Renungan Hari Minggu Palma: Mengenang Sengsara Tuhan; “Berjalan Bersama Yesus Dalam Derita’

Bacaan: – Sebelum Perarakan: Mrk.11:1-10 atau Yoh.12:12-16

Bacaan Ekaristi: Yes. 50:4-7; Flp. 2:6-11; Mrk 14:1-15:47

 

(Sebelum Perarakan …)

 Hari ini Pekan Suci kita buka dengan merayakan Minggu Palma atau Minggu daun-daun. Hari dimana prosesi agung, pawai mulia-meriah Yesus masuk kota Yerusalem disertai sorak-sorai, suatu pawai kebesaran. Pawainya Yesus ini bukanlah suatu kebetulan. Hal ini sengaja Yesus lakukan dengan tujuan mau memperlihatkan kepada semua orang, siapa Dia sebenarnya sebelum Ia masuk dalam penderitaan dan wafat-Nya di kayu salib, palang penghinaan.

Dia adalah Al-masih yang dijanjikan para nabi; Dia adalah Raja yang akan datang untuk membawa damai bagi semua orang yang berkenan kepada Allah; Dia adalah penebus dan Juruselamat seluruh dunia.

Peristiwa hari ini mengajak kita untuk berani menentukan pilihan dan sikap iman yang tegas dan benar. Sikap iman yang tidak gampang dimakan kemajuan zaman, digeser oleh kepentingan diri dan mencari aman, yang tidak gampang goyah, bimbang dan ragu, yang tidak menjadi orang beriman Katolik yang ikut arus, ikut ramai dan ikut-ikutan, beriman yang plin-plan, yang kabur dan suram, yang cuma “napas” dan musiman.

Sorak ria “Hosana” yang melengking penuh sukacita, berani dan bangga bahwa kita punya Juruselamat, tidak akan gampang berubah dan berbalik sekejap dengan sorak pengkhianatan “Salibkan”. Daun-daun palma yang dilambai-lambai penuh sukacita itu, kiranya tidak begitu saja berbalik untuk kita gunakan memukul, mencambuk dan mencabik Yesus itu dalam ziarah hidup iman kita. Tangan-tangan-tangan yang melambai terulur gemulai, kiranya tidak begitu saja berbalik menjadi tangan-tangan kasar tak berperasaan menampar dan menudin Yesus yang kita kita banggakan dan kita muliakan.

Apakah kita lebih baik dan lebih sempurna dari khalayak ramai di Yerusalem itu? Kepada dua murid yang diutus Yesus berpesan untuk si pemilik keledai, “Tuhan memerlukannya”. Dan saat ini dan hari-hari hidup kita selanjutnya, Tuhan tidak lagi memerlukan keledai, tetapi Ia memerlukan kita untuk diselamatkan. Tuhan memerlukan kita untuk membawa kasih, damai, pengampunan, cinta kepada orang lain. Tuhan memerlukan hati kita, keluarga kita, Komunitas kita untuk bersama-Nya masuk Yerusalem abadi surgawi.

Mari kita berjalan bersama Dia walau untuk itu kita pun mengalami banyak resiko, tantangan, penderitaan, salib, kehilangabn, dikhianati. Semoga sekali Yesus tetap Yesus dan selamanya Yesus!

(Sesudah bacaan…)

Hari ini kita mengenang sengsara Tuhan Yesus Kristus diawali dengan kisah Yesus masuk kota Yerusalem, dan kisah-kisah yang terjadi selanjutnya ialah: pengkhianatan, penolakan dan penyaliban. Masyarakat jelata menyambut Sang Raja, Mesias sebagai tanda damai dalam kelemahan dan kerendahan hati sebagi Sang Raja yang menawarkan kemenangan dan damai sejahtera melalui salib dan kebangkitan yang akan segera terjadi pada hari Paskah. Yesus menawarkan damai, sukacita dan hidup abadi bagi siapa pun yang menerima-Nya.

Yesus menggunakan keledai pinjaman. Memang dalam banyak peristiwa dan hidup Yesus, Ia menunjukkan betaoa Allah menjadi manusia itu adalah yang tidak punya apa-apa dan miskin agar kita menjadi kaya karena kemiskinan-Nya. Ketika Yesus mengajar, Ia pinjam perahu orang, Ia pinjam roti dan ikan dari bekal seorang anak kecil untuk memberi makan orang banyak. Bahkan ketika Ia lahir, Ia pinjam palungan tempat makan binatang untuk diletakan, ketika kematian pun Ia pinjam kubur orang, dan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia, Ia pinjam hati manusia. Kini Ia pinjam keledai orang untuk masuk Yerusalem.

Yesus Sang Raja damai dan sederhana itu, tidak mencari kemegahan, tidak cari pujiam, tidak cari muka, tidak cari oangkat dan popularitas diri. Karena Ia tahu semuanya itu percuma, tidak ada arti, semu, tidak penting. Bagi Yesus adalah melakukan kehendak Bapa-Nya, taat dan setia. Karena itu, Yesus juga pilih keledai, binatang bodoh itu tapi setia pada tuannya, teguh, kuat, tidak liar, dan tidak takut ketika berhadapan dengan orang banyak yang teriak dan bersorak-sorai. Keledai bidantang bodoh itu tapi dengan tenang maju perlahan.

Saar ini, kita pun diajak untuk merelakan diri, hati dan hidup, juga keluarga, komunitas, untuk dipakai oleh Tuhan membawa damai-Nya karena Tuhan memerlukan. Tuhan memerlukan yang setia, taat, teguh, tidak takut, tidak liar, tidak lari dari Dia dan dari iman kepercayaan kepada-Nya, dan terus membiarkan diri untuk sang Raja Damai masuk hati, hidup, keluarga dan komunitas kita, juga ketika kita harus mengalami penderitaan dan penolakan.

Sambi berlangkah bersama-Nya, kita berdoa: Tuhan Yessus Kristus, jadilah Raja bagi hati, budi, hidup dan keluarga kami. Semoga kami senantiasa merenungkan kelembutan dan kerendahan hati-Mu sebab hanya Dikau yang layak disembah sebagai Raja kemuliaan, kini dan sepanjang masa.**

(Kotbah….)

Ketiga bacaan hari ini yang baru saja kita dengar, sangat berkaitan satu sama lain. Yang mau dinyatakan di sini adalah Kristus utusan Allah yang menderita. Nubuat Yesaya dalam bacaan pertama, tentang “Hamba yang menderita”. Kepasrahan kepada Allah dan cita kepada manusia memberanikan Yesus untuk menghadapi jalan yang terpahit drkslipun; sebab Dia meyakini kepastian bahwa tugas perutusan-Nya tidak akan sia-sia. Dan pesan yang mau disampaikan ialah: hidup di zaman sekarang mungkin sulit sekali menghargai sebuah pelayanan. Ada banyak pelayanan yang tidak dihargai, tidak diterima atau ditolak. Yesus sang pelayan, hamba yang setia dan menderita memilih jalan pelayanan yang tidak dipilih dan diminati banyak orang ialah hamba yang menderita.

Selanjutnya, kepada jemaat di Filipi dalam bacaan kedua, Paulus mengutip sebuah madah yang biasa digunakan dalam ibadah untuk memuji keagungan Yesus Kristus dan pelayanan-Nya sebagai manusia. Terungkap betapa besar pelayanan Yesus Kristus bagi manusia, dengan menyerahkan hidup-Nya sendiri. Paulus mengajak jemaatnya dan kita supaya memiliki perasaan hati seperti Kristus dengan hidup dalam kerendahan hati, cinta dan kerukunan antara satu sama lain. Penyerahan diri Yesus berkenan bagi Allah dan membuka suatu mutu kehidupan secara istimewa. Kematian Yesus Kristus merupakan sebuah titik balik bagi kehidupan. Allah berkuasa atas kehidupan itu akhirnya menerima kematian Yesus sebagai sebuah persembahan yang berkenan. Karena itu sebagai orang beriman diharapkan juga punya kerelaan dan keberanian untuk melayani Allah dan sesama sebagai sebuah persembahan yang indah dan yang berkenan.

Kisah sengsara di awal pekan suci ini, mengajak kita untuk menyadari bahwa:

Yesus memerlukan teman berjaga. Apakah kita siap untuk ikut berjaga bersama Dia? Berjaga dalam menghadapi penderitaan, salib dan kematiaan. Berjaga dengan sungguh dan sepenuh hati, dengan penuh iman, sambil berusaha agar dijauhkan dari pencobaan, diluputkan dari yang jahat, dibebeaskan dari segala ancaman yang membahayakan hidup iman.

Yesus membutuhkan orang yang diajak kerjasama. Apakah sebagai murid-Nya, kita siap bekerjasama dan membantu dalam berbagai tantangan dan kesulitan yang dihadapi Yesus dan sesama atau kita melarikan diri, tidak bersedia, lepas tanggungjawab, cuci tangan, cari gampang, acuh tak acuh dan masa bodoh.

Yesus membtuhkan suatu pengakuan yang jujur, yang benar dan berani tentang Dia; dan tidak tidak mudah menyangkal-Nya seperti Petrus yang begitu mudah menyangkal. Kita ternyata lebih mudah menyangkal janji-janji kesetiaan kita dalam hidup sebagi suami-istri, orangtua, sebagai anak dalam tugas dan pelayanan kita, juga sebagai orang beiman kita mudah ingkar janji batis kita/ Kita lebih mudah tidak setia daripada harus setia sampai akhir.

Ketika orang banyak menganggap dan menuduh Yesus sebagai penjahat, apakah kita berani menunjukkan keunggulan-keunggulan Yesus dan berani memberi kesaksian tentang Yesus atau justru berbalik menuduh, memfitnah dan memutarbalikan kebenaran,

Ketika Yesus wafat di salib, para murid-Nya berdiri di kejauhan bahkan lari meninggalkan Yesus. Apakah kita para murid jaman ini berani mendekat, berani datang kepada-Nya, merasa senasib, sehati dan sepenanggungan dengan sang Juruselamat, atau kita cuma menjadi penonton, cuma kritik dari jauh, cuma persalahkan dari jauh, cuma berani omong di belakang-belakang, cuma main sembunyi-sembunyi.

Yesus menyatakan kesetiaan-Nya yang tuntas pada salib. Salib sebagai sebuah resiko dari suatu perjuangan, resiko dari suatu kesetiaan dan ketaatan, pengorbanan dan cinta yang total dan sempurna. Salib adalah jalan untuk mencapai keselamatan dan kesempurnaan serta kebahagiaan. Karena itu, kita pun diajak untuk berjalan bersama Yesus, agar pada akhirnya kita pun dimuliakan bersama-Nya. Sebab yang bertahan sampai akhir, akan memperoleh mahkota kemuliaan yang abadi.

Tuhan Yesus, berkatilah kami, semoga kami setia dan bertahan bersama-Mu sampai akhir.***

 

Rm. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr; Sekretaris Komkat KWI.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *