Bagaimana seharusnya memahami dan memaknai relasi antara Gereja dan Bunda Maria? Apakah Maria menggantikan Yesus?
Pertanyaan yang muncul dalam Konsili Vatikan II tentang Maria ialah apakah perlu sebuah dokumen tersendiri tentang Bunda Maria mengingat keistimewaannya, atau cukup ditempatkan sebagai bagian dari dokumen tentang Gereja karena ia hanya anggota Gereja yang memerlukan penebusan sebagaimana anggota lainnya?
Pandangan Konsili. Pada Konsili Vatikan II teradapat sekelompok Bapak Konsili yang menghendaki agar tema marial menjadi bagian dari Konstitusi tentang Gereja, karena Maria sejajar dengan Gereja.
Sebaliknya ada kelompok yang berargumen bahwa mariologi tidak merupakan bagian eklesiologi. Karena itu mereka menghendaki agar bab tentang Maria memuat dogma baru[1].
Pada masa persidangan ketiga, harapan kedua pandangan tersebut kurang-lebih terpenuhi; gagasan masing-masing kelompok ditampung. Hasil voting terakhir menunjukkan secara pasti di manakah tempat Maria. LG Bab VIII memperlihatkan bahwa bagi Konsili, Bunda Maria tidak boleh disetarakan dengan Putranya. Maria ditempatkan dalam misteri Gereja. Ia adalah anggota Gereja yang membutuhkan penebusan dan sepenuhnya bergantung pada Putranya.[2]
Mengutip perkataan Santo Ambrosius Milan (339-397), Konsili Vatikan II memaknai figur Bunda Maria sebagai pola (typus) Gereja.
“Karena karunia serta peran keibuannya yang Ilahi, yang menyatakannya dengan Putranya Sang Penebus, pun pula karena segala rahmat serta tugas-tugasnya, Santa Perawan juga erat berhubungan dengan Gereja. Seperti telah diajarkan oleh santo Ambrosius, Bunda Allah itu pola Gereja, yakni dalam hal iman, cinta kasih, dan persatuan sempurna dengan Kristus. Sebab dalam misteri Gereja, yang tepat juga disebut bunda dan perawan, Santa Perawan Maria mempunyai tempat utama, serta secara ulung dan istimewa memberikan teladan perawan maupun ibu” (LG. 63).
Makna kata typus di sini bukan sekedar berarti pola atau contoh. Kata tersebut pertama-tama menunjuk pada figur konkret. Allah menunjukkan cinta-Nya pada Gereja sebagaimana tersingkap pada diri Maria. Sebagai typus atau exemplar Gereja, peran dan tugas Maria membantu setiap anggota Gereja sampai pada hidup dan kesatuan dengan Kristus, sebagaimana Maria sendiri telah hidup dan bersatu dengan Kristus.[3]
Dengan memaknai peran Maria sebagai exemplar, Konsili hendak mengajarkan bahwa dalam pribadi Maria, sudah nyata riil apa yang sedang dijalani dan ditujui Gereja secara menyeluruh dalam sejarah penyelamatannya.[4]
Maria tak Menggantikan Yesus. Dengan kata lain, terdapat dua pendekatan yang berkembang di antara para Bapa Konsili tentang Bunda Maria dalam Gereja, yaitu pendekatan minimalistis dan maksimalistis. Ciri utama pendekatan minimalistis ialah “memperdalam dan memperkembangkan mariologi hanya jika mempunyai dasar yang sungguh-sungguh jelas dan dapat diverifikasikan dalam Kitab Suci.”[5] Bagi kelompok ini, peristiwa Maria harus didasarkan pada studi historis-kritis. Bunda Maria adalah salah satu anggota Gereja yang perlu ditebus. Karena itu, tidak perlu ada sebuah ajaran khusus tentang Maria.
Bagi para maksimalis, sebaliknya, “Santa Perawan Maria adalah pribadi yang disatu-padukan dengan Kristus Tuhan dalam misteri ilahi. Tidak cukuplah bahwa Maria dipandang sebagai anggota Gereja saja, melainkan kadar keanggotaan Maria dalam Gereja diimbuhi mahkota: maha unggul.”[6] Kelompok pandangan ini mengusulkan agar “dalam konsili ditetapkan ajaran baru tentang Maria, sekurang-kurangnya gagasan tentang Maria tidak dimasukkan dalam skema konstitusi tentang Gereja.”[7]
Setelah melalui diskusi yang panjang, Konsili sampai pada perspektif yang lebih seimbang. Di satu pihak Konsili melihat bahwa peran Maria dalam Gereja bersifat istimewa; bahwa Maria layak diberi gelar-gelar khusus serta dihormati dalam kebaktian yang istimewa. Namun di lain pihak disadari bahwa peran Maria itu tidak pernah menggantikan peran Yesus sebagai satu-satunya Pengantara kepada Bapa.[8]
“Pengantara kita hanya ada satu, menurut kata-kata Rasul. ‘sebab Allah itu esa, dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang’ (1 Tim 2: 5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi kepengentaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya.” (LG. 60).
Terkait gelar-gelar Maria, Konsili menegaskan bahwa “dalam Gereja Santa Perawan Maria disapa dengan gelar pembela, pembantu, penolong, perantara. Akan tetapi, itu diartikan sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi, pun tidak menambah martabat serta daya guna Kristus satu-satunya Pengantara.” (LG. 62)
Perihal Devosi Kepada Maria. Oleh karena itu, tentang kebaktian umat beriman kepada Santa perawan Maria dalam Gereja, Konsili pun menegaskan bahwa kebaktian itu hendaknya membuat orang semakin memuliakan Yesus Kristus, dan semakin setia melaksanakan perintah-perintah-Nya.[9]
“Meskipun kebaktian itu, seperti selalu dijalankan dalam Gereja, memang bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya. Sebab ada pelbagai ungkapan sikap bakti terhadap Bunda Allah, yang dalam batas-batas ajaran yang sehat serta benar, menurut situasi semasa dan setempat serta sesuai dengan tabiat dan watak-perangi kaum beriman, telah disetujui oleh Gereja. Dengan ungkapan-ungkapan itu, bila Bunda dihormati, Putranya pun….dikenal, dicintai, dan dimuliakan sebagaimana seharusnya, serta perintah-perintah-Nya dilaksanakan” (LG. 66).
Pandangan yang tidak jatuh pada ekstrem minimalistis atau sebaliknya maksimalistis, oleh Konsili ditunjukkan dengan menekankan pentingnya praktik devosi yang otentik: “Kepada para teolog serta pewarta Sabda Allah, Gereja menganjurkan dengan sangat supaya dalam memandang martabat Bunda Allah yang istimewa, mereka pun, dengan sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan yang palsu seperti juga kepicikan sikap batin” (LG. 67).
Maria bukan Jimat. Penghayatan iman (devosi kepada Maria) yang terlalu lahiriah cenderung menjadi cultus privatus, yang menjerumuskan orang padan pendewian Bunda Maria: menjadikannya sebagai dewi atau tokoh mitis. Sosok Maria menjadi semacam jimat bertuah yang patut disembah karena mendatangkan keselamatan dan hidup kekal.
Berlawanan dengan sikap yang terlalu menekankan faktor lahiriah ini, ada sikap lain, yaitu ‘spiritualistis’. Pada sikap terakhir ini, orang bersikap apatis, masa bodoh terhadap devosi kepada Maria. Bagi kelompok ini, praktik kesalehan terhadap Bunda Maria dianggap takhayul, pelarian ke dalam alam penghiburan yang bersifat sentimental melulu.[10]
Dengan kata lain, tujuan terakhir devosi ialah Pribadi Yesus Kristus. Dalam devosi yang benar (autentik), devosioner sadar bahwa Maria bukanlah tokoh sentral dalam iman Kristiani. Pusat iman Kristiani ialah Trinitas yang Mahakudus dan tak terbagi. Jadi sebuah devosi kepada Maria dapat dikatakan sebagai devosi sehat sejauh devosi itu berdampak pada pengembangan dan pertumbuhan iman para beriman akan Allah dan demi kemuliaan-Nya.[11]
Keterangan catatan kaki.
[1] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 122-123.
[2] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 58, 124.
[3] Bdk. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 58.
[4] Bdk. Cletus Groenen, Mariologi. Teologi & Devosi, 126,
[5] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 12.
[6] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 13.
[7] Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 13.
[8] Bdk. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 51.
[9] Bdk. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 79.
[10] Bdk. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 86-87.
[11] Bdk. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja, 90-91.
DR. Andreas B. Atawolo, OFM: Dosen Teologi Dogmatik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber: https://christusmedium.com
Silakan membaca artikel-artikel seputar teologi, katekese, pastoral, humaniora dll dari Pater Andreas Atawolo di websitenya; https://christusmedium.com
terima kasih atas uraian tentang Devosi kepada Bunda Maria, semoga penjelasan ini bermanfaat bagi umat katoik dan dapat memberikan pengertian dan pemahaman yang tepat dan benar tentang iman kita. Saya akan bagikan kepada saudara2 yang lain, agar menambah pengetahuan kita tentang Ajaran Gereja Katolik yang baik dan benar.
Terima kasih kembali pak Stefanus. Silakan berbagai informasi kepada umat seiman kita. Salam sehat selalu, Tuhan memberkati.