KEKERASAN DALAM MEDIA; KAJIAN SOSIOLOGIS DAN KATEKETIS
Oleh Ansel Alaman
“Kami tidak memihak jalan kekerasan
bukan karena kita lemah atau pasif, tetapi
karena percaya akan daya kebenaran dan kasih,
dan tidak percaya akan kekuatan senjata dan kebencian.
Saya tidak percaya akan kekerasan, saya tidak percaya akan kebencian”
(Dom Helder Camara, Uskup Agung Brasil)
PEMBUKA
Nabi kurus dari Brasil- Mgr. Dom Helder Camara ini adalah salah satu Uskup paling lantang menyuarakan keadilan bagi kaum tertindas namun menolak menggunakan kekerasan atau non-violence dalam memperjuangkannya. Kita juga mengenal suara padang gurun lainnya, seperti Mahatma Gandhi bapak kemerdekaan India yang terkenal dengan gerakan Ahimsa (pantang kekerasan)[1] atau Pdt. Martin Luther King sang gembala pembela nasib warga kulit hitam Amerika dan Mgr. Oscar Arnulfo Romero dari El Salvador.[2] Mereka rela menumpahkan darah, menyerahkan nyawa, kado indah bagi pemerdekaan saudara-saudaranya yang tertindas, namun dengan cara pantang kekerasan, sebab akan melahirkan kekerasan baru dan menjadi spiral kekerasan yang tak kunjung henti.
Kekerasan dan Media
Setiap hari kita menyaksikan aneka modus kekerasan yang disuguhkan media massa, sudah merasuk jauh ke dalam lubuk hati lapisan masyarakat. Berita-berita kekerasan memenuhi halaman-halaman surat kabar, tak sedikit menjadi head-lines. Demikian pula media elektronik, baik televisi, radio, internet, sebagai berita (news), film-film, iklan penjaja kosmetik, makanan, otomotif, bahkan propaganda politik. Kepada pemirsa ditawari kenikmatan dan keindahan di satu sisi, dan di sisi lain jenis dan modus kekerasan, entah kekerasan fisik seperti perkelahian antar kelompok, suku, baik masyarakat yang dianggap terbelakang seperti Papua maupun oleh masyarakat ibukota Jakarta, yang mengklaim diri lebih beradab.
Selain kekerasan fisik, media juga menayangkan berita kekerasan seksual, seperti perkosaan anak di bawah umur, perilaku sodomi, inzest, dan lainnya. Ada pula berita kekerasan domestik (dalam rumah tangga) seperti penganiayaan istri, anak oleh suami atau ibu terhadap bayinya. Berita pengguguran, pembuangan bayi, perdagangan anak dan wanita (trafficking), sampai pembunuhan secara mutilasi, menampakkan semakin kelamnya mimpi non-violence Camara dan Gandi. Ada pula kekerasan bernuansa politik, seperti demontrasi mahasiswa dan masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan dan trantip. Bahkan ada kekerasan atas nama agama, seperti penghancuran rumah ibadat agama/ kelompok lain oleh kelompok terogranisir seperti Front Pembela Islam (FPI), yang didukung rekan kelompok lainnya Gerakan Pemuda Ka’bah, MMI (Majelis Mujahiddin Indonesia). Mereka mengobrak-abrik rumah ibadah jemaah Ahmadiyah, warung makan yang dituduh menjual miras, rumah bordil, bahkan rumah ibadah agama Kristen. Masih ada sekelompok orang yakni teroris melakukan bom keji atas nama keadilan dan reaksi atas kemiskinan, tetapi justru membenarkan motivasi tindakannya di atas kebenaran agama, menyeret pemeluk agama kedalam ideologi kebencian dan permusuhan. Di layar kaca, 200 orang bom Bali I, tanggal 12 September 2003 lalu dan bom Bali II di blow-up dengan leluasa oleh media.
Semua fakta kekerasan itu di blow-up dengan leluasa oleh media. Selain disajikan dalam bentuk News, kekerasan disajikan media dalam bentuk iklan dan film. Kekerasan dalam iklan seperti cuplikan film atau sinetron menampilkan smasch dari cerita kolosal atau fiktif dengan modus pemukulan, penembakan dengan senjata api, perkelahian antar geng, dan lainnya. Sementara film-film action mempertontonkan adegan kekerasan fisik, senjata api, senjata tradisional. Tentu saja semuanya bermuara ke logika pasar, yang mau merebut hati pemirsa, baik untuk membeli produk seperti koran, majalah, kosmetik, jeans merek tertentu dan lainnya, juga agar pemirsa mau duduk berjam-jam di depan televisi. Film anak-anak juga ternyata tidak kalah seru dengan adegan perkelahian, juga menawarkan ideologi kekerasan yang dilegalkan sebagai alat pembasmi kejahatan. Celakanya, film-film itu sering mengajarkan anak-anak kita mencontohi perilaku tokoh heroik dengan cara menghancurkan lawan yang kemudian tindakan itu identik dengan kebenaran. Dua pernyataan kita tujukan pada insan pers, pertama, dimana batas-batas (tentu saja etika) penyajian perilaku kekerasan, agar tidak asal menyajikan fakta, tetapi reporter dan penyelenggara siaran sadar dirinya sebagai Komunikator, sehingga menolong pemirsa untuk mengelola konflik berdasar perinsip partisipatorik? Kedua, pahamkah komunikator media baik wartawan, Sutradara dan Script-writter, bahwa masyarakat kita memang sudah tergolong kritis bermedia ataukah masih sebagai peniru yang konformis, yang mudah disulut untuk melakukan tindak kekerasan, hanya demi solidaritas yang dangkal?
Program-program televisi, film video, internet, bahkan melalui telepon seluler menyajikan beraneka berita yang memperkaya khasanah pengetahuan, informasi dan membangun jaringan (network). Tetapi sering tanpa kita sadari bahwa melalui program-program itu pula ideologi kekerasan disebar-luaskan di antara penganut garis keras, pemain politik aliran dan preman-preman yang banyak justru mendapat suport penguasa dan militer. Di kalangan anak muda, life-style menjadi trendy yang mengharuskannya tenggelam dalam acara-acara televisi, program film video, internet, tape recorder atau dengan menggunakan flash-disc MP3 dengan aneka lagu gaul yang menggelorakan mereka. Dengan itu kita disadari bahwa media tidak cuma sarana yang menyalurkan pesan/ message, tetapi dalam keseluruhan tampilan dan latar/ groundnya adalah sebagai pesan itu sendiri, atau – meminjam istilah Marshall McLuhan dari Kanada, “the medium is the message”, media itu sendiri adalah pesan.[3] Dengan wajah media seperti itu, di satu sisi menjadi sumber pesan untuk kebaikan bersama, di sisi lain menyebarkan ideologi kekerasan itu sendiri. Contoh konkrit, program video yang disita polisi dari kelompok teroris bom Bali II, yang menyebarkan ideologi kekerasan dan kebencian, sebelum eksekusi mereka dengan bom Jimbaran dan Kuta itu.
Akar Kekerasan
Kompleksnya masalah sosial dan psikologi masyarakat jika tidak dikelola secara baik bisa melahirkan generasi gandrung kekerasan, melegitimasi nafsu Leviatan negara melakukan kekerasan pada warganya, sebagaimana tesis Thomas Hobbes.[4] Ciri Hobbesian ini kemudian melekat dalam tradisi politik Nicollo Machiavelli untuk membenarkan cara pemerintah melakukan kekerasan pada warganya untuk memastikan keamanan negara. Nafsu machiavellian ini kemudian terlembaga dalam penataan pemerintahan, sebagaimana dialami bangsa ini selama 32 tahun masa otoritarianisme Soeharto. Padahal sudah lebih 350 tahun bangsa ini dibesarkan dalam perbudakan dan kekerasan oleh VOC, penindasan Belanda dan otoriterisme sistematik Jepang. Akan tetapi fenomena kekerasan bukan semata persoalan sosial, tetapi berakar dalam strata psikologik manusia. Sigmund Freud misalnya, menemukan fenomena agresi dalam diri manusia, namun ia tidak begitu yakin kalau agresi menguasai individu manusia untuk berbuat nekad, kecuali oleh insting seksual yang disebut fenomena libido.[5] Sementara Konrad Lorenz dan W.Craig sama-sama yakin bahwa perilaku kekerasan dalam diri seseorang adalah “perilaku selera”. Lorenz yakin bahwa “animal rasionalle” itu memiliki karakter hidrolik di balik agresi kekerasan dan pembunuhan keji. Dengan demikian, ketiga ilmuwan ini yakin kalau agresi kekerasan sebagai ekspresi dari dalam diri manusia yang berasal dari bawah sadar (superego dan id), sebagai kulminasi dari hambatan penyaluran energi sepanjang hidup seseorang.
Sekalipun nampaknya Freud dan Freudian tidak menonjolkan retardasi sosiologis seperti kemiskinan, pengangguran, kejahatan kerah putih (white collar crime) yakni korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai “stimulus” agresi kekerasan, namun diyakini bahwa persoalan-persoalan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar manusia muncul akibat ketidak-percayaan masyarakat terhadap hukum positif, yang turut membidani lahirnya aneka kekerasan kolektif.[6]
Involusi sosial dan Kekerasan
Involusi atau kerumitan persoalan sosial yang diasumsikan sebagai penyebab tumbuhnya ideologi modus kekerasan, antara lain:[7]
Pertama, banyaknya anak terlantar. Anak terlantar seperti anak jalanan lahir dari keluarga broken home, gagal perkawinan alias kelahiran yang tidak dihendaki dijual, atau dititipkan ke panti asuhan. Anak-anak dari keluarga seperti ini sangat rentan terlibat dalam berbagai kasus perkelahian antar geng, kampung bahkan mudah disulut melakukan tindakan anarkis dalam berbagai protes sosial. Kedua, yang terkait dengan masalah pertama ialah kemiskinan. Jumlah penduduk miskin menurut data BPS tahun 2004 sebesar 36.146,9 penduduk (16,66%) dengan kontribusi menurut jenis kelamin hampir seimbang yakni laki-laki 18.070 jiwa (16,61%) dan perempuan 18.076,9 (16,72%).[8] Sementara tingkat kemiskinan periode Februari 2006 naik sebesar 39,05 juta jiwa, naik dari 35,1 juta pada Februari 2005 (bdk Media Indo, 7/9/06). Di sisi lain pernah diberitakan melonjaknya tingkat kemiskinan akibat kenaikan harga BBM per Oktober 2005 di atas 60 juta penduduk miskin, baik absolut maupun miskin situasional.
Kondisi seperti ini sering diidentifikasi sebagai “rumput kering mudah disulut menjadi api” sebagai reaksi atas ketidak-adilan ekonomi, dalam cengkeraman neo-liberalisme dan kampitalisme negara maju. Demikian pula tindak pidana terorisme, oleh pelakunya adalah luapan ideologi kebencian oleh kemiskinan struktural dan ketidak-adilan global, akibat keserakahan kapitalisme barat. Bagi kelompok ini, terorisme bukanlah kejahatan transnasional (transnational crime), tetapi sebuah misi untuk menghancurkan pundi-pundi dunia seperi IMF (International Monetery Fund), World Bank, ADB (Asia Development Bank), yang memiskinkan negara berkembang. Samuel P. Huntington mencoba meramalkan adanya benturan antar peradaban[9] bahkan seiring dengan bergulirnya bola salju gelombang demokratisasi ketiga[10], menjadi inspirasi bagi penganut ideologi kekerasan untuk memanggul senjata melawan ketidak-adilan ekonomi dan politik global.
Ketiga, pengangguran. Pengangguran terbuka dan terselubung Indonesia tahun 2003 adalah: pengangguran terbuka sebesar 9,53 juta atau 9,50% dari angkatan kerja yang tahun 2003 jumlahnya 100,32 juta angkatan kerja. Sebab pengangguran menurut temuan SAGKI 2005[11] adalah: Satu, poros pasar: persaingan pasar global; globalisasi membuat investasi mencari lokasi yang aman, nilai tambah besar dan upah buruh murah; regulasi dan birokrasi pemerintahan yang menimbulkan eknomi biaya tinggi; buruh tidak kompetitif; jaminan sosial rendah, dan lainnya. Dua, poros badan publik: rendahnya koordinasi kebijakan antar departemen yang berhubungan dengan ketenagakerjaan; birokrasi rente; sektor yang menyerap tenaga kerja seperti pertanian jusytru tidak menjadi prioritas; rekrut CPNS yang tidak adil dan proyek padat karya masih pionir. Tiga, poros komunitas: orientasi sebagian masyarakat untuk menjadi aamtenar; budaya wirausaha dan kerjakeras tidak signifikan; kualitas tenaga kerja yang masih rendah; akses terhadap sumber daya dan penyebaran ekonomi tidak merata.
Involusi politik juga masuk dalam kategori penyebab kekerasan, baik karena konflik antar faksi internal partai politik, konflik antar parpol, parpol dengan pemerintah. Yang terakhir itu misalnya konsistensi sikap fraksi PDI Perjuangan DPR-RI dalam menolak kebijakan impor beras, kenaikan harga BMM, penggusuran paksa, hak pengelolaan perusahaan minyak seperti blok Cepu oleh Exon Mobille dan Freeport. Dalam voting di Rapat Paripurna DPR-RI, Fraksi PDI Perjuangan kalah, tetapi seluruh warga partai ini dan masyarakat umum yakin kalau pertarungan politik di parlemen bukan satu-satunya arena ekspresi agregasi kepentingan, tetapi juga dalam gerakan sosial masyarakat atau komunitas-komunitas perjuangan.
Katekese Media
Penemuan tekhnologi media dewasa ini, baik massa seperti televisi, radio, internet, atau juga media kelompok (group media) seperti program video, kaset suara, gambar atau foto, merupakan kebudayaan baru[12] dalam pewartaan gereja. Alm. Paus Yoh Paulus II melalui dekrit Intermirifica mengajak semua umat Katolik agar memandang perkembangan tekhnologi media sebagai “sarana yang indah” yang harus dimanfaatkan untuk komunikasi iman. Pertanyaannya, “Jika media massa menyajikan berbagai jenis dan modus kekerasan dan flow media itu sulit dibendung sampai ke kampung-kampung kita melalui antena parabola, handphone dan lainnya, maka katekese umat harus menempuh dua jalan: pertama, memanfaatkan media massa utk pewartaan; dan kedua, menciptakan media alternatif yang menolong kontektualisasi dan keterlibatan iman.
Siaran media, termasuk kekerasan disajikan dengan cara tertentu oleh media, bahkan dengan gaya artistik tersendiri agar menimbulkan message bagi penonton. Pierre Babin yakin bahwa pewartaan zaman ini akan sulit bahkan merasa “dipenjara” kalau hanya mengandalkan kata-kata yang melarang, menggurui dan penuh dengan nasehat moral, jika tidak “mengesankan, indah dan membujuk”[13] untuk mengambil bagian dalam gerakan Kerajaan Allah yang diteladani Sang Guru, Yesus Kristus. Komunikasi yang top-down sulit menumbuhkan habitus baru menggereja dan menegara, sebab perinsip media ialah pengalaman dan fakta terkodifikasi menjadi simbol (symbolik way) yang diinterpretasi berdasarkan top-experience (pengalaman top) seseorang akan kehadiran Allah dalam hidupnya. Dengan memanfaatkan media komunikasi massa seperti televisi, radio, atau media kelompok seperti program video, seorang katekis dapat merefleksi kondisi sosial seperti kekerasan dengan lebih “mengesankan dan dengan sendirinya menggerakkan partisipasi umat untuk mengambil bagian dalam gerakan Kerajaan Allah, seperti mengupayakan perdamaian, persaudaraan sejati, dialog iman dan kehidupan antar umat beragama. Contoh yang mungkin bisa diangkat ialah katekese umat dengan pola SOTARAE (Situasi, Obyektif, Tema, Analisa, Refleksi, Aksi dan Evaluasi) oleh Pater Manuel Olivera[14] dengan menggunakan group media (media kelompok) sederhana, seperti program video, slide, gambar/ foto, bahkan termasuk ceritera rakyat.
SIMPULAN
Sekalipun media tidak ditujukan untuk menyebar-luaskan modus dan ideologi kekerasan, tetapi karena sifat “the medium is the message”, maka media built-in mengandung makna penyebaran ideologi kekerasan di dalamnya. Dalam hal ini media ibarat “Pohon Terlarang” dalam cerita Taman Eden (Kej 3:1-7) dilarang makan oleh Allah, tetapi sekaligus buah pohon itu sendiri tertarik untuk dimakan. Media memberitakan kekerasan agar menimbulkan kesadaran dan efek jera, tetapi ia sekaligus menarik untuk ditiru. Itulah sifat ambiguisitas media. Untuk itu, katekis dan pewarta umumnya terus berjuang menggunakan media untuk pewartaan dan kreatif menciptakan media alternatif terhadap media massa. Perlunya terus-menerus berupaya untuk pendidikan “kesadaran bermedia”, agar modus kekerasan yang disajikan media semakin disadari masyarakat sebagai reaksi sosial atas ketidak-adilan sekaligus membongkar benih kejahatan terselubung yang dilakukan kelompok fundamentalis dalam masyarakat. Penyadaran (konsietisasi) dengan media (siaran televisi, radio, program video, internet, email, handphone dsb) tidak selalu dengan katekese konvensional dan komunitas basis eksklusif, tetapi sebagai dialog persaudaraan dan perdamaian komunitas inklusif, yang anggotanya semua umat beragama, sebab ciri penting dari media ialah “immersion” (pengintegrasian), tanpa memandang agama, suku, ras, partai, golongan sebagai dialog Kerajaan Tuhan. Bagaimana menurut Anda?
*********************
Ansel Alaman
Penulis adalah seorang Katekis, dan politisi
[1] Lih misalnya, Mohandas Karamchand Gandhi, All Man are Brothers (Semua Manusia adalah Saudara), Obor, 1988.
[2] Kisah singkat kedua tokoh pembaru dunia itu dapat dibaca misalnya dalam Christian Feldmann, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, BPK Gunung Mulia dan Kanisius, Yogyakarta, 1989.
[3] Pierre Babin, The New Era in Religious Communication, Augsburg Fortress, 1991, hlm. 21-22
[4] Lih tulisan Romo Prof.Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Perinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2001, 201-211. Tesis Hobbes terlembaga dalam pemikiran politik Nicollo Machiavelli misalnya dalam karya besarnya ”IL PRINCIPE” (Sang Penguasa), yang kemudian menjadi ”kitab suci” oleh beberapa tokoh seperti Stalin dan Musollini.
[5] Lih Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, hlm. 5-11 atau terj.Ind, Akar Kekerasan, Analisa Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Pustaka Pelajar, 2004.
[6] Fenomena itu telah digunakan sebagai alasan pembenar (justified reason) oleh sebagian kelompok muslim yang di banyak kabupaten Indonesia untuk memberlakukan Syariat Islam sebagai pijakan dasar Peraturan Daerahnya.
[7]Lih. W.A.Boner, Pengantar Kriminologi, P.T Pembangunan, Jakarta, 1977, hal. 121- 125
[8] Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2004, hlm. 13
[9]Samuel P. Huntington, The Class of Civilization and the Remaking of World Order, 1996.
[10]Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terj.Asril Marjohan, Grafiti Press, 1997.
[11] Lih SAGKI 2005, “Bangkit dan Bergeraklah!”, hal. 36-38
[12] Pierre Babin OMI, Op.Cit., hlm. 31-33.
[13] Ketiga makna itu sebagai cirri dasar bahasa audiovisual, sehingga media yang digunakan dalam katekese tidak lagi sekedar sebagai “alat” bantu pengajaran agama, tetapi sebagai “bahasa tersendiri” yakni media itu memiliki kekuatan untuk menggerakkan perasaan, pengalaman dan pengetahuan kita untuk berubah, dan media sebagai “kebudayaan baru” yang meliputi segalanya, baik tekhnologinya, maupun nilai-nilai yang ditawarkannya.
[14] Bisa dilihat dalam Manuel Olivera SJ, Group Media, Kanisius, 1989.