Kematian-Nya Menebus Dosa

Yesus wafat.jpg

Dalam persiapan merayakan Paskah tahun ini, saya merasakan ada sesuatu yang bertentangan dengan nurani saya, yaitu sebentar lagi kita akan mensyukuri hukuman salib yang diberikan kepada Yesus. Mengapa penebusan harus dilakukan melalui kematian Yesus? (Lilis Suryani SH, Malang)

Pertama, perlu membedakan secara tegas bahwa yang kita rayakan dan syukuri bukanlah hukuman salib yang ditimpakan kepada Yesus, tetapi kebangkitan Yesus Kristus. Memang kebangkitan itu didahului hukuman dan wafat Yesus di salib, sehingga dalam terang kebangkitan Yesus ini, kita juga mensyukuri sengsara dan wafat Yesus di salib, sehingga dalam terang kebangkitan Yesus ini, kita juga mensyukuri sengsara dan wafat-Nya di salib yang telah menebus kita. Tetapi, rasa syukur ini tak boleh diartikan seolah kita membenarkan dan mensyukuri hukuman yang ditimpakan kepada Yesus.

Kedua, hukuman yang ditimpakan kepada Yesus adalah buah kebencian dan persengkongkolan para pemimpin orang Yahudi pada waktu itu. Yudas digunakan setan untuk mengkhianati Yesus. Demikian pula Pilatus yang tidak bersikap tegas membela Yesus, karena takut kehilangan posisi. Semua ini adalah ungkapan dosa yang menyudutkan Yesus, sehingga di hukum dan di salib.

Harus ditegaskan bahwa Allah Sang Kebaikan pasti tidak menghendaki yang jahat. Allah tak menghendaki kejahatan para pemimpin orang Yahudi, Yudas, dan sikap tidak tegas Pilatus. Mereka itu tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahat mereka, dan tidak bisa disebut sebagai pahlawan. Tetapi, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menggunakan kejadian-kejadian, bahkan yang jahat dan tidak baik itu, menurut rencana ilahi dan untuk kebaikan-Nya. (bdk. HIDUP No. 16, 22 April 2007).
Di sini nampak bahwa Allah tetap menghargai kausalitas yang terjadi di antara ciptaan. Penyelenggaraan ilahi hidup tidak menghapuskan kebebasan manusia. Kausalitas vertikal Allah tak membatalkan kausalitas horizontal ciptaan dan hukum alam yang telah ditanamkan Allah dalam ciptaan. Inilah misteri kekuasaan Allah yang tak terbatas dalam pergaulan-Nya dengan kehendak bebas manusia sebagai ciptaan. Kemampuan ilahi inilah yang tidak bisa ditiru manusia atau dimiliki ciptaan manapun.

Ketiga, wafat Yesus di salib bisa dimengerti dengan baik hanya kalau kita melihat dengan latar belakang dosa manusia pertama, yaitu ketidaktaatan Adam. Wafat Yesus di salib adalah ungkapan ketaatan maksimal yang ditunjukkan Kristus. Kesombongan manusia pertama dibayar dengan kerendahhatian Kristus yang menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah.
Kristus tidak harus mengalami kematian, karena Kristus tidak berdosa. Meskipun kematian ditimpakan kepada Kristus oleh musuh-musuh-Nya, tetapi Kristus tidak menolak, melainkan menerima secara sukarela. Dengan demikian kematian menjadi bukti tertinggi ketaatan Kristus. Ketaatan Kristus kepada Bapa mencapai titik puncak dalam sengsara dan kematian. Surat kepada orang Ibrani menegaskan, “Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah di derita-Nya” (Ibr 5:8). Rasul Paulus meneguhkan, ketaatan Kristus mencapai puncak dalam kematian, melalui perendahan diri secara total (Fil 2:8).

Kematian adalah tindakan manusiawi terakhir yang secara sukarela manusia menyerahkan seluruh diri. Pada saat kemtian, terjadi penyerahan total diri manusia kepada Allah. Manusia tak lagi berkuasa atas dirinya sendiri. Seluruh pikiran, perasaan, rencana dan hidupnya yang dia kuasai di dunia ini, secara sadar diserahkan kepada kehendak Allah. Maka, kematian menjadi ungkapan tertinggi ketaatan manusia kepada Allah. Jika dilihat demikian, maka kematian bukanlah tanda kekalahan, tetapi tanda kemenangan ketaatan Kristus. Dengan kematian-Nya secara sukarela di salib, Kristus menebus dosa manusia.

P. Petrus Maria Handoko CM
Imam Konggregasi Misi, Doktor Teologi Dogmatik Universitas Gregoriana Roma
Dikutip dari Majalah Hidup No. 12 Tahun ke-69, 22 Maret 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *