1. Pengantar
Radikalisme menurut kamus besar bahasa Indonesia tahun 1995, adalah suatu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastis. (kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru:1995). Sedangkan menurut kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan. (bary, kamus ilmiah popular:1994). Sementara radikalisme agama berarti, perilaku keagamaan yang menyalahi ajaran iman/agama, yang mengambil karakter keras sekali antara dua pihak yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-target tertentu, atau bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama. Dari konteks di atas dapat dipahami bahwa radikalisme agama adalah prilaku keagamaan yang menghendaki perubahan secara drastis dengan mengambil karakter keras yang bertujuan untuk merealisasikan target-target tertentu.
2. Sekilas Radikalisme berbasis Agama di Indonesia
Banyak penelitian menunjukkan bahwa radikalisme sudah menyusup berbagai elemen kehidupan berbangsa dan bernegara. Para penyebar radikalisme seringkali menyasar kelompok-kelompok terpelajar mulai dari tingkat pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Bahkan kelompok radikal melihat lembaga pendidikan sebagai tempat strategis untuk menyebarkan paham-paham radikal.Mahasiswa dan dosen menjadi target penjaringan kelompok radikal karena mereka menganggap bahwa dua kelompok ini bisa dijadikan agen untuk menyebarluaskan paham-paham radikal. Karena itu tidak heran ditemukan bahwa ada dosen yang terkadang menyisipkan ajaran radikal melalui perkuliahan-perkuliahannya.
Penyebaran ajaran radikal sering juga tidak mudah terdeteksi secara kasat mata karena seringkali memanfaatkan teknologi. Kecanggihan teknologi dimanfaatkan untuk menyembunyikan proses peyebaran ajaran radikal. Ketidakmelekan teknologi atau minimnya literasi teknologi dari kelompok sasaran memudahkan para penyebar ajaran radikal menyusup ajaran-ajarannya melalui media elektronik.
Radikalisme di Indonesia Menurut data hasil penelitian indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada tahun 2011 yang dirilis oleh Yayasan Lazuardi Birru. (2011) di Media Center pada 15 Oktober adalah 43,6. Indeks radikalisme ini diperoleh dari hasil penelitian kerentanan radikalisme terhadap 33 provinsi dengan jumlah responden sebanyak 4.840. Sampai kapan konflik akan terus terjadi di Indonesia? Potensi konflik antar elemen masyarakat di Indonesia masih akan cukup tinggi pada lima hingga sepuluh tahun mendatang (Kompas, Jumat 10 Februari 2012).Selain karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya sejahtera, situasi ini juga terjadi karena demokrasi di negeri ini masih belum matang. Radikalisme hampir selalu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yang terjadi secara simultan sebagai faktor penentu terciptanya proses radikalisasi. Sedangkan fanatisme hampir selalu merupakan proses internal terciptanya keyakinan di dalam hati yang bahkan tidak terlalu membutuhkan rangsangan dari eksternal. Aksi-aksi radikalisme muncul karena disebabkan oleh adanya sikap tidak menerima perbedaan. Perbedaan yang muncul di masyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi kaum radikal.
Di sisi lain, aksi terorisme di Indonesia saat ini memang tengah menurun sejak awal tahun 2000-an. Namun akar terorisme, yaitu radikalisme agama, tetap tumbuh subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain radikalisme agama, aksi teror juga masih berisiko muncul akibat gesekan-gesekan lainnya, seperti anti persatuan, separatisme, dan lain-lain. Oleh karena imunitas harus senantiasa mengingat bahwa kita hidup di Indonesia, negeri yang terdiri dari keberagaman. Jika kita tidak bersikap tenggang rasa dan berpikiran terbuka, maka akar-akar radikalisme pun dapat leluasa masuk memengaruhi kita. Pemerintah juga perlu untuk menjadi lokomotif dalam pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa guna menghindarkan negeri ini dari ancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah ketidakadilan.
Radikalisme dan terorisme sebagai masalah bagi Negara Demokrasi dan Negara Hukum. Dari sudut perspektif kewarganegaraan, maka radikalisme merupakan masalah bagi demokrasi karena radikalisme bertolak belakang dengan nlai-nilai demokrasi. Setiap negara demokrasi dapat dipastikan adalah negara hukum sehingga radikalisme dan terorisme sebenarnya juga merupakan masalah serius dalam negara hukum. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi sangat besar peranannya membentuk karakter masyarakat baru yang diharapkan setelah reformasi. Masyarakat baru itu terbentuk melalui proses perubahan sikap individu warga negara yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan rasa hormat serta tanggung jawab yang juga ditandai oleh hal-hal berikut: (Sri Wuryan dan Syaifullah: 2009). 1. Menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai sesama makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa 2. Mendahulukan kepentingan bersama tanpa mengabaikan kepentingan pribadi atau golongan 3. Menghargai pendapat orang dan tidak memaksakan pendapat kepada pihak atau orang lain 4. Menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat, yang diliputi oleh semangat kekeluargaan 5. Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan cara menaati norma hukum dan norma lainnya secara bertanggungjawab. 6. Melaksanakan prinsip kebebasan disertai dengan tanggung jawab sosial kemasyarakatan 7. Mengutamakan persatuan dan kesatuan atau integrasi nasional 8. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diskriminatif atas dasar agama, ras, keturunan, jenis kelamin, status sosial, golongan politik.
Studi ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mendorong munculnya radikalisme di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sekurang-kurangnya ada 3 faktor, yakni pertama, perkembangan di tingkat global, Kedua, penyebaran paham Wahabisme dan yang ketiga adalah kemiskinan.Situasi yang kacau di negara-negara Timur Tengah khususnya di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Mesir, Syiria, dan Turki, dipandang oleh kelompok-radikal sebagai akibat dari campur tangan Amerika, Israel, dan sekutunya. Pada saat yang sama, Masuknya faham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif ke Indonesia telah ikut mendorong timbulnya kelompok eksklusif yang sering menuduh orang lain yang berada di luar kelompok mereka sebagai musuh, kafir dan boleh diperangi. Faktor ketiga adalah kemiskinan. Meski faktor ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap merebaknya aksi radikalisme, namun perasaan sebagai elemen masyarakat yang termarjinalkan dapat menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk terjebak dalam proganda radikalisme.
Secara historis munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleransi relevan dengan apa yang diajarkan oleh para wali melalui singkronitas budaya lokal, bahan saling dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup masa itu. Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan stratifikasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka bermunculanlah sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang eksis di daerah penganutnya. Dari term di atas, dapat dicermati bahwa di Indonesia akhir-akhir ini banyak berkembang isu-isu radikalisme di antaranya adalah kelompok yang mengklaim dirinya al-Qaeda dan ISIS, dimana keduanya menjadi isu global.Yayasan Lazuardi Birru, lembaga ini konon pernah sangat aktif melakukan riset-riset soal terorisme dan deradikalisasi,merinci hal-hal yang dilakukan dalam rangka deradikalisasi: (a) melakukan counter terrorism, (b) mencegah proses radikalisme, (c) mencegah provokasi, penyebaran kebencian, permusuhan antar umat beragama, (d) mencegah masyarakat dari indoktrinasi, (e) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham terror (terorisme), dan (f) memperkaya khazanah atas perbandingan paham.
3. Pola Pikir dan Bertindak
Berhubung terorisme sangat berkaitan dengan pola pikir dan bertindak, maka bagaimana seharusnya berpikir yang berorientasi Pancasila dan bagaimana seharusnya hidup bersama sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan dipahami dan dihayati.Tanpa hal tersebut maka ketrampilan dalam hidup berbangsa dan bernegara akan jatuh pada semangat yang bertentangan dengan pola berpikir dan nilai-nilai Pancasila, seperti pola pikir yang sempit,picik, negatif, kurang menerima keberadaan pihak lain, egosentris, eksklusif, memaksakan kehendak, dan main hakim sendiri. Romo Franz Magnis-Suseno (2015) pernah mengatakan bahwa rasa kebangsaan hanya akan dapat dipertahankan kalau satu syarat dipenuhi yaitu adanya kesediaan saling menerima dan saling mengakui dalam kekhasan masing-masing. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah merupakan komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila (Kompas, 5 Juni 2015:-6).
Pentingnya Berpikir Kritis.Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ialah perbuatan dan tindakan seseorang atau kelompok dalam masyarakat kerapkali ditentukan oleh emosi (perasaan). Di dalam emosi itu acapkali tersembunyi rasa ketakutan yang membuat manusia tidak memperhitungkan atau tidak mengkalkulasi konsekuensi dari apa yang diperbuatnya. (Notohamidjojo,2011:239). Lain dari pada itu menghadapi perubahan dan dinamika masyarakat hendaknya seseorang bersikap rasionil dan menjauhkan sikap emosionil yaitu attitude yang terbawa emosi. Untuk mencegah terjadinya radikalisme pertama-tama yang harus dilakukan ialah seseorang wajib berusaha tidak terseret oleh pernyataan-pernyataan yang menyesatkan.
Peran Institusi keagamaan dan pendidikan penting dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan. Institusi keagamaan dan sekolah-sekolah agama bisa berperan dalam menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan melalui pendampingan, pembinaan, katekese dan pemberian materi pembelajaran agama yang mengutamakan gagasan-gagasan yang membawa damai, sukacita dan toleran, penuh persaudaraan dalam kemajemukan..
Di tataran Sekolah Menengahmisalnya, penting juga untuk dikembangkan critical thinking, problem solving dan creatif thinking dalam rangka mengembangkan sikap kritis dan mengembangkan kemampuan memecahkan masalahseperti masalah tawuran, dan kekerasan yang sering melanda sekolah. Pembiasaan untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah dalam proses belajar siswa akan membuat siswa memiliki keprihatinan dan apresiasi terhadap persoalan yang terjadi di dalam masyarakat.Akibatnya masalah tawuran pelajar dan kekerasan yang sering terjadi bukan hanya menjadi keprihatinan pihak tertentu melainkan juga harus menjadi perhatian siswa sendiri.
Di Perguruan Tinggi, menurut Husain Latuconsina, (Kompas, Sabtu 22 Juni 2019, hal 6) menunjukkan bahwa radikalisme tumbuh subur karena beberapa hal, antara lain: a) Tingginya minat mahasiswa mulai mendalami agama. Tiplogi mahasiswa seperti ini mudah terpapar paham radikalisme karena belum meiliki dasar pemahaman agama yang kuat. b) Menurunnya semangat nasionalisme, terlebih sejak bergulirnya era reformasi dengan dihilangkannya penataran P4 dalam penerimaan mahasiswa baru yang dulu dikembangkan Orde Baru. Fenomena ini berimplikasi negatif terhadap lemahnya pemahaman nilai-nilai luhur Pancasila sebagai karakter kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga mudah disusupi paham radikalisme yang ingin mengganti Pancasila. c) Revolusi Industri 4,0 membuat penyebaran informasi bebas dan tidak terkendali, sementara di sisi lainnalar kritis mahasiswa menurun dalam menyeleksi beragam informasi. Akibatnya mereka tidak mampu membedakan mana informasi benar dan mana hoaks. d) Minimnya kemampuan literasi dalam hal menganalisis dan mengkritisi informasi dengan mencari pembanding agar dapat menilai kebenaran secara obyektif, komprehensif dan mendalam. e) Minimnya keterlibatan mahasiswa secara terstruktur dan masif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan terkait minat dan bakat. Muncullah ruang kosong untuk paham radikalisme. f) Minimnya kegiatan kampus yang bernuansa cinta Tanah Air dan bela negara dalam bidang kemahasiswaan (bidang non-akademik) serta kurikulum (bidang akademik). g) Minimnya muatan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kegiatan pembekalan mahasiswa baru. h) Minimnya pengembangan kegiatan kerohanian secara terstruktur dan terverifikasi di setiap tingkat. i) Minimnya aturan beserta sanksi tegas bagi penyebar paham radikalisme dan strategi yang efektif dalam penanganan sivitas akademika yang terpapar paham radikalisme. j) Kurangnya kontrol dari pihak kampus terhadap pergerakan kelompok-kelompok puritan yang eksklusif.
4. Profil dan Peran Katekis dalam menghadapi RadikalismeBerbasis Agama
“Tantangan Pewartaan Iman Kristiani Di Era Radikalisme Berbasis Agama” – tema perayaan 60thn ini, menurut panitia (TOR) bahwa tema ini menyasar pada dua hal. Pertama, para agen pastoral, khususnya alumni dan calon alumni Prodi Pendidikan Teologi harus menyadari konteks pewartaan di era milenium ke tiga ini. Kesadaran akan konteks pewartaan ini penting, agar para alumni sebagai salah satu kelompok yang berada pada garda terdepan karya pewartaan Gereja, mampu membaca dan memahami tanda-tanda zaman sehingga dengan itu mereka bisa melaksanakan pewartaan yang kontekstual. Kehadiran mereka di tengah dunia menjadi relevan. Kedua, agar para alumni dan calon alumni tidak terjebak dalam radikalisme agama. Kesetiaan pada Kristus harus ditunjukkan melalui keterbukaan terhadap yang lain. Sebagaimana penegasan Konsili Vatikan II bahwa dalam agama-agama dan kebudayaan terdapat percikan-percikan Ilahi. Karena itu, dialog dengan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain harus menjadi habitus agen pastoral di era milenium ketiga ini.
Karena itu, menghadapi fenomena radikalisme berbasis agama,seperti apa profil dan peran Katekis.Katekis adalah semua umat beriman kristiani, baik klerus maupun awam yang dipanggil dan diutus oleh Allah menjadi seorang pewarta Sabda Allah. Dengan kata lain, profesi kehidupan seorang katekis adalah mengjar, mewartakan Sabda Allah. Kita harus menyadari bahwa pewartaan Sabda Allah adalah bagian penting dari tugas pokok Gereja. Pewartaan Sabda Allah adalah tugas pokok dari semua umat beriman sebagai murid-murid Kristus. Pesan Kristus sebelum Ia kembali kepada Bapa, “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19).Panggilan katekis bersifat khusus, yakni untuk tugas katekese, dan umum, untuk bekerja sama dalam pelayanan kerasulan apa saja yang berguna untuk membangun Gereja (bdk AG.I5).Oleh karena itu, setiap katekis harus berusaha menemukan, menangkap secara jelas, dan memupuk panggilannya yang khusus ini.
Singkatnya, katekis mempunyai empat ciri yaitu: a) suatu panggilan dari Roh Kudus; b) suatu tugas perutusan Gereja; c) bekerjasama dengan tugas perutusan apostolik dari Uskup, dan d). suatu hubungan khusus dengan kegiatan misi ad gentes (kepada segala bangsa).
Tugas pokok Katekis menurut KHK #773: “Menjadi tugas khusus dan berat, terutama bagi para gembala jiwa-jiwa, untuk mengusahakan katekese umat kristiani agar iman kaum beriman melalui pengajaran agama dan melalui pengalaman kehidupan kristiani, menjadi hidup, berkembang serta penuh daya”. Maka jelas dalam teks tersebut tercantum tugas pokok katekis adalah mewartakan Sabda Allah melalui pengajaran agama (katekese), membagi pengalaman hidup kristiani, dan penghayatan hidup beriman. Mengajar umat beriman bukan saja dengan kata-kata melainkan dituntut kesaksian hidup dari seorang katekis.“Tugas kita sangat berat, tetapi juga penting dan menarik, mengingat sejak awal agama Kristen dan di mana pun ada kegiatan misi, para katekis telah, dan tetap, mempunyai“sumbangan yang luar biasa dan sangat diperlukan bagi penyebaran iman dan Gereja” (AG I7;8)
Karena itu, seperti apa profil dan peran Katekis dalam menghadapi radikalisme berbasis agama.Kepada para Katekis Paus Fransiskus menyampaikan bahwa: a).Katekis, menyimpan Memori Allah yang Hidup, b). Katekis bukanlah sebuah gelar, melainkan suatu sikap, c) Katekis tidak hanya sebagai guru tetapi sebagai saksi.
Katekis, adalah orang-orang yang menyimpan memori akan Allah yang hidup;katekis mempertahankannya dalam diri mereka sendiri dan mereka mampu menghidupkan itu kembali dalam orang lain. Seperti Maria yang melihat perbuatan-perbuatan Allah yang menakjubkan dalam hidupnya tetapi tidak berpikir tentang kehormatan, gengsi atau kekayaan; dia tidak menjadi terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri. Sebaliknya setelah menerima pesan dari malaikat dan mengandung seorang Putera Allah, dia berangkat memulai suatu perjalanan, dia pergi untuk membantu Elisabet saudaranya yang sedang mengandung. Hal pertama yang ia lakukanpada pertemuannya dengan Elisabet adalah mengingat perbuatan Allah, kesetiaan Allah dalam hidupnya sendiri, dalam sejarah bangsanya, dalam sejarah kita. Bagi setiap kita, iman berisi memori kita, memori perjumpaan Allah kita yang selalu mengambil langkah lebih dulu, yang menciptakan, menyelamatkan dan mengubah kita. Katekis adalah seorang Kristen yang menempatkan kenangan ini pada pelayanan pewartaan, bukan untuk terlihat penting, bukan untuk berbicara tentang dirinya sendiri, tapi untuk berbicara tentang Allah, tentang kasih-Nya dan kesetiaan-Nya.
Katekis bukanlah sebuah gelar, melainkan suatu sikap. Yaitu dengan menempatkan Kristus sebagai pusat hidupnya, dan bukan dirinya. Pesan Paus adalah, Jadilah seorang Katekis dan bukan bekerja sebagai Katekis. Adalah keindahan kita dan kekuatan kita jika kita pergi, jika kita keluar untuk membawa Injil Tuhan dengan kasih, dengan semangat apostolik yang sejati, dengan keberanian berbicara tentang Kebenaran.
Katekis tidak hanya sebagai guru tetapi sebagai saksi. Katekis mengajarkan apa yang diajarkan Yesus. Mengarahkan orang dewasa, membantu orangtua membesarkan anak-anak mereka dalam iman, membawa sukacita dan harapan hidup yang kekal untuk semua, dan banyak cara lain katekis menanam dan memelihara benih iman. Pesan yang dibawa akan lebih kuat, tegas berakar dalam hati orang-orang jika ia tidak hanya hadir sebagai guru, tetapi juga sebagai saksi.
Sebagai katekis, ia harus terus mengembangkan spiritualitas/semangatnyadalam menghadapi radikalisme berbasis agama, antara lain:
Pertama: Mengembangkan dirinya sebagai seorang pendoa (man of prayer). Seorang pendoa adalah seorang yang: a). Menyadari hubungannya dengan Allah, b). Menyadari bahwa dirinya tidak mampu segala-galanya; berarti menyadari keterbatasannya, c) Menyadari bahwa berdoa bukan melarikan diri dari kenyataan atau dari persoalan, melainkan membutuhkan saat-saat khusus untuk mengadakan relasi pribadi dengan Allah; bahwa Allah adalah sumber daya kekuatannya dalam melaksanakan perutusannya dan d). Menyadari bahwa semakin orang dituntut dalam tugasnya, semakin dituntut pula untuk menjalin hubungan mesra dengan Allah sumber daya kekuatan (bdk Mzm. 127:1)
Kedua: Menyadari kehadiran Allah dalam sesama. Berdoa sungguh-sungguh berarti menjalin hubungan dengan Allah dengan dirinya sendiri dan dengan sesama, bahkan dengan alam ciptaanNya.
Ketiga: Bekerjasama dengan orang lain. (bdk. Yoh 4:37-38)Bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan membutuhkan kerjasama dengan orang lain; langsung atau tidak langsung. Dapat bekerjasama dengan orang lain mencerminkan adanya sikap rendah hati karena mengakui dan menghormati potensi orang lain dan potensi itu berkaitan dengan tugasnya sendiri. (bdk.Luk 10:1; Mrk.6:7)
Keempat: Mencintai orang di tempat kita bekerja. Maksudnya, dimanapun dan dengan siapapun ia bekerja selalu mengusahakan dan menciptakan suasana kasih dan persaudaraan.
Kelima: Gaya hidup penuh kesabaran. Dalam melaksanakan tugas seorang Katekis tidak luput dari berbagai hambatan, tantang dan kesulitan Pelayanan sering tidak diterima/ditolak, gagal, dll Maka harus dikembangkan spiritualitas yang menerima dengan hati yang lapang, sabar dan keyakinan bahwa Roh Kudus pasti akan membimbingnya. Orang yang dengan gaya hidup penuh kesabaran berarti orang yang mampu bertahan dalam menghadapi segala tantangan, hambatan dan kesulitan.
5. Langkah Tindakan Pastoral
Modelkatekese/pewartaan masa kini hendaknya menekankan pendekatan eksperiensial. Katekese terutama dipahami sebagai tindakan kenabian yang menerangi dan menafsirkan hidup dan sejarah umat manusia. Di sini katekese dipandang sebagai proses penerangan atas eksistensi manusia sebagai campur tangan Allah, dalam mana misteri Yesus Kristus disaksikan dalam bentuk pewartaan sabda dengan tujuan untuk memperdalam dan mendewasakan iman dan untuk membimbing umat mengaktualisasikan iman dalam hidup sehari-hari.Proses katekese eksperiensial mengikuti alur sebagai berikut: menghargai pengalaman manusia, menemukan makna religius pengalaman manusiawi, membimbing ke arah perjumpaaan pribadi dengan Krsitus yang memberikan kepenuhan hidup, dan merasakan panggilan untuk terlibat dalam pembangunan Kerajaan Allah di tengah dunia.
Untuk membangkitkan dan menggairahkan karya katekese di Indonesia, agar pewartaan Sabda Allah semakin berdaya guna di tengah arus radikalisme berbasis agama, diperlukan langkah-langkah pastoral antara lain:
- Katekese Umat (KU) perlu ditumbuh-kembangkan dalam lingkungan hidup umat khususnya melalui komunitas-komunitas basis atau kategorial. KU diperkaya dengan Injil, Tradisi dan ajaran Gereja
- Katekese sekolah perlu dikembangkan, karena merupakan satu-satunya kesempatan bagi banyak orang muda untuk menerima pengajaran dan pendidikan agama.
- Katekese yang menyeluruh dan berkesinambungan sejak usia dini sampai usia lanjut perlu dikembangkan. Karena itu perlu kerjasama para pihak yang terkait dengan pembinaan iman.
- Bagi para pelaksana atau fasilitator KU perlu pembinaan terus menerus, karena berjalannya karya katekese sangat tergantung pada para petugas pastoral yang menjalankan katekese di tengah umat.
- Mutu dan peranan lembaga pendidikan pastoral katekese dan kerjasama dengan lembaga pendidikan calon imam perlu ditingkatkan.
- Kerjasama dengan pelbagai pihak, dan semua orang yang berkehendak baik untuk selalu mengusahakan, mengembangkan dan menciptakan kehidupan yang harmonis, saling menghormati, dan saling menghargai perbedaan.
6. Penutup
Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira kepada dunia. Tugas ini adalah “rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam” (EN. 14). Gereja mewartakan Injil, karena Injil itu “ragi yang menimbulkan perombakan di dunia ini” (FABC V. 8. 1. 4) . Maka, pewartaan Sabda Allah di tengah arus radikalisme agama, menjadi sebuah keniscayaan, sebuah keharusan, sebuah panggilan dan perutusan, agar wajah dunia ini menjadi baru, penuh kasih, kelembutan, tanpa kekerasan, kedamaian dan persaudaraan.
Jagalah hatimu – karena hatimu akan melahirkan pikiranmu,
Perhatikanlah pikiranmu – karena pikiranmu akan melahirkan perkataanmu,
Perhatikanlah perkataanmu – karena perkataanmu akan melahirkan perbuatanmu,
Perhatikanlah perbuatanmu – karena pebuatanmu akan melahirkan kebiasaan.
Perhatikanlah kebiasaanmu – karena kebiasaan akan melahirkan karaktermu,
Perhatikanlah karaktermu – karena karaktermu akan menentukan masa nasibmu,
masa depanmu.
Jagalah hatimu – karena bekerja dengan hati dan dengan keikhlasan,
maka yang dilakukan itu baik untuk orang lain.
Rasul Paulus mengingatkan kita, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah” (Kol.3:14-15). **
********
RD. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr adalah Sekretaris Komisi Kateketik KWI.
Catatan Redaksi PC:
Tulisan ini sudah pernah disampaikan penulis dalam seminar pendidikan di Unversitas Katolik Indonesia St Paulus, Ruteng, Flores,NTT, tgl 8 Juli 2019.
Daftar Pustaka
- Akitab
- Ahmad Asrori IAIN Raden Intan Lampung trb@g.mail.com
- Birru, L. (2011) “Indeks Kerentanan Radikalisme” (Online) tersedia: http://www.voanews.com/indonesian/news/Indeks-Radikalisme-di Indonesia (28 desember 2011).
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Edisi Kedua), Jakarta: Balai pustaka
- DR. A. Manfred Habur, “Pendekatan Holistik dalam Katekese Kontekstual di Indonesia”, Makalah pada Pertemuan Dosen STFT, Jakarta, 13-15 Mei 2019
- Evangelii Gaudium
- Paus Paulus VI, Ensiklik tentang Pewartaan Injil, Evangelii Nuntiandi.
- Kitab Hukum Kanonik
- Kompas, 5 Juni 2015, hal.6 dan 22 Juni 2019, hal 6