KATEKESE UNTUK KAUM MILENIAL

RD. Fransiskus Emanuel Da Santo

1.Pengantar

Belakangan ini istilah milenial banyak diperbincangkan. Apakah milenial itu? Milenial adalah sebutan untuk kelompok demografis atau generasi Y (gen Y) yang lahir setelah generasi X. Sebutan milenial (millennials) untuk generasi Y ini diperkirakan akan mencapai kedewasaan sekitar pergantian abad ke-21 atau pergantian era millennium (masa atau jangka waktu seribu tahun).

2.Karakteristik Generasi Milenial

Pada saat ini generasi milenial adalah generasi muda yang berusia sekitar antara 18-38 tahun yang hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh peralatan elektronik dan jaringan online. Oleh karena itu, sebagian besar dalam bersosialisasi lewat daring. Akun media sosial seperti facebook, twitter, wa, dan lain-lain, dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi, karena apa yang ditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca. Bisa dibilang di era milennial kurang percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada user generated content atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan.

Generasi millennial lebih suka mendapat informasi dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-to-date. Generasi milennial merupakan generasi modern, sehingga tak jarang merekalah yang mengajarkan teknologi pada kalangan yang lebih tua. Dengan semua serba digital dan online, generasi ini dapat melihat dunia tidak secara langsung, mengetahui perkembangan ilmu dan teknologi hanya dengan berselancar di dunia maya, sehingga bisa tahu segalanya.

Diperkirakan pada tahun 2025, generasi milenial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Tidak sedikit posisi pemimpin dan manajer telah diduduki oleh kaum milennial. Hanya saja, kebanyakan dari milenial cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan sering meminta promosi, menurut hasil riset Sociolab. Meskipun kaum milenial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, namun mereka kurang loyal terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan.

Milenial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun, kendati demikian, tidak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan laba karena mempekerjakan kaum milenial.

Saat ini, generasi Y atau milenial merupakan generasi yang paling banyak menerima perhatian dari banyak perusahaan sebagai sasaran pemasaran. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi generasi Y yang diperkirakan sama besar dengan generasi baby boomer, yaitu sekitar 80 juta.

Sebagai generasi yang paling beragam secara etnis, Generasi Milenial cenderung toleran terhadap perbedaan, cenderung percaya diri. Mereka sering terlihat sedikit lebih optimis tentang masa depan  daripada generasi lain. Dibanding generasi sebelum, generasi millennial memang unik, hasil riset yang dirilis oleh Pew Researh Center misalnya secara gamblang menjelaskan keunikan generasi millennial dibanding generasi-generasi sebelumnya. Yang mencolok dari generasi millennial ini dibanding generasi sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan generasi millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/hiburan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini.

Berdasarkan penelitian, karakteristik generasi millenial tersebut antara lain:

1.Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah.
Bisa dibilang millennial tidak percaya lagi kepada distribusi informasi yang bersifat satu arah. Mereka lebih percaya kepada user generated content (UGC) atau konten dan informasi yang dibuat oleh perorangan. Mereka tidak terlalu percaya pada perusahaan besar dan iklan sebab lebih mementingkan pengalaman pribadi ketimbang iklan atau review konvensional. Dalam hal pola konsumsi, banyak dari mereka memutuskan untuk membeli produk setelah melihat review atau testimoni yang dilakukan oleh orang lain di Internet. Mereka juga tak segan-segan membagikan pengalaman buruk mereka terhadap suatu merek.

     2.Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV.

Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, Internet juga berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka. Maka televisi bukanlah prioritas generasi millennial untuk mendapatkan informasi atau melihat iklan. Bagi kaum millennial, iklan pada televisi biasanya dihindari. Generasi millennial lebih suka mendapat informasi dari ponselnya, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up-to-date.

  1. Millennial wajib punya media sosial.

Komunikasi di antara generasi millennial sangatlah lancar. Namun, bukan berarti komunikasi itu selalu terjadi dengan tatap muka, tapi justru sebaliknya. Banyak dari kalangan millennial melakukan semua komunikasinya melalui text messaging atau juga chatting di dunia maya, dengan membuat akun yang berisikan profil dirinya, seperti Twitter, Facebook, hingga Line. Akun media sosial juga dapat dijadikan tempat untuk aktualisasi diri dan ekspresi, karena apa yang ditulis tentang dirinya adalah apa yang akan semua orang baca. Jadi, hampir semua generasi millennial dipastikan memiliki akun media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan berekspresi.
      4. Millennial kurang suka membaca secara konvensional.

Populasi orang yang suka membaca buku turun drastis pada generasi millennial. Bagi generasi ini, tulisan dinilai memusingkan dan membosankan. Generasi millennial bisa dibilang lebih menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Walaupun begitu, millennial yang hobi membaca buku masih tetap ada. Namun, mereka sudah tidak membeli buku di toko buku lagi. Mereka lebih memilih membaca buku online (e-book) sebagai salah satu solusi yang mempermudah generasi ini, untuk tidak perlu repot membawa buku. Sekarang ini, sudah banyak penerbit yang menyediakan format e-book untuk dijual, agar pembaca dapat membaca dalam ponsel pintarnya.

  1. Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka.

Kini semua serba digital dan online, tak heran generasi millennial juga menghabiskan hidupnya hampir senantiasa online 24/7. Generasi ini melihat dunia tidak secara langsung, namun dengan cara yang berbeda, yaitu dengan berselancar di dunia maya, sehingga mereka jadi tahu segalanya.
Mulai dari berkomunikasi, berbelanja, mendapatkan informasi dan kegiatan lainnya, generasi millennial adalah generasi yang sangat modern, lebih daripada orang tua mereka, sehingga tak jarang merekalah yang mengajarkan teknologi pada kalangan orangtua.

  1. Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif.

Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang, millennial akan menduduki porsi tenaga kerja di seluruh dunia sebanyak 75 persen. Kini, tak sedikit posisi pemimpin dan manajer yang telah diduduki oleh millennial. Seperti diungkap oleh riset Sociolab, kebanyakan dari millennial cenderung meminta gaji tinggi, meminta jam kerja fleksibel, dan meminta promosi dalam waktu setahun. Mereka juga tidak loyal terhadap suatu pekerjaan atau perusahaan, namun lebih loyal terhadap merek. Millennial biasanya hanya bertahan di sebuah pekerjaan kurang dari tiga tahun. Namun demikian, sebab kaum millennial hidup di era informasi yang menjadikan mereka tumbuh cerdas, tak sedikit perusahaan yang mengalami kenaikan pendapatan karena memperkerjakan millennial.
7. Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless.

Semuanya semakin mudah dengan kecanggihan teknologi yang semakin maju ini, maka pada generasi millennial pun mulai banyak ditemui perilaku transaksi pembelian yang sudah tidak menggunakan uang tunai lagi alias cashless. Generasi ini lebih suka tidak repot membawa uang, karena sekarang hampir semua pembelian bisa dibayar menggunakan kartu, sehingga lebih praktis, hanya perlu gesek atau tapping.Mulai dari transportasi umum, hingga berbelanja baju dengan kartu kredit dan kegiatan jual beli lainnya.

Kehadiran teknologi digital pada era sekarang mengubah karakteristik budaya, perilaku dan cara berkomunikasi manusia.

  1. Informasi yang berlimpah. Informasi itutidak sebatas tulisan, tetapi juga gambar, animasi, video dan produk auditif. Dan semuanya itu melimpah yang berumber dari siapa saj dan tanpa filter. Karena itu orang harus jeli melihat kredibilitas sumber informasi beserta segala latarbelakangnya.
  2. Relasi yang langsung namun bercorak sepintas dan dangkal. Tanpa harus bertemu muka, orang bisa berelasi secara langsung, tetapi relasi ini bercorak sepintas dan dangkal. Yang jauh menjadi dekat, namun yang dekat menjadi jauh.
  3. Corak pengetahuan yang didapat: cepat namun tidak mendalam. Banyak informasi menjadi lebih penting daripada kedalamannya. Pola pikir pun cenderung melompat-lompat.
  4. Bahasa baru untuk berkomunikasi. Bahasa yang paling menyentuh adalah Bahasa audio-visual yang lebih menyapa emosi. Dengan menggunakan Bahasa gambar akan lebih menyentuh, penyampaian unsur-unsur emosional menjadi lebih kaya.
  5. Manusia yang cenderung semakin tidak manusiawi. Dalam pola-pola relasi dan cara berkomunikasi di era digital, manusia cenderung memperlakukan dirinya dan orang lain bukan sebagai manusia melainkan sebagai benda ataupun robot. Manusia juga kehilangan salah satu inti hidupnya, yaitu keheningan.

3.Gereja dan Media Digital

Terhadap perkembangan media digital dari waktu ke waktu terus semakin maju, canggih dan memberi daya tarik bagi masyarakat, yang tidak hanya  menawarkan aneka  macam produk media komunikasi, tetapi juga telah menciptakan suatu gaya hidup tersendiri. Gereja turut memberikan tanggapan yang menunjukkan sikap Gereja terhadap media digital. Gereja menyadari bahwa perkembangan media itu telah memengaruhi umat manusia, termasuk di dalamnya umat Allah. Pengaruh media itu tidak hanya menyangkut pengguna media komunikasi, tetapi berpengaruh juga pada sikap, mental, perilaku dan budaya hidup masyarakat.

Tanggapan Gereja dinyatakan dalam berbagai dokumen, antara lain: Dokumen Inter Merifica (IM), Evangelii Nuntiandi (EN) Ensiklik Paus Paulus VI tahun 1975, Redemptoris Missio (RM) Ensiklik Yohanes Paulus II, Surat Gembala Bapa Suci dalam rangka Hari Komunikasi Sosial Sedunia oleh Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benedictus ke XVI dan Paus Fransiskus.

4.Sikap Gereja

Sikap Gereja adalah: Bersyukur karena teknik-teknik yang begitu mengagumkan. Perkembangan teknologi komunikasi dilihat sebagai anugerah Allah yang diberikan kepada umat manusia. Allah  menggunakan pemikiran-pemikiran dan kreativitas manusia untuk mengembangkan media komunikasi yang menghubungkan manusia satu sama lain, yang memperluas komunikasi langsung yang terbatas oleh ruang dan waktu, menjadi komunikasi yang tanpa batas ruang dan waktu.

Peluang dan Tantangan era Digital Bagi Gereja.

Peluang :

  • Semakin derasnya kekuatan revolusi tehnologi.
  • Membawa cara baru berkomunikasi
  • Kesempatan sebagai sarana pewartaan, kesaksian dan dialog dengan orang miskin, antar agama dan antar budaya.

Tantangan:

  • Membawa implikasi akan segi kedalaman, komitmen, keterlibatan dan kesetiaan orang dalam menanggapi sesuatu, baik informasi ataupun pesan.
  • Aspek kemanusiaan dan keheningan budi. Harus disikapi secara arif bijaksana
  • Cenderung terjadi tanpa perjumpaan fisik langsung yang membuat ketulusan dan perhatian manusiawi sungguh terabaikan.
  • Kurang mendalam

Seiring dengan perkembangan teknologi digital, lahir generasi milenial yang memiliki karakter yang khas. Generasi ini mahir dengan teknologi informasi seperti facebook, twitter, instagram, SMS, WA, Line, dan berbagai aplikasi komputer. Beberapa sifat menonjol dari generasi milenial antara lain: bebas mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya secara spontan, tanpa rasa takut dengan siapa pun dan level apa pun melalui jaringan internet; cenderung toleran dengan perbedaan budaya dan sangat peduli dengan lingkungan; multitasking yakni dapat melakukan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan dan karena itu mereka ingin serba cepat dan langsung, instan, tidak sabar, dan kurang menghargai proses; cenderung kurang memberi tempat kepada komunikasi verbal, bersikap egosentris dan individualis.

Untuk generasi ini, iman menjadi urusan pribadi. Mereka mungkin beragama Kristen tetapi seturut kebutuhan pribadinya. Mereka mengambil nilai-nilai yang dianggapnya cocok dan mengabaikan nilai-nilai lain yang tidak sesuai dengan keinginannya. Apa yang cocok hari ini mungkin tidak cocok lagi esok dan bisa ditinggalkan sesukanya. Mereka menghayati iman secara fragmentaris, untuk kepentingan hari ini dan mengabaikan nilai-nilai transendental yang bersifat absolut. Paus Fransiskus, dalam  anjuran apostolik Evangelii Gaudium mengungkapkan bahwa pada masa ini setiap orang cenderung mereduksi iman dan ajaran Gereja dalam lingkungan privat dan intim. Dengan penolakan terhadap segala bentuk transedensi, penghayatan moral melemah, makna dosa personal dan sosial berkurang dan terjadi relativisme kebenaran iman (Bdk EG 64).

Kendati demikian, harus diakui bahwa ada hal-hal yang positif dari budaya ini. Dalam budaya ini orang memang cenderung bersifat indiferen terhadap agama atau kebenaran-kebenaran yang diklaim sebagai objektif dan universal, namun sesungguhnya mereka percaya pada perwujudan diri pribadi yang terus mencari kebenaran yang otentik, yang dipandang dapat memberi kepenuhan hidup. Mereka tetap mempunyai pencarian atau pergulatan religius untuk mencari makna hidup. Mereka akan dengan bebas menyatakan “keiaan” kepada sesuatu, bila hal itu dipandang layak untuk diterima dan dimiliki. Pada prinsipnya mereka ingin ikut serta menentukan keselamatan dan masa depan mereka.  Dalam konteks ini, mereka lebih percaya pada pengalaman pribadi daripada ajaran yang datang dari luar. Penawaran nilai-nilai dari luar dapat diterima asalkan ditawarkan secara jujur dan otentik serta diletakkan dalam kerangka relasi personal. Di sini pewartaan mengenai Allah dan ajaranNya harus terlebih dahulu menyentuh wilayah afeksi dan baru kemudian daya pikir, harus lebih menekankan kesaksian hidup daripada teori-teori.

5.Katekese Masa Kini

Bagaimana berkatekese di era digital atau era milineal ini. Katekese pada era ini secara umum membahas sikap beriman kita terkait dengan proses digitalisasi. Bagaimana kita tetap menghidupi iman dalam situasi seperti itu? Bagaimana kita dengan terang iman memanfaatkan media digital sehingga media itu selalu membawa kebaikan umum? Apakah berkatekese tentang era digital, atau berkatekese menggunakan media digital, atau katekese berbasis media digital? Tentu, tidak hanya menyangkut sikap, melainkan juga bagaimana kita memanfaatkan peluang teknologi digital itu untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan Gereja?

Dalam pertemuan PKKI X, disadari bahwa media komunikasi yang terus berkembang dalam era digital ini seharusnya menjadi peluang bagi Gereja untuk memanfaatkannya. Karena itu, katekese diharapkan mengintegrasikan kemajuan teknologi digital. Maka, bentuk komunikasi dalam katekese menemukan caranya yang baru, misalnya “katekese online”. Katekese online adalah katekese yang mencoba memanfaatkan berbagai media digital online, misalnya Skype, atau melalui chat dengan Facebook, Yahoo Mesenger, Talk dan lain sebagainya. Dalam pertemuan itu juga disadari bahwa pengguna terbesar media digital adalah orang muda. Katekese perlu menjangkau orang muda untuk menyapa mereka, khususnya melalui komunitas-komunitas  virtual yang ada, misalnya dari komunitas BBM (blackberry messenger), Facebook, Twitter, jejaring sosial media, dan lain sebagainya. (Hal.41)

Menanggapi tantangan dan peluang di atas, katekese masa kini hendaknya ditawarkan secara jujur dan otentik dalam semangat kerendahan hati dan dialog antar pribadi. Katekese yang demikian mengandaikan tiga hal, yakni: kebebasan, kesukarelaan, dan “keibuan” Gereja. Kebebasan berarti bahwa orang harus dimungkinkan untuk menerima pewartaan, perayaan dan pelayanan Injil secara bebas tanpa merasa terpaksa. Kesukarelaan berarti bahwa pewartaan  dan pastoral Gereja harus menghormati sistem nilai personal setiap pribadi dan tidak memaksakan sistem nilai kristiani sebagai sesuatu yang wajib diterima karena bersifat objektif dan universal. Katekese tidak terutama mencemaskan institusi, dogma dan ajaran Gereja. Kecemasan utama adalah pribadi manusia yang harus dibimbing untuk memperoleh kepenuhan hidup di dalam Kristus. Paus Fransiskus dengan tandas mengatakan bahwa awal mula kekristenan bukanlah dogma, rumusan etik, atau institusi melainkan sebuah kejadian (evento) dan kejadian itu adalah seorang pribadi yakni Yesus dari Nazaret (Bdk. EG 7). Keibuan Gereja mengacu pada pewartaan yang tidak hanya menekankan penerusan ajaran Gereja melainkan seluruh cara hidup komunitas Gereja untuk menyaksikan Injil dalam kehidupan konkrit setiap hari (Bdk. EG 21). Dia mengutamakan persahabatan daripada pengajaran dan nasihat, lebih mengutamakan kesaksian hidup daripada kata-kata, lebih mengutamakan jalan bersama-sama dari pada sikap mengawasi.

 

Model katekese masa kini hendaknya menekankan pendekatan eksperiensial. Katekese terutama dipahami sebagai tindakan kenabian yang menerangi dan menafsirkan hidup dan sejarah umat manusia. Di sini katekese dipandang sebagai proses penerangan atas eksistensi manusia sebagai campur tangan Allah, dalam mana misteri Yesus Kristus disaksikan dalam bentuk pewartaan sabda dengan tujuan untuk memperdalam dan mendewasakan iman dan untuk membimbing umat mengaktualisasikan iman dalam hidup sehari-hari. Proses katekese eksperiensial mengikuti alur sebagai berikut: menghargai pengalaman manusia, menemukan makna religius pengalaman manusiawi, membimbing ke arah perjumpaaan pribadi dengan Kristus yang memberikan kepenuhan hidup, dan merasakan panggilan untuk terlibat dalam pembangunan Kerajaan Allah di tengah dunia.

Di era ini katekese perlu mengintegrasikan budaya digital dalam pewartaannya dan berusaha menggunakan tekhnologi digital atau wahana virtual sebagai sarananya. Hal itu berarti katekese di era digital perlu mengembangkan pola inkarnatoris yang mulai dengan perjumpaan penuh penghargaan terhadap budaya digital yang sedang berkembang dan kemudian mengakrabkan diri dengan ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom  dari budaya digital tersebut. Ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom di era digital ditandai oleh kelimpahan, keterjangkauan, dan bersifat langsung. Kelimpahan berarti sangat banyaknya informasi yang masuk dan bisa diakses. Keterjangkauan berarti mudah dijangkaunya berbagai informasi yang dibutuhkan. Bersifat langsung berarti informasi dapat diperoleh tanpa melalui perantara, cukup dengan browsing melalui sarana digital (lihat: Komkat KWI, Hidup di era Digital, Gagasan dasar dan Modul katekese, hal. 14)

Menghadapi tantangan dari media komunikasi  yang semakin hari semakin kompleks dan berpengaruh dalam kehidupan keluarga, anak-anak, dan kaum muda, siapa yang bertanggungjawab? Paus menyebut beberapa pihak yang harus bertanggungjawab baik terhadap media komunikasi maupun terhadap akibat yang ditimbulkannya. Pihak-pihak itu diantaranya para pekerja di bidang komunikasi social, orangtua, guru, masyarakat, dan Gereja. “Gereja dipanggil juga untuk mendukung perkembangan tata dunia komunikasi sosial dan mengarahkannya pada tujuan tertinggi manusia yang tampak dari buah yang dihasilkannya, yaitu buah moral dan rohani”

Gereja berdiri sebagai guru yang mengajarkan apa yang baik dan benar dan berdiri sebagai nabi yang mengkritisi pesan yang tidak selaras dengan kehendak Tuhan.

6.Penutup

Tentang media komunikasi, Paus Paulus VI dengan sangat tegas mengatakan bahwa, “Gereja akan merasa bersalah di hadirat Tuhan, jika tidak mempergunakan alat-alat yang luar biasa ampuh. Dalam alat-alat itu Gereja menemukan jenis mimbar yang modern dan berdaya guna” (EN. 45). Pernyataan ini menjadi dasar Gereja untuk memanfaatkan media komunikasi modern dalam karya perutusannya, tentu saja di era ini bagi kaum milenial.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *