Pertemuan Kateketik antar-Keuskupan se-Indonesia I

ARAH KATEKESE DI INDONESIA
(PKKI I: Sindanglaya, 1977)

Pokok pembicaraan, arah katekese dan kesimpulan-kesimpulan yang dicetuskan oleh Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia I (PKKI I) yang diselenggarakan pada tanggal 10 s.d. 16 Juli 1977, di Wisma Syalom Sindanglaya Jawa Barat menceteuskan kesimpulan sbb:

1.Setelah Pertemuan Kateketik Antar Keuskuan se-Indonesia dibuka secara resmi dengan perayaan Ekaristi yang disusul dengan tatacara perkenalan sebagaimana biasa, dimulailah acara perkenalan yang bersifat tukar-menukar informasi dari masing-masing panitia Kateketik Keuskupan yang secara sekilar memberi gambaran katekese di Indonesia. Hampir di semua keuskupan di Indonesia telah didirikan Panitia Kateketik (Pankat) atau badan lain yang serupa, baik secara khusus maupun dalam gabungan dengan panitia lain; beberapa keuskupan tengah menyiapkannya. Badan keuskupan yang mengurus soal katekese tersebut ada yang sudah mempuyai tenaga full-time; bagian terbesar merupakan tugas part-time. Kegiatan pada umumnya merupakan pembinaa, penataran untuk tenaga-tenaga pelaksana katekese seperti guru-guru agama di sekolah, katekis, porhanger, dsb.; pengadaaan sarana-sarana katekese seperti buku-buku pegangan, kurikulum, alat peraga, audio-visual, dsb. Kegiatan di beberapa regio terutama ditujukan untuk katekese umat (Irian Jaya, Kalimantan, Sumatera). Di samping itu sangat dirasakan manfaat dan jasa dari institut-institut kateketik yang ada di Indonesia, yaitu STTK Abepura, APK Ruteng, IKAR Rantepao, IPI Malang, AK MAdiun, STKat Yogyakarta dan Jakarta, dan tidak boleh dilupakan Pusat Kateketik Yogyakarta. Di banyak daerah dirasakan kesulitan kurang difahaminya arti dan usaha di bidang katekese ini, bahkan oleh petugas gerejani sendiri. Keuslitan yang disebut antara lain:
•Kurangnya dana, sarana dan fasilitas
•Kurangnya kerja sama antara para pelaksana katekekese (Pastor-katekis)
•Para pastor mau lepas tangan dalam soal katekese, pimpinan gerejani belum terlibat dalam kegiatan Pankat
•Tak adanya anggota fulltimer Pankat
•Karya katekese belum terkoordinir.

2.Semuanya ini menyulitkan pelaksanaan rencana-rencana Pankat-pankat.
a.Data-data informasi yang telah dikemukakan mulai direfleksikan bersama seraya mencoba menemukan titik berat masalah yang warna-warni itu, yang senyatanya menjadi titik tolak yang sangat berarti buat memasuki persoalan-persoalan katekese dari pertemuan ini.
b.Mulailah kita diajak berkomunikasi dengan seluruh dunia dalam aliran-aliran katekese yang bermunculan dari berbagai tempat, dan kita kembali ingin berpijak pada situasi khusus Indonesia. Lewat prasaran “Katekese Sekarang” menjadi hangatlah pebicaraan bersama dalam kelompok maupun secara pleno mengenai katekese yang khas Indonesia. Perbenturan ini yang merupakan penyadaran secara prinsipiil, sedikit banyak telah membawa kepada pemahaman baik arti katekese, maupun maksud “khas Indonesia”, yang mencanangkan bahwa katekse ialah: usaha saling menolong terus-menerus dari setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup pribadi maupun bersama menurut pola Yesus Kristus menuju kepada hidup kristiani yang dewasa penuh.
c.Dua hal yang disebut di atas, yaitu arti katekese dan makna khas Indonesia, menjuruskan kepada situasi konkrit setempat yang akhirnya sungguh mewarnai katekese itu sendiri. Hal yang memang dirasakan juga ialah: bahwa sebagai bangsa Indonesia kita mengalami sejarah yang sama, hal mana mempersatukan; sebaliknya kata Indonesia tersebut juga merangkum keanekaragaman yang amat kaya. Kesatuan dalam keanekaragaman menjadi tuntutan bagi katekese.
d.Maka bias dipahami katekismus nasional yang pernah dicoba penyusunannya, menjadi kesulitan untuk bias diterima di semua daerah di Indonesia ini. Dalam hubungan ini termasuk pula soal-soal sekitar kurikulum 1975.

3.Dengan diskusi dalam kelompok-kelompok yang memuat keuskupan-keuskupan se-regio (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa tenggara dan Irian Jaya) setelah prasaran “Katekese dan Theologi” di mana akan ditangani, muncullah gagasan-gagasan pokok yang sebelumnya sudah mulai timbul, ialah:
a.Pembinaan umat secara menyeluruh, dan karena itu pembinaan pemimpin atau ketua umat pada umumnya.
b.Di samping itu nampak pula perhatian masing-masing region pada keluarga dan guru-guru (Sulawesi, Amboina), Katekese biblis dan tenaga katekis (Irian Jaya), pembinaan muda-mudi (Sumatera, Sulawesi, mengintensifkan Panitia Kateketik (Kalimantan), istilah katekese luar-sekolah (Jawa), pelaksanaan katekese (Nusa Tenggara). Disadari bahwa saying sekali bila ini semua hanya mau dilebur dalam satu gambar yang segarus dan seragam.
c.Mulai terasa bagaimana katekese sekolah, yang hari-hari pertama praktis menjadi titik tolak beberapa reio, direlativir.
d.Dalam pembbicaraan selama ini dirasakan pula, bahwa buka terutama gambar Gereja Hirarki, melainkan Gereja umatlah yang nampak. Di situ sebenarnya timbul juga dalam pespektif sesuatu yang akan sangat bermanfaat untuk landasan atau pegangan bagi masing-masing Panitia Kateketik se-regio atau se-keuskupan untuk penyusunan program kerja, entah program kerja jangka panjang entah jangka pendek sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan setempat.

4.Di dalam diskusi-diskusi selanjutnya keanekaragaman makin dihargai dan dirasa saling memperkaya. Makin dalamlah apa yang ingin dituju, ialah katekese sebagai komunikasi iman. Katekese senantiasa mengandaikan jemaat beriman setempat yang menjadi pendukung, sehingga dari sanalah segala-galanya mau dilihat. Seperti dalam persoalan hubungan sekolah dan umat, ditanya-tanyakan mengenai fungsi sekolah maupun fungsi katekese di sekolah dalam pembinaan umat, dipertanyakan pula apa sebenarnya makna sekolah katolik dalam pembinaan iman; juga seterusnya persoalan-persoalan mengenai kedudukan katekese dalam karya persekolahan pada umumnya, maupun pada sekolah-sekolah katolik sendiri. Prasaran “Katekese di sekolah” hendaknya dilihat sebagai bagian dari katekese umat. Yang timbul selalu dalam pembicaraan selanjutnya adalah situasi konkrit yang minta sungguh diperhitungkan dalam katekese. Sedikit catatan mengenai paroki, yaitu bahwa paroki dinyatakan bukan sebagai satu-satunya bentuk kehidupan gerejani.

5.Sekalipun diskusi yang menanggapi prasaran “Katekese katekumenat” lebih bersifat informatif, namun jelas pula bahwa garis yang mulai dirintis pada hari-hari pertama sangat berpengaruh, ialah garis “katekese umat untuk umat”. Itu ternyata dari disebut-sebutnya istilah kelompok “infrastruktur paroki”, “infrastruktur umat” menuju hidup menggereja”. Pula bahwa sangat ditekankan tentang pembinaan iman, bukannya melulu membawakan/mengalihkan pengertian-pengertian secara intelektualistis, antara lain dengan disebutnya peningkatan secara kualitatif maupun kemurnian motivasi. Hal pentahapan yang diketengahkan dalam pedoman pastoral inisiasi, yang mendapat tanggapan bahwa itu agaknya terlalu idealis atau sering kurang sesuai dengan kebanyakan tempat di Indonesia, membuat kita makin berpikir betapa sesuatu struktur/bentuk, yang disodorkan begitu saja dari luar, berarti menentang atau tidak mengindahkan situasi konkrit.

6.Katekese umat, sekalipun tadinya masih dijuluki “katekese luar sekolah”, jelas makin terasakan mendekati apa yang diidam-idamkan dan dicari-cari selama ini. Bertolak dari pengalaman membawakan katekese dalam kelompok hal itu ternyata makin menuju sasaran, sebab justru dalam kelompoklah terbina secara bersama sikap pribadi dalam persekutuan iman atau gereja, hal mana hampir tak mungkin selain secara dangkal bila hanya diandalkan pada kelompok sangat besar atau paroki. Itu menggarisbawahi apa yang pada hari-hari sebelumnya selalu disebut-sebut sebagai situasi konkrit sedalam-dalamnya, bila saling menemukan dan mengembangkan charisma-kharisma yang ada pada tiap anggota. Tentu ini harus selalu diartikan bahwa semua berlangsung dalam perkembangan yang terus-menerus, secara menyeluruh, sehingga umat menjadi tanda kesaksian iman di tengah-tengah masyarakat.

7.Dalam prasaran dan diskusi “Katekese dan Kitab Suci”, pengertian tentang katekese umat sebagai komunikasi iman umat diberi pola dengan “pola Kristus”. Di sini pengalaman iman umat mendapat pola dalam diri Kristus seperti yang dialami umat Kristiani purba. Dengan demikian Kitab Suci harus mendapat tempat dalam katekese, sehingga nantinya katekese mengembalikan umat kepada Kitab Suci dan penghayatan Sabda Allah dalam kehidupan konkrit sehari-hari. Suatu katekese yang berpusat pada Kitab Suci akan menyuarakan firman Allah dengan jelas dan firman ini adalah firman kehidupan. Namun masih dirasakan bahwa katekese Kitab Suci belum cukup digarap dan belum mendapat tempat yang wajar dalam katekese kita, sehingga diperlukan perhatian kita yang lebih serius terhadap masalah ini.

8.Prasaran “kedudukan dan gambaran katekis” yang berupa refleksi atas pengalaman bertahun-tahun menunaikan tugas ini, menarik garis lebih tegas bahwa:
a.Seluruh pelayanan gereja, termasuk katekis, perlu senantiasa dikembalikan kepada umat.
b.Kriterium untuk berfungsinya pelayanan ini adalah pembangunan jemaat.
c.Katekis adalah panggilan khusus dalam gereja yang berarti bahwa sebagai seseorang ia mengandalkan seluruh tugas dan hidupnya untuk pewartaan Sabda; bahwa kurang lebih katekis lahir dari kebutuhan umat, bahwa katekis adalah dalam bidang apapun ia bertugas.
d.Pendekatan secara manusiawi dan pelayanannya yang dimengerti sungguh didambakan oleh para katekis sendiri.
e.Dirasakan perlunya dipikirkan dengan sungguh jaminan hidup katekis seperti rekan sekerjanya para petugas lain di gereja.

9.Demikianlah proses pertemuan ini menghasilkan suatu keyakinan mengenai arah katekese kita di masa dating yaitu katekese sebagai komunikasi iman umat, katekese dari umat dan untuk umat, katekese yang menjemaat, yang berdasarkan pada situasi konkrit setempat menurut pola Yesus Kristus. Arah katekese yang telah dicapai selama pertemuan ini sungguh tidak jauh berbeda daripada apa yang telah diutarakan dalam naskah mencari arah katekese dalam gereja yang berkembang di Indonesia sewaktu siding MAWI 1976.

10.Akhirnya perlu dikatakan bahwa pertemuan selama seminggu antara panitia-panitia kateketik se-Indonesia, ini merupakan juga suatu komunikasi pengalaman iman peserta yang menggairahkan, di mana pertemuan demi pertemuan dirasakan sangat akrab dan komunikatif sehingga semua peserta merasa diperkaya oleh pengalaman iman dari sesamasesamera yang dating dari seluruh pelosok tanah air. Sangat dirasakan bahwa, “Pertemuan Kateketik Antara Keuskupan se-Indonesia yang pertama” ini merupakan peristiwa nasional gerejani, merupakan tanda jaman di mana Tuhan sendirilah yang berbicara di balik peristiwa yang berlangsung dengan santai dan kaya ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *