Lumen Fidei (Terang Iman) adalah ensiklik pertama dari Paus Fransiskus. Ensiklik ini ditandatangani pada tanggal 29 Juni 2013 dan dipromulgasikan satu minggu sesudahnya, tepatnya pada tanggal 5 Juli 2013. Lumen Fidei (LF) berbicara tentang iman akan Yesus Kristus, yang merupakan anugerah agung Allah bagi manusia dan dunia.
Ensiklik ini terdiri dari empat bab yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan ajakan untuk mengarahkan pandangan kepada Ibu Maria, ikon iman yang sempurna. Pendahuluan (no. 1-7) berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan Ensiklik. Bab Pertama (no. 8-22) menguraikan tentang paham iman mengacu pada pengalaman iman Abraham, bapa kaum beriman, Bangsa Israel dan Gereja Perdana. Bab Kedua (no. 23-36) membahas iman dalam kaitannya dengan kebenaran, akal budi, pencarian akan Allah dan teologi. Bab Ketiga (no. 37-49) berbicara tentang penerusan iman sepanjang sejarah dan seluas dunia. Bab Keempat (no. 50-60) menerangkan tentang iman sebagai sebuah proses membangun suatu tempat di mana manusia bisa hidup bersama dengan orang lain.
Ensiklik ini tergolong unik. Mengapa? Karena ditulis oleh “empat tangan”. Draf pertama ensiklik ini disiapkan oleh Paus Benediktus XVI sedang sentuhan akhir diberikan oleh Paus Fransiskus. Lumen Fidei meski dilihat sebagai kelanjutan dari Magisterium Gereja sebelumnya, yang dipanggil untuk meneguhkan umat beriman akan kekayaan Iman yang tak ternilai yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Di satu sisi, ensiklik ini melengkapi trilogi ensiklik yang mengajarkan tentang keutamaan teologal sebelumnya, yakni Deus Caritas Est (2005) tentang kasih dan Spe Salvi (2007) tentang harapan. Di sisi lain, sebagai ensiklik pertama, Lumen Fidei bisa dilihat sebagai arah kepausan Bapa Suci Fransiskus dalam menggembalakan Gereja zaman ini ke masa depan.
Iman Adalah Terang
Di zaman modern ini, iman sering diperlawankan dengan pengetahuan. Iman dianggap sebagai ilusi, khayalan, sesuatu yang menghambat kebebasan manusia untuk mengeksplorasi cara-cara baru bagi masa depan. Iman seakan-akan mengurangi makna eksistensi manusia yang penuh. Bagaimanapun, pelan namun pasti, menjadi semakin jelas juga di zaman ini bahwa sains dan teknologi tidak memadai untuk menerangi masa depan. Hari esok tetap diwarnai dengan bayang-bayang ketidakpastian. Sebagai akibatnya, manusia meninggalkan pencariannya akan terang sejati dan menjadi puas dengan terang-terang kecil yang memberi kedamaian sesaat namun tidak mampu menunjukkan jalan.
Berhadapan dengan krisis iman zaman ini, melalui ensiklik ini, Paus ingin menegaskan pentingnya menemukan kembali terang iman. Iman adalah cahaya yang mampu menerangi setiap aspek esistensi manusia (LF 4). Iman lahir dari suatu perjumpaan personal dengan Allah yang hidup, yang menyatakan kasih-Nya dan yang memanggil kita untuk menjadikannya sebagai jaminan hidup dan keselamatan.
Secara khusus di Tahun Iman dan peringatan 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II – Konsili mengenai Iman – ini, Paus mengundang semua pelayan dan umat beriman untuk menempatkan supremasi Allah dalam Kristus sebagai pusat hidup, baik sebagai Gereja maupun sebagai pribadi (LF 6). Iman yang berpusat pada Kristus memungkinkan kita untuk memahami makna terdalam kenyataan hidup serta untuk melihat betapa Allah mengasihi dunia ini dan senantiasa membawanya menuju kepada-Nya.
Percaya pada Kasih
Apa itu iman? Iman adalah tanggapan kita terhadap kata yang melibatkan kita secara pribadi, untuk “Engkau” yang memanggil kita dengan nama (LF 8). Sejalan dengan paham iman Konsili Vatikan II (Dei Verbum 5), Paus berbicara tentang iman dalam kaitan yang tidak terpisahkan dengan wahyu, pemberian diri Allah dalam sejarah keselamatan, mulai dari panggilan Abraham hingga memuncak dalam diri Yesus Kristus, kepenuhan wahyu.
Iman adalah penyerahan pribadi seluruh hidup kepada “Pribadi” yang telah lebih dulu menyatakan diri. Aspek personal iman ini tampak jelas dalam pengalaman iman Abraham. Meskipun tidak melihat Allah, Abraham mendengarkan suara Allah. Abraham mendengarkan panggilan Allah dan ia menjawab “ya” pada panggilan itu. Abraham mendengarkan janji Allah dan ia menaruh kepercayaan pada janji itu. Dalam Kitab Suci, digunakan kata Ibrani ’emûnāh yang diturunkan dari akar kata kerja ’amān yang berarti “tetap, teguh, bertahan”. Orang yang beriman menemukan kekuatan dengan meletakkan seluruh diri di tangan Allah yang adalah setia (LF 10).
Iman adalah lawan dari idolatri (pemberhalaan). Belajar dari sejarah Bangsa Israel, menjadi jelas bahwa orang beriman ketika ia memalingkan wajahnya dari berhala-berhala buatan tangan manusia kepada Allah yang hidup dalam perjumpaan personal. Beriman berarti mempercayakan diri pada kasih yang selalu menerima dan mengampuni, yang menopang dan mengarahkan hidup serta yang menunjukkan dayanya untuk meluruskan sejarah yang berliku. Iman tidak lain adalah kemauan – dalam perjumpaan dengan yang lain – untuk membiarkan diri sendiri terus menerus ditransformasi dan dibarui oleh panggilan Allah. Menurut Paus, disinilah letak paradoks iman: dengan terus menerus berbalik kepada kasih Allah, kita menemukan jalan pasti yang membebaskan kita dari kegalauan yang dibebankan kepada kita oleh berhala-berhala (LF 13).
Iman kristiani meyakini bahwa kasih Allah sungguh hadir, berdaya dan menentukan sejarah manusia. Itulah kasih Allah yang dapat dialamirasakan, kasih yang secara penuh dinyatakan oleh Yesus Kristus: hidup, karya dan terutama sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Oleh karena iman kristiani berpusat pada Kristus, maka beriman tidak hanya berhenti sekedar mengarahkan pandangan kepada Yesus. Lebih daripada itu, beriman berarti pilihan mendasar untuk ambil bagian pada cara Yesus memandang segala sesuatu. Kita percaya pada Yesus ketika kita secara pribadi menyambut-Nya ke dalam hidup kita dan berjalan menuju kepada-Nya, mengikatkan diri pada kasih-Nya dan mengikuti jejak-Nya sepanjang jalan (LF 18).
Beriman itu Memahami
“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami” (Yes 7:9). Dengan mengacu pada teks Yesaya terjemahan Septuaginta, Lumen Fidei menegaskan bahwa iman terkait erat dengan akal budi, pengetahuan dan kebenaran. Kita membutuhkan pengetahuan dan kebenaran karena tanpa keduanya kita tidak dapat berdiri teguh dan berjalan ke depan. Iman tanpa kebenaran tidak menyelamatkan dan tidak memberikan pijakan yang pasti (LF 24).
Untuk menjelaskan hal itu, Paus menggunakan gambaran Ludwig Wittgenstein. Beriman dapat dibandingkan dengan pengalaman jatuh cinta, suatu pengalaman subyektif yang tidak dapat diajukan sebagai sebuah kebenaran kepada setiap orang. Bagaimanapun, cinta tidak dapat direduksi pada perasaan sesaat. Cinta memang melibatkan afeksi. Namun untuk dapat keluar dari keterpusatan pada diri sendiri dan mengarah pada yang dikasihi, cinta membutuhkan kebenaran. Hanya cinta yang didasarkan pada kebenaran akan bertahan dalam waktu, mengatasi saat-saat yang berlalu, dan mantap mengarungi perjalanan bersama. Sebaliknya, kebenaran juga membutuhkan cinta. Tanpa cinta, kebenaran menjadi dingin, impersonal dan menyesakkan untuk dihidupi hari demi hari (LF 27).
Iman bukanlah gerak jiwa yang buta. Iman berciri intelektual. Karena lahir dari kasih Allah, iman memungkinkan kita memahami kebenaran kasih Allah yang total dan panggilan untuk saling mengasihi agar dapat tetap tinggal dalam kasih Allah itu. Terang kasih yang tepat untuk iman itu, menurut Paus, dapat menerangi pertanyaan-pertanyaan zaman kita tentang kebenaran. Iman mendorong ilmuwan untuk selalu terbuka terhadap realitas dengan segala kekayaannya yang tidak terhingga. Iman membangkitkan rasa kritis dengan mencegah penelitian dari puas dengan formula-formula sendiri dan membantu untuk menyadari bahwa alam selalu lebih besar. Dengan merangsang rasa kagum pada misteri penciptaan yang mendalam, iman memperluas cakrawala akal budi untuk menjelaskan lebih penuh dunia yang mengungkapkan dirinya untuk penyelidikan ilmiah (LF 34).
Meneruskan Iman
Iman bukanlah urusan privat, gagasan individualistik, atau pendapat pribadi. Iman pada dasarnya berciri eklesial. Iman bekerja dalam diri orang kristiani atas dasar rahmat yang diterima, yakni kasih yang menarik hati kita kepada Kristus dan memungkinkan kita menjadi bagian Gereja yang berziarah sepanjang sejarah sampai akhir dunia (LF 22). Pertanyaannya: bagaimana kita yakin, setelah berabad-abad, bahwa kita berjumpa dengan “Yesus yang riil”?
Untuk menjawab pertanyaan itulah, pada bab ketiga yang diberi judul “Aku menyampaikan kepadamu, apa yang telah kuterima” (1Kor 15:3), secara khusus Paus Fransiskus berbicara tentang penerusan iman. Gereja adalah subyek utama yang menjaga “memori” iman akan pemberian diri Allah yang penuh dalam pribadi Yesus Kristus senantiasa hidup hingga zaman ini. Gereja adalah Bunda yang mengajar kita untuk berbicara bahasa iman (LF 38).
Iman diteruskan kepada kita melalui Tradisi Apostolik yang dipelihara dalam Gereja dengan bimbingan Roh Kudus. Dengan mengutip ajaran Konsili Vatikan II, Lumen Fidei menegaskan bahwa “Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.” (Dei Verbum 8).
Ketika berbicara tentang Tradisi yang hidup, secara spesifik Paus menyebut empat sarana yang sesuai dan proporsional untuk mengkomunikasikan iman, “cahaya baru yang lahir dari perjumpaan dengan Allah yang benar, cahaya yang menyentuh kita pada inti keberadaan kita dan yang melibatkan pikiran, kehendak dan emosi kita, yang membuka bagi kita hubungan yang dihidupi dalam persekutuan” (LF 40). Keempat sarana khusus itu adalah Pengakuan Iman (syahadat), Sakramen-sakramen khususnya Baptis dan Ekaristi, Sepuluh Perintah Allah, dan Doa terutama Bapa Kami (LF 46). Empat hal ini merupakan isi pokok iman Gereja, yang oleh Magisterium dengan setia dan taat diajarkan demi kesatuan iman dan penerusannya yang integral.
Membangun Dunia
Pada bab terakhir, Paus Fransiskus menekankan iman yang terwujud dalam usaha-usaha konkret untuk membangun dunia yang lebih baik. Iman penting untuk mempromosikan keadilan, hukum dan perdamaian. Iman tidak menjauhkan diri kita dari dunia. Sebaliknya, iman justru membuat kita mampu mengapresiasi arsitektur hubungan antar manusia, karena iman menggenggam dasar terdalam dan tujuan terakhir pertalian manusia itu dalam Allah, dalam kasih-Nya. Terang iman tidak hanya mencerahkan interior Gereja. Terang iman juga tidak semata-mata berguna untuk membangun sebuah kota abadi di akhirat. Terang iman membantu kita untuk membangun masyarakat kita sedemikian rupa sehingga mereka dapat melakukan perjalanan menuju masa depan yang penuh harapan (LF 51).
Lumen Fidei menunjuk keluarga sebagai tempat pertama dimana iman menerangi masyarakat. Keluarga pertama-tama dan terutama adalah persatuan yang utuh antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Persatuan ini lahir dari cinta mereka yang menjadi tanda dan kehadiran kasih Allah sendiri. Persatuan ini juga lahir dari pengenalan dan penerimaan kebaikan dari perbedaan seksual, dimana pasangan bisa menjadi satu daging (Kej 2:24). Dalam keluarga dimungkinkan lahir kehidupan baru, manifestasi kebaikan, kebijaksanaan dan rencana kasih Allah (LF 52). Dalam keluarga, anak belajar percaya pada kasih orangtua mereka. Inilah sebabnya, menurut Paus, mengapa sangat penting bahwa dalam keluarga-keluarga, orang tua saling meneguhkan ekspresi iman bersama, yang dapat membantu anak-anak secara bertahap untuk dewasa dalam iman mereka sendiri (LF 53).
Diserap dan diperdalam dalam keluarga, iman menjadi cahaya yang mampu menerangi semua hubungan kita dalam masyarakat. Pengalaman iman akan kasih Allah Bapa memungkinkan kita membangun persaudaraan. Sebagai alternatif dari persaudaraan universal berdasarkan kesetaraan yang dibangun oleh modernitas, kita menawarkan persaudaraan sejati. Iman mengajarkan kita untuk melihat bahwa setiap laki-laki dan perempuan adalah berkah bagi saya, bahwa cahaya wajah Allah bersinar pada saya melalui wajah saudara-saudara saya (LF 54).
Pada akhirnya, Paus Fransiskus menunjukkan terang iman berhadapan dengan penderitaan. Iman bukanlah cahaya yang menyebarkan semua kegelapan kita, tapi lampu yang menuntun langkah kita di malam hari dan sudah cukup untuk perjalanan. Untuk mereka yang menderita, Allah tidak memberikan argumentasi yang menjelaskan semuanya. Jawabannya adalah Allah hadir menyertai. Dalam Kristus, Allah sendiri ingin berbagi jalan ini dengan kita dan untuk menawarkan kepada kita tatapan-Nya agar kita bisa melihat cahaya di dalamnya. Kristus adalah Ia yang, setelah mengalami penderitaan, adalah “pelopor dan penyempurna iman kita”. (LF 57).
Sumber : http://giovannipromesso.blogspot.com/2013/08/lumen-fidei-iman-bukan-ilusi.html
Gambar: www.vatican.va