Bacaan: Keb. 7: 7-11; Ibr. 4: 12-13; Mrk.10: 17-27.
Injil pada hari ini menampilkan semangat seorang yang berlari-lari, dan di hadapan Yesus ia berlutut dan bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus ia perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Dan orang itu adalah seorang yang kaya. Dalam kekayaannya, ia masih merindukan hidup yang kekal, dan bagaimana memperolehnya. Ketika Yesus bertanya tentang pengetahuannya akan segala perintah Allah yang harus ia turuti. Dengan semangat ia mengatakan bahwa ia telah mengikuti segala perintah Allah itu sejak masa mudanya. Hal ini menunjukkan betapa ia tahu tentang perintah Allah dan ia juga telah mengikutinya dengan baik dalam hidupnya. Namun untuk memperoleh hidup yang kekal ternyata tiak hanya itu. Tidak hanya tau dengan baik dan ikut perintah Allah dengan sempurna. Pengetahuan saja tidak cukup. Yesus meminta lebih. Karena itu Yesus mengatakan bahwa masih ada satu yang kurang. Yang kurang adalah ia harus menjadi manusia bebas yang tidak terikat pada harta kekayaan, dengan membuka hati penuh kerelaan membaginya kepada sesama, terlebih kepada yang miskin. Kelekatan pada harta kekayaan justru menutup jalan mencapai hidup yang kekal itu. “Pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah kepada orang-orang miskin, kemudian datanglah kepada-Ku dan ikutilah Aku”
Orang itu ternyata merasa berat, tidak rela melepaskan segala harta miliknya. Ia mengira bahwa cukup dengan mengikuti perintah Tuhan, ia telah menjadi pengikut Tuhan dan sudah beragama dengan baik. Sudah cukup. Namun ternyata, belum cukup. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai manusia bebas, tanpa terikat melekat pada harta kekayaan. Ia mau menjadi pengikut Tuhan, mau memperoleh hidup yang kekal, asal tidak ada syarat macam-macam. Cukup ikut perintah saja, dan tidak bersedia menerima tuntutan macam-macam, apalagi harus melepaskan harta kekayaan dan miliknya.
Kisah Injil ini sering menjadi pengalaman kita. Kita pun sering penuh semangat menggebu datang kepada Yesus memohon agar juga memperoleh hidup yang kekal. Kita merasa bahwa kita telah dengan sempurna mengikuti perintah dan hukum Tuhan dalam hidup kita. Rajin ke Gereja, rajin berdoa, dll. Tidak ada lagi yang kurang. Tetapi seperti kepada pemuda itu, kepada kita pun Yesus mengatakan bahwa masih ada satu yang kurang. Kita masih melekat pada harta, kesenangan, hobby dan keinginan-keinginan yang sering begitu sulit kita tinggalkan atau lepaskan, dan menjadi kurang peduli dan tidak peka terhadap kesulitan dan penderitaan sesama.
Hal-hal ini memberatkan kita untuk mengikuti Yesus dengan bebas. Kita merasa berat dan tidak rela, karena itu memperoleh hidup yang kekal menjadi sulit kita capai. Kita menjadi Katolik hanya mengikuti kewajiban-kewajiban agama, dan kita sudah merasa cukup. Padahal kita dituntut untuk peduli terhadap sesama, tidak terikat dan melekat pada apa yang kita miliki, juga apa yang menjadi kesenangan kita yang sulit kita tinggalkan, lalu jalan menuju kehidupan kekal bersama Tuhan semakin tertutup. Terkadang berat, tetapi itulah permintaan Yesus sendiri. .**
Rm. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr; Sekretaris Komkat KWI.