DR. Agustinus Manfred Habur, PR
Pengatar
Dalam edaran apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengajak kita untuk menjadi “Gereja yang keluar”. Gereja harus keluar dari dirinya sendiri untuk mewartakan suka cita injil kepada semua orang tanpa kecuali (Bdk. EG 1). Panggilan untuk keluar, untuk selalu menjadi Gereja yang misioner sangat mendesak terutama di tengah dunia postmodern ini. Pada masa kini banyak orang menghayati iman secara individual, semakin tertutup terhadap pewartaan kebenaran universal dan terjebak dalam kehidupan tanpa harapan. Di sini Gereja tak boleh angkat tangan, malah sebaliknya harus semakin berani menyapa pribadi-pribadi untuk mengalami suka cita injil. Gereja membutuhkan keberanian putra-putrinya, terutama para katekis awam untuk tanpa gentar mewartakan injil sehingga sukacita injili merajai hati semua orang (Bdk. EG 1).
Berkaitan dengan peran para katekis, Gereja membutuhkan katekis-katekis yang berkarakter. Suka cita injil dapat menjangkau hati orang bila para pewarta bekerja penuh komitmen, siap sedia, dan sabar dalam karya pelayanannya. Tantangan zaman postmodern tidaklah mudah. Di tengah zaman ini, pewartaan injil bukan sekedar perkara mengisahkan sejarah keselamatan atau meneruskan informasi tentang ajaran-ajaran gereja melainkan bagaimana kegelisahan dan keseharian orang-orang didengarkan dan dalam keyakinan akan tuntunan Roh, mereka secara perlahan dihantar kepada perjumpaan yang menghidupkan dengan Kristus yang bangkit (Bdk. PUK 152)
1. Mengenal konteks zaman postmodern-post truth
Era postmodern di Eropa muncul setelah perang dunia kedua bersamaan dengan berkembangannya paham postmodernisme dalam filsafat, kesusasteraan, seni, dan musik. Ada yang memandang era postmodern sebagai yang berlawanan dengan era modern namun ada yang menganggapnya sebagai bentuk lanjutan. Sebagai bentuk lanjutan, era postmodern sering juga disebut era modern kedua (Bdk. Pollo: 2010, 89). Era postmodern ditandai oleh runtuhnya keyakinan terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak zaman modern. Generasi postmodernmeragukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknik untuk memberikan segala jawaban terhadap persoalan manusia.Realitas perang, pengangguran dan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melahirkan sikap curiga bahwa Iptek tidak menjamin kebahagiaan manusia (Bdk. Putranto: 2012, 172).
Berbeda dengan era modern yang mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan kebenaran objektif dan universal, era postmodern mengedepankan relativisme dan kebenaran subjektif. Simbol era modern adalah industrialisasi dan pabrik-pabrik sedangkan symbol utama era postmodern adalah informasi,internet dan sarana digital (computer, handphone, Android, dll). Dalam era modern sumber informasi adalah kaum elit sedangkan dalam era postmodern semua orang menjadi sumber-sumber informasi. Status-status dalam facebook misalnya berasal dari segala penjuru, termasuk dari dapur-dapur kami di pelosok Flores.
Dalam kehidupan religius, generasi postmodern bersikap curiga terhadap segala bentuk otoritas dalam masyarakat, termasuk agama yang dogmatis. “Mereka mencurigai segala institusi yang mengklaim punya segala jawaban” (Putranto: 2012, 173).Mereka juga tidak serta-merta meyakini pembicaraan yang berada di luar lingkup pemikiran dan pengalaman mereka.Mereka memiliki sikap yang amat relatif tentang kebenaran. Tidak ada kebenaran objektif dan dogmatis. Kebenaran selalu “kebenaran menurut siapa”.
Kendati demikian, era postmodern secara umum dikenal sebagai era kebangkitan agama-agama. Berbeda dari era modern yang dinilai cendrung memisahkan secara tajam antara yang sekular dan yang sakral, antara nilai-nilai duniawi dan rohani, era ini justru menemukan kembali manfaat nilai-nilai rohani bagi kehidupan (Bdk. Pollo: 2010, 113-121). Generasi postmodern memiliki semacam “kegandrungan” terhadap agama. Akan tetapi agama yang dimaksud bukanlah agama-agama institusional-konvensional, melainkan agama yang berpusat pada kepentingan subjektif. Muncul sekte-sekte yang meyakini Allah yang personal yang menjawabi kebutuhan konkrit manusia terutama yang berkaitan dengan kebutuhan afektif seorang individu (Bdk. Alberich: 2001, 30-31; Alberich: 2002, 20).Orang-orang muda menyukai perkumpulan rohani yang penuh dengan musik, kelompok doa yang menawarkan kesembuhan fisik dan psikis, serta organisasi rohani yang menawarkan tenaga dalam.
Generasi postmodern cendrung mereduksi agama sebagai barang produksi yang “sekali pake bisa dibuang” (Alberich: 2002, 20). Generasi ini tidak bisa memegang komitmen yang bertahan lama. Ciri khas generasi ini adalah antusiasme “terhadap nilai-nilai pergaulan baru, aktual, yang relevan untuk direguk dalam kehidupan masa kini. Apa yang bernilai dalam hal ini bukan lagi tradisi dari masa lampau dan yang layak disimpan, melainkan konsumsi dari masa kini, yang layak untuk dihabiskan, dinikmati, dan diganti lagi dengan nilai-nilai baru yang segera muncul (Sudiarja: 2006, 25).Generasi ini praktis menyukai yang sedang “ngepop” dan “ngetrend” (Sudiarja: 2006, 25).Mereka tertarik pada hal-hal praktis dan menyenangkan (mental pragmatisme dan hedonisme) dan kurang berminat terhadap hal-hal yang transenden. Bahkan mereka menganggap manusia sama dengan Allah dan yang dipentingkan adalah cara berpikir positif (Bdk. Pollo: 2010, 119-120). Mereka lalu menjadi masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap nilai-nilai transendental yang ditawarkan oleh agama-agama konvesnional termasuk yang diwartakan oleh kekristenan.
Dalam kultur seperti ini terjadi privatisasi iman. Iman menjadi urusan pribadi. Orang mungkin beragama Kristen tetapi seturut kebutuhan pribadinya. Orang mengambil nilai-nilai yang dianggapnya cocok dan mengabaikan nilai-nilai lain yang tidak sesuai dengan keinginannya. Apa yang cocok hari ini mungkin tidak cocok lagi esok dan bisa ditinggalkan sesukanya. Orang menghayati iman secara fragmentaris, untuk kepentingan hari ini dan mengabaikan nilai-nilai transendental yang bersifat absolut. Paus Fransiskus, dalam anjuran apostolik Evangelii Gaudium mengungkapkan bahwa pada masa ini setiap orang cenderung mereduksi iman dan ajaran Gereja dalam lingkungan privat dan intim. Dengan penolakan terhadap segala bentuk transedensi, penghayatan moral melemah, makna dosa personal dan sosial berkurang dan terjadi relativisme kebenaran iman (Bdk EG 64).
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam arti tertentu masyarakat kita sedang dilingkupi era postmodern. Androidsebagai symbol era postmodern tidak lagi menjadi monopoli orang tertentu. Foto selfie menjadi hak setiap orang, bukan saja para artis dan kaum elit, tetapi juga anak-anak remaja di kampung-kampung. Semua orang mau menegaskan identitas pribadinya, dan mau membangun sistem nilainya sendiri tanpa harus terinspirasi dari ajaran iman dan agama. Bahkan, nota pastoral KWI tahun 2004 sudah melihat bahwa habitus publikdi tengah masyarakat kita tidak lagi berakar pada inspirasi iman dan agama (Bdk. KWI: 2004, no. 3). Banyak orang beragama KTP. “Mereka secara resmi … orang Katolik tetapi sebenarnya tidak aktif dalam beribadah dan kegiatan religius. Ada cukup banyak orang Katolik yang hanya pergi ke misa pada hari Natal dan hari Paskah. Bahkan tidak sedikit yang setiap hari Minggu pergi ke gereja karena merasa terpaksa.” (Martasudjita: 2013, 3).Berkembang sikap-sikap malas tau, tidak taat pada norma dan orang tua serta sikap-sikap pragmatis. Mentalitas post truth mulai berkembang.Semua perkembangan ini tentu menjadi tantangan untuk karya pastoral dan pewartaan Gereja.
2. Pewartaan dan Pastoral Gereja di era postmodern
Erapostmodern dengan segala karakteristiknya merupakan tantangan bagi pewartaan dan pastoral gereja masa kini. Namun tak bisa dipungkiri bahwa zaman tersebut juga merupakan peluang emas untuk sungguh-sungguh mengakarkan iman kristiani dalam diri setiap pribadi. Pertanyaannya adalah model pewartaan dan pastoral seperti apa yang paling cocok untuk dikembangkan di tengah zaman seperti ini?
Harus diakui bahwa ada hal-hal yang positif dari mentalitas postmodern ini. Dalam budaya ini orang memang cenderung bersifat indiferen terhadap agama atau kebenaran-kebenaran yang diklaim sebagai obyektif dan universal, namun sesungguhnya mereka percaya pada perwujudan diri pribadi yang terus mencari kebenaran yang otentik, yang dipandang dapat memberi kepenuhan hidup (Bdk. Currò: 2011, 71). Mereka tetap mempunyai pencarian atau pergulatan religius untuk mencari makna hidup. Mereka akan dengan bebas menyatakan “keiaan” kepada sesuatu, bila hal itu dipandang layak untuk diterima dan dimiliki. Pada prinsipnya mereka ingin ikut serta “menentukan keselamatan dan masa depan mereka.”(Putranto: 2012, 176). Dalam konteks ini, mereka lebih percaya pada pengalaman pribadi daripada ajaran yang datang dari luar. Penawaran nilai-nilai dari luar dapat diterima asalkan ditawarkan secara jujur dan otentik serta diletakkan dalam kerangka relasi personal. Di sini pewartaan mengenai Allah dan ajaranNya harus terlebih dahulu menyentuh wilayah afeksi dan baru kemudian daya pikir, harus lebih menekankan kesaksian hidup daripada teori-teori (Bdk. Putranto: 2012, 174).
Pewartaan (katekese, pendidikan agama, dll) dan pastoral gereja di zaman ini hendaknya ditawarkan secara jujur dan otentik dalam semangat kerendahan hati dan dialog antarpribadi. Pewartaan dan pastoral yang demikian mengandaikan tiga hal, yakni: kebebasan, kesukarelaan, dan “keibuan” Gereja (Bdk. Biemmi: 2011, 13).Kebebasan berarti bahwa orang harus dimungkinkan untuk menerima pewartaan, perayaan dan pelayanan Injil secara bebas tanpa merasa terpaksa. Dia menerimanya karena dia mengimaninya dan secara bebas dan bertanggung jawab menyatakan “keiaan” total terhadap warta suka cita Injil.
Kesukarelaan berarti bahwa pewartaan dan pastoral Gereja harus menghormati sistem nilai personal setiap pribadi dan tidak memaksakan sistem nilai kristiani sebagai sesuatu yang wajib diterima karena bersifat objektif dan universal. Pastoral masa kini tidak terutama mencemaskan institusi, dogma dan ajaran Gereja. Kecemasan utama adalah pribadi manusia yang harus dibimbing untuk memperoleh kepenuhan hidup di dalam Kristus. Paus Fransiskus dengan tandas mengatakan bahwa awal mula kekristenan bukanlah dogma, rumusan etik, atau institusi melainkan sebuah kejadian (evento) dan kejadian itu adalah seorang pribadi yakni Yesus dari Nazaret (Bdk. EG 7).Di sini pastoral dan pewartaan Gereja kiranya ditawarkan dengan rendah hati dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menerimanya secara sukarela dan dengan sukarela pula menjadi saksi injil di tengah dunia. Di sini yang dikedepankan bukanlah pendekatan-pendekatan kekuasaan melainkan pendekatan “kelemahan” Injili. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor, 12:9).
Keibuan Gereja mengacu pada pewartaan dan pastoral yang tidak hanya menekankan penerusan informasi tentang kebenaran-kebenaran Injili. Pewartaan dan pastoral Gereja harus merupakan seluruh cara hidup komunitas Gereja untuk menyaksikan Injil dalam kehidupan konkrit setiap hari (Bdk. EG 21). Dia mengutamakan persahabatan daripada pengajaran dan nasihat, lebih mengutamakan kesaksian hidup daripada kata-kata, lebih mengutamakan jalan bersama-sama dari pada sikap mengawasi.
Metode pewartaan, terutama katekese, di masa kini hendaknya menekankan pendekatan eksperiensial. Katekese terutama dipahami sebagai “tindakan kenabian yang menerangi dan menafsirkan hidup dan sejarah umat manusia.” (Adisusanto: 2012, 105; Telambuna: 1999, 38-39). Di sini katekese dipandang sebagai “proses penerangan atas eksistensi manusia sebagai campur tangan Allah, dalam mana misteri Yesus Kristus disaksikan dalam bentuk pewartaan sabda dengan tujuan untuk memperdalam dan mendewasakan iman dan untuk membimbing umat mengaktualisasikan iman dalam hidup sehari-hari” (Adisusanto: 2012, 105).
Proses katekese eksperiensial mengikuti alur sebagai berikut: menghargai pengalaman manusia, menemukan makna religius pengalaman manusiawi, membimbing ke arah perjumpaaan pribadi dengan Krsitus yang memberikan kepenuhan hidup, dan merasakan panggilan untuk terlibat dalam pembangunan Kerajaan Allah di tengah dunia (Bdk. Currò: 2011, 94-97; Trenti: 1999, 30-33).
Menghargai pengalaman manusia berarti bahwa dalam proses katekese orang-orang ditolong agar dengan penuh cinta, keberanian, dan keyakinan mendalami pengalaman manusiawinya. Langkah ini merupakan langkah penting dalam pertumbuhan menuju kematangan pribadi karena orang didorong untuk mengungkapkan dan memberi makna terhadap setiap peristiwa hidupnya (Bdk. Trenti: 1999, 30). Penekanan dalam proses ini adalah pada pencarian makna dan pada kemampuan untuk untuk mengarahkan diri pada hal-hal yang indah, baik, dan benar. Proses ini menempatkan seseorang sebagai tokoh utama kehidupannya, percaya kepada dirinya sendiri, dan melihat hidup sebagai sebuah panggilan yang menuntut darinya kemampuan untuk menganalisis, memilih dalam sekian banyak kemungkinan, serta mengarahkanhidupnya kepada kepenuhan (Bdk. Currò: 2011, 94-95; Amapani: 2011, 48-49).
Menemukan makna religius pengalaman manusiawi berarti berusaha menemukan suara yang menyapa hidup manusia dalam keseharian. Proses penemuan dimaksud merupakan usaha sadar untuk mengenal dan mendengar dengan hati sapaan dari yang “transenden” yang datang melalui pengalaman manusia. Itulah sebetulnya yang sering disebut sebagai dimensi religius kehidupan (Bdk. Trenti: 1999, 31). Tak dapat dipungkiri bahwa Allah sesungguhnya berbicara kepada manusia antara lain melalui pengalaman hidup keseharian. Adalah tugas pewarta (katekis) untuk membantu pribadi-pribadi merasakan sentuhan Allah dan mendengarkan panggilannya dalam keseharian mereka. Tentu di sini tetap digarisbawahi rencana dan pencarian manusia akan makna kehidupan, akan tetapi dalam perspektif kristen diyakini bahwa pencarian tersebut sebetulnya adalah sebuah jawaban terhadap panggilan Allah yang senantiasa mau terlibat dengan kehidupan manusia (Bdk. Currò: 2011, 95-96). Sebelum manusia mencari Allah, Allah telah lebih dahulu mencari manusia.
Membimbing ke arah perjumpaaan pribadi dengan Krsitus yang memberikan kepenuhan hidup berarti mengarahkan pencarian religius kehidupan kepada perjumpaan dengan Kristus; dengan Injil kabar gembira dan dengan kekayaan tradisi Gereja yang menghadirkan wajah Kristus di dunia. Di sini dapat diwujudkan proses perjumpaan dengan Kristus yang hidup dalam bimbingan seluruh jemaat beriman (Bdk. Biemmi: 2011, 71). Tentu proses ini berjalan secara bertahap. Seorang individu menerima Yesus Kristus sebagai pribadi yang memperluas horison kehidupan dan sebagai mutiara yang berharga yang menjadi kepenuhan hidupnya. Dia menerima Kristus sebagai pribadi yang datang dari Allah, yang ingin terlibat dengan hidupnya. Kepada Kristus inilah ia dapat mempercayakan dirinya. Kristus secara perlahan menjadi pusat, dalam mana ia mengorganisir kepribadian, tingkah laku, dan cara berpikirnya.Proses ini merupakan inisiasi ke dalam kehidupan kristiani dengan seluruh dimensinya: doa, liturgi, persekutuan, dan pelayanan diakonia.Di sini individu akan mengalami Gereja sebagai komunitas, tempat dia bertumbuh dan berkembang di dalam Krsitus (Bdk. Currò: 2011, 96).
Merasakan panggilan untuk terlibat dalam pembangunan Kerajaan Allah di tengah dunia berarti mengikuti panggilan Kristus untuk menjadi garam dan terang dunia dalam berbagai dimensi kehidupan: keluarga, dunia kerja, dan pelayanan sosial. Iman kristiani tak dapat tidak mesti terlibat dalam pergumulan dunia. Iman senantiasa bersifat publik dan politis karena diarahkan kepada pembangunan Kerajaan Allah di tengah dunia (Bdk. Toso: 1996, 63).
Proses katekese dalam pendekatan eksperiensial seperti yang dijelaskan di atas membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan terutama cinta dan perhatian. Proses itu tentu perlu didampingi oleh agen pastoral atau katekis-katekis yang berkarater.
3. Kebutuhan akan Katekis yang berkarakter
Katekis di era postmodern ini seyogyanya adalah agen pastoral yang dapat mengedepankan prinsip kebebasan, kesukarelaan dan keibuan Gereja dalam tugas dan pengabdiannya. Di sini peran katekis adalah sebagai saksi, teman seperjalanan, bentara Sabda, dan pembangun komunitas (Bdk. Soravito: 1998, 278-290).
Sebagai saksi Dia tidak terutama berbicara banyak tentang Tuhan tetapi membiarkan Tuhan banyak berbicara melalui kesaksian hidupnya. Karyanya melibatkan keseluruhan dirinya. Sebelum Dia mengajarkan Sabda Allah, Dia harus memilikinya sendiri dan hidup sesuai dengan Sabda-Nya. Kebenaran hidupnya meneguhkan pesan yang dia ajarkan. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika katekis tidak “melaksanakan apa yang mereka ajarkan” dan mewartakan Tuhan yang diketahui secara teoritis, tetapi yang dengan-Nya dia tidak mempunyai kontak sama sekali (Bdk. GC 8-10).
Sebagai teman seperjalan, katekis selalu mau ada di samping orang muda, anak-anak, remaja dan orang dewasa yang mau dilayaninya, sebagaimana Kristus berjalan di samping kedua murid Emaus. Dia mau mendengarkan dan mencari bersama mereka sapaan Allah dalam pergumulan hidup sehari-hari dan memberanikan mereka untuk berjumpa secara personal dengan Kristus yang diwartakan Gereja.
Sebagai bentara Sabda, seorang katekis dipanggil untuk mewartakan Sabda dan tahu menginterpretasi dalam terang Firman Tuhan pengalaman manusiawi orang-orang masa kini. Dia sungguh tahu bahwa pusat seluruh pencarian manusia adalah Kristus sendiri yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14,6). Dalam hal ini, pendekatan eksperiensial dalam katekese sama sekali tidak mengabaikan pengetahuan seorang katekis tentang pokok-pokok iman kristen. Dia kiranya tetap memiliki penguasaan yang tepat tentang isi iman kristiani yang harus diwartakan dengan lantang kepada semua orang (Bdk. CT 20).
Sebagai pembangun komunitas, dia adalah bagian integral dari komunitas umat Allah di mana ia hidup, entah itu di kelompok basis, di paroki, ataupun di sekolah. Di sana dia hendaknya menjadi animator untuk menyemangati semua orang agar menggunakan talentanya demi pembangunan tubuh mistik Kristus yakni Gereja. Dia kiranya mampu mendorong jemaat untuk mewujudkan kebenaran dalam cintakasih dan mempraktekkan berbagai karisma demi kebaikan bersama (Bdk.Soravito: 1998, 280).
Untuk menjalankan peran-peran tersebut sangatlah dibutuhkan katekis yang berkarakter. Karakter sering diidentikan dengan personalitas atau kepribadian (Bdk. Mu’in: 2011, 160). Karakter juga sering dikaitkan dengan pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral yang berarti bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik (Bdk. Lickona: 2013, 82). Secara sederhana karakter berarti keteguhan batin yang dikembangkan secara sadar, yang berurat akar dalam diri seseorang, dan yang menjadi energinya dalam bertindak sehari-hari demi mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi (Bdk. Kotten: 2012, 121). Di sini karakter berkaitan dengan masalah hati – bagian dalam dan bukan bagian luar manusia. Karakter adalah roh, semangat yang terungkap dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari. Katekis yang berkarakter adalah katekis yang memiliki keteguhan batin, memiliki keyakinan yang mendalam, yang berurat akar dalam dirinya dan menjadi roh atau kekuatan internal dalam bertindak sehari-hari untuk mencapai tujuan nilai-nilai moral yang tinggi (Bdk. Kotten: 2012, 122).
Dari segi etis-spiritual, katekis yang berkarakter memiliki iman yang mempribadi, (Bdk. GC 10) yang terungkap dalam penghayatan keutamaan-keutamaan penting sebagai katekis yakni kesiapsediaan, totalitas, cura personalis, kerja keras dan mutu, sense of belonging, kerendahan hati, bijaksana, memperjuangkan kebenaran, mudah bersyukur, dan berpengharapan (Bdk. Sufinyanta: 2009, 70-96).
Siap sedia berarti seorang katekis mengatakan “Ya saya mau” untuk menjalankan tugas dan konsekuensinya dia mau melibatkan diri seutuhnya dalam tugas yang dipercayakan kepadanya, dan tugas itu dipandang sebagai perutusan Tuhan sendiri, baik atau tidak baik situasinya (Telambuna: 1999, 170-177; Lalu: 2007, 149-154).
Totalitas berarti seorang katekis mau dan mebiarkan Roh Allah secara total bekerja melalui dan di dalam dirinya. Juga berarti kemauan untuk mengerahkan seluruh potensi dan talenta dalam melaksanakan tugas yang diemban.Dalam totalitas ada penyerahan diri seutuhnya dan perjuangan diri sepenuhnya. Kata lainya: komitmen. Dia terarah pertama-tama bukan pada tugas tetapi kepada komunitas yang dilayani (Bdk. PUK 231).
Cura Personalis berkaitan dengan keterampilan mempraktikkan cinta kasih dalam relasi hati antar pribadi.Seorang katekis hendaknya sanggup memberikan hatinya secara pribadi kepada pribadi-pribadi yang dilayaninya. Dia ibarat seorang gembala, “mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenalnya”.
Kerja keras dan mutu mengindikasikan kemauan untuk mencurahkan tenaga dan waktu.Mutu mengindikasikan kemauan untuk memberikan semua kemampuan dan potensi diri. Katekis yang berkarakter biasanya tidak setengah-setengah. Ia mencurahkan tenaga, waktu, talenta, dan kemampuanya untuk tugas dan panggilannya.Dia melihat karyanya sebagai keikutsertaan dalam karya Allah demi keselamatan manusia seluruhnya (Bdk. Lalu: 2007, 149; GC 10).Di sini tentunya setiap pekerja patut mendapat upahnya.
Sense of Belonging mengalir dari rasa tanggung jawab atas hidup dan masa depan dari umat yang dilayaninya. Dia merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipercayakan pada karya pelayanannya. Dia memberikan dirinya bagi mereka. Baginya hidup adalah mengikuti ajakan Yesus: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24).
Kerendah hati merupakan perpaduan antara sikap hati yang menempatkan orang lain lebih dari dirinya sendiri, sekaligus tindakan turun tangan untuk melayani (Bdk. Lalu: 2007, 150). Ini juga berarti siap menjadi orang nomor dua atau orang di balik layar, atau orang yang berbuat, tetapi siap untuk tidak diperhitungkan peranannya.“Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan” (Luk. 17,10)
Katekis yang bijaksana berarti menjadi terlatih untuk melihat ke dalam, memperhatikan kesempurnaan batin, menata gerak-gerik suara hati.Transformasi sosial hanya mungkin kalau dimulai dari dalam diri setiap individu, yaitu melalui transformasi internal – transformasi batin. Seorang yang bijaksana peduli harta rohani tentu tidak mengabaikan harta jasmani. Katekis berkarakter hendaknya bijaksana, menjadi filsuf kehidupan yang selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga mengajarkan kehidupan kepada orang yang dilayaninya (bdk. CT 76).
Memperjuangkan kebenaran berarti mengalahkan diri sendiri dengan segala betuk keinginan dan egoisme.Keutamaan ini membantu katekis untuk memenangkan Allah dan kehendak kebenaranNya bagi dirinya dan bagi sesama yang dilayani (bdk CT 78).Panggilan seorang katekis adalah menularkan energi positif, yakni keberanian memperjuangkan kebenaran ini kepada saudara-saudaranya.Termasuk di sini kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni orang yang bersalah.
Mudah bersyukur adalah keutamaan anak kecil, yang disebut Yesus sebagai yang empunya kerajaan Allah. Anak kecil itu mudah kagum dan bersamaan dengannya ia pun mudah bersyukur. Seorang katekis kiranya selalu bersyukur atas karunia hidup dan panggilannya (Lalu: 2007, 150).
Berpengharapan berarti keyakinan bahwa di dalam kelemahan dan kerapuhan manusiawi Allah tetap berkarya mendidik umatnya. Katekis yang berkarakter yakin bahwa Allah akan menyempurnakan apa yang kurang pada dirinya. “Do your best, and let God do the rest.” Katekis tidak lekas lekas putus asa (Bdk EG 74). Allah sendiri pasti menjamin kelangsungan hidup dan segala hal baik di dalam kehidupan ini.
Penutup
Budaya post modern memiliki ciri khas tersendiri yang menuntut dari Gereja cara pewartaan tertentu demi inkulturasi iman. Generasi postmodern kendati curiga terhadap kebenaran objektif dan universal, dalam hati kecilnya selalu ada pergumulan untuk menemukan kebenaran yang otentik yang memberikan kepenuhan hidup. Gereja meyakini bahwa kebenaran sejati adalah Kristus sendiri. Kristus adalah jalan, kebenaran dan hidup. Dialah yang menjadi suka cita injil, “evangelii gaudium” yang harus diwartakan tanpa ragu kepada manusia masa kini. Hanya di dalam Kristus manusia, termasuk generasi post modern, menemukan hidup sejati.
Untuk tugas pewartaan ini, Gereja membutuhkan keberanian semua anggotanya, terutama para katekis, untuk menyapa generasi postmodern dan membimbing mereka kepada perjumpaan personal dengan Kristus. Pewartaan yang diharapkan mengedepankan kebebasan, kesukarelaan dan keibuan Gereja. Katekis dalam perannya sebagai saksi, teman seperjalanan, pengantara sabda, dan pembangun komunitas, hendaknya menjadi orang terdepan untuk mengemban tugas ini. Diharapkan tampil ke depan katekis-katekis yang berkarakter yang menghayati keutamaan-keutamaan penting seperti kesiapsediaan, totalitas, cura personalis, kerendahan hati, kebijaksanaan, dll.
On going formation katekis di setiap keuskupan kiranya memperhatikan secara serius formasi bidang kemanusiaan dan spiritualitas, selain bidang intelektual dan ketrampilan berpastoral. Hanya dengan demikian harapan akan tampilnya katekis yang berkarakter akan terwujud.
Profil Penulis:
DR. Agustinus Manfred Habur, PR, adalah doktor Kateketik lulusan dari Istituto Di Catechetica Facolta’ Di Scienza Dell’educazione Universita’ Pontificia Salesiana Roma
BIBLIOGRAFI
Adisusanto, FX., Katekese sebagai Pelayan Sabda, dalam B. A. Rukiyanto, SJ (ed.), Pewartaan di Zaman Global, Ygyakarta, Kanisius, 2012.
Alberich E., La catechesi oggi. Manuale di catechetica fondamentale, Leumann (Torino), Elledici, 2001.
————, Catechesi rinnovata per una nuova evangelizazione, dalam ISTITUTO DI CATECHETICA FACOLTA’ DI SCIENZA DELL’EDUCAZIONE UNIVERSITA’ PONTIFICIA SALESIANA ROMA, Andate & insegnate. Manuale di catechetica, Leumann (Torino), Elledici, 2002.
Amapani A., Animazione: Educazione alla fede? Un percorso di analisi del metodo dell’animazione dalla prassi ecclesiale all’esperienza laica, Roma, Edizione Viverein, 2011.
Bedediktus XVI, Ensiklik Deus Caritas Est, Città del Vaticano, Libreria Editrice Vaticana, 2009.
Biemmi E.,Il secondo annuncio. La grazia di cominciare, Bologna, EDB, 2011.
Congregation for the Evangelization of Peoples, Guide for Catechists, Vatican City, 1993.
Currò S., Il senso umano del credere. Pastorale dei giovani e sfida antropologica, Leumann (Torino), Elledici, 2011.
Francesco, Esortazione apostolica Evangelii Gaudium, Roma, Ancora, 2013.
Habur A. M., Musim Semi Pastoral Keluarga di Manggarai, dalam Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, Buku Materi Sinode III sesi III Keuskupan Ruteng, 22-25 September 2014.
Kongregasi Untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Jakarta, Dokpen KWI, 2000.
Kotten N. B., Profesi Kependidikan. Potret Guru Humanis, Ende, Nusa Indah, 2012.
KWI, Nota Pastoral Sidang Konferensi Waligereja Indonesia, November 2004, Tentang Keadaban Publik Menuju Habitus Baru Bangsa, Jakarta, KWI 2004.
Lalu Y., Katekese Umat, Jakarta, Komkat KWI, 2007.
Lickona T., Mendidik untuk Membentuk Karakter, Jakarta, Bumi Aksara, 2013.
Mali L. (Ed.),Katekese dalam Pelayanan Pastoral Gereja Nusra, dari cura animarum ke cura hominum. Roadmap katekese Perpas IX Regio Nusra 2012, Keuskupan Agung Kupang, 2013.
Manicardi, Per una fede matura, Leumann (Torino), Elledici, 2012.
Martasudjita E., Pokok-pokok Iman Gereja. Pendalaman Teologis Syahadat, Yogyakarta, Kanisius, 2013.
Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), Jakarta, Dokpen KWI, 2014.
Mu’in F., Pendidikan Karakter. Konstruksi Teoretik & Praktik, Yogyakarta, Ar-Ruz Media, 2011.
Pollo M., Sacro e società nella seconda modernità. Fenomenologia dell’esperienza religiosa, Leumann (Torino), Elledici, 2010.
Putranto C.,Mempertimbangkan Alam Pikiran Awal Abad ke-21 ke dalam Bahasa Pewartaan, dalam B. A. Rukiyanto(ed.), Pewartaan di Zaman Global, Ygyakarta, Kanisius, 2012.
Sudiarja A., Agama di Zaman yang Berubah, Yogyakarta, Kanisius, 2006.
Sufiyanta M., Roh Sang Guru. Buku Saku Spiritualitas Guru Kristiani, Jakarta, Obor, 2009.
Soravito L., La catechesi degli adulti. Orientamenti e proposte, Leumann (Torino), Elledici, 1998.
Telambuna M.,Ilmu Kateketik. Hakikat, Metode, dan Peserta Katekese Gerejawi, Jakarta, Obor, 1999
Toso M., Dottrina sociale oggi: Evangelizzazione, catechesi e pastorale nel più recente magistero sociale della chiesa, Torino, SEI, 1996.
Trenti Z., L’esperienza religiosa, Leumann (Torino), Elledici, 1999.
Yohanes Paulus II, Anjuran Apsotolik Catechesi Traededende (Penyelenggaraan Katekese), Jakarta Dokpen KWI, 2011.