Dr. Andreas Atawolo, OFM: Hindari ‘Belanja’ Misa Online

Misa online yang menjadi pilihan Gereja berhadapan dengan pandemi virus korona ternyata tak bebas dari masalah pastoral.  Di satu pihak Misa daring, menurut kesan dari banyak orang, menjadi pengalaman istimewa merasakan perjumpaan personal dengan Tuhan.

Di lain pihak, muncul soal lain sebagai konsekuensi-nya. Dalam artikel yang lalu saya kemukakan pandangan teologis terkait misa online. Untuk melengkapinya, kali ini saya paparkan suatu refleksi pastoral berdasarkan beberapa feedback tentang misa online.

Komuni Batin dan Komuni Sakramental. Komuni batin memang berbeda dari komuni sakramental. Gereja Katolik, yaitu Konsili Trente, membedakan tetapi tidak memisahkan keduanya. Yang pertama tanpa Hosti Kudus, jadi sebagai kerinduan saja; yang kedua dengan menerima hosti kudus [DS.1648]. Tentu kerinduan yang dimaksud bukan kerinduan kosong: semakin kuat kerinduan semakin dalam merasakan kesatuan dengan Tuhan.

Melihat dengan Kacamata Rahmat Tuhan. Komuni batin memang bertujuan memenuhi kerinduan spiritual. Wajar jika banyak orang tetap merasa belum utuh, karena ‘hanya’ kerinduan. Nah, soalnya di sini bukan apakah komuni itu utuh atau tidak utuh. Bukan. Soalnya apakah seorang sungguh percaya atau tidak pada daya rahmat Tuhan melalui komuni batin. Ketika komuni batin diukur melulu dari pihak manusia, tentu sulit dimaknai.

Rindu Sebagai Anggota Gereja. Komuni batin juga jangan diukur dari diriku sebagai individu. Butuh keyakinan bahwa kerinduan seorang beriman dilengkapi oleh doa-doa gerejani yang diwakili oleh imam sebagai wakil Kristus. Jadi, rahmat Tuhan melalui Gereja melengkapi kerinduan setiap orang. Apa yang kurang padaku dilengkapi oleh Gereja sebagai persekutuan. Saya tidak berdoa sebagai individu, tetapi dalam persekutuan dengan Gereja.

Menjadikan Kelemahan sebagai Motivasi. Hal berikut ini juga perlu disadari umat beriman: Jangankan komuni batin, dalam komuni sakramental pun kita semua manusia patut menyadari bahwa kekurangan dan dosa itu selalu ada. Penulis teringat seorang rekan pastor yang lebih memilih nada negatif dalam ajakan di awal Misa, kira-kira begini: ‘marilah di awal Ekaristi ini kita mohon kerahiman Tuhan agar ketaklayakan kita berkurang’.

Penekanan itu bukan bermaksud menambah pesimisme manusia, tetapi agar kita sungguh sadar bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang layak di mata Tuhan. Kesadaran itu diakui, bukan supaya menjadi apatis saja, tetapi agar orang semakin terdorong untuk membuka hati pada daya kerja rahmat: logika rahmat selalu melampaui logika manusia.

Setialah pada Ritus Resmi. Terjadi bahwa seorang umat, katakanlah si A membeli hosti dari sebuah toko rohani, meletakkan di dekat TV atau gawai selama misa online lalu mengkonsumsi-nya sebagai Tubuh Kristus setelah tindakan konsekrasi dari imam yang merayakan Ekaristi secara daring. Tentu tindakan si A ini tidak sesuai dengan ritus sakramen Ekaristi: ia perlu memahami bahwa Gereja tak membenarkan konsekrasi online.

Tetapi dengan demikian dari pihak imam pun, tidak bijak mengklaim bahwa, karena sebagai imam actus konsekrasi atas roti dan anggur berdaya ‘menembusi layar’ sehingga umat boleh menyediakan hosti di rumah selama misa online. Lebih tak layak kalau hal ini dibenarkan dengan motif kedekatan emosional, misalnya karena keluarga atau pertemanan.

Dalam hal ini paroki dan keuskupan perlu memikirkan cara kreatif untuk mendatangi umat demi menjawab kerinduan akan Tubuh dan Darah Kristus. Seorang agen pastoral perlu dipersiapkan agar dalam situasi khusus ini dapat ‘membawa’ Yesus kepada mereka yang sungguh merindukan Dia: misalnya orang sakit, orang tua, dan orang dengan disabilitas.

Fenomena ‘Belanja Misa’. Fenomena lain yang muncul ialah: sebut saja ‘belanja misa’. Dalam situasi sulit karena pandemi korona, muncul kecenderungan untuk memilih-milih Misa karena banyak link live streaming dari berbagai paroki, keuskupan, atau biara.

Muncullah pertanyaan ini: apakah boleh mengikuti misa beberapa kali melalui live streaming? Bagi saya, boleh-boleh saja sejauh orang punya waktu. Demikian pula saya berpikir bahwa memilih chanel Misa live streaming adalah hal yang sulit dibatasi.

Hal yang lebih penting ialah orang perlu memeriksa motivasi ikut beberapa misa. Yang perlu dihindari ialah cara berpikir komersial: semakin banyak mengikuti misa live streaming maka semakin banyak rahmat yang akan diterima atau semakin layak di hadapan Tuhan. Perlu disadari bahwa cara berpikir ini tidak cocok diterapkan dalam konteks relasi dengan Allah.

Adakanlah Jamuan Sabda. Saat sulit karena pandemi korona menjadi kesempatan bagi kita untuk memberi tempat pada perjamuan Sabda. Hendaknya diingat bahwa Sabda Tuhan adalah wujud kahadiran Tuhan yang nyata (realis praesentia). Gereja meyakini kaitan erat antara meja Perjamuan dan meja Sabda. Keluarga dan komunitas dapat menjadikan masa sulit ini sebagai ruang untuk lebih merasakan kehadiran Tuhan melalui Firman-Nya.

Di sini pun berlaku pesan pagi para agen pastoral: Jangan sampai situasi sulit ini dijadikan sebagai kesempatan untuk ‘menjual’ Firman. Jangan sampai terjadi bahwa pewartaan Firman menjadi semacam hipnotis yang hanya memberi hiburan sesaat bagi umat beriman, namun tidak membangkitkan harapan sejati dan kemauan untuk bersolider dengan sesama.

Perbanyak Amal Kasih. Tentu saja perjumpaan dengan Tuhan tidak hanya dalam ritus-ritus yang dilakukan dalam gedung gereja. Saatnya kita perlu lebih mengerti bahwa kerinduan akan Tuhan itu terpenuhi juga dalam tindakan solider dengan sesama dan perawatan alam (air, tanah dan udara). Ketika kita tidak mampu menemukan Tuhan dalam diri sesama dan alam, sebetulnya kita juga tidak menemukan Dia dalam ritus-ritus dan doa-doa kita.

*****

Dr. Andreas Atawolo, OFM; Penulis adalah doktor teologi Dogmatik, lulusan Universitas Kepausan Antonianum, Roma, kini dosen di STF Driyarkara, Jakarta.

 

Sumber: https://andreatawolo.id/2020/06/hindari-belanja-misa-online/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *