PERTEMUAN KATEKETIK ANTAR KEUSKUPAN SE-INDONESIA (PKKI) diselenggarakan Komisi Kateketik KWI setiap empat tahun sekali, sejak tahun 1977 di Sindanglaya, Bogor, Jawa Barat. PKKI XI yang bertemakan ” Iman Keluarga, Pondasi Masyarakat yang terus Berubah, dan subtema “Melalui sarana digital, Gereja mengembangkan pembinaan iman keluarga dalam masyarakat majemuk” telah diselenggarakan di hotel Kenari, Makassar, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 Agustus s.d.tanggal 2 September 2016. Misa pembukaan PKKI XI dipimpimpin oleh Uskup Agung Makassar, Mgr John Liku Ada’ Pr, didampingi Ketua Komkat KWI, Mgr Paskalis Bruno Syukur, OFM. PKKI XI dihadiri wakil-wakil Komisi Kateketik Keuskupan seluruh Indonesia, (kecuali yang berhalangan hadir Komisi Kateketik Keuskupan Malang dan Komisi Kateketik Keuskupan Sanggau), lembaga-lembaga pendidikan kateketik dan pastoral. Narasumber yang hadir adalah, Rm.Dr. Manfred Habur, Pr, membawakan materi tentang “Katekese Umat: Antara isi ajaran dan kebermaknaan”. P. Hartono, MSF, Sekretaris Komisi Keluarga KWI, membawakan materi tentang kerasulan keluarga dengan topik “Problematik Keluarga dan Pendampingannya”. Prof. Richardus Eko Indrajit menyampaikan materi tentang “Menggereja Dalam Era Informasi dan Perkembangan Teknologi”. Panitia menghadirkan pula lima pasangan suami-istri untuk memberikan kesaksian tentang bagaimana mereka menyikapi media digital dalam relasi antara-anggota keluarga. Pada saat pembukaan di aula Keuskupan Agung Makassar, Dirjen Bimas Katolik, Bp. Eusibius Binsasi turut hadir dan memberikan kata sambutan. Secara resmi, kegiatan PKKI XI dibuka oleh Ketua Komkat KWI, Mgr Paskalis Bruno Syukur yang juga adalah uskup Bogor. Berikut kami sampaikan simpul-simpul PKKI XI yang ditulis oleh Purwono Adhi, peserta PKKI XI dari Komkat Keuskupan Agung Semarang. (DBK).
1.Refleksi Katekese Umat, Praktik Katekese Digital dan Pendampingan Katekese Keluarga ke depan. (Catatan dari kuesioner yang dikumpulkan)
a. Katekese Umat telah dikembangkan di seluruh keuskupan di Indonesia cukup lama. Ada banyak hal yang dapat dikembangkan dalam pelaksanaan katekese umat, diantaranya mempergunakan “moment gerejawi” (Adven APP, BKSN, ASG, Katekese Liturgi, dll), pembinaan-pembinaan berbasis kategorial dan formatio secara berkelanjutan hingga katekese “pra misa”, saat “misa”-“setelah homili” hingga katekese “tiga Ber”. Tema katekese umat begitu beragam dari pengajaran umum Katolik, Kredo, tanggapan iman, pendalaman tematis kristiani hingga tema-tema menyangkut sosial politik dan kebangsaan. Katekese umat diharapkan mampu mempunyai daya dorong yang bersifat tranformatif, tidak hanya sekedar sharing pengalaman melainkan aksi dan tindak laku hidup (daya ubah). Katekese diharapkan mempunyai daya ubah, dari kemuridan hingga kesaksian hidup dalam bermasyarakat dan berbangsa. Harapannya katekese mengarahkan kepada kesadaran beriman yang dewasa (kemuridan dan kebangsan), utuh, integral dan berkesinambungan (total community catechisis). Katekese umat sebenarnya sudah dikembangkan di tingkat paroki-paroki. Untuk itu, salah satu pemikiran yang tidak dapat dilepaskan adalah memperhatikan katekisnya. Katekis merupakan subjek pelaku yang paling perlu dioptimalkan.
b. Pemanfaatan media digital untuk katekese sangat beragam di keuskupan-keuskupan di Indonesia. Pemanfataanya paling besar mempergunakan media jejaring sosial seperti facebook, whatsapp group, BBM, Line, dan beberapa lainnya. Ada beberapa keuskupan yang belum maksimal mengembangkan karena faktor-faktor jaringan-infrastruktur. Namun, sebagian besar keuskupan telah mengembangkannya walaupun belum secara optimal. Kepentingan dari katekese digital adalah pemanfaatan hingga penyadarannya. Inti dari katekese digital adalah kemampuan orang untuk melakukan digital missionary, kemampuan untuk personal evangelis-pewartaan untuk membagikan pesan. Dalam dunia digital tentu harus disadari gap generasi, dan kesenjangan atau ketimpangan sosial. Katekese digital tidak hanya menyangkut pengunaannya, melainkan juga bagaimana menanggapi kehadiran Allah di dalam perubahan budaya yang berubah dewasa ini.
c. Katekese dalam keluarga memang telah menjadi bagian dari pengalaman hidup umat selama ini, dari memanfaatkan moment-moment “berarti” keluarga dari ziarah, doa memule, hingga kekraban dalam keluarga. Tentu katekese dalam keluarga menjadi mendesak dewasa ini, karena pertimbangan tantangan zaman untuk menjadikan keluarga sebagai pusat katekese. Katekese umat hendaknya memusatkan prosesnya dalam keluarga, bagaimana keluarga menjadi pusat dari gerakan katekese. Katekese dalam keluarga tidak dapat dilepaskan dari krisis keluarga-keluarga di era dewasa ini. Krisis iman dalam keluarga, krisis komitment dan berbagai krisis yang mempengaruhi tantangan hidup keluarga dewasa ini.
d.Simpul Penting:
•Katekese Umat: terjadinya polarisasi-diversifikasi mengenai proses katekese. Bagaimana mengupayakan berbagai moment, cara, metode dan sasaran demi terjadinya proses katekese.
•Katekese Kebangsaan: perlunya dipikirkan katekese yang bersifat mengajak umat terlibat dalam keprihatinan berbangsa-bermasyarakat.
•Katekese Digital : pengaruhnya tidak hanya sekedar pemikiran namun bahasa dan budaya yang berbeda, bagaimana katekese hingga mampu mendefinisikan kembali proses katekese dalam era digitalizing ini.
•Personal evangelisasi: bagaimana proses digital dan budaya yang memungkinkan gerak pewartaan yang lebih personal, menghadirkan Allah dalam setiap genggaman dan rumah-rumah.
•Katekese Keluarga: Keluarga sebagai fokus dan locus katekese, keluarga sebagai ajang berkatekese.
•Media dan topik katekese bagi keluarga: ada banyak sarana-media dan topik bagi pembinaan iman dalam keluarga. Tantangan hidup, krisis hidup berkeluarga menjadi topik penting bagi katekese keluarga.
2.Memandang Katekese Umat secara baru (masukan dari Dr. Manfred Habur)
a.Katekese Umat sudah dikembangkan sejak PKKI I tahun 1977. Katekese Umat dipilih sebagai “model” katekese di Indonesia. Perkembangan selama ini, tentu telah membawa katekese umat menjadi objek kajian dan praktis yang penting bagi pendekatan dan model katekese selama ini.
b.Pertanyaan mendasarnya, apa sebenarnya kekurangan dan kelebihan dari Katekese Umat. Hal itu perlu menjadi pertanyaan penting untuk menelisik bagaimana kedudukan Katekese Umat selama ini dalam praktek umum di lapangan. Katekese Umat dirasakan mengalami ketegangan antara “katekese doktriner” dengan “katekese kebermaknaan”. Ketegangan antara isi objek iman dengan penghayatan, relasi mendalam pribadi.
c.Katekese Umat dalam konteks katekese di Indonesia menjadi jembatan menghubungkan pengalaman hidup beriman dengan visi iman. Umat diajak menjumpai Kristus melalui pengalaman imannya. Akan lebih tepat, bila katekese umat lebih didekatkan dengan “hermeneutik paska”, bukan sekedar hermenutik antropologis-eksistensial yang lebih menekankan kepada pengalaman manusiawi. Hermeneutik paska memberikan dinamika dari kedua arah, dari pihak manusia dengan pihak Allah. Hidup iman dipandang sebagai proses “panggilan”, ada pertobatan manusia dan inisiatif Allah.
d.Dalam proses katekese umat, ada catatan yang sering menjadi evaluasi, yaitu adalah krisis fasilitator yang mumpuni, mampu membawa proses katekese kepada kebermaknaan. Catatan yang juga mendasar, adalah selalu sentralistik kepada katekese sebagai satu-satunya proses utama untuk pengalaman iman. Padahal, pastoral gereja lebih luas, tidak hanya segi kerygmatis di ruang-ruang terbatas, melainkan proses yang lebih luas menghubungkan praksis dengan konteks sosial kehidupan sehari-hari umat dari ekonomi, sosial budaya, politik dan kebangsaan.
e.Katekese harus berani melakukan diversifikasi mampu masuk dan kerjasama dengan lingkup pastoral yang lainnya. Katekese adalah gema sabda dari gerak pastoral yang terjadi.
f.Simpul-simpul penting:
•Katekese hendaknya membawa orang kepada “dinamika wahyu”, melihat pengalaman dari jejak-jejak kehadiran Allah.
•Katekese hendaknya memulai dari pengalaman yang dihidupi. Gema sabda terjadi jika ada resonansi atas pengalaman hidup dan Injil.
•Katekese adalah proses bertanya, yang membawa orang kepada pengalaman akan dimensi transenden, pengalaman misteri, sebuah pertanyaan terbuka yang membawa orang kepada misteri akan Allah. Katekese pada dasarnya bersifat spiritual. Katekese tidak hanya tindak dialogis akan makna, melainkan menjadikan orang merasakan akan Allah.
•Katekese memang tidak terlepas dari tema, namun yang paling penting dari proses ini bukan sekedar tema, melainkan ada hubungan akan pengalaman yang “dihidupi”, antara revelasi dan jawaban, menjaga kesetiaan pada Allah dan kesetiaan pada manusia.
•Katekese akhirnya tidak dapat melepaskan pada subjeknya, yaitu “katekis dengan kesaksian hidupnya”. Metode, cara hingga pendekatan apapun, tidak berarti tanpa kesaksian hidup katekis.
3.Pendalaman perpektif baru mengenai katekese
a.Katekese hendaknya menapakkan unsur profetik (kenabian) dalam proses koreksi-evaluatif atas pengalaman hidup dan mampu membongkar segala cara pandang dengan cara pandang baru Injili.
b.Katekese mempunyai berbagai fungsi ganda bukan monolith, dari edukatif, korektif, ekskatologis, anamnese, bahkan hingga mistagogis. Dalam berbagai unsur itu, katekese sebenarnya mempunyai fungsinya masing-masing sesuai tujuannya, dari yang sifatnya doktriner hingga yang antropologis.
c.Katekese hendaknya harus berdialog dan bergaul dengan masalah-masalah sosial yang akhirnya, membawa orang untuk mengkoreksi dan mengevaluasi hidupnya. Awalnya perkembangan katekese dogmatis berkembang menjadi katekese kerygmatis. Dewasa ini, katekese menjadi politis, transformatif untuk membawa orang kepada 4 arah utama: transformasi sosial, perkembangan iman komunitas, perkembangan iman pribadi dan kemampuan dalam menghayati harta kekayaan Gereja.
d.Awalnya katekese bersifat kerygmatis. Kerygma berarti mengumumkan Kristus secara meriah kepada semua orang. Katekese akhirnya berkembang kepada katekese antropologis antara yang politis dengan katekese yang mementingkan pada komunitas. Harapannya katekese jangan terjebak hanya terlalu praktis, tanpa mengantar orang kepada kedalaman makna, melainkan hingga pada pembaruan hidup.
e.Katekese hendaknya tidak meninggalkan unsur doa. Bagaimana tujuan katekese salah satunya adalah mengajar berdoa, membawa orang kepada kedalaman hubungan dengan Allah dan ruang mistik yang lebih mendalam.
f.Lokus katekese hendaknya menjadi lebih luas, mewarnai berbagai komunitas dan segala pembaruan dalam pewartaan pada umumnya. Hendaknya katekese tidak hanya selesai pada umumnya umat, melainkan menyapa lebih dalam pada gerakan-gerakan personal umat, ruang-ruang kontemporer, alternatif umat modern dewasa ini: misalnya SEP, Pria Sejati, dll.
g.Katekese hendaknya bukan memandang sebagai solusi pastoral, melainkan sebuah upaya untuk membawa katekese menjadi bagian dan integrasi dari pastoral. Katekese menjadi bentuk pemaknaan akan karya pastoral. Katekese menjadi bagian dimensi pastoral.
4.Problematika Keluarga dan Proses Pendampingan (Rm Hartono, MSF)
a.Keluarga adalah Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga), menjadikan Gereja dalam keluarga. Bagaimana keluarga mengembangkan 4 dimensi tugas Gereja: Liturgia (perayaan iman), Kerygma (pembinaan iman), Koinonia (bersaudara-persaudaraan) dan diakonia (saling melayani) dalam hidup berimannya.
b.Dalam SAGKI dihasilkan berbagai hal mengenai pentingnya keluarga mengembangkan pembinaan iman: maka perlu didukung dengan gerakan katekese bagi keluarga, strategi pembinaan, pelayanan pastoral keluarga, pengembangan ekonomi rumah tangga, melibatkan secara terintegrasi pelayanan pastoral keluarga dengan kelompok-kelompok penggeraknya, melibatkan komunitas keluarga dengan institusi katolik, dan melibatkan lembaga hidup bhakti.
c.Problematika Keluarga: kerapuhan keluarga-kelaurga modern yang menyebabkan angka perceraian begitu tinggi. Dewasa ini karena situasi yang terjadi, sering perlunya pendampingan bagi keluarga yang ditinggal atau bercerai. Ada banyak pernikahan campur, begitu juga ada banyak persoalan lain yang kadang lebih berat, dari narkoba, masalah budaya hingga kekerasan dalam rumah tangga.
d.Ada 3 pilar utama dalam perkawinan: komitment, intimasi dan passion (pengurbanan).
e.Pokok Amoris Laetitia:
•Tantangan budaya individualisme, membawa keluarga-keluarga sulit dalam membangun budaya saling memberi. Maka bagaimana keluarga mampu mengatasi krisis komitment, dimana nilai kesetiaan dalam segala situasi. Kesetiaan dalam membangun, saling melayani dan komitment untuk saling memberi.
•Tantangan kontemporer mengenai “kesepian” modern, tidak ada waktu untuk saling menemani dan menjaga.
•Pendidikan dalam keluarga: bagaimana pentingnya pendidikan iman dalam keluarga, mendidik anak sedemikan untuk membangun pribadinya. Mengajak semua anggota keluarga menjalani kehidupan Kristiani.
•Dalam keluarga, Gereja memahami setiap keluarga dan individu dengan segala kompleksitas mereka. Gereja perlu bertemu mereka di mana mereka berada. Imam hendaknya menghindari penilaian-penilaian yang tidak mempertimbangkan kompleksitas dari berbagai situasi.
f.Perlunya pendampingan dan kerasulan bagi keluarga, melibatkan keluarga sebagai agen-agen aktif kerasulan, suatu upaya evangelisasi dan katekese dalam keluarga. Menyertakan dan membawa orangtua menjalankan panggilannya sebagai pendidik iman yang pertama dan utama. Katekese keluarga tidak hanya berhenti pada inisiasi melainkan juga pendampingan yang terus menerus.
g.Simpul-simpul Pendalaman
•Pentingnya dilakukan tindakan-tindakan pastoral yang sesuai dengan situasi setempat untuk menyelesaikan dan mendampingi para keluarga-keluarga dewasa ini. Dalam Amoris Laetitia, perlunya pastoral keluarga yang beradaptasi dengan situasi setempat. Apa yang bisa dilakukan di satu tempat belum tentu bisa dilakukan di tempat lain. Setiap negara atau daerah bisa mencari solusi yang baik yang sesuai dengan kebudayaan dan peka terhadap tradisi dan kebutuhan setempat.
•Dalam keluarga juga tidak dapat lepas dipengaruhi dengan budaya modern dewasa ini, seperti budaya digital. Intinya keluarga hendaknya membawa budaya digital ini untuk semakin intens berkomunikasi, bukan malah menjauhkan dari relasi yang hendak dibangun (intimasi).
5.Sharing Keluarga dalam Era Digital (keluarga-keluarga Katolik)
a.Mencoba untuk lebih asertif dalam proses penggunaan media digital dalam keluarga yaitu: 1) adanya ketentuan kesepakatan bersama yang ditetapkan dalam keluarga untuk waktu penggunaan media digital. 2) Ada aktivitas bersama yang dilakukan menggunakan media, namun juga ada kesepakatan aktivitas bersama yang tidak menggunakan. 3) Ada upaya saling belajar dan mempelajari penggunaan media. 4) Menggunakan media untuk semakin meningkatkan komunikasi keluarga.
b.Diharapkan perlu memperkaya konten-konten media digital yang dapat digunakan oleh lintas generasi untuk mengembangkan iman, baik pengetahuan, doa, peneguhan rohani, lagu rohani dan lagu-lagu rohani.
c.Diharapkan Gereja mendukung gerakan-gerakan kategorial pastoral keluarga yang semakin menggiatkan berbagai pendampingan dan memelihara iman bagi keluarga.
d.Dalam keluarga modern ini harus disadari bahwa media digital bukan lagi sekedar tehnologi, melainkan perubahan atau revolusi budaya komunikasi.
6.Katekese Keluarga di Era Digital (Prof. Dr. Eko Indrajit)
a.Dalam budaya digital perlu menelisik seperti apa yang dikatakan oleh Paus Francis dalam Amoris Laetitia mengenai pentingnya hati nurani: Paus menyatakan, hati nurani berperan penting dalam membuat keputusan moral. Maka dalam tekanan hiruk pikuk dunia digital, keputusan suara hati sangat menentukan dalam pemilihan nilai moral.
b.Setiap zaman memiliki karakteristiknya masing-masing. Setiap zaman ada perbedaan karakternya. Maka dalam keluarga ketika ada lintas geenrasi diperlukan saling pengertian.
c.Menghadirkan kehidupan yang berkualitas bagi keluarga. Melalui tehnologi, untuk semakin meningkatkan kualitas pendampingan dan komunikasi.
d.Pendidikan keluarga dalam era budaya digital tentu mempunyai tantangannya, karena otoritas informasi tidak hanya otoritas di dalam keluarga, melainkan keberlimpahan informasi melalui berbagai tehnologi digital.
e.Perlu diintegrasikan dalam keluarga “Get into the home” (mulailah semuanya dari rumah), mulailah dari rumah, termasuk apapun yang berkaitan dengan pendidikan keimanan selalu terkait juga dengan keluarga. Jaringan dengan orangtua, bersama orangtua.
f.Internet dapat menjadi lahan lintas generasi, untuk saling berkomunikasi, saling akrab dan menjaga.
g.Digitalizing dapat menjadi lahan untuk menyimpan kenangan keluarga. Kenangan yang dapat menjadi pendidikan bagi keluarga, merasakan peristiwa, teladan dan moment-moment berarti.
h.Pada dasarnya, dalam dunia digital keluarga perlu menyeimbangkan tidak terlalu menyolok menguasai dan mengatur pemanfatan media digital, namun harus memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam batas-batas penggunaan media digital.
i.Namun yang perlu disadari bahwa walaupun dalam dunia digital, pertemuan secara langsung, perjumpaan keluarga menjadi yang lebih penting.
7.Rangkuman dan Catatan Penting Diskusi Kelompok Regio dan Lembaga Kateketik (Lih hasil diskusi kelompok masing-masing Regio)
a.Perlunya revitalisasi Tradisi Kristiani di tengah keluarga
-Penguatan internal keluarga Katolik untuk mengembangkan tradisi-tradisi Kekristenan dan komitment perkawinan di tengah keluarga meliputi; doa bersama, ibadat keluarga, janji perkawinan, pengetahuan-pengetahuan iman keluarga.
-Semakin melibatkan keluarga dalam menjemaat dan bermasyarakat. Mengajak anggota keluarga terlibat di lingkungan, paroki hingga memasyarakat dari lingkup yang terkecil, yaitu Rukun Warga dan lain sebagainya.
b.Perlunya dikembangkan pendukung utama revitalisasi tersebut, yaitu sumber daya manusia, atau para pendamping, fasilitator dan para pelayan pastoral keluarga. Upaya tersebut hendaknya dilengkapi dengan arah pendampingan, program kegiata, sistem, penguatan softskill-spiritua;itas para pelayan dan penguatan ketrampilan-ketrampilan pendampingan.
c.Perlunya melengkapi segala sarana revitalisasi, meliputi:
-Penyusunan dan penerbitan modul-modul bagi para pendamping dan para keluarga.
-Melengkapi buku-buku doa dan sarana peribadatan keluarga.
-Penyusunan katekismus keluarga.
-Kajian dan penelitian hidup rohani keluarga dari pengetahuan hingga spiritualitas serta komitment.
-Pelatihan-pelatihan untuk optimalisasi berbagai sarana media digital untuk pastoral dan katekese keluarga.
d.Perlunya melihat kembali nilai-nilai tradisional dalam keluarga yang dapat digunakan sebagai peluang dan moment katekese, yaitu antara lain:
-Menggiatkan cerita-cerita sebelum tidur dengan tradisi kekristenan yang menggugah kepada para anak-anak.
-Memaknai segala pengalaman “berarti” (moment of meaning) dalam keluarga dari peristiwa kehilangan, peristiwa membanggakan dan peristiwa penting dalam keluarga.
-Menggiatkan keterlibatan di ruang-ruang sosial lingkungan. Semakin melibatkan peran keluarga di tengah lingkungan terkecil. Aktif dalam moment-moment penting kebangsaan.
-Menata ruang keluarga sebagai ruang perjumpaan. Tata ruang rumah yang ramah komunikasi, mengingatkan senantiasa pada suasana keberimanan melalui berbagai simbol tradisi kekristenan dari hiasan dinding, foto hingga letak ruangan khusus doa.
8.Warnasari dan Tindak Lanjut Pertemuan
a.Gereja dalam hal ini Komkat KWI, perlu memikirkan mengenai pendidikan bagi para katekis (profesional-akademis), dari formasinya hingga kesejahteraannya ketika sudah berkarya. Dalam orientasi para lulusan, faktanya dewasa ini lebih terbatas pada sekolah (PAK), perlu pemikiran lanjut bagaimana lulusan juga mengembangkan tugasnya sebagai katekis.
b.Berbagai hasil diskusi kelompok di tingkat regio hendaknya ditindaklanjuti secara konkrit, diharapkan setiap tahun dapat senantiasa dilakukan evaluasi.
c.Kurikulum 13:
-Segi isi tetap sesuai dengan sebelumnya dengan 4 dimensi (diri, Gereja, Yesus dan Kemasyarakatan).
-PAK yang ada bahannya memang mengacu kepada standar minimal, maka diharapkan setiap guru mengembangkan isi bahan yang dibutuhkan jika diperlukan.
-Di lapangan kesulitan mendapatkan buku, maka diharapkan pihak Gereja mempermudah guru lapangan mendapatkan buku ini.
-Buku sekarang ini kebijakannya didominasi oleh pemerintah, maka memang akan mempersulit kualitas dan distribusi, termasuk hak ciptanya. Untuk itu, perlu dipikirkan bekerjasama dengan penerbit Gereja dan dikelola sendiri, toh hal ini dimungkinkan dengan peraturan.
d.Perlunya pihak Komkat KWI menyediakan berbagai fasilitas dan bahan-bahan berbasis digital android untuk katekese. Maka perlunya kerjasama dan sinergi Gereja dengan para ahli IT.
e.Perlunya sinergi antar perguruan tinggi yang mengelola pendidikan kateketik, agar semakin jelas, dan berpengaruh dalam keilmuan, termasuk kelangsungan pendidikan lanjut bagi lulusannya.
f.Katekese perlu memperjelas disiplin ilmu dan kekhasannya, termasuk letaknya dalam keseluruhan pastoral dan teologi. Hal ini sudah menjadi pembicaraan bersama dalam studi kateketik dan akan ada tindak lanjut di tingkat konsorsium.
g.Perlu perhatian kepada katekese sosial, khususnya katekese kesadaran keutuhan ciptaan (ekologi) untuk senantiasa dikembangkan. Katekese dapat bekerjasama dengan pengembangan sosial ekonomi. Ada banyak kasus di berbagai daerah, misalnya di Kalimantan, Nusra yang terkait dengan ekologi dan ketidak adilan sosial.
h.Usulan, ada salah satu sudut di Komkat KWI yang menyajikan hasil-hasil bahan yang sudah disusun Komkat Keuskupan atau Regio.
i.Dalam PKKI, Komkat KWI mengajak bertindak sebagai forum untuk melihat secara lebih luas dan berkoordinasi, agar ada cakupan secara mendasar apa yang dihasilkan dalam tingkat nasional. Tentu kepentingannya bukan garis komando, melainkan lebih kepada koordinasi.
Purwono Nugroho Adhi
Delegasi Komkat Keuskupan Agung Semarang