia mau mendengarkan dan mencari bersama mereka sapaan Allah dalam pergumulan hidup sehari-hari dan memberanikan mereka untuk berjumpa secara personal dengan Kristus yang diwartakan Gereja.

Sebagai bentara Sabda, seorang pengajar agama/dosen dipanggil untuk mewartakan Sabda dan tahu menginterpretasi dalam terang Firman Tuhan pengalaman manusiawi orang-orang masa kini. Dia sungguh tahu bahwa pusat seluruh pencarian manusia adalah Kristus sendiri yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14,6). Dalam hal ini, pendekatan eksperiensial dalam pelajaran agama sama sekali tidak mengabaikan pengetahuan seorang katekis tentang pokok-pokok iman kristen. Dia kiranya tetap memiliki penguasaan yang tepat tentang isi iman kristiani yang harus diwartakan dengan lantang kepada semua orang (Bdk. CT 20).

Sebagai pembangun komunitas, dia adalah bagian integral dari komunitas umat Allah di mana ia hidup, entah itu di kelompok basis, di paroki, ataupun di sekolah. Di sana dia hendaknya menjadi animator untuk menyemangati semua orang agar menggunakan talentanya demi pembangunan tubuh mistik Kristus yakni Gereja. Dia kiranya mampu mendorong jemaat untuk mewujudkan kebenaran dalam cintakasih dan mempraktekkan berbagai karisma demi kebaikan bersama (Bdk. Soravito: 1998, 280).

Untuk menjalankan peran-peran tersebut sangatlah dibutuhkan pengajar/dosenyang berkarakter. Karakter sering diidentikan dengan personalitas atau kepribadian (Bdk. Mu’in: 2011, 160). Karakter juga sering dikaitkan dengan pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral yang berarti bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik (Bdk. Lickona: 2013, 82). Secara sederhana karakter berarti keteguhan batin yang dikembangkan secara sadar, yang berurat akar dalam diri seseorang, dan yang menjadi energinya dalam bertindak sehari-hari demi mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi (Bdk. Kotten: 2012, 121). Di sini karakter berkaitan dengan masalah hati – bagian dalam dan bukan bagian luar manusia. Karakter adalah roh, semangat yang terungkap dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari. Pengajar agama yang berkarakter adalah seorang yang memiliki keteguhan batin, memiliki keyakinan yang mendalam, yang berurat akar dalam dirinya dan menjadi roh atau kekuatan internal dalam bertindak sehari-hari untuk mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi (Bdk. Kotten: 2012, 122).

Dari segi etis-spiritual, pengajar agama yang berkarakter memiliki iman yang mempribadi, (Bdk. GC 10) yang terungkap dalam penghayatan keutamaan-keutamaan penting sebagai pendidik yakni kesiapsediaan, totalitas, cura personalis, kerja keras dan mutu, sense of belonging, kerendahan hati, bijaksana, memperjuangkan kebenaran, mudah bersyukur, dan  berpengharapan (Bdk. Sufinyanta: 2009, 70-96).

Siap sedia berarti dia mengatakan “Ya saya mau” untuk menjalankan tugas dan konsekuensinya dia mau melibatkan diri seutuhnya dalam tugas yang dipercayakan kepadanya, dan tugas itu dipandang sebagai perutusan Tuhan sendiri, baik atau tidak baik situasinya (Telambuna: 1999, 170-177; Lalu: 2007, 149-154).

Totalitas berarti seorang pengajar agama mau dan mebiarkan Roh Allah secara total bekerja melalui dan di dalam dirinya. Juga berarti kemauan untuk mengerahkan seluruh potensi dan talenta dalam melaksanakan tugas yang diemban.Dalam totalitas ada penyerahan diri seutuhnya dan perjuangan diri sepenuhnya. Kata lainya: komitmen. Dia terarah pertama-tama bukan pada tugas tetapi kepada komunitas yang dilayani (Bdk. PUK 231).

      Cura Personalis berkaitan dengan keterampilan mempraktikkan cinta kasih dalam relasi  hati antar pribadi.Seorang pendidik/dosen hendaknya sanggup memberikan hatinya secara pribadi kepada pribadi-pribadi yang dilayaninya. Dia ibarat seorang gembala, “mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenalnya” (Yoh 10,14).

Kerja keras dan mutu mengindikasikan kemauan untuk mencurahkan tenaga dan waktu.Mutu mengindikasikan kemauan untuk memberikan semua kemampuan dan potensi diri.Pendidikyang berkarakterbiasanya tidak setengah-setengah. Ia mencurahkan tenaga, waktu, talenta, dan kemampuanya untuk tugas dan panggilannya. Dia melihat karyanya sebagai keikutsertaan dalam karya Allah demi keselamatan manusia seluruhnya (Bdk. Lalu: 2007, 149; GC 10). Di sini tentunya setiap pekerja patut mendapat upahnya.

           Sense of Belonging mengalir dari rasa tanggung jawab atas hidup dan masa depan dari orang yang dilayaninya. Dia merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipercayakan pada karya pelayanannya. Dia memberikan dirinya bagi mereka. Baginya hidup adalah mengikuti ajakan Yesus: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24).

Kerendah hati merupakan perpaduan antara sikap hati yang menempatkan orang lain lebih dari dirinya sendiri, sekaligus tindakan turun tangan untuk melayani (Bdk. Lalu: 2007, 150). Ini juga berarti siap menjadi orang nomor dua atau orang di balik layar, atau orang yang berbuat, tetapi siap untuk tidak diperhitungkan peranannya. “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk. 17,10)

Pendidik iman yang bijaksana berarti menjadi terlatih untuk melihat ke dalam, memperhatikan kesempurnaan batin, menata gerak-gerik suara hati. Transformasi sosial hanya mungkin kalau dimulai dari dalam diri setiap individu, yaitu melalui transformasi internal – transformasi batin.Seorang yang bijaksana peduli harta rohani tentu tidak mengabaikan harta jasmani. Pendidik berkarakter hendaknya bijaksana, menjadi filsuf kehidupan yang selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga mengajarkan kehidupan kepada orang yang dilayaninya (Bdk. CT 76).

Memperjuangkan kebenaran berarti mengalahkan diri sendiri dengan segala betuk keinginan dan egoisme.Keutamaan ini membantu pengajar imanuntuk memenangkan Allah dan kehendak kebenaranNya bagi dirinya dan bagi sesama yang dilayani (Bdk CT 78).Panggilan seorang guru agama adalah menularkan energi positif, yakni keberanian memperjuangkan kebenaran ini kepada saudara-saudaranya.Termasuk di sini kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni orang yang bersalah.

Mudah bersyukur adalah keutamaan anak kecil, yang disebut Yesus sebagai yang empunya kerajaan Allah. Anak kecil itu mudah kagum dan bersamaan dengannya ia pun mudah bersyukur. Seorang katekis kiranya selalu bersyukur atas karunia hidup dan panggilannya (Lalu: 2007, 150).

Berpengharapan berarti keyakinan bahwa di dalam kelemahan dan kerapuhan manusiawi Allah tetap berkarya mendidik umatnya. Dosen PAK yang berkarakter yakin bahwa  Allah akan menyempurnakan apa yang kurang pada dirinya. “Do your best, and let God do the rest.” Dia tidak lekas lekas putus asa (Bdk EG 74). Allah sendiri pasti menjamin kelangsungan hidup dan segala hal baik di dalam kehidupan ini.

PENUTUP

Era milenial memiliki ciri khas tersendiri yang menuntut dari pengajar iman cara pengajaran/pewartaan tertentu. Generasi milenial kendati acuh tak acuh dan curiga terhadap kebenaran objektif dan universal, dalam hati kecilnya selalu ada pergumulan untuk menemukan kebenaran yang otentik yang memberikan kepenuhan hidup. Gereja meyakini bahwa kebenaran sejati adalah Kristus sendiri. Kristus adalah jalan, kebenaran dan hidup. Dialah yang menjadi suka cita injil, “evangelii gaudium” yang harus diwartakan tanpa ragu kepada manusia masa kini. Hanya di dalam Kristus manusia, termasuk generasi milenial, menemukan hidup sejati.

Untuk tugas pewartaan ini, Gereja membutuhkan keberanian semua anggotanya, terutama para pengajar agama/dosen PAK, untuk menyapa generasi milenial dan membimbing mereka kepada perjumpaan personal dengan Kristus. Pewartaan yang diharapkan mengedepankan kebebasan, kesukarelaan dan keibuan Gereja. Pengajar PAK dalam perannya sebagai saksi, teman seperjalanan, pengantara sabda, dan pembangun komunitas, hendaknya menjadi orang terdepan untuk mengemban tugas ini. Diharapkan tampil ke depan pengajar-pengajar yang berkarakter yang menghayati keutamaan-keutamaan penting seperti kesiapsediaan, totalitas, cura personalis, kerendahan hati, kebijaksanaan, dll.

******

DR. Agustinus Manfred Habur , Pr  adalah   Sekjen Keuskupan Ruteng dan Staf Ahli Komkat KWI  Jakarta.

 

BIBLIOGRAFI

Adisusanto, FX., Katekese sebagai Pelayan Sabda, dalam B. A. Rukiyanto, SJ (ed.), Pewartaan di Zaman Global, Ygyakarta, Kanisius, 2012.

Alberich E., La catechesi oggi. Manuale di catechetica fondamentale, Leumann (Torino), Elledici, 2001.

————, Catechesi rinnovata per una nuova evangelizazione, dalam ISTITUTO DI CATECHETICA FACOLTA’ DI SCIENZA DELL’EDUCAZIONE UNIVERSITA’ PONTIFICIA SALESIANA ROMA, Andate & insegnate. Manuale di catechetica, Leumann (Torino), Elledici, 2002.

Amapani A., Animazione: Educazione alla fede? Un percorso di analisi del metodo dell’animazione dalla prassi ecclesiale all’esperienza laica, Roma, Edizione Viverein, 2011.

Bedediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est, Città del Vaticano, Libreria Editrice Vaticana, 2009.

Biemmi E., Il secondo annuncio. La grazia di cominciare, Bologna, EDB, 2011.

Congregation for the Evangelization of Peoples, Guide for Catechists, Vatican City, 1993.

Currò S., Il senso umano del credere. Pastorale dei giovani e sfida antropologica, Leumann (Torino), Elledici, 2011.

Francesco, Esortazione apostolica Evangelii Gaudium, Roma, Ancora, 2013.

Habur A. M., Musim Semi Pastoral Keluarga di Manggarai, dalam Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, Buku Materi Sinode III sesi III Keuskupan Ruteng, 22-25 September 2014.

Kongregasi Untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Jakarta, Dokpen KWI, 2000.

Kotten N. B., Profesi Kependidikan. Potret Guru Humanis, Ende, Nusa Indah, 2012.

KWI, Nota Pastoral Sidang Konferensi Waligereja Indonesia, November 2004, Tentang Keadaban Publik Menuju Habitus Baru Bangsa, Jakarta, KWI 2004.

Lalu Y., Katekese Umat, Jakarta, Komkat KWI, 2007.

Lickona T., Mendidik untuk Membentuk Karakter, Jakarta, Bumi Aksara, 2013.

Mali L. (Ed.), Katekese dalam Pelayanan Pastoral Gereja Nusra, dari cura animarum ke cura hominum. Roadmap katekese Perpas IX Regio Nusra 2012, Keuskupan Agung Kupang, 2013.

Manicardi, Per una fede matura, Leumann (Torino), Elledici, 2012.

Martasudjita E., Pokok-pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat, Yogyakarta, Kanisius, 2013.

Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), Jakarta, Dokpen KWI, 2014.

Mu’in F., Pendidikan Karakter. Konstruksi Teoretik & Praktik, Yogyakarta, Ar-Ruz Media, 2011.

Pollo M., Sacro e società nella seconda modernità. Fenomenologia dell’esperienza religiosa, Leumann (Torino), Elledici, 2010.

Putranto C., Mempertimbangkan Alam Pikiran Awal Abad ke-21 ke dalam Bahasa Pewartaan, dalam B. A. Rukiyanto (ed.), Pewartaan di Zaman Global, Ygyakarta, Kanisius, 2012.

Sudiarja A., Agama di Zaman yang Berubah, Yogyakarta, Kanisius, 2006.

Sufiyanta M., Roh Sang Guru. Buku Saku Spiritualitas Guru Kristiani, Jakarta, Obor, 2009.

Soravito L., La catechesi degli adulti. Orientamenti e proposte, Leumann (Torino), Elledici, 1998.

Telambuna M.,Ilmu Kateketik. Hakikat, Metode, dan Peserta Katekese Gerejawi, Jakarta, Obor, 1999

Toso M., Dottrina sociale oggi: Evangelizzazione, catechesi e pastorale nel più recente magistero sociale della chiesa, Torino, SEI, 1996.

Trenti Z., L’esperienza religiosa, Leumann (Torino), Elledici, 1999.

Yohanes Paulus II, Anjuran Apsotolik Catechesi Traededende (Penyelenggaraan Katekese), Jakarta Dokpen KWI, 2011.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *