Rambahlah Benua Digital : Dorongan Pimpinan Gereja tentang Internet

Putranto.jpg

RAMBAHLAH BENUA DIGITAL: DORONGAN PIMPINAN GEREJA TENTANG INTERNET
RP. C.B. Putranto SJ

Pengantar Permasalahan
Sebuah penglihatan di suatu malam mengubah rencana Paulus semula untuk mengunjungi banyak tempat di Asia Kecil; Roh Kudus memerintahkannya untuk menyeberang ke Makedonia, ke benua Eropa untuk mewartakan Injil. [lih. Kis 16:6-12] Tidak tersirat dalam benaknya sedikitpun bahwa langkah ini menentukan sejarah Gereja untuk selanjutnya. Sekarang pun, suatu evolusi yang semula dikira sebagai sekedar perbaikan teknis terhadap sistem komunikasi yang sedang berjalan, ternyata lebih cepat daripada yang diperkirakan, bahkan membawa perubahan mendasar dalam cara orang berkomunikasi. Perkembangan dunia digital yang sedang berlangsung sekarang ini menjadi amat kompleks, sehingga tidak mudah untuk merefleksikannya sambil memilah unsur-unsurnya. Untuk itu orang perlu mengambil jarak sejenak dari itu, jarak hening, untuk “mendengarkan” , memilah, dan mengorientasikan diri, sejalan dengan anjuran Paus Benediktus XVI dalam “Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke 46” tahun 2012 ini. Karangan pendek ini berupaya untuk menolong para pemuka kateketik yang sedang berkumpul dalam PKKI X ini menyadari beberapa segi penting dari budaya digital di mana kita hidup ini dan untuk mengenali panggilan sebagai katekis di dalamnya. Persoalannya: Menilik pengalaman bersama-sama hidup dalam budaya digital, bagaimana seorang pewarta menemukan pernan di dalamnya, selanjutnya, sikap dan langkah mana yang perlu diambil sebagai arah umum bagi dunia kateketik di Indonesia?

Maka refleksi ini akan bertolak apa yang menjadi karakteristik alam digital sejauh dilibati oleh orang biasa zaman ini, termasuk kita yang ada di sini. Mulai dari hal-hal yang langsung jelas, kemudian kalau bisa lebih masuk lagi ke dalam hal-hal yang tidak langsung kentara. Dan sejauh mungkin dalam setiap karakteristik yang dilukiskan akan diperhatikan apa yang sudah dikatakan dan diharapkan oleh Gereja lewat pimpinannya dalam hal yang bersangkutan. Pada bagian yang berikutnya macam-macam karakteristik itu akan dicoba diolah untuk mengidentifikasi baik tantangan maupun peluang yang terkandung di dalamnya dalam perspektif tugas pewartaan sebagai insan kristiani. Selanjutnya, akan dicoba digambarkan situasi kateketis macam apa yang ada pada masyarakat dunia digital ini, dengan harapan agar jalan untuk menanggapinya juga semakin jelas.

I. Cara Berpikir Gereja Menghadapi Komunikasi Modern
Pada umumnya Gereja bersikap amat positif terhadap kemajuan pesat sarana-sarana komunikasi sosial, termasuk internet. Sikap itu selalu diungkapkan dalam acuan yang konsisten terhadap jatidiri dan perutusan Gereja sendiri bagi seluruh umat manusia, di tengah dunia modern ini, khususnya setelah Konsili Vatikan II (1962-1965). Kendati untuk ukuran sekarang tampak “narsisistik”, namun untuk zaman itu amat sangat diperlukan, yaitu bahwa Gereja merefleksikan misterinya sendiri dalam terang Wahyu ilahi dan dalam konteks zaman modern. Menarik sekali untuk disimak bahwasanya jatidiri Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu organisasi kelembagaan, melainkan sebagai persekutuan, yaitu sesuatu cara berelasi yang ditandai oleh saling berbagi kehidupan dan komunikasi. Ini berlaku untuk memandang misteri Gereja sendiri (Lumen Gentium), dalam menelaah tindak bakti dan liturgi (Sacrosanctum Concilium), dalam mengulas relasi Gereja dengan Dunia Modern (Gaudium et Spes), khususnya sehubungan dengan perutusan Gereja sendiri (Ad Gentes), dengan saudara-saudara kristiani bukan katolik (Unitatis Redintegratio), agama-agama bukan kristiani (Nostra Aetate) dan akhirnya sehubungan dengan alat-alat komunikasi modern (Inter Mirifica).

Bagi dokumen terakhir ini, dalam konteks pewartaan Injil, semua media itu bisa dipergunakan oleh Gereja pada suatu kedalaman yang melibatkan suara hati dan moralitas. Semua ini dalam semangat kekaguman dan syukur atas genialitas yang telah dianugerahkan Allah Pencipta kepada makhluk manusia untuk bisa menemukan sarana-sarana itu. Tentang ini pula, empatpuluh tahun setelah konsili, Gereja terus mengajak umat beriman untuk tidak takut memanfaatkan internet: “Tinggal di belakang akibat ketakutan akan teknologi atau oleh suatu sebab lain merupakan sikap yang tidak dapat diterima, mengingat begitu banyaknya kemungkinan positif yang terkandung dalam internet.”

Dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sedunia yang ke-24 (1990), Paus Yohanes Paulus II merangkum sebagai berikut:
“Metode-metode untuk memperlancar komunikasi dan dialog di antara anggota-anggota Gereja dapat memperkokoh kesatuan antar mereka. Akses langsung pada informasi memungkinkan Gereja untuk memperdalam dialognya dengan dunia dewasa ini: Gereja menjadi lebih siap menginformasikan kepada dunia tentang imannya, dan menjelaskan tentang posisinya mengenai pokok-pokok atau peristiwa tertentu. Gereja sendiri pun dapat mendengarkan dengan lebih jelas suara pendapat umum, dan dengan demikian memasuki suatu dialog terus-menerus dengan dunia di sekitarnya…”

Ada dua optik yang bisa ditunjuk bila menyimak pernyataan Gereja pasca Vatikan II tentang alat-alat komunikasi modern. Optik pertama adalah “optik instrumentalisasi”, yaitu cara pandang yang melihat media komunikasi modern itu sebagai suatu sarana penting untuk melaksanakan tugas misioner Gereja, yaitu mewartakan Injil. Optik kedua bisa disebut “optik perjumpaan”, yaitu yang melihat media komunikasi modern sebagai “Areopagus baru” zaman ini, di mana berlangsung secara nyata apa yang setelah konsili diistilahkan dengan “evangelisasi budaya-budaya”. Media komunikasi modern menghasilkan budaya baru, dan ke situlah Injil harus dipertemukan juga.

Optik yang pertama lebih melihat internet sebagai sarana yang handal untuk menjalankan tugas perutusan Gereja. Ini tampak misalnya dalam seruan Paus Benediktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia ke 44 tahun 2010: “Dunia komunikasi digital, dengan kemampuannya untuk berekspresi nyaris tanpa batas, membuat kita lebih menghargai seruan Paulus: ‘Celakalah aku bila aku tidak mewartakan Injil!’ [1 Kor 9:16]” Dan selanjutnya juga betapa kuatnya seruan yang tertuju pada para imam ini:

“Tersebarnya komunikasi multimedia berikut ‘pilihan-pilihan menu’ yang kaya dapat saja membuat kita berpikir bahwa cukuplah hadir saja pada Web, atau melulu melihatnya sebagai suatu spasi untuk ditempati. Namun demikian, dengan tepat imam-imam bisa diharapkan untuk hadir dalam dunia komunikasi digital sebagai saksi-saksi Injil yang setia, memainkan peranan khasnya sebagai pemimpin-pemimpin jemaat, yang semakin mengungkapkan diri mereka dengan ‘suara-suara yang berbeda’ yang disediakan oleh pasar digital. Dengan demikian para imam ditantang untuk memaklumkan Injil dengan memanfaatkan generasi mutakhir dari sumber-sumber daya digital (gambar, video, animasi, blog, website) yang (…) bisa membuka pandangan baru yang luas untuk dialog, evangelisasi dan katekese.”
Seruan Paus Benediktus XVI ini menggemakan sikap yang sudah lama dianut Gereja, yaitu bahwa semua sarana manusiawi yang tersedia hendaknya dipergunakan untuk mewartakan Injil Kristus kepada semua orang.

Optik yang kedua melihat dalam suatu perspektif yang lebih luas, yang anehnya muncul justru dalam zaman sebelum internet sendiri merambah sebagai bagian hidup seluas seperti sekarang ini. Dalam perspektif ini, media modern, –dan sekarang internet bisa dimasukkan ke situ–, merupakan “tempat perjumpaan” antara macam-macam manusia, seperti peristiwa Areopagus yang diceritakan dalam kitab Kisah Para Rasul [Kis 17:16-34]. Dalam dunia media modern yang disebut “Areopagus baru”, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan bahwa perutusan evangelisasi tidak hanya berupa perbanyakan kegiatan pewartaan atau menyebarluaskan warta kristiani maupun ajaran Gereja, melainkan menjalin perjumpaan-perjumpaan warta Injil dengan budaya baru yang tercipta dari media-media ini. Mau tidak mau ini mengingatkan apa yang sering dikatakan dalam zaman yang lebih terdahulu lagi, awal tahun 1970an, tatkalah ramai dibicarakan evangelisasi budaya-budaya dan tema inkulturasi. Dalam ensikliknya, Redemptoris Missio (1990), Paus Yohanes Paulus II menegaskan:

“Areopagus pertama dari zaman modern adalah dunia komunikasi, yang memupuk kesatuan umat manusia dengan membuatnya laksana “dusun yang besar”… Keterlibatan dalam media , kendati demikian, tidak melulu bertujuan untuk memperkokoh pewartaan Injil. Ada suatu realitas yang jauh lebih dalam di sini: Oleh karena evangelisasi budaya modern itu sendiri dalam kadar yang amat besar tergantung dari pengaruh media, tidak cukuplah untuk memanfaatkan media guna menyebarkan warta kristiani dan ajaran-ajaran otentik Gereja. Diperlukan pula integrasi antara warta tersebut dengan ‘budaya baru’ yang tercipta dari komunikasi modern. Ini merupakan perkara yang amat kompleks oleh karena ‘budaya baru’ itu muncul tidak hanya dari isi yang disampaikan, tetapi lebih dari fakta adanya cara-cara baru berkomunikasi, dengan bahasa-bahasa yang baru, teknik-teknik yang baru dan psikologi yang baru pula.”

Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sedunia ke-45 tahun 2011 juga menyebut segala perubahan yang berlangsung dari kemajuan ini sebagai “periode transformasi budaya yang luas”. Maka bila dunia digital dan internet ini dilihat dalam perspektif budaya, konskuensinya bagi evangelisasi dan bagi katekese menjadi lebih kompleks juga dan lebih sulit untuk ditunjuk begitu saja dengan jelas. Paus Benediktus sudah mendeteksi munculnya “cara baru mempelajari dan memikirkan”, “peluang baru untuk berelasi dan untuk membangun persekutuan.” Ini semua merupakan sesuatu yang masih harus digali bersama dalam dialog dengan pengalaman kongkret, bukan melulu dari penalaran logis. Gereja harus menjalankan “diakonia budaya” dalam “benua digital” dewasa ini. Bila Paus Yohanes Paulus II menggunakan simbol “Areopagus” untuk menerangkan jagat komunikasi modern, Paus Benediktus XVI memakai simbol “Serambi kaum kafir” dari bait Allah, mengacu pada Yes 56:6-7, tempat “orang asing” bisa mempersembahkan kurban yang berkenan pada Allah di dalam “rumah doa bagi segala bangsa”. Perspektif utama dari media komunikasi sosial, termasuk internet dan komunikasi digital lainnya adalah: membangun kesatuan umat manusia dan mempererat persaudaraan manusia. Hal ini seakan-akan merupakan refren dari Gereja di zaman modern ini. Di sini pertanyaannya adalah: bagaimana menghayati kekristenan sebagai warga dunia digital? Bagaimana menggereja dalam budaya digital? Bagaimana berkatekese dalam budaya digital?

Kendati semua yang dikatakan di atas, Gereja tak putus-putusnya menarik perhatian orang pada sisi negatif dari penggunaan media komunikasi modern. Bukan sarana maupun teknologinya yang salah, melainkan pemanfaatannya, dan ini berakar pada masyarakat yang sakit itu sendiri. Penyalahgunaan itu berujung pada dimerosotkannya martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan, kekaburan mengenai mana yang benar dan salah, penguasaan komunikasi yang mengarah pada satu tangan atau kelompok kecil, memerosotkan kemampuan kontak manusiawi yang langsung dan elementer, komunikasi menjadi alat penekan, dan promosi ke arah konsumerisme.

II. Beberapa Karakteristik Dunia Digital.

Langkah berikut adalah menelusuri beberapa karakteristik menonjol dari dunia internet, tanpa masuk ke dalam perangai-perangai yang lebih terlihat oleh mereka yang memang menyibukkan diri secara khusus di dalamnya. Yang langsung mencolok adalah corak “globalitas”, mendunia, seperti yang dikatakan di atas oleh Paus Yohanes Paulus II, orang hidup dalam sebuah “desa besar”, di mana sekat-sekat yang memisahkan kapling-kapling individual teritorial seperti diruntuhkan. Dengan masuk internet, orang secara prinsipial mendapati dirinya di tengah seluruh dunia. Berikut ini akan dirinci karakteristik-karakteristik yang berkenaan dengan tiga segi pokok, yaitu informasi, relasi, dan pendapat umum.

1. Informasi:
Dunia komunikasi digital lewat internet membuka gudang informasi yang tadinya tidak terjangkau oleh banyak orang; orang sekarang tiba-tiba disuguhi dengan lautan informasi yang amat luas. Di sini ada corak “kelimpahan”, “keterjangkauan (aksesibilitas)” dan “ke-langsung-an” (immediacy). Informasi ini tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga berupa gambar, animasi, video dan produk auditif. Orang berhadapan dengan tersedianya informasi melimpah yang muncul mengenai segala segi dari suatu topik. Di sini informasi bisa bersumber dari siapa saja, oleh karenanya menjadi teramat penting untuk melihat kredibilitas dari sumber informasi berikut segala latarbelakangnya. Ini berlaku untuk bidang apa saja: informasi ilmiah, informasi medis, informasi sosial, terlebih lagi informasi yang berkenaan dengan iman.

Berhadapan dengan lautan informasi ini, manusia bisa merasa sangat terbantu, tetapi juga bisa sangat terganggu. Dia akan terbantu oleh informasi yang banyak itu dengan syarat dia bisa memilih dan memilah mana yang hakiki dan mana yang sampingan, mana yang dasariah dan mana yang sekunder, mana yang mencerminkan fakta dan mana yang hanya merupakan opini. Tanpa prasyarat ini dia akan melihat banjir informasi itu sebagai sesuatu yang amat membingungkannya. Dari satu pihak, manusia mempunyai ruang bebas untuk menentukan sikap; namun dari lain pihak penentuan kebebasan itu membutuhkan kriteria untuk menyaring informasi yang ada. Paus Yohanes Paulus II sudah memperingatkan, bahwa informasi itu tidak netral: itu bisa menjadi alat untuk memperbudak manusia.
Pesan Gereja dalam hal ini: Gereja, khususnya Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI, menekankan pentingnya bahwa orang menyediakan spasi hening dan jarak refleksif untuk memilah informasi mana yang penting dan mendasar, serta informasi mana yang hanya sekunder atau bahkan tidak penting.

2.Relasi:
Internet juga membuka kemungkinan yang amat luas untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang barangkali belum pernah dijumpai secara fisik. Relasi ini ditandai oleh kontak-kontak maya, entah berupa e-mail, status dalam Facebook atau Twitter, berikut komentar-komentar dan tanggapan yang menyertainya. Tanpa harus bertemu muka, orang bisa berelasi secara langsung, tetapi juga bercorak sepintas dan dangkal. Kontak ini bersifat interaktif, karena bisa saling menanggapi dari tempat yang jauh.
Pesan Gereja dalam hal ini: Cermati corak-corak khas tersebut di atas, dan upayakan suatu relasi berbasis kejujuran dan ketulusan, mengingat bahwa orang tidak dapat bertemu muka. Di samping itu juga perlu disadari bahwa kontak lewat dunia maya seakan-akan tidak mengharuskan suatu komitmen dalam berelasi. Orang datang dan pergi kapan saja dia mau.

3.Opini publik:
Ini masih ada kaitan erat dengan karakteristik di atas, bahwasanya kemudahan interaksi ini dijiwai oleh semangat demokratis, bebas dalam bereaksi, dalam kesadaran bahwa semua orang sama-sama mencari dan memiliki kesempatan akses yang sama terhadap lautan informasi yang tersedia. Dari interaksi yang luas ini akan terlahir pemahaman publik tentang satu perkara, dan dengan demikian terbentuklah pendapat umum yang tidak selalu koheren, namun dianut oleh kalangan yang luas dan dianut secara bebas tanpa paksaan kepentingan politik partisan atau tekanan penguasa. Claire Marie Monnet mengistilahkannya dengan “munculnya kecerdasan manusiawi kolektif”. Kecerdasan kolektif ini tidaklah beku, melainkan terus-menerus mengalami evaluasi, dan tidak jarang bermuara pada mobilisasi kompetensi-kompetensi yang ada.

Tentang tema pembentukan opini publik ini, Gereja sudah lama menyatakan posisinya. Paus Yohanes Paulus II juga melanjutkannya dengan membaktikan Pesannya untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-20 tahun 1986. Di situ Paus memahami opini publik sebagai “cara berpikir dan merasa secara bersama dan kolektif yang muncul pada suatu kelompok sosial yang cukup besar di tempat dan waktu tertentu. Itu menjadi indikator tentang apa yang dipikirkan oleh suatu unit masyarakat tentang suatu perkara, fakta atau persoalan yang penting.” Di sini Paus menegaskan tanggung jawab yang besar yang dipikul oleh mereka yang oleh karena pendidikannya atau wibawanya berpengaruh ikut membentuk pendapat umum itu. Orang punya hak untuk berpikir dan merasa atas dasar apa yang baik dan benar, karena dari situlah lahir perilaku moral mereka. Pembentukan pendapat umum yang sehat diperlukan berkenaan dengan masalah kemanusiaan yang mendasar seperti yang menyangkut nilai kehidupan, keluarga, perdamaian, keadilan dan solidaritas. Ini merupakan tugas orang-orang, termasuk kaum beriman, yang berkecimpung dalam dunia komunikasi sosial.

4. Corak pengetahuan yang didapat:
Penampilan/permukaan menggantikan kedalaman, kecepatan menggantikan refleksi; ada jumlah tak terbatas dari fakta yang disampaikan lewat internet, namun sedikit sekali internet bicara tentang nilai. Dalam pengamatan Paus Yohanes Paulus II, internet mendefinisikan secara baru hubungan psikologis antara pribadi manusia dengan ruang dan waktu: perhatian terpancang pada apa yang kasatmata, berguna dan segera tersedia. Tidak ada rangsangan untuk pemikiran dan refleksi lebih dalam. Padahal untuk mendalami kehidupan dan misterinya, waktu dan keheningan batin merupakan kebutuhan vital manusia. Generasi yang sejak kecil biasa bergaul dengan internet akan mengalami pembentukan pengetahuannya sebagai rangkaian perjumpaan dengan rangsang audio-visual yang diperoleh dengan cepat, dan tidak lagi lewat proses penalaran linear lewat logika dan proses dialektis. Dengan hadirnya “mesin pencari” seperti Google dan Yahoo, internet menjadi wadah tanya jawab tentang segala macam persoalan. Karena jawaban ada bermacam-macam dan itu pun diberikan secara cepat lewat browsing dan zapping, orang tidak berkesempatan atau kurang menyediakan waktu untuk masuk lebih dalam; banyaknya informasi menjadi lebih penting daripada kedalamannya. Dari lain pihak, suasana “tanya-jawab” ini menyingkapkan suatu segi dari apa yang di bagian akhir tulisan ini penulis istilahkan dengan “situasi kateketis” di zaman internet ini.

b.Pesan Gereja dalam hal ini. Internet tidak dapat menggantikan pengalaman real dan otentik perjumpaan dengan Tuhan; internet hanya menjadi sarana yang menolong ke arah itu. Perjumpaan nyata dengan Kristus dalam jemaat-Nya. Paus Yohanes Paulus II menyatakan hal itu dalam Pesannya pada Hari Komunikasi Sedunia ke-36 tahun 2002. Pemahaman sejati dan kebijaksanaan sejati lahir dari “pandangan kontemplatif atas dunia”, dan tidak dari penyesuaian semata-mata kepada fakta. Sejalan dengan ini, pada tahun 2012 ini Paus Benediktus XVI dalam pesannya mengajak kita semua untuk melihat dinamika “keheningan dan kata” bila akan sungguh-sungguh berevangelisasi di zaman digital sekarang ini.

5.Bahasa baru untuk berpikir dan berkomunikasi:
Yang paling pesat majunya dalam berkomunikasi lewat internet adalah dawai emosional; tidak berarti bahwa dawai intelektual dan kehendak tidak ada, melainkan dua hal yang terakhir kalah pesat kemajuannya dibandingkan dengan dawai emosional. Dalam aplikasi jejaring sosial, misalnya, ada fasilitas yang disebut “emotikon”, di mana pengirim maupun penerima pesan bisa menyertakan simbol emosinya. Di samping itu masih banyak lagi simbol-simbol lain yang tercipta oleh para pengguna yang belum “dikodifikasikan”, yang menyatakan kondisi emosional si pengirim pesan. Di samping itu dalam dunia komunikasi maya terciptalah macam-macam kosakata baru yang belum ada dalam bahasa bakunya. Seolah-olah tidak ada wewenang linguistik yang bisa mengatur semuanya menjadi suatu konvensi. Sementara itu di internet tidak banyak simbol-simbol yang mewakili suatu proses penalaran, seperti misalnya penyimpulan, pembedaan (distingsi), persetujuan pendapat dengan syarat, adanya suatu reserve pemikiran (“nanti dulu…”). Hal ini barangkali merupakan penyeimbangan terhadap bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi tercetak, yang banyak memakai konsep tanpa banyak menyampaikan unsur perasaan. Di zaman dahulu kisah dan dongeng, yang banyak mengandalkan komunikasi lisan, lebih kaya dalam hal penyampaian unsur-unsur emosional, karena menggunakan bahasa gambar (picturesque language) tanpa harus selalu menampilkan sebuah gambar. Semua segi ini bisa memperkaya suatu kesaksian iman di zaman modern ini, sesuatu yang tentu paling dituju lewat katekese pula. Ada banyak peluang untuk menghadirkan sabda Allah dan kesaksian kristiani secara amat kongkret lewat sisi-sisi kemanusiaan yang amat kaya dalam bahasa internet.

Di samping itu, corak visual juga merupakan sesuatu yang amat menonjol dalam bahasa komunikasi internet. Komunikasi internet banyak memakai bahasa gambar, dan, berbeda dari dongeng dan kisah, internet memang banyak menampilkan gambar, baik tak bergerak maupun gambar bergerak. Kekuatan dari bahasa gambar ini (juga yang dipakai dalam berkisah atau bercerita) adalah daya sentuh terhadap sensor-sensor batiniah: membuat orang terharu, tersentuh, tergerak, termotivasi, berpikir dalam-dalam, berharap, dsb. Bukankah ini merupakan kekuatan pewartaan Yesus semasa berkeliling di Palestina dahulu? Bahasa ini menimbulkan dorongan untuk mempertanyakan sesuatu yang mapan, untuk menggali suatu makna yang tersembunyi, mendorong dituturkannya pengambil sikap lewat sebagai buah dari suatu pembacaan simbolik: semua yang mempunyai dampak “inderawi” ini ada dalam karakteristik katekese. Bahasa gambar, audio-visual dalam internet ini dapat menolong menyeimbangkan orang yang terbiasa berpikir dengan bahasa tertulis dan bahasa kata.

III.Tantangan bagi komitmen, ketulusan, keterlibatan dan kesetiaan
Komunikasi lewat internet berlangsung tanpa temu muka orang-orang yang terlibat. Ini berarti bahwa orang hanya mengandalkan apa yang ditulis di atas layar komputer atau gadget lainnya. Selebihnya, orang tidak bisa langsung tahu apakah yang ditampilkan itu sejujurnya, merupakan kebenaran, atau tidak; selanjutnya hanya dari yang terpampang di layar itu orang juga tidak tahu apakah si penulisnya mempunyai komitmen terhadap apa yang dia sampaikan atau tidak. Memang orang tidak bisa mengandalkan diri pada satu atau dua posting belaka di situs jejaring sosial (Facebook, Twitter) misalnya, melainkan harus lebih menyimak frekuensi dan konsistensi pernyataan-pernyataannya dalam banyak posting. Agak lain halnya bila orang bicara lewat blog. Di sini orang bisa menyampaikan pendapatnya dalam suatu esai singkat dengan argumentasi yang bisa dilacak dengan jelas. Perangai ini tentu merupakan hal yang serius bila orang bicara tentang kesaksian iman lewat internet. Ada cara kristiani untuk hadir dalam dunia maya. Kehadiran ini ditandai oleh kejujuran dan ketulusan, oleh keterbukaan dan sikap bertanggungjawab, serta rasa hormat terhadap sesama. Singkatnya, citra dan profil diri yang ditampilkan dalam dunia maya merupakan bagian dari kesaksian kristiani, yang mencakup pula pilihan nilai-nilai yang dikomunikasikan di situ. Keterbatasan interaksi lewat dunia maya ini dirumuskan Paus Benediktus XVI sebagai berikut: “Keberat-sebelahan dari interaksi, kecenderungan untuk untuk menyampaikan hanya sebagian saja dari batin seseorang, resiko akan terbangunnya citra yang palsu dari diri seseorang, sesuatu yang dapat menjadi suatu bentuk kesibukan dengan diri sendiri.”

Di samping itu kemungkinan yang luas untuk berkontak lewat internet juga membawa tantangan yang pantas ditanyakan kepada setiap diri: “Siapakah sesamaku itu?” Terserap ke dalam komunikasi maya, orang mudah lupa akan sesamanya yang terdekat, yang hidup bersamanya setiap hari, yang secara kongkret menuntut keterlibatan dan komitmennya untuk menjalin relasi yang lebih dalam. Di sini kiranya letak pentingnya kaitan erat antara apa yang dilontarkan lewat internet dengan sikap harian yang tertuju kepada sesama yang ada di sekitar: anggota keluarga, rekan kerja, anak didik, umat yang dilayani, dsb. Tanpa kaitan yang nyata itu orang menyalahi hakekat warta Injil itu sendiri, yang selalu menyapa untuk ditanggapi dengan pengambilan sikap nyata. “Pun bilamana Injil diwartakan di ruang maya di web, Injil itu harus tetap terjelma di dunia nyata dalam hubungan nyata pula dengan wajah-wajah kongkret dari saudara-saudari kita yang hidup bersama kita setiap harinya.”

IV.Situasi Kateketis Macam Apa yang ada di Dunia Digital Ini?

Bila dalam konteks tradisional katekese dimengerti sebagai suatu proses yang terprogram untuk mengantar kaum beriman menuju kedalaman misteri Kristus dan Gereja-Nya lewat penemuan makna pengalaman hidup nyata dan keterlibatan aktif dalam dunia, kiranya hal ini tidak berhenti dengan zaman digital seperti sekarang. Konteks itu masih tetap ada, dan kiranya masih dapat menjadi kerangka utama dari segala yang akan ditampilkan oleh katekese dalam dunia digital. Di sini tetap berlaku bahwa katekis-katekis tidak mewakili dirinya sendiri, melainkan mewakili Gereja, yang berhadapan dengan khalayak ramai. Perbedaannya dengan konteks kateketis tradisional adalah bahwa “khalayak ramai” yang ada dalam jagad digital ini bukanlah sesuatu yang terorganisir dan juga bukan mereka yang akan menjalani suatu program terarah yang diadakan atas prakarsa Gereja. Bila konteks tradisional memungkinkan dibangunnya suatu persekutuan lewat perjumpaan yang secara fisik terasa (umat tertentu, komunitas tertentu di wilayah tertentu), dalam dunia maya persekutuan ini harus dibangun tanpa melalui perjumpaan fisik; persekutuan macam apa ini gerangan jadinya? Mereka ini akan datang manakala mereka membutuhkan, dan akan pergi di saat kebutuhan mereka sudah terpenuhi atau malahan oleh karena yang mereka cari tidak didapatkan. Berikut ini akan dicoba digariskan suatu sketsa kasar dari situasi beriman di dunia digital yang segi-seginya mengundang dunia katekese untuk berpikir ulang dan membenahi pendekatan-pendekatannya.

1.Orang lebih banyak bertanya (=mencari informasi) tetapi tidak muncul dari kedalaman hati dan tidak sungguh mencari jawaban mendasar (“mencari kebenaran sejati”): Munculnya pertanyaan sering dari situasi dan pergaulan, bukan dari kerinduan hati terdalam, sehingga jawaban yang dicari juga instan, bukan sesuatu yang mendasar. Jarangnya kemunculan eksplisit dari pertanyaan mendasar itu disebabkan antara lain oleh tiadanya momen refleksif; irama hidup berjalan cepat dari satu acara ke acara lain, kejadian dan peristiwa juga berlangsung serba cepat; maka pertanyaan itu hanya muncul sejauh mengharapkan jawaban yang “siap pakai”, untuk memenuhi kebutuhan yang sesaat pula.

Dalam budaya sekarang, besar kemungkinannya bahwa orang, khususnya kaum muda, mencari jawab atas pertanyaannya tidak lagi lewat jalur yang tradisional (bertanya kepada orangtua, guru agama, pastor dll.) melainkan lewat jalur yang tersedia dalam budaya digital itu (situs web, blog-blog, jejaring sosial dan ceramah-ceramah, wawancara yang tersedia online dalam YouTube). Media itu menyediakan komponen-komponen dari konteks yang bisa menjadi ajang perjumpaan efektif antara orang dengan wahyu ilahi. Di sini kiranya katekese perlu masuk lewat idiom-idiom budaya media, tak terkecuali budaya pop yang cukup mendominasi di situ. Situs-situs dalam rangka katekese perlu informatif, tidak menggurui, tetapi kaitan/link/pencabangan informasinya menolong untuk mengenal misteri Allah, Kristus dan Gereja, dan mendorong orang untuk berhenti sejenak, merenung dan berefleksi, tanpa tergesa-gesa untuk mencari informasi lebih lanjut; ini bisa dibuat dengan membuat ruang-ruang interaktif dalam tampilan-tampilan kateketis).

Untuk menghindari sebanyak mungkin resiko bahwa Gereja (dalam hal ini katekis) menerangkan sesuatu yang tidak ditanyakan orang, ada baiknya diadakan semacam penelitian tentang bagaimana orang menggunakan internet untuk mencari tahu segalanya tentang iman Kristiani: segmen mana yang paling menggunakan jasa internet untuk soal-soal iman mereka, informasi macam apa yang mereka cari, cara menjawab bagaimana yang memenuhi kebutuhan mereka, berapa banyak waktu rata-rata yang mereka sisihkan untuk berinternet, dan lebih khusus lagi untuk mencari informasi sekitar iman, taraf keterampilan mereka dalam komputer sejauh mana, bagaimana mereka bisa sampai pada situs kita, apa yang mendorong mereka singgah di situ dan kemudian menginginkan kembali ke situ lagi, bagaimana mereka menanggapi apa yang ditampilkan di situ, apakah mereka menginginkan percakapan langsung lewat internet (chatting), atau malahan menginginkan tatap muka langsung, dsb.

2.Kehausan akan makna (dari kehidupan, kemanusiaan, dunia) tercermin dari cara orang menampilkan suatu status diri, suatu pokok berita, menampilkan gambar dan video, maupun memberikan tanggapan dan komentar atas macam-macam issu. Makna kehidupan di dunia ini hanya bisa ditemukan oleh manusia sebagai subyek refleksif, tidak cukup hanya disodorkan dari luar, apalagi diindoktrinasikan. Proses internalisasi makna itu berlangsung dalam diri subyek. Kendati demikian, proses ini amat sangat terbantu lewat interaksi dengan orang lain, lewat tindakan saling-berbagi pengalaman hidup berikut refleksinya, karena interaksi ini menolong orang untuk mengartikulasikan penemuannya sendiri akan makna itu. Pertanyaannya sekarang adalah: bisakah, dan sejauh manakah, interaksi lewat internet bisa menjadi kesempatan berharga untuk bersama-sama menemukan makna kehidupan?

Bagi katekese, internet menyediakan seribu satu kemungkinan untuk menanggapi kehausan akan makna ini. Ada persediaan tak terbatas dari gambar, animasi, video, cerita dan informasi yang bisa dipakai untuk ini. Masalahnya adalah bagaimana mengemas dan mengorganisirnya dalam tampilan yang mendorong dan membantu orang untuk berpikir lebih dalam dari apa yang kasatmata dan menemukan suatu makna yang lebih dalam dari segalanya.

3.Kehausan akan relasi: Kalau kalimat Descartes yang termashur berbunyi “aku berpikir, maka aku ada” (“cogito, ergo sum”), maka kiranya semboyan dunia internet berbunyi “kita berinteraksi, maka kita ada”. Ada kerinduan akan relasi yang bermakna, punya perspektif, didukung oleh komitmen timbal balik, dan bermanfaat dan meluas untuk kalangan yang lebih besar. Kalau sekedar kontak, internet menyediakan kesempatan yang tak terbatas; ini kelihatan dari betapa penuhnya orang-orang yang menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Namun bila orang mencari komunio/persekutuan, (yaitu yang justru dituju oleh katekese ), dalam wujudnya yang sekarang.internet tampaknya belum memadai. Kendati corak kontak yang sambil-lalu dalam dunia internet, ini tidak berarti bahwa kehausan akan persekutuan tidak ada. Boleh jadi kontak-kontak ini justru bisa menjadi indikasi kehausan tersebut yang bisa dipenuhi bila sesekali berjumpa dengan informasi atau pernyataan yang membuat orang berpikir dalam.

Seluruh gejala berkomunikasi yang khas pada dunia internet ini perlu membuat seorang pewarta berpikir sejenak tentang modus Allah dalam menyapa manusia, dalam menyatakan diri-Nya, dalam menggerakkannya ke arah pertobatan dan pembaharuan hidup, dalam mendorongnya menuju keterlibatan nyata bagi sesama: ini semua perlu diamati oleh seorang pewarta khususnya katekis; bagaimana seorang terdorong ke arah itu semua oleh pengaruh komunikasi internet. Inilah artinya kalau dikatakan “katekese memasuki budaya digital”, bukan hanya sebagai pengajaran pada usia-usia tertentu, atau sebagai penyebaran data informatif tentang isi iman. Begitu juga, internet harus dilihat sebagai “locus catecheticus” bukan hanya dalam arti bahwa bisa dipakai dengan sekali “klik” untuk mencari sumber dokumenter tentang pertanyaan-pertanyaan iman, melainkan dalam arti bahwa budaya ini menjadi konteks bagi Gereja untuk mewujudkan dirinya lagi, khususnya sebagai “jaringan komunikasi” iman. Ini terjadi dalam bentuk kehadiran yang relevan dalam hidup harian, yang sering dialami begitu cepat dalam kehidupan banyak orang, di mana modalitas utama dari komunikasi maya adlaah “pendek-singkat”, tanpa banyak argumentasi dan bergulir seputar dawai emosional.

Dalam zaman seperti sekarang ini, alangkah mengagumkannya andaikata Gereja bisa menemukan suatu bentuk persaudaraan, komunitas, persekutuan baru dalam dunia digital ini (misalnya tidak lagi parokial, melainkan global) dengan memberi model bagaimana orang bisa berelasi secara baru serentak belajar secara baru juga tentang makna kehidupan dalam warta kristiani. Agaknya prinsipnya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kristianitas purba yang baru saja keluar dari lingkup yahudi ke dalam lingkup hellenis dengan segala cara berpikir dan bertanya yang serba berbeda: di sini pembentukan komunitas memegang peranan kunci dalam berkembangnya kekristenan. Apakah suatu cara baru berkomunitas akan lambat laun bisa terbentuk dari cara kontak yang singkat, langsung, cepat dan visual?

4.Adakah kesinambungan dengan “Katekese Umat”? Cita-cita katekese umat dicanangkan sejak awal rentetan Pertemuan Kateketik antar-Keuskupan se-Indonesia (PKKI) di akhir tahun 1970an. Ini merupakan orientasi katekese ke arah pembangunan jemaat dari dalam, pembentukan jemaat-jemaat basis yang sadar dan artikulatif akan imannya, akan misinya di tengah masyarakat dalam kesatuan dengan seluruh Gereja dan Tradisinya. Corak interaksi dalam Katekese Umat tidak lagi satu jurusan (dari pengajar agama ke yang diajar agama), melainkan antar seluruh peserta satu sama lain, dan antara kelompok itu dengan Tradisi Gereja, termasuk Kitab Suci. Yang diolah di situ adalah pengalaman hidup nyata sebagai pengalaman iman, dan diharapkan dari pengolahan bersama itu iman akan diperdalam dan semakin didewasakan.

Interaksi dari internet juga mengandung corak yang “demokratis” dan bebas, begitu pula kemungkinan untuk mendapatkan informasi dan bentuk pencerahan lainnya ada pada internet. Namun demikian, seperti telah disinggung di atas, dalam internet orang tidak bisa mengandaikan kejujuran dan ketulusan dari para peserta interaksi. Di sini tidak ada kesaksian yang bisa di-check dari kebersamaan hidup di suatu tempat dan waktu. Untuk sementara bisa dikatakan bahwa kendati internet mempunyai corak-coraknya sendiri yang berpeluang membentuk suatu komunitas online, namun internet masih tetap bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pembentukan komunitas basis lewat proses Katekese Umat yang kali ini tentu lebih kaya akan informasi yang diperlukan.

Oleh karena itu bilamana katekese mengarahkan perhatiannya pada internet, tidak berarti bahwa Katekese Umat ditinggalkan, melainkan justru diperkaya oleh informasi dan interaksi dengan orang atau kelompok yang berbeda-beda tempatnya.

V.Akhir Kata
Karena sedang dialami bersama-sama, dunia digital dan internet ini tentu tidak akan habis-habisnya dibicarakan. Ada saatnya orang perlu mengambil jarak reflektif terhadap ini semua dan memetik wawasan-wawasan yang lebih mendasar.

Pertama, agaknya ada benarnya bahwa budaya digital ini membuka pemahaman baru tentang manusia sebagai makhluk bermartabat dan berkomunikasi, yang sekarang ini, lebih dari masa-masa terdahulu, semakin dilihat dalam globalitasnya, yaitu, dia sebagai “warga dunia”. Maka peserta katekese pun merupakan manusia yang terbuka akan kenyataan global dengan segala informasinya, dan terbuka pula oleh perlakuan yang lebih beragam terhadap martabatnya sebagai manusia.

Kedua, dengan dialaminya komunikasi secara baru, maka pemahaman tentang pewahyuan ilahi pun juga berkembang. Allah menyapa setiap orang dalam macam-macam usia dan dalam aneka situasinya yang amat kongkret. Ini amat nyata dalam interaksi lewat dunia maya. Pernyataan diri Allah itu sendiri berlangsung amat lembut, tanpa memaksa atau mengintimidasi, melainkan menyapa kebebasan manusia seutuhnya. Tujuan akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terciptanya suatu persekutuan hidup yang ditandai oleh ketulusan dan komitmen. Ini merupakan tantangan besar dalam interaksi dalam dunia maya.

Ketiga, wujud iman dalam dunia digital kiranya terletak pada terbentuknya citra tertentu, (profil dalam dunia digital, tentunya), di mana terpancar sikap yang positif terhadap dunia, terhadap hidup, terhadap sejarah dan terhadap alam lingkungan. Ini terpantul baik dari cara berinteraksi, maupun dari isi (content) interaksi tersebut. Terbentuknya citra ini, baik secara individual maupun secara kolektif (sebagai suatu jemaat/lembaga), adalah salah satu bentuk martyria, kesaksian, dalam dunia digital ini. Cara dan isi dari pemberian informasi kateketis akan menyumbang pula terbentuknya citra ini: apakah ini suatu jemaat yang merupakan persekutuan hidup dari pribadi-pribadi, ataukah suatu kelompok dengan mentalitas fundamentalistik, atau suatu kelompok yang terbuka terhadap unsur-unsur budaya yang lebih luas.

Tulisan ini telah dipresentasikan pada PKKI X tahun 2012 di wisma Shalom, Cimahi, Bandung
Gambar: Sesawi.net
———————————————–
Kepustakaan:
Anh Vu Ta, (2011)., “Communication Theology for Pastoral Communication as a New Approah”, dalam Asian Horizons, Dharmaram Journal of Theology, Vol. 5, no. 3, 432-457.
Beaudoin, Tom, (2003)., “Virtual Catechesis: Religious Formation of the Post-Vatican II Generations”, dalam B. Horell and T. Groome (eds.), (2003)., Horizons and Hopes: The Future of Religious Education, Mahwah: Paulist Press, 63-80.
Beaudoin, Tom, (2011)., “Une Catéchèse virtuelle. La Culture populaire comme lieu d’apprentissage de la voi”, Lumen Vitae, vol. 66, no. 3, 311-321.
Benediktus XVI, Paus, Pesan-pesan pada Hari Komunikasi Sedunia, http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/messages/communications/index_en.htm
Eilers, Franz-Josef, SVD, (2007), “From ‘Gaudium et Spes’ to a ‘New Culture’: Towards New Ways of Communicating”, VerbumSVD, vol. 48, n. 2, 123-134.
Join -Lambert, Arnaud, (2011)., “La présence de l’Église sur l’Internet: des enjeux aussi théologiques”, dalam Lumen Vitae, vol. 66, no. 3, 277-294.
Mellet, Luc, (2011)., “Catéchisme par l’Internet! Entre danger, illusion et prophétie”, dalam Lumen Vitae, vol. 66, n. 3, 295-309.
Monnet, Claire Marie, (2011)., “Internet: Le monde nouveau”, Lumen Vitae, vol. 66, n. 2, 245-257.
Pontifical Commission for Social Communications (1971), Pastoral Instruction Communio et Progressio, http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_23051971_communio_en.html
Pontifical Commission for Social Communications, (2002)., The Church and the Internet, http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_20020228_church-internet_en.html
Sony Sebastian, CMI, (2011)., “Casting out into the Deep: Evangelisation of Young People Online”, Asian Horizons, Vol. 5, no. 3, 498-512,
Stark, Rodney, (1997)., The Rise of Chrtistianity, San Francisco: HarperCollins
Yohanes Paulus II, Paus, Pesan-pesan Pada Hari Komunikasi Sedunia, http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/messages/communications/index.htm

Yogyakarta, 31 Juli 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *