KEBIJAKAN GEREJA KATOLIK TENTANG PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

PEMBINAAN IMAN ANAK DI TENGAH ARUS PERUBAHAN ZAMAN

 1.Pengantar

Seperti anggota Gereja lainnya, anak-anak adalah anggota penuh. Mereka juga memiliki peran penting dan sekaligus memerlukan perhatian khusus. Mereka berhak juga mendapatkan perhatian dan pelayanan dalam menumbuhkembangkan hidup beriman mereka. Salah satu  pelayanan yang diberikan Gereja kepada anak-anak dalam rangka pengembangan hidup beriman mereka adalah katekese anak, entah pada usia dini (PAUD) atau bagi anak-anak, yang dikenal dengan nama Bina Iman Anak (BIA), yang harus sudah dimulai pada usia dini anak, karena pada usia ini sangatlah menentukan  bagi perkembangan dirinya menuju kedewasan, juga termasuk kedewasaan imannya.

Bina Iman Anak ini merupakan suatu bentuk bina iman anak yang khas. Kekhasan program ini ditemukan dalam penggunaan pendekatan dan sarana PAUD dalam pelaksanaan Bina Iman Anak. Kekhasan lainnya adalah program ini diperuntukan bahkan kepada anak-anak usia 2-6 tahun, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan keluarga ekonomi lemah, yang belum sempat mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak atau Play Group.

Anak-anak selalu mendapat tempat istimewa di hati Yesus, Sang Guru yang berkeliling sambil mengajar dan berbuat baik. Ia sangat dekat dan mencintai anak-anak. Ia mengenal secara baik kehidupan anak-anak, karena Dia sendiri juga mengalami maa kanak-kanak dalam keluarga. Kepada para murid-Nya Ia berkata, “Biarkanlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 19:14).

Bagi Yesus, anak-anak telah menunjukkan suatu cara yang tepat dalam menanggapi pewartaan-Nya itu. Dalam diri anak-anak, Ia melihat kepolosan, kejujuran dan kemampuan mereka menangkap dan memahami serta menerima warta kabar gembira dari-Nya.

Kitapun kiranya terdorong oleh ajakan Yesus untuk terus menghantar anak-anak kita untuk datang kepada Yesus. Membiarkan mereka untuk mengalami Yesus dan dekat dengan Yesus. Kedekatan itu melalui pengajaran secara intensif baik di rumah,dimana orangtua hendaknya selalu mengajarkan dan menularkan pengetahuan dan iman Kristiani kepada anak-anak; juga melalui teladan hidup yang patut dicontoh. Di sekolah, anak-anak belajar memperdalam informasi mengenai iman Kristiani yang diterimanya dari orangtua, dan di gereja,  mereka mengekspresikan imannya sebagai anggota Gereja serta dibantu, dibimbing untuk mengembangkan religiositasnya.

2.Latar belakang

Usia dini merupakan masa emas perkembangan seorang manusia. Pada masa-masa itu terjadi perkembangan yang sangat pesat pada seorang anak. Untuk meningkatkan potensi perkembangan tersebut, setiap anak membutuhkan asupan gizi, perlindungan kesehatan, pengasuhan, dan rangsangan pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangannya.

Pemberian rangsangan pendidikan dapat dilakukan sejak anak dilahirkan dan dimulai dari lingkungan keluarga. Rangsangan pendidikan ini hendaknya dilakukan secara bertahap, berulang, konsisten, dan tuntas; sehingga memiliki daya ubah (manfaat) bagi anak. Seiring bertambahnya usia, anak-anak membutuhkan rangsangan pendidikan yang lebih lengkap sehingga memerlukan tambahan layanan pendidikan di luar rumah, yang sudah dapat dimulai setelah anak berusia 6 bulan bahkan sejak berusia 3 bulan. Layanan semacam itu  antara lain dilakukan oleh Pemerintah melalui lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), termasuk layanan yang dilakukan oleh lembaga atuan PAUD Sejenis (SPS). Antara rangsangan pendidikan yang dilakukan di rumah (home base) dan yang dilakukan di luar rumah (center base) harus saling mendukung dan melengkapi, sehingga diperoleh hasil optimal. Di sini kita membangun kerjasama Pemerintah dan Gereja Katolik dalam menangani pembinaan anak usia dini, dalam bentuk layanan PAUD yang diintegrasikan dengan program BIA, yang disebut Bina Integrasi  PAUD-BIA.

Perlu disadari bahwa, Gereja hidup untuk “mewartakan Injil”. Tugas perutusan ini mencakup “memaklumkan, memberi kesaksian, mengajar sakramen-sakramen, serta kasih akan sesama”, sebagai sarana mewartakan Injil. Tugas evangelisasi ini oleh Gereja dilakukan tahap demi tahap. Dekrit Konsili Ad Gentes menjelaskan proses evangelisasi mencakup: “kesaksian Kristiani, dialog, dan kehadiran dalam kasih” (AG 11-12); katekumenat dan inisiasi Kristen (AG 14); pendidikan komunitas-komunitas Kristiani melalui dan dengan perantaraan sakramen-sakramen dan pra pelayannya (AG 15-18) (PUK 47-48). Berdasarkan gagasan Dekrit Ad Gentes  inilah, dipahami evangelisasi dibangun berdasar tahap ekklesial, sehingga dibedakan antara kegiatan misioner kepada orang-orang yang belum mengenal Injil; kegiatan katekese bagi mereka yang mempersiapkan diri menerima baptisan; serta pastoral untuk mereka yang sudah ada dalam pangkuan Gereja (PUK 49). Proses evangelisasi itu menyangkut pelayanan sabda (PUK 50-52); pertobatan dan iman (PUK 53-54).

Pedoman Umum Katekese (PUK) no. 30 menegaskan,  “Katekese harus menghadirkan dirinya sebagai pelayan yang sahih bagi evangelisasi Gereja dengan sebuah tekanan ada karakter misioner; katekese harus terujut pada mereka yang telah dan terus menjadi penerima yang istimewa: anak-anak, kaum remaja, kaum muda dan orang dewasa; katekese harus menjadi sekolah pedagogi Kristen yang tepat dan benar; katekese harus mewartakan misteri-misteri mendasar Kristianitas; katekese harus menyiapkan dan membina para katekis

3.Pembinaan Iman Anak

Sharing pengalaman peserta pertemuan mencari arah dasar pembinaan iman anak Gereja Katolik Indonesia masa kini, ( Klender, 21-24 Juni 2006) antara lain menegaskan beberapa hal berikuta

a. Anak sebagai subyek.

Anak sebagai pribadi yang berharga dan unik adalah subyek pembinaan. Maka anak harus menjadi fokus reksa pastoral. Yang dimaksud dengan anak disini adalah anak usia dini dan usia Sekolah Dasar (0 – 12 tahun).

b.Anak dalam tahap-tahap pembinaannya.

Dalam usaha pembinaan iman anak,  kita harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan anak sesuai dengan karakteristik dan konteks sosial budayanya.  Perlu kiranya diperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh secara dominan dalam perkembangan anak yakni: keluarga, sekolah, teman sebaya dan kemajuan teknologi khususnya media.

c. Keluarga

Keluarga adalah Gereja Rumah Tangga (Ecclesia Domestica), tempat penyemaian dan pengembangan iman anak untuk menjadi manusia seutuhnya. Anak dihantar dan dibimbing ke arah iman dewasa (ada keseimbangan antara pengetahuan dan penghayatan iman). Oleh karena orangtua adalah mitra Allah dalam karya penciptaan manusia baru, maka harus menjadi pembina utama dan pertama serta tak tergantikan, melalui kesaksian dan keteladanan hidup kristiani sejati yang diwujudkan dengan pemberian kasih sayang yang tulus, adil dan arif bijaksana (bdk.LG 11; GE 3; FC 50).

d. Pembina iman anak

Pembina iman anak yang utama dan pertama adalah orangtua. Dalam pelaksanaannya, orangtua bekerja sama secara sinergis dan seimbang dengan para pembina iman anak di sekolah, di paroki dan di masyarakat. Pembina iman anak harus memperhatikan martabat dan hak-hak anak.

4.Penanggungjawab reksa pastoral

Hirarki sebagai penanggungjawab reksa pastoral Gereja; karena itu hirarki Gereja mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membimbing, mengarahkan dan mendukung sepenuhnya reksa pastoral pembinaan iman anak. Tanggungjawab hirarki dalam reksa pastoral pembinaan iman anak terungkap dalam dokumen-dokumen Gereja universal dan partikular, antara lain:

a. Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium art.11, Gaudium et Spes art.  50, Gravissimum Educationis  art.3.

b. Catechesi Tradendae, art. 36

c. Familiaris Consortio, art.50

d. Kitab Hukum Kanonik 1983, Kan.867.

e. Pedoman Gereja Katolik Indonesia 1995.

f. Hasil SAGKI 2000 yang dikukuhkan Sidang KWI 2000.

g. Hasil SAGKI 2005 yang dikukuhkan Sidang KWI 2005.

Demi tercapainya pembinaan iman anak yang seutuhnya dan sepenuhnya, diperlukan perubahan-perubahan (metanoia) dalam diri anak dan pelaku reksa pastoral.

  1. Anak: menyadari dirinya sebagai subyek yang bertumbuh dan berkembang secara manusiawi dan kristiani serta inklusif sesuai tahap-tahap perkembangan yang dilaluinya.
  2. Keluarga/Orangtua: menyadari bahwa keluarga adalah Gereja Rumah Tangga, yang berperan sebagai pembina utama dan pertama.
  3. Wali Baptis: meningkatkan tanggungjawabnya dalam proses perkembangan iman anak baptis.
  4. Gereja/Komunitas: lebih inklusif dan peduli pada pembinaan iman anak, terutama yang terlantar dalam pembinaan imannya.
  5. Hirarki: lebih mendengarkan, melaksanakan dan meningkatkan mutu reksa pastoral sesuai ajaran Gereja.
  6. Fasilitator/Para Pembina Iman Anak: membaharui diri terus menerus sebagai saksi Kristus sejati secara aktif-partisipatif.
  7. Lembaga-Lembaga Reksa Pastoral: semakin meningkatkan kerjasama dengan membentuk jejaring yang sinergis

5.Kriteria untuk penyajian pesan Injil

Kriteria untuk penyajian pesan Injil dalam Katekese adalah sebagai berikut (PUK 97):

  1. Berpusat pada pribadi Yesus Kristus (kristosentris). Ini berarti katekese menghadirkan Kristus sebagai pusat sejarah keselamatan dan menyampaikan ajaran-Nya bagi manusia. Dimensi kristosentris ini juga menjadikan katekese berdimensi triniter (PUK 99). Untuk itu, katekese perlu memperhatikan hal-hal berikut yaitu: struktur internal katekese harus bersifat kristosentris-triniter, melalui Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus; mengikuti pedagogi Yesus Kristus yang menunjukkan hidup Allah paling dalam dengan karya keselamatan dan demi kesejahteraan manusia; serta mempunyai implikasi penting dalam hidup manusia (PUK 100)
  2. Berpusat pada anugerah keselamatan yang berisikan sebuah pesan tentang pembebasan”. Katekese meneruskan pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah, sebagai “karunia Allah yang terbesar, yang harus dipandang sebagai tidak hanya mencakup pembebasan dari segala sesuatu yang membuat manusia tertekan, melainkan teristimewa pembebasan dari dosa dan dari kekuatan kejahatan” (PUK 101). Jadi pusat katekese ialah Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. Dan dalam mewartakan Kerajaan Allah ini Yesus menyapa orang miskin, maka katekese juga menyangkut dimensi pembebasan riil (PUK 103-104).
  3. Berciri eklesial yang mencerminkan sifat historis-nya. Katekese sebagai proses penerusan iman dijalankan dalam dan bersama Gereja. Melalui katekese itu juga orang menerima iman Gereja (PUK 105-106). Gereja mengakui karya Allah terjadi melalui sejarah dan Gereja juga meneruskan pesan Injil dalam proses sejarah. Maka di satu diperlukan penyajian sejarah keselamatan, untuk memahami bagaimana Allah bekerja dalam sejarah, tetapi juga perlu bahwa setiap isi iman diterangkan dalam konteks masa kini (PUK 107-108).
  4. Inkulturatif. Misteri inkarnasi Sabda Allah menjadi model bagi evangelisasi, Gereja “dipanggil untuk membawa kekuatan Injil ke dalam inti budaya dan kebudayaan-kebudayaan” (CT 53). Diperlukan inkulturasi iman, agar pesan Injil sungguh merasuki orang dengan kebudayaannya. Dalam kerangka ini salah satu tugas konkret ialah “menyusun katekismus lokal” (PUK 110). Petunjuk Umum Katekese memberi catatan perlunya “meneruskan pesan Injil dalam keutuahan dan kemurniaannya” (PUK 111).
  5. Bersifat komprehesif dengan hirarki kebenarannya sendiri, namun membentuk suatu sintese yang iman yang koheren dan vital. Meski kebenaran iman mempunyai hirarkinya, tetapi bahwa kebenaran iman tertentu kurang dari yang lain, tetapi ada kebenaran iman yang memang tergantung dari kebenaran iman lainnya (PUK 114-115). Ciri komprehensif pesan Injil itu juga termasuk kaitannya dengan hidup manusia masa kini (PUK 116-117) dan cara penyampaian katekese sendiri (PUK 118).

Dalam menjalankan karya katekese, “Gereja mengambil metode-metode yang tidak bertentangan dengan Injil”, semua metode itu bertujuan sederhana “pendidikan iman” (PUK 148). Dalam proses katekese selalu perlu ditegaskan kesatuan antara metode dan isi, “metode melayani wahyu dan pertobatan”, isi tidak boleh dikalahkan oleh metode. Dan metode katekese berkait erat dengan metode pendektan terhadap Kitab Suci maupun pendekatan terhadap ajaran-ajaran Gereja, metode untuk memahami tanda-tanda liturgis, dan bahkan metode membaca media masa (PUK 149). Dalam sejarah katekese, pantas disebut berkembangnya metode induktif, yang berpangkal dari fakta-fakta (peristiwa biblis, tindakan liturgis, pengalaman Gereja, pengalaman manusia) menarik kesimpulan yang berkaitan dengan perwahyuan. Metode ini dipandang sangat cocok dengan sifat pengetahuan iman, yaitu pengetahuan melalui tanda-tanda. Namun metode induktif tidaklah mengabaikan metode deduktif yang menjelaskan fakta. Namun deduktif hanya menjadi penuh kalau dilengkapi induktif (PUK 150). Sebagai sarana katekese, metode ini memiki arti lain: yaitu “kerygmatic”(gerak turun), yang berpangkal dari pewartaan pesan, seperti rumusan ajaran dan kemudian menerapkannya dalam pengalaman hidup sehari-hari; dan metode “eksistensial” (gerak naik) yang berpangkal dari pengalaman manusia yang kemudian diterangi dengan sabda Allah (PUK 151).

6.Perhatian Gereja terhadap Pendidikan Iman Anak

Sebagaimana yang diuraikan di atas, Gereja Katolik sangat peduli terhadap pendidikan iman anak. Beberapa dokumen yang dapat kita sebutkan disini antara lain: Gaudium et Spes (GS), Gravissimum Educationis (GE), dan Instrumentum Laboris (IL)*) dapat menjadi rujukan.

Sekedar contoh seperti dalam Gravissimum Educationis (GE), dalam artikel 1 tentang Pendidikan pada umumnya, dikatakan bahwa, Semua dan setiap orang mempunyai hak tidak tergugat atas pendidikan, sesuai dengan tujuan dan  bakat serta latar belakang budaya. Pendidikan yang benar mengikhtiarkan pembinaan pribadi baik untuk tujuan akhir maupun untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan juga harus membantu pengembangan bakat fisik , moral dan intelektual secara harmonis. Pendidikan perlu memperhatikan nilai-nilai moral dan iman. Konsili Vatikan menganjurkan, supaya putera-puteri Gereja dengan jiwa besar menyumbangkan jerih payah mereka di seluruh bidang pendidikan, terutama dengan maksud, agar buah-buah pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya selekas mungkin terjangkau oleh siapapun di dunia.

Bagi mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan, yakni para orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama. Masyarakat juga ikut bertanggung jawab atas pendidikan demi kesejahteraan umum dengan tetap mengindahkan keinginan para orang tua. Gereja selaku Bunda wajib menyelenggarakan pendidikan , supaya seluruh hidup mereka diresapi oleh semangat Kristus (GE art.3)

Pendidikan moral dan keagamaan di sekolah. Gereja berkewajiban untuk mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan bagi semua putera – puterinya, termasuk yang berada di sekolah bukan Katolik , melalui kesaksian hidup para pendidik, kerasulan sesama siswa dan terutama melalui pelayanan imam dan awam. Gereja memuji para penguasa dan masyarakat sipil dalam masyarakat yang menjamin kebebasan beragama bagi warganya dan pendidikan moral di sekolah sesuai dengan prinsip – prinsip moral dan relegius yang dianut oleh keluarganya (GE arti 7).

Peran Guru :

a).Menurut Gaudium et Spes (Gereja dalam dunia modern)

  • Menanamkan nilai panggilan Kristiani Kepada peserta didik. Nilai itu antara lain: Nilai teologal (iman, harap, dan kasih).
  • Menjadi pewarta Gereja yang hidup kepada peserta didik melalui tugas dan jabatanya melalui “TRI TUGAS KRISTUS dan PANCA TUGAS GEREJA”.
  • Mengajarkan untuk menghormati ciptaan Allah (Bdk: GS art. 12-32).

b).Menurut Gravissimum Educationis (Pendidikan Kristen)

  • Mewartakan jalan keselamatan yakni YESUS KRISTUS (Bdk: GE art. 3)
  • Mendidik, menanamkan nilai MORAL dan MARTABAT melalui kesaksian hidup (Bdk: GE art. 7)
  • Guru adalah RASUL (menciptakan lingkungan hidup bersama: Di sekolah orangtua, masyarakat. Di semangati oleh INJIL dan CINTA KASIH (Bdk: GE. art. 8).

c).Menurut Instrumentum Laboris (Kongregasi untuk pendidikan katolik ) Mendidik masa kini dan masa depan: Semangat yang diperbaharui SDG No. 97)

  1. Pewarta kabar gembira menuju keselamatan (Bdk: LG No. 11, IL no 11. b).
  2. Menciptakan iklim pendidikan yang kondusif di lingkungan sekolah.
  3. Fokus terhadap tugas pendidikan yang mempunyai nilai/aspek kognitif, afektif, sosial, professional, etis dan spiritual sehingga peserta didik et home dalam belajar belive percaya akan masa depan, sense of belonging terhadap pembelajaran dan pengetahuan.
  4. Tanggungjawab utama guru adalah untuk membantu generasi muda menjadi tertarik pada pengetahuan dan memahami pencapaian dan penerapannya.
  5. Memiliki kemampuan dalam:
  • Menciptakan, menemukan, mengelola lingkungan pembelajaran dan menyediakan banyak peluang pengetahuan “guru senantiasa kreatif dan banyak membaca”.
  • Menghargai keberagaman peserta didik (karakter, kecerdasan, latar belakang, agama, status sosial dll).
  • Mengarahkan potensi, cita, peserta didik untuk masa depan.
  • Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyadari dampak sosial apa yang sedang mereka pelajari.
  1. Para guru harus terbuka dan secara professional berpengetahuan luas ketika sedang memimpin kelas dimana keberagaman diakui, diterima serta dihargai sebagai aset pendidikan yang bermanfaat bagi setiap orang.

7.Penutup

Pembinaan iman anak bertujuan membangun atau mendewasakan religiositas anak. Dengan bantuan pembinaan iman, anak diharapkan menghayati imannya dengan semakin mandiri dan semakin bertanggung jawab. Perlu dipahami bahwa tempat dan cara mengembangkan iman anak, pertama-tama berkembang dalam keluarga melalui pengajaran dan teladan yang diberikan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. Iman anak berkembang pula dalam pembinaan iman anak yang dilaksanakan melalui pengajaran dan teladan pembina iman anak, bukan sebagai pengganti, tetapi sebagai pengembang dan pelengkap pembinaan iman anak dalam keluarga. Iman anak juga berkembang dalam pergaulan dengan teman melalui pengaruh yang diberikannya. Iman anak berkembang dalam jaman yang maju ini melalui pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi informatika, dan perkembangan pemikiran manusia.

Kelompok PAUD-BIA merupakan salah satu wadah yang secara sengaja dibentuk untuk ‘menularkan’ iman Kristiani kepada anak-anak. Model pengajaran yang diterapkan melalui permainan, nyanyian, dan cerita Kitab Suci. Dengan cara ini, anak-anak akan mengetahui secara lebih baik siapa sebenarnya yang mereka imani, mendekatkan mereka pada Yesus, serta menjadi bekal bagi mereka agar kelak mereka mampu mempertanggngjawabkan iman yang mereka miliki kepada orang lain. Kalau tidak, maka generasi penerus kita akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak cukup tahu tentang apa yang dianutnya.

Karena itu maka betapa pentingnya kasih sayang yang kita curahkan kepada anak-anak, cinta kita lebih berarti dari uang. Perhatian, kasih sayang, masih kurang jika tidak mau mempelajari perkembangan anak tersebut. Perlu diingat bahwa masa kecil adalah landasan pendidikan (iman, perilaku, budi pekerti, dll) untuk masa depannya, menjadi sangat penting. Tugas ini adalah panggilan Gereja, panggilan kita semua! **

Jakarta, 12 Maret 2019

Fransiskus Emanuel da Santo

*)Catatan :

Gaudium et Spes(GS) – adalah Konstitusi Pastoral tentang “Gereja di Dunia Dewasa ini”. Dokumen ini menguraikan hubungan Gereja dengan dunia dan umat manusia zaman sekarang berdasarkan azaz-azaz ajaran.

Gravissimum Educationis (GE)adalah dokumen tentang Pendidikan yang diterbitkan oleh Konsili Vatikan II pada 26 Oktober 1965. Tujuannya adalah untuk mengingatkan semua orang yang dibaptis akan pentingnya pendidikan dengan menyediakan garis pedoman dasar tentang tema-tema pendidikan.

Instrumen Laboris (IL) adalah dokumen yang bertujuan untuk menyediakan pedoman bagi Gereja dan perkumpulan-perkumpulan dalam menyelenggarakan prakarsa pendidikan, termasuk juga dalam menyelenggarakan kegiatan gerejawi dan budaya; dan menjadi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan pendidikan di masa mendatang.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *