Bukan Metafor Tetapi Pewahyuan. Pertama-tama perlu dikatakan bahwa ekspresi-ekspresi Yesus dalam teks ini, seperti makan daging-Ku, minum darah-Ku tidak bernada metafor, melainkan sebagai seruan lugas, senada dengan seruan Yesus versi Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas): ‘ambillah, makanlah, inilah Tubuh-Ku; ambillah minumlah, inilah Darah-Ku’. Dapat dikatakan bahwa melalui ekspresi-ekspresi itu Yesus menyingkap siapa Dia sesungguhnya di hadapan para murid dan orang banyak yang mendengar Dia.
Pada ayat 51 Yesus mengidentikkan diri dengan Roti Hidup. Roti adalah daging-Nya, yaitu daging yang turun dari sorga. Dalam Yoh 1: 14, masuknya Sabda ke dalam dunia digambarkan sebagai menjadi daging. Sabda yang sama itu sekarang diberikan kepada manusia sebagai Roti Hidup. Kata-kata ini menunjukkan bahwa kematian Yesus di salib dikaitkan dengan Ekaristi. Sebab dalam Ekaristi Ia mengurbankan diri-Nya bagi kehidupan manusia.
Sebagai Sabda (Logos), Yesus datang dari Bapa untuk kita manusia, serupa dengan manusia. Namun dengan misteri inkarnasi Ia memberi diri seutuhnya bagi kita. Yohanes Pembaptis telah memperkenalkan Dia sebagai Anak Domba Allah (1: 29), dan kini dalam Ekaristi, di meja altar, Ia memberikan diri-Nya sebagai daging Anak Domba. Dalam perjamuan Ekaristi, Yesus menjadi tuan rumah sekaligus kurban perjamuan.
Tekanan pada inkarnasi Sabda ini mengkritik tendensi overspiritualizing baik terhadap kemanusiaan Yesus maupun realitas Tubuh dan Darah-Nya dalam Ekaristi (Brown, The Gospel according to John I-XII, 291). Yesus bukan tampaknya saja manusia (bidaah doketisme), melainkan sungguh manusia (dan sungguh ilahi). Dan Ia bukan manusia super. Ia menjadi daging agar kefanaan manusia sungguh dibarui. Menjadi daging berarti sungguh-sungguh menjadi bagian hidup manusia, turut merasakan keterbatasan kita.
Makna ‘Makan Daging dan Minum Darah’. Dalam tradisi kuno, perkataan memakan daging dan minum darah seseorang merupakan tindakan brutal dan terlarang (Mzm 27: 2; Zak 11: 9). Demikian pula kata-kata minum darah merupakan sesuatu yang dilarang oleh hukum Tuhan (Kej 9: 4; Im 3: 17, Ul 12: 23; Kis 15: 20).
Kalau begitu, jika Yesus menggunakannya dalam arti positif, maka Ia 1) sungguh menekankan makna yang baru dari ekspresi itu, dan 2) mengundang orang untuk percaya pada kebaruan itu. ‘Tubuh dan darah’ adalah ungkapan keutuhan diri Yesus: Ia begitu mengasihi manusia sampai mengurbankan nyawa-Nya bagi keselamatan kita. Roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia (51; bdk 1:14).
Penginjil Yohanes memang tidak merekam kata-kata Yesus atas roti dan anggur sebagaimana dikisahkan tiga penginjil lain dalam Perjamuan Akhir. Meski demikian, jika seandainya ia mengetahuinya, maka ayat ini boleh dikatakan sebagai ‘Kata-kata Institusi’ versi Yohanes. Menarik bahwa penginjil Yohanes tidak menggunakan kata tubuh (Bahasa Yunani: somma), sebagaimana digunakan Injil Sinoptik, melainkan kata daging (sarx).
Pilihan itu penting karena: “Dengan kata daging Yohanes menekankan realisme yang lebih tegas, yaitu bahwa roti Ekaristi adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan bukan hanya simbol belaka. Dalam rupa roti dan anggur ekaristis, Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir karena roti dan anggur ekaristis itu benar-benar Tubuh dan Darah Kristus” (Martasudjita, Ekaristi, 244).
Daging. Terkait kata daging, Brown memberi catatan: Penginjil Yohanes menggunakan kata daging (flesh), sementara Injil Sinoptik menggunakan tubuh (body). Sebenarnya tidak ada kata tubuh dalam bahasa Ibrani atau Aram sebagai istilah yang biasanya kita mengerti. Banyak ahli berpendapat bahwa pada Perjamuan Terakhir, kata yang digunakan Yesus ialah sebuah padanan dalam bahasa Aram yang berarti Ini adalah daging-Ku (this is my flesh). Teks-teks liturgi lebih akrab dengan kata tubuh, tetapi kata daging memberi tekanan lebih dalam.
Berdasarkan observasi itu Brown meyakini bahwa “John is the closest of the Gospels to the original eucharistic language of Jesus”. Pilihan kata daging menegaskan misteri inkarnasi (in carnis). Dan dengan demikian misteri realis praesentia dalam Ekaristi pun ditunjukkan dengan lebih kuat (Brown, The Gospel according to John I-XII, 285).
Kata daging digunakan juga oleh para penulis masa Gereja awal seperti Ignatius Antiokhia dan Yustinus Martir, dengan tujuan melawan dualisme Gnostisisme, yaitu aliran yang mempertentangkan dua realitas: material bersifat jahat, sebaliknya hanya realitas rohani yang baik. Dengan demikian, penganut aliran itu menyangkal kehadiran nyata (realis prasentia) Kristus dalam Ekaristi – sebagaimana diyakini Gereja Katolik.
Meja Sabda dan Meja Ekaristi. Kekhasan utama lain Injil Yohanes ialah perhatiannya pada Sabda. Injil Yohanes memaknai Sabda bukan hanya sebagai Logos yang dikemukakan dalam bab pertama tulisannya, tetapi dalam seluruh bagian Injilnya. Sabda Allah dan Roti Hidup adalah dua unsur fundamental untuk memahami Teologi Ekaristi menurut Injil Yohanes.
Pesannya jelas: hanya komunitas yang sungguh mendengarkan Sabda Tuhan akan menjadi komunitas yang merayakan Ekaristi. Sebab bagi Yohanes, Sabda bukan sekedar tambahan untuk perayaan-perayaan sakramental, melainkan bagian yang terkait erat dengannya. Tanpa Sabda tidak ada sakramen Ekaristi (Osborne, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, 63-66).
Penjamin Hidup Kekal. Yesus mewahyukan diri sebagai jaminan hidup kekal. Dari pihak manusia, hidup kekal dikaitkan dengan tindakan konkret, yaitu makan Daging dan minum Darah Yesus yang adalah benar-benar makanan dan benar-benar minuman (55).
Di sini peran sentral pribadi Yesus dalam Ekaristi tampil dengan kuat. Yesus sendiri berkata dengan tegas: Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia (56). Oleh karena itu disimpulkan bahwa makan roti dari sorga adalah jaminan hidup kekal (58). Ekaristi merupakan anugerah untuk bersatu dengan Kristus secara menyeluruh, lahir dan batin.
Hidup kekal tidak dikaitkan hanya dengan iman abstrak, melainkan tindakan ‘makan Daging dan minum Darah-Nya. “Kata Yesus kepada mereka: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman (53-54).
Hidup Kini dan di Zaman Akhir. Ayat yang baru saja dikutip itu juga mengandung nada eskatologi: Ekaristi yang kita rayakan sekarang merupakan antisipasi hidup baru dalam Kristus. Dengan kata lain, seluruh hidup seorang pengikut Kristus berciri ekaristis, karena hidupnya sekarang ini terarah kepada persekutuan dengan kehidupan Ilahi sendiri. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia (56).
Kebersamaan hidup manusia dengan Kristus mengalir dari kesatuan antara Yesus dan Bapa-Nya: Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku (6: 57). Kebersamaan hidup dengan Kristus itu bersifat menyeluruh, lahiriah maupun batiniah.
Atau dalam kata-kata Brown, “ayat 57 adalah ekspresi paling kuat dari klaim istimewa bahwa Yesus memberikan kepada manusia bagian dalam kehidupan Allah sendiri”. Karena itu, demikian Brown, “jika Injil Sinoptik mencatat Kisah Institusi Ekaristi, Yohanes lah yang menjelaskan apa sesungguhnya makna Ekaristi bagi orang Kristen” (Brown, The Gospel according to John I-XII, 292-293).
Apakah Kamu mau Pergi Juga? Tujuan utama pengajaran Yesus tentang Roti Hidup ialah agar para murid sungguh menydari pilihan mengimani atau menolak Kristus sebagai Roti Hidup, jaminan hidup kekal. Banyak murid berkata: Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya? (60).
Pertanyaan para murid tersebut sebenarnya mewakili pertanyaan banyak orang Kristen di zaman modern ini: Apa artinya makan Tubuh dan Darah Kristus? Apakah benar dalam Ekaristi kita sungguh memperoleh jaminan hidup kekal? Bagi banyak murid, kata-kata Yesus menggoncangkan iman; mereka bersungut-sungut: “Perkataan ini keras, siapakah yang dapat mendengarkannya”? (61).
Percaya agar Mengerti. Yesus pun tidak berkompromi tentang misteri Tubuh dan Darah-Nya, meskipun Ia tahu bahwa di antara para murid-Nya, ada yang tidak percaya (64). Ia lalu bertanya kembali dan menantang para murid-Nya: “Apakah kamu mau pergi juga” (67)? Ajakan untuk percaya menjadi lebih kuat.