Keluarga adalah sel negara. Apabila sel ini rusak maka negarapun pasti rusak, dengan demikian cepat atau lambat, negara pun keropos dan bisa hancur kapan saja. Bagaimana dengan Gereja atau Umat Allah? Bukankah Gereja berasal dari kumpulan umat beriman yang berasal dari dalam keluarga? Sebagaimana manusia, keluarga pada zaman ini pun menghadapi berbagai tantangan, terutama dari arus gelombang materialisme yang bermuara pada konsumerisme dan hedonesime. Untuk menghadapi ancaman gaya hidup modern ini maka keluarga-keluarga katolik berbenah diri. Melihat betapa pentingnya keluarga maka Paus Fransiskus (pimpinan Gereja Universal) dalam satu tahun terakhir ini banyak menyoroti soal keluarga. Bahkan telah direncanakan bahwa pada akhir tahun 2015 ini akan diselenggarakan sinode internasional yang bertemakan keluarga di Vatikan. Gereja Indonesiapun menanggapi positif isyu keluarga ini dengan mengangkat tema keluarga pada SAGKI 2015 pada bulan Oktober yang akan datang.
Pada Rapat Tahunan pengurus lengkap Komkat KWI di Palangkaraya – Kalteng (24 – 27 Mei 2015), disepakati bahwa tema PKKI XI tahun 2016 adalah seputar keluarga. Tentu saja fokus kegiatan Komkat KWI adalah pada ranah Katekese atau pembinaan iman dalam Keluarga untuk menghadapi tantangan zaman. Berkaitan dengan katekese keluarga ini, berikut redaksi mengangkat tulisan Rm.Jacobus Tarigan, Pr tentang katekese keluarga yang telah dimuat di majalah hidup tahun 2012 silam. Memang bahwa tulisan ini menjadi sangat relevan dengan isyu keluarga yang kini sedang diperbincangkan baik pada lingkup Gereja universal amaupun Gereka partikular (DBKotan).
Gereja selalu mengingatkan orangtua Katolik bahwa mereka merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Itulah panggilan utama orangtua untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Cinta kasih ayah dan ibu dalam perkawinan yang monogam dan tak terceraikan sangat mempengaruhi pandangan anak tentang nilai-nilai kehidupan yang humanis-Kristiani. Cinta kasih orangtua diwujudkan dalam nilai keramah-tamahan, ketabahan, kebaikan hati, pengabdian, sikap tanpa pamrih, dan pengorbanan diri.
Di tengah arus budaya konsumeristis-materialistis, hendaknya orangtua memperlihatkan kepada anak bahwa manusia lebih bernilai karena kenyataan dirinya, dibanding hartanya. Maka, katekese keluarga adalah katekese teladan dan bukan ceramah, indoktrinasi, dan nasihat moralistis murahan. Katekese keluarga hanya dapat diberikan oleh orangtua. Imam dan biarawan/i tidak dapat mengambil alih tugas itu. Katekese keluarga ”tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang lain” (FC, 36). Maka, para imam dan biarawan/i yang menangani kerasulan keluarga harus tahu diri dan sadar akan keterbatasannya.
Orangtua tentu saja tidak seterampil berkatekese seperti katekis-akademis dan juga tidak memakai metode teologis seperti seorang imam. Orangtua tidak secara khusus mempelajari keterampilan berkomunikasi, berefleksi, dan menafsir Kitab Suci. Banyak orangtua pun kurang mengetahui ajaran Kristiani secara detil. Namun, peran mereka justru dalam menampilkan sikap-sikap Kristiani. Sikap adalah ekspresi terdalam yang diungkapkan melalui tingkah laku. Melalui bahasa tubuh dan ekspresi wajah, orangtua mempengaruhi anak. Sikap lebih jujur dibanding kata-kata.
Bagi anak-anak, sikap Kristiani orangtua adalah pustakawan masa lalu, penutur masa kini, dan peramal masa depan. Sikap orangtua menentukan cara anak memandang kehidupan. Dalam dunia dewasa ini yang penuh dengan kata-kata yang telah terkontaminasi, sikap Kristiani yang jujur dari orangtua akan menentukan mutu Kristiani anak-anak. Maka, orangtua hendaknya mengembangkan sikap Kristiani melalui bacaan Kitab Suci, mempelajari Ajaran Gereja, dan merayakan sakramen-sakramen, terlebih Ekaristi. ”Sikap yang baik dan sehat terhadap kehidupan akan jauh lebih mengubah diri kita daripada mengubah masyarakat. Perubahan tidak bisa muncul dari orang lain. Perubahan harus dimulai dari diri kita” (John C. Maxwell, 2012:281).
Lazimnya, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan dijabat oleh seorang imam atau biarawan/i, demikian juga Sekretaris Eksekutif Komisi Keluarga Keuskupan/ KWI, diemban oleh imam. Tentu saja pengetahuan teologis tentang perkawinan/keluarga dari seorang imam melebihi kaum awam. Namun, pengalaman membina perkawinan dan mendidik anak justru dialami orangtua. Pengalaman orangtua kadangkala sulit diungkapkan dengan kata. Namun, janganlah meremehkan pengalaman itu. Para selibater hendaknya tidak menggurui para orangtua. Dalam meningkatkan mutu katekese keluarga, sebaiknya para selibater bertindak sebagai pendamping.
Dengan hati terbuka dan pikiran kritis, para selibater mau mendengarkan kesaksian orangtua. Para selibater hanya berperan sebagai penyalur pandangan Kristen tentang perkawinan pada umumnya dan perkawinan orang beriman pada khususnya. Karena bagaimanapun pula, ”para selibater yang status sosio-ekonomis dan budaya agak tinggi jaranglah orang yang paling cocok untuk pastoral perkawinan dan keluarga. Mereka sukar mendapat empati mendalam yang perlu guna mendampingi perkawinan orang yang status sosio-ekonomis dan budaya yang terlalu berbeda” (C. Groenen OFM, 1993:418).
Jelaslah, katekese keluarga berarti meningkatkan pendampingan pastoral bagi orangtua dalam membina perkawinannya. Hendaknya pendampingan pastoral perkawinan diemban oleh para imam dan biarawan/i yang telah teruji penghayatan selibatnya. Perkawinan yang monogam dan kehidupan selibat demi Kerajaan Allah merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Semoga para imam ”tiada hentinya menghadapi keluarga-keluarga sebagai bapa, saudara, gembala, dan guru, dan mendampingi mereka dengan upaya-upaya rahmat serta menyinari mereka dengan cahaya kebenaran” (FC, 73).
******
By Jacobus Tarigan Pr, Penulis buku Dari Keluarga untuk Gereja dalam : http://www.hidupkatolik.com/2012/09/26/
Gambar/ilustrasi: Hidupkatolik.com