Digitalisasi Katekese Sebagai Relevansi Pewartaan St. Petrus Dan Paulus (Dr. Agustinus Manfred Habur, Pr)

Gereja ada untuk mewartakan (EN 14). Tugas Gereja sepanjang masa, baik atau tidak baik waktunya adalah mewartakan. Tokoh model karya pewartaan Gereja adalah St. Petrus dan Paulus. Dua Rasul besar ini, telah mendedikasikan seluruh hidup mereka untuk pewartaan. Mereka berani meninggalkan Yerusalem dan pergi ke agora-agora di Yanani untuk mewartakan. Aeoropagus sebagai tempat pengadilan di Athena bahkan dijadikan ruang pewartaan oleh Paulus. Bagi Paulus, “Celakalah aku bila tidak mewartakan Injil”.

Gereja masa kini sedang dalam masa sulit akibat pandemi covid-19. Pandemi mengharuskan pembatasan sosial yang menyebabkan terbatasnya ruang-ruang pertemuan untuk pewartaan. Namun aeropagus baru sedang terbentang luas di jagat maya. Era digital telah menyediakan ruang baru pewartaan, yang tak bisa tidak harus dimanfaatkan Gereja dalam semangat St. Petrus dan Paulus.

  1. Katekese sebagai karya khas Gerejawi

Secara etimologis, katekese berasal dari kata Yunani katechein yang berarti gema sabda. Sabda harus digemakan untuk menumbuhkan iman. Mengacu pada asal-usul kata tersebut, Pedoman Katekese yang baru, yang diterbitkan tahun 2020 oleh Kongregasi Evangelisasi Baru  (Direttorio per la Catechesi, 2020), memaknai katekese sebagai penggemaan Paska Tuhan kedalam hati setiap orang agar mereka mampu mentransformasi kehidupannya (DC 55). Dalam hal ini katekese bertugas untuk melayani Sabda, mendidik untuk beriman, mengarahkan orang kepada perayaan misteri iman, dan menerangi serta menafsir jejak Paska Tuhan dalam kehidupan dan sejarah setiap orang (Bdk DC 55). Dalam setiap peristiwa katekese ada komunikasi Sabda Allah yang menjadi bermakna ketika dipertautkan dengan peristiwa hidup konkrit setiap orang atau komunitas.

Rumusan Pedoman Katekese 2020 di atas, sejalan dengan refleksi kateketis masa kini, yang memahami katekese sebagai satu bentuk komunikasi Sabda Allah yang bertujuan untuk memperdalam dan mematangkan iman individu dan komunitas Kristen (Soravito, 1998:16). Komunikasi Sabda Allah tersebut merupakan satu bentuk komunikasi religius. Sasarannya terutama untuk menyentuh pertanyaan-pertanyaan dasariah manusia dan memberi jawaban atasnya. “Tidak ada komunikasi religius atau katekese jika hanya terjadi pengalihan informasi sepihak tentang ajaran, norma, dan ritus Kristen. Katekese terjadi ketika pengalaman dasariah manusia disapa, didalami, diinterpretasi dan ditrasformasikan dalam proses identifikasi yang berkesinambungan dengan pengalaman Kristus dan GerejaNya” (Alberich, 2001:108).

  1. Katekese Digital di masa Pandemi Covid-19

Bagaimanakan komunikasi Sabda Allah itu dilaksanakan dalam masa Pandemi Covid-19, ketika orang-orang tidak bisa berkumpul dan bertatap muka untuk saling berkomunikasi secara langsung? Hampir semua Gereja, sekarang ini, memilih model katekese digital. Pilihan ini bukan karena terpaksa. Bukan karena rotan tak ada maka akar pun jadilah. Pilihan ini malahan adalah keniscayaan, ketika dunia secara keseluruhan sudah berubah, sudah masuk dalam era digital, jauh sebelum Pandemi Covid-19 muncul.

Pandemi Covid-19 muncul dalam sejarah ketika dunia sedang mengalami kemajuan teknologi digital dan internet. Pandemi ini terjadi dalam “era digital” (Bdk., Creeber and Martin 2009). Era digital tidak hanya berkaitan dengan alat-alat digital, tetapi juga berhubungan dengan budaya baru yang sedang melingkupi cara hidup manusia. Charlie Gere (2008) melihat era digital sebagai budaya baru yang ditandai oleh perubahan cara pikir dan tingkah laku manusia sebagai akibat langsung kemajuan pesat di bidang teknologi digital. PKKI X di Bandung tahun 2012 merumuskan era digital sebagai situasi baru yang ditandai oleh maraknya penggunaan berbagai sarana teknologi digital sehingga jarak dan tempat semakin kecil, dan hal itu mengubah karakteristik budaya, perilaku dan cara berkomunikasi manusia (Komkat KWI, 2016, 177).

Ada paling kurang tiga karakteristik yang mencirikan budaya baru ini (Komkat KWI, 2015, 24-35). Pertama, digitalisasi dan konvergensi. Terjadi proses digitalisasi semua isi media. Isi pesan diubah ke dalam bentuk angka-angka sehingga mudah disimpan dan disebarkan ke pelbagai jaringan. Selain itu terjadi proses konvergensi yaitu penyatuan alat-alat audio, visual, cetak,  dalam  satu sarana digital. Pada masa ini alat-alat seperti radio, televisi, video, MP3, kamera, media cetak bisa disatukan dalam tablet, smarthone, atau laptop. Dengan hentakan atau usapan jari-jari pada alat-alat tersebut, orang bisa merambah seluruh dunia. Digitalisasi ini mengubah perilaku orang dalam mengemas dan mengelola informasi. Pesan dapat didistribusikan secara multiplexing, artinya diteruskan dalam beragam jenis dan dalam jumlah yang berlimpah ruah ke segala penjuru jagad.

Kedua, interaktif dan saling terkait. Komunikasi pada masa sekarang menjadi lebih dialogis interaktif (Bocci, 2012, 41). Komunikasi media cetak, audio-visual tidak lagi bersifat statis satu arah melainkan multi arah. Orang bisa berkomunikasi melalui aneka aplikasi media sosial  seperti face book, WA, twitter, instagram, telegram, line, zoom, skype, dll, dari berbagai tempat, berbagai arah, dan dapat berpindah-pindah sejauh ada signal dan sarana digital yang konvergen. Selain itu dengan perkembagan pesat internet, semua orang bisa saling terhubung. Internet telah memungkinkan orang bekerja dari rumah, bisnis dan belanja on line, ibadat on line, kuliah on line, seminar on line, dll.

Ketiga, virtual dan mendunia. Kemajuan internet pada era digital memungkinkan terjadinya komunikasi antarpribadi secara virtual yakni melalui layar komputer, smartphone, gadget. Komunikasi tersebut bersifat maya atau virtual karena masih bersifat permukaan kendati merepresanti kenyataan yang sebenarnya. Perkembangan internet juga memungkinkan terjadinya komunikasi global-mondial. Orang dapat berkomunikasi dengan orang lain di mana pun di dunia ini secara langsung. Komukasi tersebut tidak memandang usia dan status. Siapa saja dapat berinteraksi secara egaliter (Komsos KWI, 2018). Tidak ada relasi hirarkis: guru-murid, klerus-awam, pemerintah-rakyat. Semua menjadi warga dunia (global village) dan dunia berada dalam satu genggaman.

Sekarang ini banyak orang seakan tak bisa hidup tanpa internet. Ada kenyataan no internet, no life. Karena itu budaya digital menjadi bagian kehidupan masyarakat baru ini. Setiap orang bisa terbuka ke dunia, dan dunia dengan seluruh kompleksitas budayanya masuk ke dalam pribadi seseorang dan memengaruhi sikap, mental, dan gaya hidupnya.

Lahir generasi baru yang sering disebut generasi digital (digital native). Generasi digital umumnya mahir dengan aplikasi teknologi informasi seperti facebook, twitter, instagram, SMS, WA, Line, telegram dan berbagai aplikasi komputer (Akhmad Sudrajat, 2012). Beberapa sifat menonjol dari generasi ini antara lain: bebas mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya secara spontan, tanpa rasa takut dengan siapa pun dan level apa pun melalui internet; cenderung toleran dengan perbedaan budaya (multikultural) dan sangat peduli dengan lingkungan; multitasking yakni dapat melakukan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan dan karena itu mereka ingin serba cepat dan langsung, instan, tidak sabar, dan kurang menghargai keheningan dan proses; pembelajarannya bersifat multi sensorik (mendengar, melihat, meraba/klik); cenderung kurang memberi tempat kepada komunikasi verbal, bersikap egosentris dan individualis (Bdk. Bocci, 2012, 43; Silva, 2019, 4-15).

Era digital dengan segala coraknya membuka peluang baru bagi katekese. Kemajuan teknologi media digital pada era ini, bila dimanfaatkan secara bertanggung jawab, merupakan anugerah Allah yang tak ternilai. Gereja memiliki sikap asertif terhadap kemajuan teknologi ini, yakni rispek sekaligus berkomitmen untuk menggunakannya secara tepat dan bertanggung jawab (Bdk., Adhi, 2020, 20). Tanpa mengabaikan aspek negatifnya, Gereja memandang media digital dan media komunikasi pada umumnya sebagai medan perjumpaan untuk mengkomunikasikan Sabda Allah. Paus Paulus VI dalam Surat Apostolik Evangeli Nunctiandi menegaskan bahwa alat-alat tersebut dapat memperluas wilayah di mana Sabda Allah dapat didengarkan hampir tanpa batas. Gereja akan merasa salah di hadirat Tuhan, jika tidak memanfaatkan sarana-sarana yang ampuh ini, yang dari hari ke hari semakin disempurnakan oleh keterampilan manusia (EN 45). Paus Yohanes Paulus II, juga telah mendorong Gereja agar melalui media-media baru ini mampu memberikan pandangan dan ide-ide kristiani yang bisa mempengaruhi pola dan cara hidup budaya modern (RM 37). Baik Paus Benediktus XVI maupun Paus Fransiskus mengikuti pendahulu mereka, terus mendorong agar Gereja terlibat aktif dalam karya pewartaan melalui media digital ini. Dalam pesan hari Komsos sedunia yg ke-53, tahun 2019, Paus Fransiskus mengajak: “Marilah kita berkarya dengan memanfaatkan internet. Nikmati perjumpaan insani dengan kesantunan, kebahagiaan, solidaritas, dan kelemah-lembutan. Hadirkan kasih dalam jejaring sosial daring sebagaimana Gereja sendiri adalah sebuah jejaring yang diikat dan diteguhkan melalui Ekaristi”.

Dengan sikap asertif, ada dua perspektif Gereja terhadap era digital dengan kemajuan teknologi internetnya. Pertama, perspektif instrumentalisasi. Dalam cara pandang ini, Gereja melihat internet sebagai instrumen yang andal untuk pewartaan Sabda Allah demi pendidikan iman. Gereja merasa berkewajiban untuk menggunakan gelanggang internet untuk mewartakan Sabda.  Pedoman Katekese 2020 mengakui bahwa Web dan jejaring sosial dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menjadi ruang pewartaan terutama bagi orang-orang muda (Bdk. DC 360). Kedua, perspektif perjumpaan. Dalam perspektif ini, Gereja meyakini era digital sebagai “aeropagus baru” tempat berlangsungnya perjumpaan baru antara manusia dan kebudayaan. Pedoman Katekese 2020 dengan tegas menyatakan bahwa Injil harus hadir dalam jagad digital dan menawarkan di dalamnya atmosfer perjumpaan iman yang menghidupkan (Bdk. DC 371). Dengan demikian, maka media digital, terutama jaringan internet, tidak sekedar menjadi sarana pewartaan akan tetapi juga menjadi gelanggang baru inkulturasi injil dengan budaya baru yang tercipta dari kemajuan teknologi digital (Bdk. Putranto, 2016, 84-85).

Dua cara pandang Gereja di atas mengakui peran teknologi digital bagi karya evangelisasi Gereja pada umumnya dan bagi karya katekese khususnya. Ada tiga peranan teknologi digital bila dijalankan secara arif dalam karya katekese. Pertama, teknologi digital dapat mengembangkan komunikasi, termasuk katekese sebagai komunikasi iman. Melalui media sosial, Gereja dapat mengembangkan katekese secara langsung dengan umat kapan dan di mana saja. Kedua, teknologi dapat membangun komunitas. Teknologi digital telah memungkinkan ikatan komunitas virtual bagi umat yang lebih besar yang tidak menuntut kedekatan secara fisik. Ketiga, teknologi digital dapat mendorong pemuridan. Teknologi yang memungkinkan komunikasi dan pengembangan komunitas yang lebih besar pada gilirannya dapat mendorong proses pemuridan yakni proses pendewasaan iman dan kesediaan untuk menjadi saksi Kristus di era digital ini (Bdk., Ed Stedzer, 2021; Afandi, 2018, 270-283).

Atas dasar itu Gereja berkewajiban mengembangkan corak katekese digital. Perlu digitlisasi katekese yang merupakan proses pengintegrasian budaya digital dalam komunikasi iman dengan wahana virtual sebagai instrumennya (Bdk., Komkat KWI, 2015, 14). Katekese digital atau digitalisasi katekese berusaha “mengembangkan pola inkarnatoris yang mulai dengan perjumpaan penuh pengharapan terhadap budaya digital yang sedang berkembang dan kemudian mengakrabkan diri dengan ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom dari budaya digital tersebut” (ibid.). Katekese digital, dengan demikian, tidak hanya berkaitan dengan penggunaan teknologi digital namun juga menyangkut kemampuan untuk beradaptasi dengan bahasa-bahasa baru atau idiom-idiom baru budaya digital, termasuk penyesuaian pedagogi kateketik yang selaras dengan mentalitas generasi digital (digital natives).

Untuk mengembangkan katekese digital, tentu umat kristiani mesti memiliki kesadaran bermedia dan pada gilirannya dapat menjalankan katekese dengan menggunakan media digital dan berbasis media digital. PKKI XI di Bandung telah memperkenalkan tiga corak digitalisasi katekese yakni membangun metanoia bermedia di era digital, berkatekese dengan menggunakan media digital, dan berkatekese berbasis media digital (Bdk., Komkat KWI, 2015, 55-74).

Membangun metanoia bermedia digital adalah proses pendidikan literasi bermedia bagi umat. Katekis perlu mendampingi umat dalam karya katekese agar lebih bijak dalam menggunakan media digital. Media digital pada dirinya sendiri sebetulnya bersifat netral namun perilaku manusia yang menggunakan media tersebut bisa mendatangkan hal-hal negatif atau positif. Karena itu kesadaran bermedia digital sangat diperlukan. Katekese tentang kesadaran bermedia ini merupakan hak dan tanggung jawab komunitas Gereja. Para katekis bertanggung jawab untuk mendampingi umat masa kini dalam penggunaan media. Sikap asertif sangat dibutuhkan di sini. Mereka dapat mengkomunikasi sikap Gereja mengenai media digital, yang meyakini bahwa media tersebut adalah anugerah Allah yang harus digunakan untuk pemanusiaan manusia dan menjadi medan perjumpaan baru dengan wahyu Allah (Bdk., PKKI X; DC 372). Dalam kerangka itu orang kristen, terutama orang muda dan anak-anak perlu menggunakan media digital ini secara bijak demi perkembangan kepribadian mereka.

Katekese menggunakan media digital adalah katekese yang memanfaatkan media digital sebagai peleburan antara penggunaan media komunikasi itu sendiri dengan prinsip-prinsip pendidikan iman (Komkat KWI, 2015, 66). Dalam hal ini, berbagai pertemuan katekese perlu mengoptimalkan penggunaan fasilitas media digital untuk menunjang proses komunikasi iman. Katekese ini bisa berjalan bila peserta memiliki dan mampu menggunakan fasilitas digital seperti laptop, android, yang dihubungkan dengan internet. Selanjutnya mesti dirancang apa yang disebut “komunitas virtual”. Komunitas virtual didefinisikan sebagai sekumpulan individu atau kerabat  yang berinteraksi seputar minat yang sama, di mana interaksi ini didukung dan dimediasi oleh teknologi dan diatur oleh beberapa moderator ataupun aturan tertentu. Komunitas ini terbentuk karena adanya orang yang memiliki kesamaan minat dan sering berinteraksi satu sama lain secara virtual melalui media sosial seperti facebook, twitter, WA, Line, Telegram, Zoom, dll (Bdk., Wikipedia, 2021). Dalam kegiatan katekese, komunitas virtual dapat dirancang antara katekis dan katekumen, katekis dan peserta persiapan komuni pertama dan krisma, katekis dan umat KBG, dll.

Katekese berbasis media digital adalah aktivitas bermedia digital demi pengembangan iman kristen. Ada tiga aktivitas bermedia yang bisa dilakukan dalam kerangka katekese berbasis media digital yakni: browshing; chatting-mailing list, zoom meeting, social media; dan blogging-webside.  Browshing adalah penjelajahan informasi-informasi di internet dengan menggunakan kolom-kolom pencari seperti “Google”, “Yahoo”, dan “Ask” (Muktar dan Iskandar, 2012, 327; Komkat KWI, 2015, 68). Setiap orang dapat melakukan penjelajahan informasi tentang iman katolik di internet. Bila ada pertanyaan tentang iman maka seseorang dapat melakukan browshing melalui mesin pencari untuk menemukan jawabannya. Mesin pencari seperti “Google” dan “Yahoo” misalnya, selalu terhubung dengan jutaan web atau blog tentang iman Katolik. Pesan-pesan pewartaan yang termuat dalam Web-web tersebut lasimnya sudah dikemas seturut bahasa dan idiom baru dunia digital. Pesan dirumuskan secara singkat, menarik, penuh resonansi emosional yang menggetarkan. Pesan-pesan tersebut dapat menjadi bahan permenungan pribadi dan bisa di-share ke teman lain melalui jejaring media sosial seperti email, WA, FB, Twitter, instragram, telegram, dll.

Chatting, mailing list, zoom meeting, dan social media merupakan aktivitas yang lebih interaktif dalam komunikasi berbasis media digital. Grup-grup atau komunitas virtual dapat mengobrol santai melalui media sosial seperti FB, Line, WA, Skype, zoom, dll. Paroki atau KBG dapat membentuk grup khusus dalam WA, line, telegram, zoom dan mailing list misalnya. Dengan sesama anggota grup mereka bisa saling berbagi cerita, mengirimkan ayat-ayat emas kitab suci, dan membagikan renungan-renungan singkat, film-film rohani yang pendek, dan juga slide-slide rohani yang menggugah pertobatan (Komkat KWI, 2015, 69-70). Dalam hal ini, dituntut dari para katekis kemampuan untuk mencipta pesan atau cerita yang menarik yang dikemas sesuai bahasa media digital, yang merupakan hasil dari permenungan yang mendalam atas pengalaman-pengalamannya yang otentik.

Blogging merupakan aktivitas dalam dunia internet yang lebih kompleks karena di dalamnya ada aktivitas menyusun, mengelola, dan menuliskan suatu informasi atau isi pada media internet yang sering disebut weblog/website. Untuk membuat weblog dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, membutuhkan ketrampilan khusus bermedia, kemampuan menulis dan merangkai pesan secara menarik, dan terutama komitmen waktu yang cukup. Blogging sangat cocok untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman iman. Pengalaman iman ini bisa meneguhkan banyak orang yang bisa mengaksesnya di mana pun dia berada. Lebih rumit dari weblog adalah membentuk website. Paling baik website dirancang dan dikelola oleh lembaga seperti keuskupan, paroki, kongregasi, atau asosiasi-asosiasi Katolik. Dibutuhkan banyak orang yang terlibat dan sejak awal sudah didesain target, konten, rubrik, dan penanggung jawabnya (Bdk Tardelly, 2009, 108-112). Website menjadi ruang perjumpaan yang dapat dikelola untuk mendampingi pertumbuhan iman dari setiap orang yang mengaksesnya.

  1. Digitalisasi Katekese dan idiom-idiom baru budaya digital

Seperti sudah disinggung sebelumnya, katekese berusaha menggemakan Paska Tuhan kedalam hati setiap orang agar mereka menerima-Nya dan bertobat (transformasi). Bentuk komunikasi dalam katekese adalah komunikasi religius yakni komunikasi yang mampu menautkan pengalaman  sehari-hari dengan pengalaman akan Kristus yang bangkit. Dalam hal ini, katekese tidak hanya peduli dengan penerusan pesan-pesan kristiani bagi pendengar, namun juga harus peduli dengan budaya dan mentalitas para pendengarnya. Harus dikedepankan proses pedagogis dan bahasa-bahasa kateketis yang menghargai idiom-idiom kultural para pendengar.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, era digital ditandai oleh terbentuknya generasi baru yang disebut generasi digital. Pendengar atau peserta katekese masa kini rata-rata adalah generasi digital. Katekese sejak lama membuat kategori peserta berdasarkan usia. Perbedaan usia memiliki efek besar terhadap psikologi belajar peserta katekese. Namun konteks era digital sudah banyak berubah. Generasi digital mempunyai kemiripan dalam cala belajar tanpa terpaku pada usia mereka. Mereka rata-rata multitasking dan multi sensorik. Mereka mudah belajar kalau pembelajaran menggunkan usapan layar/klik, audio dan visual sekaligus. Mereka lebih suka pembelajaran yang penuh resonansi: mengacu pada hal-hal yang visual, auditif dan dinamis (Bdk. Silva, 2019: 4-15). Mereka tidak cukup tertarik dengan hal-hal yang argumentatif tetapi lebih terpesona dengan hal yang naratif, penuh gambar dan imaginatif (DC 361).

Lantas bahasa kateketis seperti apakah yang menjadi prioritas bagi generasi digital sekarang ini?

Ada dua kemungkinan pilihan bahasa dalam berkatekse yakni bahasa konseptual instruksional dan bahasa simbolik. Bahasa konseptual adalah bentuk bahasa yang menyediakan representasi mental yang baku, terbatas, dan abstrak atas realitas. Sedangkan bahasa simbolis adalah bahasa yang menggoda, menggetarkan emosi sebelum akhirnya ia berfungsi menerangkan. Bahasa simbolis menggerakan bukan hanya roh, tetapi juga hati dan tubuh manusia. Bahasa simbolis adalah bahasa yang penuh resonansi, ritme, cerita, imaginasi, sugesti dan koneksi (Bdk. Babin, 1991, 149-151. Pendekatan bahasan simbolis sangat khas. Dia penuh gambar, imaginasi, dan cerita yang berdampak  mendalam pada emosi orang. Tujuan utamanya bukan pemahaman intelektual tetapi keterlibatan hati dan pertobatan (Bdk., Iswarahadi, 2012, 262).

Mengacu pada dua model bahasa katekese di atas, pilihan bahasa yang paling cocok untuk katekese digital adalah bahasa simbolis. Generasi digital (digital native), sebagaimana dijelaskan sebelumnya memiliki corak mentalitas khusus. Kotbah atau pengajaran yang panjang dan berisfat verbal belaka sulit masuk dalam khasanah mentalitas mereka. Mereka tersentuh dengan sesuatu yang menarik, menghibur, dan menyapa budaya mereka. Bahasa konseptual yang cenderung mengajar dan menggurui tidak cocok untuk mereka. Mereka lebih suka dengan bahasa simbolis yang bersifat mengajak, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi (Komkat KWI, 2015, 65). Dengan bahasa simbolis, iman tidak sekedar menjadi akumulasi pengetahuan melainkan menjadi proses interioritas pribadi. Dalam masa sekarang ini, iman yang meresapi khasanah interioritas pribadi akan bertahan dan menjadi penyokong pertumbuhan menuju kematangan kristiani (Bdk. Iswarahadi, 2012, 262).

Bagaimanakah konkritnya bahasa simbolis itu dalam berkatekese digital atau digitalisasi katekese? Praksis bahasa simbolis nyata dalam cerita, kesaksian, film/drama, nyayian dan musik, serta gambar/slide. Maka katekese digital perlu mengembangkan metode-metode bercerita, testimoni, film/drama, lagu dan nyanyian, gambar/slide dan yang semacamnya (Instituto di Catechetica, 2002, 210).

Metode cerita atau narasi merupakan bentuk bahasa simbolis yang paling umum dalam setiap kebudayaan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bercerita. Sebagian besar tradisi keagamaan diwariskan melalui cerita. Setiap cerita memuat nilai yang ditawarkan sekaligus menyapa seluruh diri manusia (Bdk., DC 207). Yesus sendiri dalam pengajarannya selalu menggunakan metode cerita. Tentang nilai-nilai Karajan Allah, Yesus tidak terutama menggunakan bahasa abstrak konseptual melainkan melalui cerita perumpamaan. Katekese digital perlu menggali dan mengoptimalkan penggunaan metode naratif dalam komunikasi iman, untuk menawarkan nilai-nilai Injil kepada generasi digital sekarang ini. Cerita bisa diambil dari Kitab Suci yang dikemas lagi secara kreatif atau juga dari kisah-kisah kehidupan yang bermakna.

Kesaksian atau testimoni adalah ekspresi lain dari cerita. Dalam kesaksian seseorang menarasikan apa yang dialaminya. Kesakasian adalah ungkapan dari iman yang dihayati, iman yang telah mengalami proses interiorisasi sehingga menjadi perilaku hidup sehari-hari. Model kesaksian sangat bagus dipakai sebagai bahasa katekese di era digital, karena umumnya kesaksian pertama-tama meyentuh hati baru kemudian pemahaman (Bdk., DC 208). Persis hal ini sesuai dengan mentalitas generasi digital. Mereka lebih tertarik dengan kesaksian hidup dari pada teori-teori. Tentu teori penting, namun bagi generasi ini, teori akan mudah diterima ketika mereka sudah disentuh oleh kesaksian. Dalam katekese metode testimoni bisa dikemas dengan tanya-jawab atau bincang-bincang dengan tokoh-tokoh tertentu yang menghayati imannya dengan cara khas dalam bidang tertentu atau isu khusus. Tentu tesmoni dari para katekis sendiri sangat berpengaruh bagi peserta.

Metode film/drama adalah modifikasi yang lebih resonan dari metode cerita. Film/drama adalah ungkapan yang lebih audio-visual dari cerita. Dia menggetarkan karena di dalamnya narasi diungkapkan dengan berbagai ungkapan visual, musikal, verbal yang dikemas secara menarik. Teknologi digital sudah sangat akrab dengan film/drama ini. Ruang-ruang digital penuh dengaan film dan drama. Banyak orang menghabiskan waktunya untuk menonton film dan drama seri. Katese digital, betapa perlu mengupayakan metode film ini. Pengalaman-pengalaman iman perlu dikemas dalam film-film pendek entah berupa film dokumenter ataupun film cerita. Film selalu menarik karena dengan menontonnya, pemirsa seolah merasa disapa dan terlibat di dalamnya.

Ekspresi lain dari bahasa simbolis adalah musik dan lagu. Musik dan lagu mampu mengemas pesan yang langsung menghujam sanubari pendengarnya, bahkan menyapa mereka secara kuat untuk terlibat dalam pesan yang dibawanya. Terkait hal ini, dokumen katekese yang baru mengutip Santo Agustinus: “Betapa saya menangis ketika saya mendengar himne dan lagu untuk menghormati-Mu, sangat tersentuh oleh suara Gereja-Mu, yang bernyanyi dengan lembut. Suara-suara itu bergetar di telinga saya dan kebenaran turun di hati saya, dan semuanya berubah menjadi perasaan cinta dan membawa saya begitu banyak kegembiraan sehingga membuat saya meneteskan air mata” (DC 210; Agostino, PL 32, 769-770). Pesan musik dan lagu langsung menyetuh hati dan jiwa, karena itu cocok menjadi pilihan dalam katekese digital. Kemampuan para katekis untuk menggubah musik dan lagu tentu sangat diandaikan dalam hal ini. Orang-orang muda dari generasi digital sangat dekat dengan musik dan lagu. Peluang ini tentu harus direbut dalam mengembangkan katekese digital.

Gambar/slide adalah teknik dan metode yang juga sering dipakai dalam berkatekese (Bdk., DC 209). Teknologi digital sangat maju dalam membantu produksi gambar dan slide musikal sekaligus menyebarkannya dalam media sosial. Aplikasi tiktok penuh dengan gambar dan slide rohani yang bisa menyentuh pemirsa. Betapa katekese digital perlu mengembangkan katekese dengan bahasa gambar/slide ini.

  1. Katekese digital dan pedagogi partisipatif

Budaya digital tidak hanya menuntut penyesuaian bahasa kateketik tapi juga  adaptasi pedagogi kateketik. Generasi digital yang cenderung egaliter, tidak mengutamakan titel, status dan fungsi-fungsi khusus dalam masyarakat membutuhkan pendekatan yang lebih partisipatif dalam pedagogi kateketik. Pedagogi kateketik hendaknya mengembangkan sikap yang lebih terbuka terhadap partisipasi dan kontribusi semua (Bdk., Silva, 2019:4-15). Dalam hal  ini, katekese, menurut Paus Fransiskus hendaknya membuka jalan untuk dialog, untuk perjumpaan, untuk “senyuman” dan ekspresi kelembutan. Dunia digital dengan network-nya dibuat bukan untuk menjebak, tetapi untuk membebaskan, untuk melindungi persekutuan orang-orang yang bebas. Gereja sendiri, dalam pandangan Paus Fransikus, merupakan jaringan (network) yang dijalin bersama oleh persekutuan Ekaristi, di mana kesatuan tidak didasarkan pada “suka”, tetapi pada kebenaran, pada “Amin”, di mana masing-masing berpegang teguh pada Tubuh Kristus, dan menyambut orang lain sebagai saudara (Bdk. ChV).

Sebagai perpanjangan hidup Kristus dan sebagai pendidik, katekis memiliki tugas untuk melanjutkan pekerjaan Yesus mengajar, berdialog, membentuk kesadaran, menyentuh, dan mengubah kehidupan orang. Pedagogi kateketik karena itu menekankan karakter pemberdayaan, interaksi interpersonal, dan komunikasi multilinear, horizontal, dan dialogis di mana semua peserta katekese, bahkan dalam peran yang berbeda, menjadi tokoh utama (protagonis) tindakan dan hubungan. Budaya pedagogis ini memiliki visi dan nilai humanistik dan memanusiakan, yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pemikiran kritis, membedakan, mengoreksi, memodifikasi, dan terus saling belajar belajar (Bdk. Silva, 2019: 4-15).

Model katekese umat yang selama ini dikembangkan di Indonesia adalah contoh konkrit pedagogi partisipatif ini. Katekese tidak menjadi sesuatu yang dipaksankan dari atas melainkan sebagai syering iman yang hidup di antara para peserta. Katekese menjadi proses dari umat, oleh umat, dan untuk umat (Komkat KWI, 1979: 1). Di sini katekese dan pembelajaran iman terjadi dalam lingkungan di mana hubungan saling percaya, timbal balik, dan kasih persaudaraan dipupuk dan dipelihara. Katekis tidak menjadi guru yang mengetahui segalanya dan mengalihkan informasi/pesan kateketis bagi peserta, namun sebagai fasilitator yang memoderasi partisipasi peserta dalam proses pendewasaan iman.

Model partisipatip ini bisa dikembangkan dalam katekese virtual/ on line, mana kala, katekese dijalankan oleh kateketis dalam komunitas virtual: grup WA, grup zoom meeting, dan aneka grup media sosial lainnya. Katekese yang menekankan model pedagogi partisipatip tidak menjadi proses satu arah melainkan menjadi proses “belajar hidup” bersama, dan katekis hadir sebagai “Bapa yang berbelaskasih” yang berusaha mendekati anaknya  dan merangkulnya dengan penuh kelembutan (Bdk., Luk 15, 11-32). Corak pedagogi seperti ini sangat dibutuhkan oleh generasi digital sekarang ini. Kata Paus Fransiskus: “Pengalaman diskontinuitas, ketercerabutan, dan runtuhnya kepastian mendasar, yang dipupuk oleh budaya media saat ini, menciptakan rasa yatim piatu yang mendalam yang harus kita tanggapi dengan menciptakan lingkungan yang menarik dan persaudaraan di mana orang lain dapat hidup bertujuan” (Ch.V no 216). Pedagogi partisipatip menawarkan “budaya perjumpaan”. Di sana katekese menjandi “laboratorium dialog” karena di dalamnya ada proses mendengarkan secara aktif, tatapan penuh perhatian, dan hubungan yang penuh kelembutan (DC no 53). Semua sikap ini memiliki kemampuan untuk mentransformasi kehidupan dan  mempersiapkan tanah bagi Allah untuk menumbuhkan benih iman (Bdk., Luk 8,8).

Penutup

Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 sekarang ini, seyogyanya, tidak menghalangi keberlanjutan karya pastoral terutama karya katekese. Kita sedang berada dalam “era digital”. Era ini menyediakan aeropagus baru katekese. Berkat teknologi internet, tersedia jaring virtual yang merupakan medan perjumaan baru masyarakat era digital. Gereja memiliki cara pandang yang asertif terhadap era ini. Dengan tetap menyadari resiko dan keterbatasannya, Gereja mendorong agar ruang virtual hendaknya digunakan untuk karya pastoral Gereja, termasuk kasrya katekese.

Perlu dikembangkan katekese digital atau digitalisasi katekese yang merupakan proses pengintegrasian karya katekese ke dalam budaya baru dunia digital. Katekese digital meliputi pendidikan kesadaran bermedia, katekese dengan menggunakan sarana digital, dan katekese berbasis media digital.

Digitalisasi katekese tidak hanya menyangkut penggunaan instrumen digital namun merupakan proses terencana memadukan bahasa dan pedagogi katekese sesuai mentalitas generasi digital. Perlu dikembangkan bahasa-bahasa katekese yang bercorak simbolik: antara lain katekese yang mengedepankan narasi, testimoni, film/drama, slides, musik dan lagu, dll. Selain itu dikedepankan pedagogi yang selaras yakni pedagogi partisipatif yang menjadikan katekese sebagai laboratorium hidup bagi generasi digital sekarang ini.

Dalam kerangka itu, katekis masa kini, yang dipanggil dan diutus untuk menggemakan Paska Tuhan kedalam hidup setiap orang, seturut teladan Rasul Petrus dan Paulus bertugas untuk mengembangkan katekese digital ini secara bertanggung jawab.

*********

Dr. Agustinus Manfred Habur, Pr ; penulis  adalah Dosen UNIKA St. Paulus Ruteng, Flores, NTT, Staf ahli Kateketik pada Komisi Kateketik KWI, Jakarta.

 

 

Bibliografi

Adhi, P. N. 2016. Keluarga dan Era Digital, dalam www.slideshare.net/karangpanas/ keluarga-era-digital, diunggah pada pukul 21.00, 8 Desember 2020.

Afandi Y., 2018. Gereja dan Pengaruh Teknologi Informasi “Digital Ecclesiology”, Dalam Jurnal Fidei, Vol 1, No 2 (Desember 2018), 270-283.

Alberich, E. 2001. La catechesi oggi. Manuale di catechetica fondamentale. Leumann (Torino): Elledici.

Babin, P. 1991. The New Era in Religius Communication, Minneapolis, USA, Fortress Press.

Bocci, V. 2012. Comunicare la fede ai ragazzi 2.0. Una proposta di catechesi comunicattiva, Leuman (Torino): Elledici.

da Silva A. A. 2019. Catechesis in the Digital Age: From Transmission to Sharing, in Communication Research Trends, Centre for the Study of Communication and Culture, Volume 38 (2019) No. 4-15.

Ed Stedzer, 2021. dalam https://www.christianitytoday.com/edstetzer/2014/october/3-

ways-technology-enables-mission-of-church.html, diunduh 14 Juli 2021.

Francis. (2019b). Postsynodal Apostolic exhortation Christus Vivit. Roma. Retrieved October 20, 2019from http://w2.vatican.va/content/francesco/en/apost_exhortations/documents/papa francesco_esortazione ap_20190325_christusvivit.html

Gere, Charlie. 2008. Digital Culture-Expanded Second Edition, dalam http://portiaplacino.files.wordpress.com/2011/02/digital-culture.pdf., diunggah pada pukul 10.00, 08 Desember 2020.

Habur, A.M, 2020. Diakonia Jantung Katekese. Dalam Chen dan Habur (ed), Diakonia Gereja Pelayanan Kasih Bagi Orang Miskin dan Marginal, Obor.

Hardawiryana, R (penterj.).1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Dokpen KWI-Obor

Istituto di Catechetica. Facolta’ di Scienze dell’educazione-Universita’ Pontificia Salesiana. 2002. Andate & insegnate. Manuale di catechetica. Leumann (Torino): Elledici.

——–. 1987. Dizionario di Catechetica. Leumann (Torino): Elledici

Komkat KWI. 2016. Katekese di era digital. Peran imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital. Yogyakarta: Kanisius.

——–. 2015. Hidup di Era Digital. Gagasan Dasar dan Modul Katekese. Yogyakarta: Kanisius.

Muktardan Iskandar. 2012. Desain Pembelajaran Berbasis TIK. Jakarta: Referensi

Putranto, C. B. 2016. Rambahlah Benua Digital: Dorongan Pimpinan Gereja tentang Internet. Dalam Komkat KWI. Katekese di era digital. Peran imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital. Yogyakarta: Kanisius.

Pontificio Consiglio per la Promozione della nuova Evangelizzazione. 2020. Direttorio per la catechesi, Citta’ del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana.

Soravito, L. 1998. La catechesi degli adulti. Orientamenti e proposte. Leumann (Torino): Elledici.

Sudradjat, Akhmad. 2012. Generasi Z dan Implikasinya terhadap Pendidikan. Dalam http://akhmadsudrajad.wordpress.com/2012/10/05/generasi-z-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/, diunggah pada pukul 20.00, 10 Juli 2021.

Tardelly R. F. 2009. Merasul Lewat Internet. Kaum Berjubah dan Dunia Maya, Yogyakarta: Kanisius.

Yohanes Paulus II, Paus. 2006. Catechesi Tradendae. Terjemahan Hardawiryana SJ., Jakarta: Dokpen KWI

————. 1990. Ensiklik Redemtoris Missio tentang Amanat Misioner Gereja, Jakarta: Dokpen KWI.

Wikipedia,  2021. Tipologi Komunitas Virtual. Dalam id.wikipwdia.org, diambil 14 Juli 2021.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *