Ikhtisar Petunjuk Umum Katekese

Rm. Purwatmo.jpg

RD. M. Purwatma, Pr

Pengantar

1.Petunjuk Umum Katekese (PUK) dikeluarkan oleh Kongregasi untuk para imam pada tanggal 15 Agustus 1997, sebagai pembaruan dari Petunjuk Umum Katekese yang disetujui oleh Paus tahun 1971. Disadari bahwa sejak dikeluarkannya Petunjuk Umum Katekese tahun 1971, telah menjadi arah pembaharuan katekese di Gereja-Gereja partikular dan menumbuhkan dedikasi yang besar terhadap karya katekese, namun pada saat yang sama juga “terjadi krisis, ketidaktepatan doktrinal, pengaruh-pengaruh dari evolusi budaya global, dan pertanyaan-pertanyaan tentang Gereja yang berasal dari luar bidang katekese yang sering mempermiskin mutunya” (PUK 2).

Sementara itu, selama 25 tahun sejak terbitnya Petunjuk Umum Katekese 1971, telah muncul berbagai macam dokumen Gereja yang berkaitan dengan Katekese, mulai dari terbitnya Ritus Inisiasi untuk Orang Dewasa (1972), Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi (1975), Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (1979), sampai dengan ensiklik Redemptoris Missio (1990) dan terbitnya Katekismus Gereja Katolik (1992). Di samping itu Sinode Para Uskup, khususnya Sinode Luar Biasa tahun 1985 juga menentukan arah perkembangan kateksese. Perkembangan Magisterium Gereja itu menjadi alasan juga mengapa perlu diterbitkan suatu Petunjuk Umum Katekese yang baru.

2.Petunjuk Umum Katekese ini dimaksudkan untuk mencari keseimbangan antara “di satu pihak, menempatkan katekese pemakluman Kabar Gembira , dalam konteks seperti yang digambarkan dalam Evangelii Nuntiandi, dan di lain pihak, penyesuaian dari isi iman sebagaimana dipaparkan dalam Katekismus Gereja Katolik (PUK 7). Dalam proses itu, Petunjuk Umum Katekese mau memberikan “prinsip-prinsip teologis doktrinal yang mendasar yang diambil dari Magisterium Gereja, khususnya prinsip-prinsip yang mengambil inspirasi dari Konsili Vatikan II, yang sanggup mengarahkan dan mkengatur kegiatan pastoral dengan lebih baik dalam pelayana sabda, dan dalam katekese secara konkret” (PUK 9). Jadi, yang mau disampaikan adalah prinsip-prinsip dasar, dan bukan petunjuk-petunjuk konkret.

3.Struktur Petunjuk Umum Katekese adalah sebagai berikut (PUK 8):

a.Pendahuluan: Mewartakan Injil di dunia dewasa ini.
Mendasarkan diri dari kekuatan benih Injil, dan menafsirkan tanda-tanda zaman.
b.Bagian I: Katekese dalam Misi Evangelisasi Gereja.
Menggambarkan ciri khas katekese dalam kerangka keseluruhan tugas pewartaan Gereja.
c.Bagian II: Pesan Injil.
Berbicara isi katekese, yaitu Sabda Tuhan yang diteruskan dalam Kitab Suci dan Tradisi, serta norma dan kriteria menyajikan pesan Injil dalam Katekese. Dalam bagian ini juga dibicarakan mengenai Katekismus Gereja Katolik.

d.Bagian III: Pedagogi Iman. Unsur-unsur penting pedagogi iman.

e.Bagian IV: Mereka yang menerima Katekese.
Digambarkan macam-macam kelompok dan situasi penerima katekese.

f.BagianV: Katekese dalam Gereja Partikular.
Berbicara mengenai sentralitas Gereja partikular dalam karya katekese serta siapa saja yang bertanggungjawab dalam karya katekese. g.Penutup. Menganjurkan intensifikasi karya katekese masa kini.

4.Petunjuk Umum Katekese ditujukan kepada para Uskup, Konferensi Para Uskup, dan semua yang terlibat dalam karya katekese.
Petunjuk ini juga bermanfaat bagi pembinaan calon imam. Petunjuk ini juga dimaksudkan untuk membantu penyusunan Petunjuk Katekese dan Katekismus pada tingkat Gereja partikular (PUK 11). Pendahuluan: Mewartakan Injil di dunia dewasa ini

5.Berdasarkan perumpamaan Yesus tentang Penabur yang keluar untuk menabur (Mrk 4:3-8), ditawarkan suatu pendekatan baru dalam karya katekese, dengan kesadaran baru akan konteks dari orang-orang yang menerima katekese. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisa terhadap dunia tempat karya pewartaan dijalankan. Petunjuk Umum Katekese melihat ada 3 unsur yang harus diperhatikan dalam memandang dunia, yaitu soal hak asasi manusia, budaya dan kebudayaan, serta faktor religius dan moral. Dalam soal hak asasi manusia disadari bahwa di satu pihak ada “usaha yang keras untuk menghormati hak asasi manusia dan akan penolakannya yang definitif terhadap pelanggarannya” (PUK 18), tetapi di lain pihak di banyak tempat hak asasi manusia dilanggar (PUK 19). Dalam bidang budaya disadari adanya dominasi budaya yang mengakibatkan hancurnya jatidiri dan nilai-nilai yang layak bagi bangsa-bangsa (PUK 21). Sementara itu disinyalir juga tumbuhnya suatu ketidakpedulian religius maupun fundamentalisme, serta relativisme etis (PUK 22-23).

6.Dalam konteks dunia yang semacam itu, perlulah disadari situasi aktual Gereja dewasa ini. Dirasakan bahwa pembaharuan katekese “telah membangkitkan satu model umat Kristiani yang sadar akan imannya dan berbuat sesuai dengan iman dalam hidupnya”, suatu umat yang ditandai dengan “sebuah pengalaman vital dan baru akan Allah sebagai Bapa yang berbelas kasih; sebuah penemuan kembali Yesus Kristus secara lebih mendalam, bukan hanya sebagai Allah melainkan juga sebagai manusia; sebuah kesadaran akan ikut bertanggung jawab dalam segala bidang dalam misi Gereja; meningkatnya kesadaran yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban iman di bidang sosial” (PUK 24). Di samping itu ada pula orang-orang yang tidak mempraktekkan imannya, meski belum hilang sama sekali; ada pula orang-orang sederhana yang lebih hidup dari devosi; ada pula orang yang berpendidikan tinggi tetapi pembentukan religiusnya tidak berkembang (PUK 25); ada pula orang yang ingin dialog dengan agama dan kebudayaan, tetapi gagal memberi kesaksian secara eksplisit tentang imannya akan Yesus Kristus. Situasi ini mendesak perlunya suatu evangelisasi baru (PUK 26).

7.Kehidupan internal Gereja juga ditandai dengan unsur-unsur positif yang didorong oleh penerimaan Konsili Vatikan II, yang tampak a.l.: hidup liturgis dimengerti sebagai sumber dan puncak; Umat Allah lebih memahami tentang panggilan dan pelayanan mereka; komunitas ekklesial telah memperoleh pengertian yang lebih hidup tentang Firman; dan umat beriman semakin berdialog dengan dunia (PUK 27). Meskipun demikian di sana-sini masih ada gerakan-gerakan yang tidak menerima pembaharuan Konsili Vatikan II (PUK 28).

8.Dalam bidang katekese juga dirasakan banyak unsur positif seperti: banyak imam, biarawan, awam yang terlibat dalam karya katekese; semangat misioner katekese yang mengantar orang pada pertobatan; katekese mendapatkan tempat utama dalam karya Gereja partikular; dan pengarahan Magisterium yang mengembangkan katekese (no. 29). Namun demikian, ada banyak masalah yang masih harus dihadapi antara lain: para katekis belum memahami sepenuhnya makna katekese sebagai sekolah iman; kurang memberi perhatian pada Tradisi; seringkali tekanan kurang seimbang mengenai Yesus Kristus; ada kekosongan doktrinal berkaitan dengan kebenaran akan Allah; hubungan dengan liturgi lemah dan terpecah-pecah; mudah jatuh pada dualisme isi dan metode; keragaman budaya menyulitkan untuk mengetahui bagaimana menyampaikan Injil dalam perspektif budaya; dan lemahnya pembinaan missi Ad gentes (no. 30).

9.Dalam konteks seperti itulah, penabur diutus untuk menaburkan benih. Sang Penabur memberikan kepada mereka “kekuatan Roh-Nya” dan “menunjukkan kepada mereka cara untuk membaca tanda-tanda zaman dan minta dari mereka persiapan khusus yang perlu untuk menjalankan tugas menabur” (PUK no. 31). Untuk itu, katekese harus mempunyai arah sebagai berikut: “Katekese harus menghadirkan dirinya sebagai pelayan yang sahih bagi evangelisasi Gereja dengan sebuah tekananada karakter misioner; katekese harus terujut pada mereka yang telah dan terus menjadi penerima yang istimewa: anak-anak, kaum remaja, kaum muda dan orang dewasa; katekese harus menjadi sekolah pedagogi Kristen yang tepat dan benar; katekese harus mewartakan misteri-misteri mendasar Kristianitas; katekese harus menyiapkan dan membina para katekis” (no. 33) Bagian I: Katekese dalam Misi Evangelisasi Gereja

10.Bagian pertama bertujuan untuk merumuskan sifat katekese yang sebenarnya. Pertama-tama ditegaskan ajaran Gereja mengenai Wahyu. Wahyu adalah “tindakan Allah yang mewahyukan diri secara pribadi kepada manusia”. Tindakan Allah ini “secara sempunya diwahyukan dalam Yesus Kristus, dilaksanyakan oleh kekuatan Roh Kudus”, dan mecakup kebenaran paling dalam dari Allah, kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia, serta panggilan definitif untuk menyatukan umat manusia. Wahyu Allah itu terlaksana melalaui tindakan dan perkataan yang erat terjamin. Allah mewahyukan diri tahap demi tahap kepada manusia dan berpuncak pada Yesus Kristus sebagai kepenuhan wahyu. Gereja dipanggil untuk ikut serta meneruskan wahyu (PUK 36-45)

11.Gereja hidup untuk “mewartakan Injil”. Tugas perutusan ini mencakup “memaklumkan, memberi kesaksian, mengajar sakramen-sakramen, serta kasih akan sesama”, sebagai sarana mewartakan Injil. Tugas evangelisasi ini oleh Gereja dilakukan tahap demi tahap. Dekrit Konsili Ad Gentes menjelaskan proses evangelisasi mencakup: “kesaksian Kristiani, dialog, dan kehadiran dalam kasih” (AG 11-12); katekumenat dan inisiasi Kristen (AG 14); pendidikan komunitas-komunitas Kristiani melalui dan dengan perantaraan sakramen-sakramen dan pra pelayannya (AG 15-18) (PUK 47-48). Berdasarkan gagasan Dekrit Ad Gentes inilah, dipahami evangelisasi dibangun berdasar tahap ekklesial, sehingga dibedakan antara kegiatan misioner kepada orang-orang yang belum mengenal Injil; kegiatan katekese bagi mereka yang mempersiapkan diri menerima baptisan; serta pastoral untuk mereka yang sudah ada dalam pangkuan Gereja (PUK 49). Proses evangelisasi itu menyangku pelayanan sabda (PUK 50-52); pertobatan dan iman (PUK 53-54); Proses pertobatan lanjut (56-57); dengan memperhitungan situasi sosial-religius (PUK 58-59). Mengenai situasi sosio-religius ini, Petunjuk Umum Katekese mengambil gagasan dari Redemptoris Misio mengenai tiga situasi sosio-religius yaitu: situasi tempat Injil belum dikenal; situasi jemaat sudah tumbuh mantap dengan tradisi yang kuat; serta situasi orang-orang yang dipermandikan telah kehilangan iman (bdk RM 33).

12.Katekese adalah bagian integral dari evangelisasi, maka berhubungan erat dengan unsur-unsur evangelisasi lainnya. Katekese berbeda dari pemakluman awal, karena katekese “memajukan dan mematangkan pertobatan awal, mendidik orang yang bertobat dalam iman dan menggabungkannya dalam komunitas Kristiani” (PUK 61). Bila pewartaan awal merupakan pelaksanaan tugas misio ad gentes, katekese menyambut mereka yang sudah menanggapi pewartaan dan mau bergabung menjadi anggota Gereja. Katekese ambil bagian dalam proses evangelisasi melalui katekese awal, katekese inisiasi Kristen (PUK 63-68), katekese pembinaan iman lanjut (PUK 69-72) maupun katekese melalui pelajaran agama di sekolah (PUK 73-76).

13.Subyek katekese adalah “Gereja, yang dalam melanjutkan misi Yesus Sang Guru, dan yang dijiwai oleh Roh Kudus, diutus menjadi guru iman”. Gereja bertugas mewartakan, menghayati dan meneruskan iman bagi mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus (PUK 78). “Melalui katekese dia memberi makan kepada anak-anaknya dengan imannya sendiri, dan memasukkanmereka ke dalam keanggotaan keluarg Gereja. Sebagai ibu yang baik, dia memberikan mereka Injil dengan segala kemurnian, sebagai makanan yang tepat, yang diperkaya secara kultural dan menjadi tanggapan atas cita-cita hati manusia yang paling dalam” (PUK 79).

14.“Tujuan definitif katekese ialah bukan hanya membuat orang saling berkontak, melainkan juga dalam kesatuan dan kemesraan, dengan Yesus Kristus” (CT 8). Jadi tujuan utama katekese ialah membawa orang dalam kesatuan dengan Yesus Kristus. Kesatuan dengan Yesus Kristus ini sekaligus menyatukan orang dengan semua yang bersatu dengan Yesus yakni Bapa yang mengutus, Roh Kudus yang mendorong perutusannya, dan Gereja, Tubuh-Nya yang menerima pemberian diriNya, dan dengan seluruh umat manusia yang nasibnya ingin dirasakannya juga (PUK 80-81). Karena tujuan utama katekese ialah membawa orang dalam persatuan dengan Yesus Kristus, maka katekese “memiliki asalnya dalam pengakuan iman dan membawa kepada pengakuan iman” (PUK 82).

15.Tugas fundamental katekese meliputi: mengembangkan pengetahuan iman; pendidikan liturgis; pembinaan moral; dan mengajar berdoa (PUK 85). Sementara itu, tugas fundamental lainnya ialah membawa orang masuk dalam hidup jemaat dan perutusannya, yang meliputi: pendidikan bagi hidup jemaat yang secara khusus perlu memperhatikan dimensi ekumensi; dan pendidikan misioner yang secara khusus juga mencakup dimensi dialog dengan agama-agama dan kepercayaan lainnya (PUK 86). Semua unsur dari tugas fundamental katekese itu merupakan suatu kesatuan total, maka setiap tugas mewujudkan obyek katekese dan masing-masing bergantung satu-sama lain. Dan untuk menunaikan tugasnya itu, katekese mempunyai dua sarana yaitu “penerusan pesan Injil dan pengalaman hidup Kristiani” (PUK 87). Sebagai proses pematangan iman, katekese perlu dijalankan melalui tahap-tahap tertentu, namun demikian katekese permandian dapat menjadi sumber inspirasi bagi katekese sesudah permandian (PUK 88-91).

Bagian II: Pesan Injil

16.Iman Kristiani mencakup penyerahan seseorang kepada Allah (fides qua), serta pemahaman mengenai misteri itu sendiri (fides quae). Bagian II ini mau menjelaskan “norma-norma yang harus diikuti oleh katekese agar dapat menemukan, merumuskan, dan menyajikan isi-isinya” dan “isi iman sebagaimana dijabarkan dalam Katekismus Gereja Katolik (PUK 92-93).

17.“Katekese akan selalu menarik isinya dari sabda Allah yang hidup dan diteruskan dalam Tradsisi dan Kitab Suci, karena Tradisi suci dan Kitab Suci membentuk suatu harta sabda Allahyang tunggal dan kudus, yang dipercayakan kepada Gereja” (CT 27). Mengutip Catechesi Tradendae, Petunjuk Umum Katekese menegaskan Sabda Allah sebagai sumber katekese, yaitu Sabda Allah yang diteruskan melalui Kitab Suci dan Tradisi Gereja yang hidup. Sabda Allah itu : direnungkan dan dimengerti secara lebih mendalam melalui persaan iman seluruh jemaat di bawah bimbingan Magisterium; dirayakan dalam Liturgi Suci; bersinar dalam kehidupan Gereja, dan diperdalam melalui riset teologis (PUK 95).

18.Kriteria untuk menyajian pesan Injil dalam Katekese adalah sebagai berikut (PUK 97):

a.Berpusat pada pribadi Yesus Kristus (kristosentris). Ini berarti katekese menghadirkan Kristus sebagai pusat sejarah keselamatan dan menyampaikan ajaran-Nya bagi manusia. Dimensi kristosentris ini juga menjadikan katekese berdimensi triniter (PUK 99). Untuk itu, katekese perlu memperhatikan hal-hal berikut yaitu: struktur internal katekese harus bersifat kristosentris-triniter, melalui Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus; mengikuti pedagogi Yesus Kristus yang menunjukkan hidup Allah paling dalam dengan karya keselamatan dan demi kesejahteraan manusia; serta mempunyai implikasi penting dalam hidup manusia (PUK 100)

b.Berpusat pada anugerah keselamatan yang berisikan sebuah pesan tentang pembebasan”. Katekese meneruskan pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah, sebagai “karunia Allah yang terbesar, yang harus dipandang sebagai tidak hanya mencakup pembebasan dari segala sesuatu yang membuat manusia tertekan, melainkan teristimewa pembebasan dari dosa dan dari kekuatan kejahatan” (PUK 101). Jadi pusat katekese ialah Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus. Dan dalam mewartakan Kerajaan Allah ini Yesus menyapa orang miskin, maka katekese juga menyangkut dimensi pembebasan riil (PUK 103-104).

c.Berciri eklesial yang mencerminkan sifat historis-nya. Katekese sebagai proses penerusan iman dijalankan dalam dan bersama Gereja. Melalui katekese itu juga orang menerima iman Gereja (PUK 105-106). Gereja mengakui karya Allah terjadi melalui sejarah dan Gereja juga meneruskan pesan Injil dalam proses sejarah. Maka di satu diperlukan penyajian sejarah keselamatan, untuk memahami bagaimana Allah bekerja dalam sejarah, tetapi juga perlu bahwa setiap isi iman diterangkan dalam konteks masa kini (PUK 107-108).

d.Inkulturatif. Misteri inkarnasi Sabda Allah menjadi model bagi evangelisasi, Gereja “dipanggil untuk membawa kekuatan Injil ke dalam inti budaya dan kebudayaan-kebudayaan” (CT 53). Diperlukan inkulturasi iman, agar pesan Injil sungguh merasuki orang dengan kebudayaannya. Dalam kerangka ini salah satu tugas konkret ialah “menyusun katekismus lokal” (PUK 110). Petunjuk Umum Katekese memberi catatan perlunya “meneruskan pesan Injil dalam keutuahan dan kemurniaannya” (PUK 111).

e.Bersifat komprehesif dengan hirarki kebenarannya sendiri, namun membentuk suatu sintese yang iman yang koheren dan vital. Meski kebenaran iman mempunyai hirarkinya, tetapi bahwa kebenaran iman tertentu kurang dari yang lain, tetapi ada kebenaran iman yang memang tergantung dari kebenaran iman lainnya (PUK 114-115). Ciri komprehensif pesan Injil itu juga termasuk kaitannya dengan hidup manusia masa kini (PUK 116-117) dan cara penyampaian katekese sendiri (PUK 118).

19.Suatu sintese iman yang resmi disusun oleh Gereja ialah Katekismus Gereja Katolik. Katekismus Gereja Katolik dan Petunjuk Umum Katekese adalah dua sarana yang berbeda namun saling melengkapi dalam pelayanan kegiatan kateketik Gereja. Katekismus Gereja Katolik merupakan ‘sebuah pernyataan iman Kitab Suci, Tradisi Para Rasul dan Magisterium Gereja’” sementara “Petunjuk Umum Katekese memberikan ‘prinsip-prinsip dasar teologi pastoral yang diambil dari Magisterium Gereja, dan dalam cara yang khusus dari Konsili Vatikan II dengan mana tindakan pastoral dalam pelayanan sabda dapat diarahkan dan diatur dengan lebih sesuai’” (PUK 120).

20.Katekismus Gereja Katolik bertujuan “memberikan suatu sintese organis dari isi ajaran Katolik yang paling esensial dan fundamental, baik dalam iman dan moral, dalam terang Konsili Vatikan II dan seluruh Tradisi Gereja” (KGK 11). Maka Katekismus Gereja Katolik merupakan sarana sah untuk pelayanan komunitas eklesial, merupakan norma yang pasti dalam pengajaran iman dan merupakan teks referensi yang pasti dan autentik bagi pengajaran doktrin Gereja (PUK 121). Dari strukturnya, Katekismus Gereja Katolik mengacu pada “iman sebagaimana diimani, dirayakan, dihayati dan didoakan” (PUK 122). Pusat dari seluruh Katekismus Gereja Katolik adalah pribadi Yesus Kristus, yang membawa pada dua arah, kepada Allah dan kepada pribadi manusia (PUK 123). Katekismus Gereja Katolik adalah sebuah teks resmi Magisterium, yang menyampaikan suatu ajaran iman secara sintesis dan komprehensif. Maka Katekismus Gereja Katolik menyimpan harta iman baik yang tertulis dalam Kitab Suci maupun yang terkandung dalam Tradisi kateketik Bapa-Bapa Gereja (PUK 124-129).

21.Katekismus Gereja Katolik mendorong penulisan Katekismus Lokal, yang disetujuai oleh para Uskup Diosesan atau Konferensi Waligereja. “Dengan katekismus-katekismus lokal, Gereja melaksanakan ‘pedagogi ilahi’ yang digunakan sendiri oleh Allah dalam Wahyu, sambil menyesuaikan bahasanya dengan alam kita dengan perhatian yang penuh keprihatinan” (PUK 131). Katekismus Lokal mempunyai tiga ciri sebagai berikut bagi Gereja lokal: “karakternya yang resmi, sintesis iman yang utuh dan fundamental, dan kenyataan bahwa, bersama Kitab Suci, katekismus itu diberikan sebagai referensi bagi katekese” (PUK 132). Melalui Katekismus lokal, perhatian pada konteks konkret jemaat beriman akan mendapatkan tempatnya.

Bagian III: Pedagogi Iman

22.Katekese sebagai bagian dari proses penerusan iman adalah karya Roh Kudus, namun Roh Kudus bekerja melalui orang-orang yang menerima tugas perutusan. Pedagogi macam apa yang dapat dijalankan untuk karya katekese? Norma utama katekese ialah perwahyuan Allah pada kita melalui PuteraNya Yesus Kristus. Pada tempat pertama, katekese mengikuti pedagogi Allah, yaitu Allah sebagai “mengubah peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia menjadi pelajaran-pelajaran kebijaksanaan sambil menyesuaikan diri dengan zaman dan situasi yang berbeda-beda” (PUK 139). Yesus Kristus sebagai perwahyuan Allah dalam sejarah manusia meneruskan pedagogi Allah itu, dalam hidup dan karyanya, inilah pedagogi Yesus yang ditangkap dan diteruskan para murid (PUK 140). Sementara itu Gereja menghadirkan karya Allah dalam hidupnya. Jemaat-jemaat Kristiani awal sejak semula merupakan “katekese yang hidup dalam dirinya sendiri”, dan sepanjang sejarahnya “menghasilkan pedagogi iman yang tak terbandingkan: yang terutama adalah kesaksian para kudus dan katekis; cara hidup yang berbeda-beda dan bentuk-bentuk komunikasi religius yang orisinil, seperti katekumenat, katekismus, perjalanan hidup kristen; suatu warisan berharga dari ajaran kateketik tentang budaya iman, institusi-institusi, dan pelayanan-pelayanan katekese” (PUK 141).

23.Berinspirasikan pedagogi Allah sebagaimana diperlihatkan dalam Kristus dan Gereja, serta di bawah bimbingan Roh Kudus, katekese: merupakan sebuah pedagogi yang melayani dan termasuk dalam dialog keselamatan antara Allah dan manusia; menerima prinsip pentahapan Wahyu, transendensi dan kodrat misteri sabda Allah dan penyesuaiannya pada manusia dan budaya yang berbeda-beda; mengakui sentralitas Yesus Kristus, Sabda Allah yang menjadi manusia; menghargai pengalaman iman komunitas; berakar dalam hubungan antar pribadi yang menjadikan proses dialog sebagai pilihan; mengkaitkan kata dan perbuatan, ajaran dan pengalaman hidup; serta bersandar pada kuasa kebenaran dan memberi kesaksian tentang kebenaran (PUK 143). Dalam proses itu, katekese perlu “memajukan sintesis yang progresif dan koheren antara kesetiaan penuh manusia kepada Allah (fides qua) dan isi pesan Kristiani (fides quae)”, katekese “melaksanakan inisiasi, pendidikan dan pengajaran yang lengkap” (PUK 144).

24.Dalam menjalankan karya katekese, “Gereja mengambil metode-metode yang tidak bertentangan dengan dengan Injil”, semua metode itu bertujuan sederhana “pendidikan iman” (PUK 148). Dalam proses katekese selalu perlu ditegaskan kesatuan antara metode dan isi, “metode melayani wahyu dan pertobatan”, isi tidak boleh dikalahkan oleh metode. Dan metode katekese berkait erat dengan metode pendektan terhadap Kitab Suci maupun pendekatan terhadap ajaran-ajaran Gereja, metode untuk memahami tanda-tanda liturgis, dan bahkan metode membaca media masa (PUK 149). Dalam sejarah katekese, pantas disebut berkembangnya metode induktif, yang berpangkal dari fakta-fakta (peristiwa biblis, tindakan liturgis, pengalaman Gereja, pengalaman manusia) menarik kesimpulan yang berkaitan dengan perwahyuan. Metode ini dipandang sangat cocok dengan sifat pengetahuan iman, yaitu pengetahuan melalui tanda-tanda. Namun metode induktif tidaklah mengabaikan metode deduktif yang menjelaskan fakta. Namun deduktif hanya menjadi penuh kalau dilengkapi induktif (PUK 150). Sebagai sarana katekese, metode ini memiki arti lain: yaitu “kerygmatic”(gerak turun), yang berpangkal dari pewartaan pesan, seperti rumusan ajaran dan kemudian menerapkannya dalam pengalaman hidup sehari-hari; dan metode “eksistensial” (gerak naik) yang berpangkal dari pengalaman manusia yang kemudian diterangi dengan sabda Allah (PUK 151).

25.Pengalaman manusiawi mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam katekese, maka perlu ditafsirkan dengan tepat. “Pengalaman yang diterima dalam iman, dalam suatu cara tertentu, menjadi locus bagi pengejawantahan dan perwujudan keselamatan, di mana Allah, tetap bersama dengan pedagogi Inkarnasi, sapai pada manusia dengan rahmat-Nya dan menyelamatkannya” (PUK 152). Tugas pedagogi kateketislah menafsirkan pengalaman dalam rangka iman (PUK 153).

26.“Penggunaan daya ingatan, membentuk aspek pedagogi iman yang konstitutif sejak awal keKristenan”. Harus dipertimbangkan hal-hal apa yang harus dihafalkan, misalnya rumusan-rumusan pokok, ataupun doa seperti Bapa Kami, Syahadat, Salam Maria. Yang penting, hafalan itu juga dimasukkan dalam batin, dipahami secara mendalam dan menjadi sumber iman Kristiani. Proses hafalan ini dapat pula dipahami dalam kerangka tradisi (traditio) dan redisi (reditio), karena proses penerusan iman (traditio) selalu terkait dengan tanggapan, penerimaan (reditio) (PUK 154-155).

27.Mereka yang terlibat langsung dalam katekese juga mempunyai peran sentral dalam katekese. Yang pertama ialah katekis sendiri. Mutu dan spiritualitas hidupnya akan menjiwai metode yang digunakannya (PUK 156). Partisipasi aktif dari para penerima katekese selaras dengan tata perwahyuan dan tata keselamatan. Mereka diajak terlibat dalam doa, liturgi maupun karya-karya sosial serta pelestarian keutuhan ciptaan. Partisipasi mereka itu memberi sumbangan yang berharga bagi proses katekese (PUK 157). Pada akhirnya, pedagogi kateketik akan efektif bila komunitas, kelompok menjadi tempat referensi konkret bagi perjalanan setiap individu. Kelompok dapat menjadi “sumber, locus dan sarana katekese”. Kelompok Kristiani sendiri dapat menjadi sarana pengalaman komunitas bagi penerima katekese (PUK 158-159)

28.Pada masa ini, “sarana komunikasi sosial telah menjadi sarana utama informasi, pendidikan, bimbingan, dan inspirasi dalam tingkah laku individu-individu, keluarga-keluarga dan masyarakat luas pada umumnya”. Maka, media dapat menjadi sarana yang sangat membantu dalam katekese. Dalam hal ini tidak cukup menggunakan media untuk sarana katekese, tetapi perlu mengintegrasikan iman dalam bahasa-bahasa baru, bahasa media. Untuk itu perlu ketrampilan yang memadai. Sementara mereka yang bekerja di bidang media diundang untuk terbuka pada pewartaan (PUK 160-162).

Bagian IV: Mereka yang menerima Katekese

29.Yesus mewartakan Kerajaan Allah bagi semua orang, dimulai dari yang paling kurang beruntung. Dia menjadi seorang katekis Kerajaan Allah bagi semua kategori manusia, besar kecil, tua muda, sehat sakit, jauh dekat. Gereja juga dipanggil untuk mewartakan Injil kepada semua orang,Yahudi atau Yunani, budak ataupun orang merdeka, tua atau muda, kaya atau miskin. Situasi yang berbeda-beda itu mendorong katekese untuk mencari metode dan pendekatan yang sesuai. Inilah yang menjadi perhatian bagian ini, meski tidak mungkin menjawab semua kebutuhan (PUK 163-166).

30.Secara umum harus dikatakan bahwa semua yang dipanggil oleh Allah bergerak menuju kematangan iman, maka memerlukan katekese. Penerima katekese ialah “pribadi-pribadi yang konkret dan historis”, yang berakar dalam situasi tertentu dan dipengaruhi oleh budaya tertentu. Mereka inilah subyek dalam katekese. Mereka harus menjadi “subyek yang aktif, sadar, dan ikut bertanggungjawab, bukan sekedar penerima yang diam dan pasif”. Demikian juga harus disadari bahwa penerima katekese ialah “seluruh komunitas Kristiani dan setiap pribadi yang ada di dalamnya”, hal inipun perlu dipertimbangkan. Maka, perlulah penyesuaian dengan siapa penerima katekese itu. Penyesuaian itu harus dipahami sebagai penyesuaian dengan ladang Allah yang mau ditaburi benih. Penyesuaian itu harus memperhitungkan pelbagai macam situasi (PUK 167-170).

31.Kategori pertama ialah katekese menurut usia. Katekese berdasar usia dipandang esensial bagi Gereja, karena di satu pihak iman menyumbang bagi perkembangan pribadi, dan di lain pihak setiap tahap kehidupan selalu menghadapi tantangan dekristianisasi dan memerlukan peneguhan kembali iman (PUK 171). Berkaitan dengan katekese menurut usia ini dibedakan katekese orang-orang dewasa (PUK 172-175); Katekese anak-anak dan kaum remaja (PUK 177-180); Katekese bagi kaum muda (181-185) dan Katekese bagi kaum lanjut usia (PUK 186-188).

32.Kategori kedua ialah katekese untuk situasi, mentalitas dan lingkungan khusus.
Di sini Petunjuk Umam Katekese berbicara mengenai katekese bagi kaum cacat mental dan cacat jasmani (PUK 189); Katekese bagi mereka yang tersisihkan (PUK 190); Katekese untuk berbagai kelompok, seperti kaum pekerja, seniman, ilmuwan, dan mahasiswa (PUK 191); dan Katekese lingkungan (PUK 192).

33.Kategori ketiga ialah Katekese dalam konteks sosio-religius.
Dalam kategori ini disebut Katekese dalam situasi kompleks dan plural, yang terutama diarahkan untuk membangun jatidiri Kristiani (PUK 193-194); Katekese dalam konteks devosi populer, dimaksudkan untuk membantu umat beriman agar mereka diteguhkan dalam imannya sekaligus agar mereka tidak jatuh pada bahaya-bahaya seperti takhayul dan sinkretisme (PUK 195-196). Dalam konteks ekumenisme, katekese bertugas untuk menyampaikan seluruh wahyu yang diterima Gereja Katolik, dengan mengindahkan hirarki kebenaran; menampilkan kesatuaniman yang ada; membangkitkan kerinduan akan kesatuan; serta menyiapkan umat Kristiani berkontak dengan saudara-saudari yang berkeyakinan lain, dengan tetap memupuk jati diri Kristiani dan menghormati iman orang lain. Dalam kerangka ekumenisme ini para Uskup dapat mempertimbangkan kerjasama ekumenis dalam bidang pelajaran agama (PUK 197-198). Perhatian juga diberikan kepada katekese dalam relasi dengan agama Yahudi (PUK 199). Sementara itu, katekese dalam konteks agama-agama lain membantu memperkokoh jatidiri iman Kristiani seraya menghormati agama-agama lain (PUK 200). Dan yang terakhir ialah katekese dalam hubungan dengan gerakan-gerakan religius baru (PUK 201).

34.Kategori keempat ialah katekese dalam konteks sosio budaya.
Prinsip dasar ialah katekese, sebagaimana evangelisasi, dipanggil untuk “membawa kekuatan Injil ke dalam jantung budaya dan kebudayaan-kebudayaan” (CT 53). Inilah tugas inkulturasi dari katekese. Inkulturasi akan “memajukan suatu ungkapan baru Injil sesuai dengan budaya yang menerima evangelisasi, sambil mempertahankan sebuah bahasa iman yang merupakan warisan umum para beriman” (PUK 203). Dalam proses itu, Injil perlu ditampilkan secara utuh dan mendalam, sementara budaya-budaya juga didengarkan. Proses ini melibatkan seluruh umat beriman. Dalam rangka ini peran bahasa menjadi penting, demikian juga media komunikasi modern. Demikian pula perlu diperhatikan mereka yang ada di situasi pertukaran budaya (PUK 204-211). Pada prinsipnya, katekese inkulturasi perlu memperhatikan situasi konkret jemaat. Ada perbedaan antara katekese inkulturasi di daerah yang baru saja menjadi Kristen dan di daerah yang sudah mempunyai tradisi Kristen yang lama. Tugas gereja lokallah untuk mengembangkan proses inkulturasi ini (PUK 212-214).

Bagian V: Katekese dalam Gereja particular

35.Pewartaan Injil dan Ekaristi adalah dua tiang utama bagi Gereja partikular.
Melalui katekese, “Gereja partikular memberikan kepada semua anggotanya, dan semua yang datang dengankerinduan untuk mempersembahkan dirinya kepad Yesus Kristus, suatu proses formatif yang mengizinkan pengetahuan, perayaan hidup dan pewartaan di dalam cakrawala budaya yang khusus”. Di dalam keuskupan, katekese mempunyai tugas unik, dan menjadi tanggungjawab semua orang beriman, dan melibatkan seluruh umat beriman (PUK 219-221).

36.Dalam Gereja partikular, Uskup mempunyai tanggung jawab pertama bagi katekese.
Petunjuk Umum Katekese menegaskan apa yang dikatakan dalam Lumen Gentium: “Di antara tugas-tugas mendasar para Uskup, pewartaan Injil menduduki tempat utama” (LG 25). Maka para Uskup bertugas untuk: menjamin prioritas efektif katekese; memiliki perhatian pada katekese; menjamin persiapan katekis; serta memiliki program yang jelas, koheren dan menyeluruh (PUK 222-223). Di samping Uskup, mereka yang terlibat dalam karya katekese ialah para imam (PUK 224-225); orang tua (226-227); kaum religius (228-229); katekis awam (230-232).

37.Demi terjaminnya karya katekese, maka pembinaan para katekis merupakan hal yang perlu diusahakan.
Pada tempat pertama ialah mendorong tumbuhnya panggilan menjadi katekis dalam diri umat, sehingga umat mempunyai katekis baik purna waktu maupun paruh waktu. Para katekispun perlu menerima pembinaan, baik pembinaan dasar maupun pembinaan yang berkesinambungan. Dan karya katekese perlu dikoordinir dalam kerangka keseluruhan karya pastoral Gereja (PUK 233).

38.Mutu para katekis akan sangat menentukan terlaksananya karya katekese.
Maka pembinaan para katekis haruslah menjadi prioritas bagi keuskupan. Di samping itu juga mutlak perlu pembinaan kateketis bagi para calon imam (PUK 234). Pembinaan para katekis dimaksudkan agar mereka semakin sanggup meneruskan Injil atas nama Gereja (PUK 235-236). Kriteria menjadi katekis ialah iman yang mendalam, identitas Kristiani dan Gerejawi yang jelas, serta mempunyai kepekaan sosial. Harus diingat bahwa para katekis ini tetaplah awam, maka pembinaan merekapun ditempatkan dalam rangka panggilan khas kaum awam (PUK 237). Pembinaan katekis pertama-tama harus mengarahkannya menjadi seorang yang matang sebagai pribadi manusiawi yang beriman dan bersemangat apostolis. Mereka juga perlu dilengkapi dengan pembinaan biblis, teologis dan kateketis, serta pengetahuan umum lainnya, serta kemampuan pedagogis yang akan membuat mereka mampu menjalankan pelayanan (PUK 238-245).

39.Tempat pembinaan katekis pertama-tama adalah komunitas Kristiani sendiri,
“dalam komunitas inilah katekis menguji penggilannya sendiri dan terus menerus menyuburkan kesadaran kerasulannya”. Secara khusus pembinaan katekese dijalankan di lembaga-lembaga, ataupun sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pembinaan para katekis (PUK 246-252).

40.“Komunitas Kristiani adalah asal, locus, dan tujuan katekese.
Pewartaan Injil selalu mulai dari komunitas Kristiani dan mengajak manusia untuk bertobat dan mengikuti Kristus. Komunitas yang samalah yang menyambut mereka yang ingin mengenal Tuhan dengan lebih baik dan meresapi mereka dengan sebuah kehidupan baru. Komunitas Kristiani menyertai katekumen dan mereka yang menerima katekese, dan dengan keprihatinan seorang ibu,membuat mereka mengambil bagian dalam pengalaman imannya sendiri dan menggabungkan mereka di dalamnya” (PUK 254).

41.Pelbagai macam tempat katekese mempunyai peran dan kekhasannya masing-masing.
Keluarga, merupakan “locus katekese yang memiliki privilese unik: meneruskan Injil danmembuatnya berakar dalam konteks nilai-nilai manusiawi yang mendalam” (PUK 255). Katekumenat, merupakan tempat orang dewasa mempersiapkan diri menjadi Kristen dan menerima sakramen-sakramen inisiasi (PUK 256). Paroki merupakan locus paling penting bagi katekese, paroki merupakan tempat biasa di mana iman lahir dan bertumbuh (PUK 257). Sekolah-sekolah Katolik (PUK 259-260), serta Asosiasi, gerakan-gerakan dan kelompok umat beriman (PUK 261), serta komunitas-komunitas basis Gerejawi (PUK 263) merupakan tempat penting bagi katekese.

42.Dalam Gereja-Gereja partikular, Komisi Kateketik Keuskupan merupakan “sarana yang digunakan Uskup sebagai kepala komunitas dan guru doktrin untuk mengarahkan dan mengatur segala kegiatan kateketik Keuskupan”. Komisi kateketik Keuskupan perlu menjalin kerjasama dengan Komisi Liturgi, khususnya berkaitan dengan katekese awal dan katekumenal. Komisi Kateketik Keuskupan perlu mempunyai staf yang memadai (PUK 265-267). Kerjasama antar keuskupan merupakan bantuan yang tepat dalam pengembangan karya katekese (PUK 268). Komisi kateketik Konferensi Waligereja bertugas menolong masing-masing keuskupan dalam hal kateketik (PUK 260), sementara pelayanan Tahta Suci dijalankan oleh Kongregasi untuk Klerus (PUK 270-271).

43.Koordinasi karya katekese diperlukan demi terjadinya kesatuan iman.
Koordinasi karya katekese diperlukan bagi “suatu proses inisiasi Kristen yang tunggal dan koheren bagi anak-anak, remaja, dan kaum muda, yang erat berhubungan dengan sakramen inisiasi yang telah atau akan mereka terima dan dikaitkan dengn pembinaan pastoral pendidikan”, serta “suatu program kateketik, yang dialamatkan kepada mereka yang ingin memeprdalam iman mereka supaya melengkapi inisiasi Kristen yang telah dimulai dalam Sakramen Permandian” (PUK 274-275). Koordinasi juga diperlukan dengan kegiatan misioner dan kegiatan pastoral, sebagai bagian dari proses evangelisasi, maupun dalam karya pendidikan (PUK 276-278).

44.Pelayanan karya katekese dalam gereja partikular perlu didukung oleh analisa situasi sebagai titik tolaknya, program kerja yang jelas, serta dukungan sarana-sarana bagi kegiatan katekese (PUK 279-284). Secara khusus disebut penyediaan katekismus lokal sebagai sarana katekese. Penyusunan katekismus lokal harus mengindahkan keserasian sempurna dengan Katekismus Gereja Katolik, serta mengindahkan “norma-norma dan kriteria untuk penyajian pesanInjil dalam Petunjuk Umum Katekese (PUK 284-285).

Penutup
45.Pedoman Umum Katekese ini ini dipersembahkan kepada semua Gembala Gereja, kepada rekan-rekan kerja mereka, dan katekis untuk memberi semangat dan dorongan dalam pelayanan yang dipercayakan kepada mereka. Pedoman ini diharapkan tidak hanya memperjelas sifat, norma, dan kriteria katekese, tetapi menyuburkan harapan mereka yang bergiat dalam karya katekese (PUK 287).

46.“Gereja yang bertanggungjawab mengkatekese mereka yang percaya, memohon Roh Bapa dan Putera, meminta kepada-Nya untuk memberikan buah hasil dankekuatanbatin bagi kerja keras yang dilaksanakan di mana-mana demi pertumbuhan iman dan persahabatan dengan Yesus Kristus Penyelamat kita” (PUK 290). Di dalam diri Bunda Maria, para petugas katekese “menemukan model rohani untuk melaksanakan dan menguatkan pembaruan katekese kontemporer, dalam iman harapan dan kasih” (PUK 291).

RD. M. Purwatma, Pr
Pada Hari Studi Uskup KWI tentang Katekese, November 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *