Saudara-saudariku yang selalu berada dalam limpah Kerahiman Allah,
Tahun ini, Hari Komunikasi Sedunia memasuki usia yang ke-50. Sejak ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma sebagai hari yang dikhususkan, Komunikasi Sosial menjadi salah satu bagian sentral bagi pewartaan dan Pelayanan Gereja. Secara khusus Saya, sebagai uskupmu, mengajak untuk mendalami Tema: “Mengkomunikasikan Kerahiman Allah Secara Konkret”. Tema ini mau mendaratkan Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sedunia ini, yaitu : “Komunikasi dan Kerahiman: Perjumpaan yang memerdekakan”.
Di bagian awal pesannya, Paus Fransiskus mengungkapkan “Apa yang kita katakan dan cara kita mengatakannya, setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan, dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani dan ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri.” Untuk melaksanakan hal tersebut, perlu tindakan konkret. Setiap pribadi harus mampu mengungkapkan pernyataan kasih dalam situasi apapun dan dimana pun berada, meskipun hal tersebut seringkali membuat hati dan diri kita sakit dan terluka. Ketika Allah sendiri menyatakan kerahimanNya dengan memberikan diriNya sebagai penebusan dosa kita, mengapa kita masih memberikan penawaran bagi pernyataan kasih? Kasih yang juga disebut sebagai kemurahan hati tertuang secara jelas dalam 1 Korintus 13:4-7 “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
Saudara-saudariku, sekarang ini kita tinggal dalam dunia komunikasi yang tak berbatas. Sekat-sekat pemisah yang menjauhkan jarak antar pribadi, kini semakin dikikis dengan teknologi digital yang sungguh menawarkan kemudahan. Tetapi, apakah kemudahan itu memberikan angin segar bagi komunikasi kita dengan sesama? Seringkali era digital yang memberikan kemudahan tidak digunakan untuk mengkomunikasikan kebaikan, sehingga yang sering terjadi malah digunakan sebagai sarana menjatuhkan sesama, sehingga jarak antar pribadi bukan semakin dekat, tetapi semakin tidak jelas. Efektifitas berkomunikasi yang seharusnya semakin positif, bisa menjadi bahasa komunikasi yang mubazir karena dianggap sebagai percakapan basa-basi. Intimitas yang dirasakan dalam komunikasi melalui perjumpaan langsung, malah hari-hari ini terkikis dengan keinginan setiap pribadi memanfaatkan era digital sebagai bentuk perjumpaan utama. Pada intinya, digitalisasi sebagai kemudahan membuat kita terlena akan komunikasi melalui sentuhan langsung dengan sesama kita. Bagaimana kita bisa merasakan kasih yang konkret jika kita tidak berkomunikasi secara nyata melalui perjumpaan? Kita bukanlah produk digitalisasi, maka buatlah kemudahan itu sebagai sarana yang membuat kita semakin manusiawi, yaitu dengan memanusiakan diri dan orang lain dalam dialog dan ungkapan penuh kasih. Paus Fransiskus juga mengingatkan kembali akan tahun kerahiman Ilahi yang sedang kita jalani. Bapa Paus mengungkapkan melalui Misericordiae Vultus, 23 agar Tahun Yubileum ini, yang dihayati dalam kerahiman, “dapat membuka diri kita kepada dialog yang lebih bersungguh-sungguh sehingga kita bisa mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih baik: dan ini bisa melenyapkan berbagai bentuk kepicikan dan sikap kurang hormat, dan menghilangkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi”.
Saudara-saudariku, mengkomunikasikan Kerahiman Allah secara konkret membutuhkan lebih banyak kesabaran, lebih banyak pengertian, dan juga yang pasti pengorbanan. Mengaplikasikan Kerahiman dalam hidup sehari-hari membutuhkan kebesaran hati untuk menerima segala kebaikan dan keburukan sesama. Sebuah kebesaran hati yang tidak hanya berhenti dengan kata “maaf”, Tetapi juga berani masuk merasakan betul pengalaman “ampun”: entah mengampuni ataupun diampuni. Biarlah bahasa kasih yang kita terima tetap dipertahankan, terus berkobar hingga kesenjaan jiwa memisahkan kita. Dengan melaksanakan hal ini, kita pasti akan merasakan bentuk nyata dari Allah yang memberikan diriNya untuk kita.
Saya secara khusus mengajak keluarga-keluarga di Keuskupan Bogor untuk bersama para gembalanya di paroki-paroki serta dalam komunitas tertentu, untuk senantiasa mengingatkan dan menguatkan akan kebersamaan hidup dengan landasan kasih yang konkret. Janganlah hanya sekadar mengajarkan kasih jika tidak mampu mewujudkannya. Kita diajak menjadi misionaris kerahiman, maka wujudnyatakanlah dalam hidup sehari-hari. Agar mampu menjadi misionaris kerahiman, di Keuskupan Bogor terdapat media konkret tempat kita dapat diubah oleh Firman Allah untuk menjadi “komunikator ulung Kerahiman Allah dan belas kasih manusiawi”. Maka, saya mengajak suami-Istri mengikuti retret ME, para Suami dan Bapak-bapak mengikuti Retret Camp Pria Sejati Katolik (Priskat), Para Istri dan Ibu-ibu mengikuti Retret Wanita Bijak., serta berbagai kemungkinan pengajaran dan pembinaan iman yang ditawarkan bagi berbagai jenjang usia di wilayah Keuskupan Bogor.
Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. (1 Yoh. 3:18).
Bogor, 1 Mei 2016
Magnificat Anima Mea Dominum
† Mgr. Paskalis Bruno Syukur †
Uskup Keuskupan Bogor
sumber artikel: keuskupanbogor.org
gambar/foto: hidupkatolik.com/keuskupanbogor,org