Renungan Hari Minggu Biasa XXI: Yang Lebih Berharga

Petrus mengakui Yesus.jpg

Bacaan I : Yoh 24:1-2. , 15-17.18b
Bacaan II : Ef 5:21-32
Bacaan Injil : Yoh 6:61-70

Dalam Injil hari-hari minggu yang lampau kita mendengar bahwa ketika Yesus menggandakan roti dan orang-orang makan kenyang sampai bersisa, banyak mencari dan mengejar-ngejar Dia. Mereka sepertinya terobsesi dengan soal perut itu. Soal jaminan sosial ekonomi.

Namun ketika Yesus mulai menawarkan hal-hal yang lebih dari roti, yaitu Roti-Hidup, yang adalah diri-Nya sendiri, mereka mulai bingung, ragu, tidak percaya. Dalam injil minggu lalu, ketika Yesus mengatakan bahwa daging-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dan darah-Nya adalah sungguh-sungguh minuman, mereka menunjukkan sikap tidak menerima.Dalam injil minggu ini kita mendengar bahwa banyak dari murid-murid Yesus meninggalkan Dia, hanya orang-orang yang paling dekat dengan-Nya masih tetap bertahan. Mereka mengeluh: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya!”

Kata-kata Yesus dirasakan terlalu keras, terlalu sulit, terlalu berbelit-belit. Kenapa Yesus tidak berbicara dan berbuat yang gampang-gampang saja, yang langsung enak, seperti menggandakan roti itu?? Roti itu menyangkut kebutuhan pokok manusia!

***
Sikap orang-orang Yahudi itu bisa menjadi sikap kita juga di jaman ini. Bisa jadi, dalam kehidupan kita sehari-hari kira se-demikian terobsesi oleh soal perut, oleh soal jaminan sosial ekonomi, sehingga Tuhan tidak menarik perhatian kita lagi. Pada jaman ini hidup kita sangat dipengaruhi oleh budaya materia-listik dan hedonistik. Dogma budaya materialistik dan hedo-nistik adalah hidup yang betul adalah hidup berlimpah materi dan berkesenangan. Tanpa kelimpahan materi dan kesenangan, hidupmu gagal. Dalam budaya materialistik dan hedonistik hidupnya punya arti, dan kita hanya diakui oleh orang lain, apabila penuh kemewahan dan kenikmatan. Manusia ditakar dari apa yang dia miliki: rumah, mobil, deposito dolar, kartu anggota dari club-club eksekutif dan kenikmatan. Orang tidak menikmati kemewahan, yang kelihatan ada masalah adalah orang-orang yang tidak laku dalam budaya hedonistik. Pengur-banan, penderitaan, askese dan tapa, kesederhanaan dan kerela-an untuk melepaskan nikmat demi cita-cita luhur tidak mempu-nyai tempat dalam budaya ini. Budaya ini disuburkan oleh media audio visual dan diperkuat oleh reklame yang telah meresap hampir semua tempat dan situasi hidup masyarakat kita.

Budaya materialistik dan hedonistik itu antara lain melahirkan sikap konsumeristik. Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong untuk terus menerus menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu dibutuhkan, melainkan lebih karena status yang dikira akan diperoleh melalui konsumsi tinggi itu. Orang mengira bahwa ia bisa menjadi “orang” kalau dia membeli pakaian model tertentu, mobil merk tertentu, rumah bergaya Itali atau Spanyol, makan di restaurant atau minum di café tertentu, berlibur dan berbelanja ke negeri-negeri dunia pertama…

Kalau kita sudah sedemikian diresapi oleh budaya mate-rialistik, hedonistik dan konsumeristik, maka hal-hal yang luhur, bahkan Tuhan sendiri bisa terpinggirkan dari kehidupan kita….
Diceriterakan bahwa pernah terjadi seorang pastor mau membawa Ekaristi kepada seorang yang sakit. Orang sakit ini adalah seorang bapa yang biasa mengkonsumsi makanan dan minuman yang enak-enak. Waktu pastor memberi Ekaristi, ia menggelengkan kepala dan tidak mau membuka mulutnya. Istri bapa itu tidak kehilangan akal. Ia berbisik ke telinga suaminya: “Papi buka mulut, itu whisky!” Karena dikira whisky, bapa itu membuka mulutnya……..

Bagi bapa itu rupanya whisky lebih berarti daripada Tuhan!

Menerima Tuhan sebagai “Roti Hidup” rupanya tidak amat enak. Lebih enak roti beneran. Menerima Kristus sebagai “Roti hidup”, itu berarti Kristus akan mendarah daging dalam diri kita. Kristus disenyawakan dalam diri kita. Roh Kristus menjadi roh kita. Panggilan dan obsesi Yesus menjadi panggilan dan obsesi kita. Jalan hidup Yesus menjadi jalan hidup kita.

Makan tubuh Kristus serta minum darah Kristus berarti mengulangi kehidupan yang sudah dialami Yesus, yaitu hidup dengan ketaatan penuh terhadap kehendak Bapak, termasuk memikul salib dalam kehidupan ini. Menyambut tubuh Kristus bukan sekedar menerima Kristus dalam rupa roti, tetapi hidup menurut teladan hidup-Nya!!
Menerima Yesus, memang berarti menjadi seperti Dia….

Ada seorang ibu anggota umat yang sangat berkesan dengan hidup seorang biarawati, seorang suster. Ia berkata kepada seorang anggota umat yang lain. “Suster itu begitu baik, kemanapun dia pergi sepertinya ia membawa Yesus di dalam dirinya. Ia seperti monstrans! Kita yang selalu menerima Yesus, apakah kita bisa menjadi seperti monstrans?

Sumber: Buku Homili Tahun B – Komkat KWI oleh Rm. Yosef Lalu, Pr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *