BERKATEKESE DI ERA DIGITAL
oleh Yap Fu Lan[1]
Pendahuluan
David, ‘seorang’ bocah robotik, sangat ingin menjadi anak laki-laki sungguhan. Keinginan untuk menjadi manusia bersumber dalam kerinduan David untuk dicintai oleh ibu yang meng-‘adopsi’-nya, Monica. David merupakan robot yang dilengkapi dengan perasaan. Ia bisa merasakan sakit dan takut. Bahkan, ia juga mampu mencintai. Tetapi, David hanya bisa mencintai orang yang mengaktifkan program perasaan yang ada di dalam dirinya, dan orang itu ialah Monica. Keterbatasan mencintai yang dimiliki David harus berhadapan dengan keterbatasan mencintai yang dimiliki oleh manusia. Manusia tak dapat mencintai robot, sekalipun robot itu berwujud manusia.
Kisah ini tersaji dalam Artificial Intelligence (A.I.), sebuah film science fiction yang diluncurkan tahun 2001. A.I. mengangkat cerita novel Super-Toys Last All Summer Long karya Brian Aldiss (1969), dan menghubungkan kita dengan cerita Pinokio (1940).[2] Selain menampilkan obsesi David untuk menjadi seorang bocah sungguhan seperti Pinokio, A.I. juga memaparkan karakter kontras yang sangat tajam antara orga (organic beings), yakni kita manusia, dan mecha (mechanical beings), yakni para robot. Ambisi untuk bersaing (dengan sesama bahkan dengan Penciptanya), kedengkian, dan perilaku barbar menjadi ciri manusia; sedangkan ‘ketulusan’, persahabatan, dan perilaku sopan-elegan menjadi ciri para mecha. Dengan semua gambar ini, A.I. mengusik kita untuk merefleksikan lagi kemanusiaan kita. Ketika mecha ingin menjadi manusia, kita manusia ingin menjadi apa? Ketika mecha tampil semakin manusiawi, apakah kita tampil lebih manusiawi?
Di dalam keyakinan iman kristiani, manusia dan kemanusiaannya merupakan inti karya penyelamatan Allah, maka keduanya juga menjadi fokus karya evangelisasi Gereja.[3] Sebagai bagian dari karya evangelisasi, katekese pun memusatkan karya pada manusia dan kemanusiaannya. Berdasarkan keyakinan inilah, kedua pertanyaan tentang manusia dan tampilan manusiawinya menjadi pertanyaan untuk memikirkan isi dan pendekatan katekese, khususnya katekese di era digital. Saya menawarkan refleksi menuju sebuah gagasan kateketis, melalui tiga tahap: memandang realitas manusiawi kita di zaman digital ini, menyadari kembali identitas kita manusia sebagai pribadi, dan mengumpulkan butir-butir pemikiran tentang katekese di zaman digital.
- Realita Kita: Manusia adalah Cyborgs?
Suatu ketika, seorang teman bercerita bahwa puteranya, yang duduk di tingkat dua sekolah lanjutan pertama, meminta sejumlah uang untuk membeli kamera digital baru beserta lensa yang memadai untuk memotret bulan dan objek lain di malam hari. Ini adalah tugas yang diberikan oleh guru fotografinya. Guru itu pula yang menyarankan si remaja untuk membeli kamera dengan spesifikasi tertentu. Teman saya merasa ia sudah memberikan kamera digital yang canggih kepada si remaja. Maka ia memberikan saran kepada si remaja untuk berusaha mengekplorasi kameranya supaya dapat mengambil gambar objek dalam keterbatasan cahaya bahkan dalam situasi tanpa cahaya. Ia juga mengatakan bahwa ia pun pernah belajar fotografi, dan diajarkan oleh gurunya untuk mengatasi berbagai keadaan cuaca dan cahaya dengan mengatur kerja kameranya. Dengan santai si remaja menjawab: “Itu ‘kan zaman Bapak. Sekarang ‘kan ada teknologi. Biar aja teknologi yang kerjakan untuk saya.”
“Biarkan teknologi mengerjakannya untuk saya.” Bukankah kita juga seringkali menyatakan dan melakukan ini? Kita yakin bahwa teknologi memang memudahkan pekerjaan kita. Tetapi di dalam realita harian, teknologi melakukan lebih dari itu. Donna Haraway, dalam tulisannya “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century,” menyatakan bahwa jejaring kekuasaan sains dan teknologi telah mengubah kita manusia menjadi cyborgs, cybernetic organism. Cyborg, menurut Haraway, adalah makhluk campuran manusia dan mesin; makhluk realitas sosial sekaligus makhluk fiksi; paduan material dan imaginasi.[4] Kita menjadi cyborgs di dalam dunia medis ketika tubuh kita dilengkapi mesin yang membantu organ-organ tubuh tertentu bekerja lebih baik. Kita menjadi cyborgs ketika tangan kita menyentuh keypad komputer dan mouse, juga ketika kita menggunakan telepon selular. Kita menjadi cyborgs ketika kita tidak sekadar menggunakan teknologi, melainkan menjadikan teknologi sebagai bagian dari diri pribadi kita. Lebih dari sekadar menanam microchip komputer di dalam otak, kita menanam jejaring kekuasaan teknologi di dalam pola pikir, pola rasa, dan pola tindak kita.
Berbagai fenomena terkait internet menyediakan gambar yang lebih jelas tentang hal ini. Satu di antaranya berkenaan dengan cara kita berpikir, merasa, dan bertindak tentang/terhadap diri kita sendiri. Di dunia maya, kita dapat mengubah diri menjadi apa saja yang kita inginkan atau imajinasikan, mulai dari nama, status, hingga tampilan diri. Seorang yang sudah menikah bisa mengubah diri menjadi lajang, yang sudah mempunyai kekasih menyatakan dirinya jomblo; laki-laki mungkin saja menjadi perempuan, dan sebaliknya; wajah yang tidak rupawan ‘diubah’ menjadi jelita dan tampan. Profil imajinatif ini kita tampilkan supaya kita diterima oleh komunitas imajinasi di dunia maya.[5] Mengikat diri pada kriteria-kriteria yang dituntut oleh masyarakat dunia maya, kita tak lagi tampil asli.
Lebih dari itu, kita seringkali membawa identitas dan profil imajinasi ke dalam dunia nyata. Sebuah contoh ekstrim ialah identifikasi manga, karakter dalam anime atau kartun Jepang, yang dilakukan oleh banyak remaja Korea Selatan. Ruth Holliday dan Joanna Elfving Hwang, dalam riset mereka: Gender, Globalization, and Aesthetic Surgery in South Korea, menemukan peningkatan minat para pria muda Korea Selatan untuk melakukan operasi kosmetik demi memiliki wajah feminin tokoh-tokoh pahlawan manga.[6]
Tanpa sadar, kita bergerak mengikuti arus penyeragaman identitas; menjadikan diri kita artifisial. Padahal, berbagai definisi “identitas” menunjuk pada dua unsur pokok: karakter atau kepribadian dan kesamaan atau keserupaan dengan karakter/pribadi yang lain. Setiap orang dari antara kita adalah unik karena karakter pribadi masing-masing. Juga, di antara kita sangat mungkin ada kesamaan-kesamaan, misalnya kesamaan sifat atau minat. Keduanya, perbedaan dan kesamaan dengan yang lain itulah yang membentuk identitas diri kita manusia, dan menegaskan kehadiran diri pribadi kita di dalam relasi dengan yang lain. Memang, membangun relasi di atas dasar kesamaan lebih mudah dilakukan. Tetapi mengabaikan, atau bahkan menolak perbedaan berarti menafikan kehadiran ‘yang lain’ sekaligus menaifkan relasi.
Berkaitan dengan relasi, Haraway menyatakan: cyborgs meragukan interaksi organik antar makhluk hidup yang membentuk dunia sebagai kesatuan holistik, namun mereka membutuhkan koneksi satu dengan yang lain.[7] Mungkin ciri inilah yang membuat relasi antar kita manusia di zaman ini bersifat lebih fungsional daripada personal. Hubungan yang melulu fungsional adalah tanah subur bagi dominasi, penindasan, dan eksploitasi. Bukankah kemanusiaan kita sudah melekat pada ketiganya, di dunia nyata maupun di dunia maya?
Sebuah cerita disampaikan seorang rekan dari Bangladesh. Kecenderungan sejumlah remaja laki-laki Bangladesh bukan lagi men-download pornografi, melainkan menciptakan dan meng-upload pornografi. Mereka–secara berkelompok–menculik dan memerkosa gadis-gadis (gang rape), mengambil gambar-gambar perkosaan itu, dan menyebarluaskannya melalui internet dan/atau telefon genggam. Sedikitnya, sembilan kasus terjadi dalam bulan September dan Oktober 2011. Semua korban mengakhiri hidup mereka karena mereka tahu, mereka tidak akan pernah memperoleh keadilan melalui lembaga hukum mana pun di seluruh negeri. Para pelaku berasal dari kasta yang lebih tinggi dan berpengaruh di dalam masyarakat.[8]
Kasus semacam ini kita kategorikan sebagai kasus penyalahgunaan teknologi. Tetapi ada hal fundamental yang kita harus sadari: penyalahgunaan teknologi bukan sekadar keliru menggunakan suatu alat sehingga mengubah fungsi alat itu. Isu paling esensial dalam penyalahgunaan teknologi ialah kita manusia mengalami amnesia, lupa identitas diri, dan oleh sebab itu kita membiarkan jejaring kekuasaan teknologi mengambil alih kemanusiaan kita.
- Memulihkan Ingatan akan Kemanusiaan Kita
Merenungkan kata ‘identitas’ ini di dalam konteks iman, saya terhubungkan kembali dengan gagasan John D. Zizioulas, seorang teologian Ortodoks, berkebangsaan Yunani. Zizioulas menyatakan bahwa manusia adalah persona, sosok pribadi, makhluk hipostatik dan ekstatik. Sebagai makhluk hipostatik, setiap pribadi adalah primer dan absolut, otonom dan unik, namun ia tidak melulu individual. Sebagai makhluk ekstatik, ia selalu bergerak ke luar dirinya untuk berelasi dengan ‘yang lain’, yakni: Allah, sesama manusia, dan semua ciptaan. Keberadaannya hanya bermakna di dalam relasinya dengan yang lain. Relasi ini merupakan relasi personal, melibatkan seluruh diri pribadi, namun tidak menggerogoti keutuhan dan keutamaannya.[9]
Di dalam konteks zaman teknologi digital, Zizioulas mengusik kita untuk melihat tiga hal tentang identitas kemanusiaan kita. Pertama, manusia sebagai pribadi tidak dapat meniadakan pribadi yang lain, dan menggugat diri sebagai yang satu-satunya dan terunggul. Dengan kecanggihan teknologi setinggi apapun, kita tidak dapat menyangkal keberadaan alam dan kehidupan organiknya. Kenyataan sudah berbicara bahwa ketika manusia memusnahkan bagian-bagian diri alam, bencana terjadi bagi keduanya, alam dan manusia. Dengan kecanggihan teknologi setinggi apapun, kita tidak dapat menyangkal keberadaan Pribadi yang Primer dan Absolut, yang bagi kita umat kristiani, ialah Allah Trinitaris. Ini akan menjadi bahan permenungan kita kemudian.
Kedua, di dalam relasi dengan yang lain, manusia sebagai pribadi tidak dapat digunakan sebagai instrumen atau alat demi kepentingan-kepentingan ekonomis, sosial, moral, bahkan religius. Maka semestinya kita tidak membiarkan diri dikuasai oleh jejaring sains dan teknologi, sama seperti kita menolak jejaring kekuasaan ekonomis-sosial-politik di dalam masyarakat. Ketiga, keadaan diri yang berbeda dari yang lain membuat setiap pribadi manusia unik dan tak tergantikan. Perbedaan bukan alasan untuk menciptakan keterpecahan dan diskriminasi; juga, bukan alasan untuk melakukan anihilisasi, pemusnahan sekelompok manusia tertentu sebab mereka tidak memenuhi kriteria manusia menurut pemikiran kita. Perbedaan pun bukan alasan untuk menyeragamkan manusia melalui proses imitasi dan identifikasi, sebab penyeragaman berarti penghapusan unsur-unsur identitas manusia itu sendiri.
Melanjutkan refleksi atas keberadaan Pribadi yang Primer dan Absolut, saya mengajukan pandangan Karl Rahner tentang kesatuan hipostatik antara manusia dan Allah. Rahner menggambarkan manusia sebagai pribadi yang bersifat self-transcendent. Manusia adalah pribadi yang pada hakekatnya selalu terbuka bagi kesatuan dengan Pribadi Allah.[10] Dalam istilah lain, Rahner menyebut manusia sebagai roh-dalam-dunia, spirit in the world.[11] Manusia sebagai pribadi yang transenden memiliki di dalam dirinya karakter-karakter kemanusiaan dan keilahian. Di sinilah kita menemukan unsur keserupaan manusia dengan Allah. Allah adalah Pribadi Yang Lain bagi kita manusia. Kita berbeda dari Allah, kita bukan Allah, namun kita memiliki keserupaan dengan-Nya (Kej. 1:26-27). Di sini pula kita melihat ketidaklengkapan manusia dalam figur cyborg. Manusia bukan hanya makhluk material (daging dan mesin) melainkan makhluk material dan spiritual. Manusia adalah organisma yang memiliki pneuma, yang–di dalam keyakinan iman kita–bersumber dari Roh Allah sendiri (Kej. 2:7).
Seorang teolog Taiwan, Choan Seng Song menggambarkan Roh sebagai kekuatan atau daya kreatif yang mentransformasi hal-hal duniawi biasa menjadi imej dan simbol yang bermakna, yang menyingkapkan misteri kehidupan.[12] Bila Roh Allah berkekuatan mencipta, roh manusia pun berdaya mencipta. Dengan daya mencipta, nilai kerja kita manusia bukan hal produksi dan re-produksi melainkan kreasi dan re-kreasi. Senada dengan C.S. Song, seorang pakar pendidikan, Arthur L. Costa, mengatakan: manusia tidak mendapatkan ide-ide; manusia menciptakan berbagai ide, juga makna.[13] Namun, ketergantungan yang sangat kuat pada teknologi telah melemahkan bahkan melumpuhkan kreativitas pribadi manusia. Akibatnya, orientasi manusia bukan lagi kreasi-re-kreasi dan proses yang menyertainya, melainkan produksi-dan-re-produksi dan hasil/produk.
Kita tak dapat menyangkal bahwa kita hidup di era digital ini sebagai cyborgs. Tetapi dengan kesadaran bahwa kita manusia bukan hanya daging dan mesin, kita harus menghidupkan dimensi spiritual pribadi kita. Bagaimanakah caranya? Paus Benediktus XVI menunjukkan dua jalan, yakni: terlibat sebagai pribadi dan masuk ke dalam keheningan. Di dalam hidup harian, kita harus menghadirkan diri sebagai pribadi yang utuh, membawa identitas diri yang otentik, dan secara simultan terbuka terhadap kehadiran pribadi-pribadi yang lain.[14] Untuk ini, kita mesti masuk ke dalam keheningan. Keheningan memungkinkan kita bertumbuh-berkembang menjadi sungguh manusia, utuh sebagai pribadi. Sebab di dalam keheningan, kita mendengarkan diri kita sendiri, dan mendengarkan serta membuka diri bagi yang lain, terutama bagi Allah.[15]
Masuk ke dalam keheningan tidak semata-mata menjauhi keramaian/kebisingan. Masuk ke dalam keheningan merupakan proses refleksi seperti yang digambarkan oleh A.L. Costa: mengintegrasikan pikiran, tubuh, dan roh kita sehingga kita mampu menciptakan makna-makna dari berbagai pengalaman hidup yang kompleks.[16] Inilah saat untuk berbicara tentang katekese dan menggagas beberapa pokok bagi katekese di era digital.
- Berkatekese di Era Digital
Perkembangan pesat teknologi, khususnya teknologi komunikasi berbasis komputer dan internet, membuat Gereja ‘cemas’, merasa harus bersaing dengan teknologi dan ‘pewartaan kabar gembira’nya. Berbagai macam renspon muncul: membuat akun Facebook, blog, dan website rohani; memasang LCD projector di dalam gereja; menggunakan media film dan power point texts dalam pengajaran iman; dan mengeluarkan seri telepon selular berisi berbagai nyanyian, doa, dan ajaran iman. Semua upaya ini dilakukan dengan maksud baik. Tetapi kita perlu menyelidiki: Apakah, dengan media-media itu, kita menata pribadi-pribadi beriman, hingga menyentuh dimensi spiritual mereka? Atau, kita sekadar menata tampilan luar, termasuk menyeragamkan pengetahuan dan aktivitas religius?
Tentu saja saya mendukung penggunaan berbagai media komunikasi untuk pewartaan dan pengajaran iman. Juga, saya mengakui nilai penting pengetahuan dan aktivitas religius yang menjadi kekayaan warisan Gereja kita. Pertanyaan penuh keraguan yang saya ajukan bersumber dari pengalaman-pengalaman konkret. Seorang guru agama berpikir dengan menyajikan film-film bernuansa religius, ia tak perlu lagi berinteraksi banyak dengan para siswa. Kelas berubah fungsi menjadi bioskop, bubar setelah film usai. Seorang rekan imam yang mengasuh website gerejani pernah didesak oleh umat untuk memberikan pernyataan elektronik bahwa ia boleh menceraikan isterinya. Ia menolak tawaran sang imam untuk berkonseling keluarga di dunia nyata. Sekali lagi, realitas ini bukan sekadar penyalahgunaan media. Umat beriman pun tak lagi menyadari makna kehadiran sebagai pribadi; tak lagi menginginkan kesatuan organik sebagai komunitas; berorientasi pada hasil, bukan proses.
Keinginan kita untuk menggunakan teknologi tercanggih untuk pewartaan dan pendidikan iman, khususnya dalam berkatekese, kiranya tidak membuat kita lupa bahwa tujuan katekese ialah mendewasakan iman dan mendewasakan pribadi manusiawi orang beriman.[17] Kita berkatekese pun bukan untuk sekadar memberikan pengetahuan, melainkan untuk mencerdaskan umat beriman dan membentuk perilaku hidup kristiani mereka.[18] Lebih lagi, Gereja Katolik mengakui katekese sebagai “sebuah perjalanan edukatif” yang harus dilalui untuk “menembus dan mengubah proses-proses akal budi, hati nurani, kebebasan, dan tindakan” yang memberi nilai pada diri pribadi manusia, seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus.[19]
Setelah melihat semua gambar ini, saya mengajukan empat butir gagasan mengenai katekese di era digital.
Pertama, katekese di era digital pada dasarnya merupakan proses belajar menjadi sungguh manusia; menjadi pribadi yang otentik, hadir dengan identitas asli sebagai citra Allah. Di dalam proses ini, orang beriman belajar dari Yesus Kristus sebagai Pribadi.[20] Yesus Kristus menampakkan Allah sebagai sesama bagi manusia, sebagai pribadi ‘yang lain’. Yesus Kristus menampakkan pula manusia yang bergerak menjangkau Allah dan berkomunitas dengan-Nya.[21] Yesus Kristus sebagai Pribadi menampilkan identitas manusia yang otentik, yang berakar dalam kesatuan manusia-dan-Allah yang paling nyata. Proses belajar menjadi sungguh manusia melibatkan kita pula di dalam perjuangan memulihkan martabat manusia di dalam masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh Yesus Kristus bagi masyarakat pada zaman-Nya. Maka sudah seharusnya katekese membahas isu-isu kemanusiaan zaman ini.
Kedua, katekese di era digital kiranya menjadi moment bagi setiap pribadi beriman yang terlibat di dalamnya untuk masuk ke dalam keheningan, mendengarkan suara-suara Allah, sesama yang seiman dan tak seiman, ciptaan yang lain, dan juga suara dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, katekese harus dirancang sebagai proses edukatif-reflektif yang melibatkan kesatuan pikiran, perasaan, dan tindakan; sebagai proses kreatif yang memekarkan kemampuan umat beriman menciptakan makna. Katekese bukan sekadar presentasi sejumlah informasi/pengetahuan dan rangkaian kegiatan.
Ketiga, mengingat kembali ide katekese umat, katekese menjadi ‘ruang’ untuk umat saling berbagi makna. Melalui sharing makna, umat beriman menjalin berkomunikasi secara personal satu dengan yang lain, dan dengan demikian memperkuat ikatan di dalam komunitas beriman.
Keempat, kita menggunakan media berbasis komputer dan internet dalam berkatekese bukan demi trend dan/atau tampilan keren. Berkatekese menggunakan teknologi digital, kita menanamkan cara-cara berpikir dan bersikap kritis terhadap jejaring kekuasaan teknologi itu sendiri. Sikap kritis katekis terlihat, antara lain, di dalam langkah-langkahnya memilih dan menggunakan teknologi beserta mediumnya bagi proses katekesenya; juga di dalam kehadirannya sebagai pribadi yang tergantikan oleh media digital apa pun. Dari si katekis umat belajar bahwa daya kreatif manusia melampaui kemampuan mekanik produk teknologi.
Kesimpulan
Perkembangan sains dan teknologi membuat manusia mengalami amnesia, lupa akan identitas dirinya. Amnesia identitas diri membuat manusia memberikan diri dikuasai oleh jejaring sains dan teknologi. Di dalam situasi ini, tantangan utama bagi katekese yang memulihkan kembali ingatan manusia bahwa ia bukan makhluk yang terdiri hanya dari daging/tubuh dan mesin (cyborg), melainkan pribadi yang memiliki daya spiritual. Dalam rangka pemulihan ingatan manusia akan kemanusiaannya, katekese menjadi proses belajar untuk menjadi semakin manusia. Proses belajar ini mencakup upaya-upaya: menghadirkan Yesus Kristus sebagai contoh pribadi manusia yang utuh; membuka ruang bagi umat beriman untuk mengalami keheningan, menciptakan makna, dan berbagi makna; mengembangkan daya kreatif dan sikap kritis umat beriman menanggapi perkembangan pesat teknologi.
(Yap Fu Lan adalah dosen di Program Studi Pendidikan Teologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Atma Jaya, Jakarta. Tulisan ini telah disampaikan penulis pada PKKI X 2012 di Bandung)
*********************************
KEPUSTAKAAN
Benedict XVI, Pope. Silence and Words, Path of Evangelization, A Message for the 46th World Communication Day, 20 May 2012. Diakses pada 25 Mei 2012.
_____________________. Truth, Proclamation and Authenticity of Life in the Digital Age, A Message for the 45th World Communication Day, 5 June 2011. Diakses pada 12 September 2011. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/communications/documents/hf_ben-xvi_mes_20110124_45th-world-communications-day_en.html
Choan Seng Song. Jesus in the Power of the Spirit. Eugene, Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2002.
Costa, Arthur L. “Foreword,” dalam Reflective Practice to Improve Schools, oleh Jennifer York-Barr, dkk. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc., 2001, xiii-xv.
Costa, Rosaline. “Internet Users Today in Bangladesh, Positive and Negative Impact.” Paper dipresentasikan dalam The Ecclesia of Women in Asia (EWA) 5 Biennial Conference ‘Wired Asia: Towards an Asian Feminist Theology of Human Connectivity’, 6-9 November 2011, Kuala Lumpur, Malaysia.
Haraway, Donna. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century,” dalam Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature. New York: Routledge, 1991.
Holliday, Ruth, dan Joanna Elfving Hwang. “Gender, Globalization, and Aesthetic Surgery in South Korea,“ dalam Jurnal Body and Society, Juni 2012 vol. 18 no. 2, 58-81. doi: 10.1177/1357034X1244828. Diakses pada 20 Agustus 2012. http://bod.sagepub.com/content/18/2/58
Kitab Hukum Kanonik.
Kongregasi untuk Para Imam. Petunjuk Umum Katekese, 1997.
NN. “A.I.: Artificial Intelligence Plot Summary and Details,” Moviefone. Diakses pada 10 Agustus 2012.
http://www.moviefone.com/movie/ai-artificial-intelligence/9557/synopsis
Panikkar, Raimon. The Experience of God: Icons of the Mystery. Minneapolis: Fortress Press, 2006.
____________________. The Silence of God, the Answer of the Buddha. New York: Orbis Books, 1989.
Paulus II, Yohanes. Ensiklik Redemptoris Missio, 7 Desember 1990.
____________________. Imbauan Apostolik tentang Katekese, Catechesi Tradendae, 16 Oktober 1979.
Paulus VI. Imbauan Apotolik tentang Pewartaan Injil, Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975.
Rahner, Karl. “On the Theology of the Incarnation,” dalam Theological Investigations, Vol. IV. Diterjemahkan oleh Kevin Smyth. New York: Crossroad, 1982.
_____________. Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of Christianity. New York: Crossroad.
Tardelly, Reynaldo Fulgentio. Merasul Lewat Internet, Kaum Berjubah dan Dunia Maya. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Vatikan II, Konsili. Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes, 7 Desember 1965.
Yap Fu Lan. “Silence: the Origin of Evangelization,” dalam DISKURSUS Vol. 10, No. 1, April 2011.
Zizioulas, John D. Communion and Otherness. London – New York: T & T Clark, 2006.
[1] Yap Fu Lan adalah staf pengajar di Program Studi Pendidikan Teologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Atma Jaya. email: yap.fulan@atmajaya.ac.id.
[2] “A.I.: Artificial Intelligence Plot Summary and Details,” Moviefone, diakses pada 10 Agustus 2012.
http://www.moviefone.com/movie/ai-artificial-intelligence/9557/synopsis
[3] Lih. dan bdk. Gaudium et Spes, artikel-artikel 1-3; Redemptoris Missio, artikel-artikel 3, 4, 11; Evangelii Nuntiandi, artikel 18.
[4] Dalam Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature, oleh Donna Haraway (New York; Routledge, 1991), 149-181. Teks artikel “A Cyborg Manifesto” dapat diakses melalui The European Graduate School website, http://www.egs.edu/faculty/donna-haraway/articles/donna-haraway-a-cyborg-manifesto/
[5] Lih. Reynaldo Fulgentio Tardelly, Merasul Lewat Internet, Kaum Berjubah dan Dunia Maya (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 56.
[6] Dalam Jurnal Body and Society, Juni 2012 vol. 18 no. 2, 58-81. doi: 10.1177/1357034X1244828, diakses 20 Agustus 2012, http://bod.sagepub.com/content/18/2/58 . Teks artikel lengkap dapat diakses secara cuma-cuma dalam Academia.edu, http://leeds.academia.edu/RuthHolliday/Papers/744838/Gender_Globalization_and_Cosmetic_Surgey_in_South_Korea
[7] Haraway, “A Cyborg Manifesto.”
[8] Rosaline Costa, “Internet Users Today in Bangladesh, Positive and Negative Impact,” sebuah paper yang dipresentasikan dalam The Ecclesia of Women in Asia (EWA) 5 Biennial Conference ‘Wired Asia: Towards an Asian Feminist Theology of Human Connectivity’, 6-9 November 2011, Kuala Lumpur, Malaysia.
[9] Lih. John D. Zizioulas, Communion and Otherness (London – New York: T & T Clark, 2006), 33-112; 206-249. Ide Zizioulas bersumber dari pengajaran tiga bapak Kappadokia, yaitu: Gregory dari Nyssa,
[10] Karl Rahner, “On the Theology of the Incarnation,” dalam Theological Investigations, Vol. IV, diterjemahkan oleh Kevin Smyth (New York: Crossroad, 1982), 105-120.
[11] Karl Rahner, Foundations of Christian Faith: An Introduction to the Idea of Christianity (New York: Crossroad ), 216.
[12] Choan Seng Song, Jesus in the Power of the Spirit (Eugene, Oregon: Wipf and Stock Publishers, 2002), 104.
[13] Di dalam “Foreword” pengantar yang Costa tuliskan bagi Jennifer York-Barr, dkk. dalam buku mereka Reflective Practice to Improve Schools (Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc., 2001), xiii.
[14] Lih. Benedict XVI, Truth, Proclamation and Authenticity of Life in the Digital Age, A Message for the 45th World Communication Day, 5 June 2011. Diakses pada 12 September 2011. http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/communications/documents/hf_ben-xvi_mes_20110124_45th-world-communications-day_en.html
[15] Benedict XVI, Silence and Words, Path of Evangelization, A Message for the 46th World Communication Day, 20 May 2012. Diakses pada 25 Mei 2012.
Bdk. Raimon Panikkar, The Silence of God, the Answer of the Buddha (New York: Orbis Books, 1989), 42, 165; dan The Experience of God: Icons of the Mystery (Minneapolis: Fortress Press, 2006), 14. Saya pernah mengurai gagasan Panikkar beserta pemikiran-pemikiran Max Picard dan Aloysius Pieris tentang keheningan di dalam artikel “Silence: the Origin of Evangelization” dalam DISKURSUS Vol. 10, No. 1, April 2011.
[16] A.L. Costa, “Foreword,” xiii.
[17] Lih. Catechesi Tradendae, artikel 25; Kitab Hukum Kanonik, Kan. 217.
[18] Lih. Evangelii Nuntiandi, artikel 44; Catechesi Tradendae, artikel 14.
[19] Petunjuk Umum Katekese, artikel 147.
[20] Bdk. Catechesi Tradendae, artikel 5.
[21] Rahner, “On the Theology of the Incarnation,” 110.