Renungan Hari Minggu Biasa II
Bacaan I: Yesaya 49:3.5-6
Bacaan II: 1Kor1:1-3
Bacaan Injil: Yohanes1:29-34
Dahulu kala ada seorang puter Raja yang masih kecil bernama Taruna. Ayahnya adalah seorang raja di suatu pulau kecil. Rakyat di pulau kecil itu sangat senang terhadap raja dan putera raja itu. Putera raja itu sangat lucu dan baik hati. Seluruh rakyat di pulau itu hidup senang dan aman.
Tetapi pada suatu haru terjadilah bencana. Terjadi angin ribut dan pasang naik yang tinggi sekali. Air laut itu tidak pernag surut lagi, tetapi naik, makin lama, makin tinggi. Tidak lama lagi pulau kecil itu pasti akan tenggelam ke dalam laut. Raja dan semua rakyatnya merasa takut. Mereka tahu Dewi laut sedang marah. Kalau dewi laut marah biasanya harus cepat dibawa korban ke laut. Dan korban itu harus seorang anak. Anak itu harus dilempar ke laut, baru air laut itu akan turun.
Raja dan semua rakyatnya berunding. Anak siapakah yang harus dikorbankan ke laut? Semua anak ketakutan. Mereka tidak berani keluar rumah untuk bermain. Rakyat dan rajanya tidak bisa memutuskan anak mana yang mau dikorbankan ke laut. Mereka sayang kepada semua anak. Tetapi air laut naik semakin tinggi.
Putera raja Taruna sedih sekali. Ia melihat ayahnya sedih. Semua orang sedih. Apakah ia bisa menolong mereka? Pasa suatu malam putera raja itu bangun dan diam-diam pergi ke laut. Sesudah ia menoleh melihat lagi istana ayahnya dan seluruh pulau ia terjun masuk ke laut. Ia mengurbankan dirinya untuk orang-orangnya di pulau itu. Ketika itu juga air laut surut seperti semula.
Keesokan paginya semua orang bangun, mereka melihat air laut sudah surut. Mereka senang sekali. Tetapi ketika mereka melihat ada jejak-jejak kaki di pasir menuju ke laut dari jendela kamar putera Taruna, tiba-tiba mereka sadar apa yang telah terjadi. Mereka mengetahui dan sadar bahwa putera raja sudah mengurbankan dirinya untuk mereka.
Cerita seperti itu daoat diketemukan dalam sasatra lisan atau tulisan dari banyak daerah di Tanah Air kita, bahkan seluruh dunia. Cerita tentang seseorang atau suatu makhluk hidup lainnya yang menjadi tumbal, menjadi kurban demi kehidupan banyak orang.
Faham dan kepercayaan tentang makna kurban rupanya bersifat universal.
Dari cerita bangsa Yahudi kita mendengar tentang darah anak domba. Pada malam pembebasan bangsa Yahudi dari penjajahan mesir, tiap-tiap keluarga bangsa Yahudi harus menyembelih seekor anak domba. Darah anak domba itu harus dilabur pada jenang-jenang pintu mereka. Darah anak domba itu menjadi tanda yang menyelamatkan semua putera sulung bangsa yahudi, sebab pada malam itu, malaikat Tuhan membunuh semua putera sulung bangsa Mesir, yang pintu rumahnya memang tidak ditandai oleh darah anak domba.
Bangsa Yahudi akhirnya dibiarkan pergi oleh Firaun sesudah peristiwa anak domba itu. Sejak saat itu darah anak domba dikenang sebagai darah anak domba kebebasan, darah anak domba Paskah Yahudi. Jadilah Anak Domba Paskah menjadi simbol kebebasan dan keselamatan.
Dalam kitab Imamat 16 diceritakan tentang suatu pesta bangsa Yahudi, yang disbeut pesta perdamaian. Dalam pesta itu antara lain harus disiapkan 2 ekor domba atau kambing. Satu dipersembahkan untuk Tuhan atau penylihan dosa-dosa, satunya lagi dikirim kep padang gurun kepada setan dan roh jahat. Domba/kambing itu membawa serta dosa dan sial manusia…
Dalam Injil Hari ini kita mendengar bagaimana Yohanes Pembaptis memperkenalkan Yesus sebagai “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.” Anak Domba Allah yang mnengambil dan memikul dosa dunia. Hubungan antara Anak Domba dan dosa dapat lebih dimengerti kalau orang mengerti cerita dari imamat 16 di atas. Pada hari raya Perdamaian itu dilepaskan seekor anak kambing/domba ke padang gurun untuk roh jahat. Domba/Kambing itu membawa serta dosa-dosa seluruh umat.
Yesus dikisahkan sebagai anak Domba/Kambing yang dengan rela hati memikul, memanggul dosa-dosa manusia. Ia mau menanggung kesalahan dan kejahatan kita. Dan ini diwujudkan dengan pengorbanan-Nya di kayu salib. Nabi Yesaya sudah meramalkan: kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalan sendiri, tetapi Tuhan telah melimpahkan kepada-Nya kejahatan kita semua. Dia dianiaya………. seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian. Ia tidak membuka mulutnya. Karena pemberontakan kita, Ia kena tulah (Yes.53:6-8).
Makna dan misteri kurban yang dihayati dan dilaksanakan oleh Yesus sebagai juru selamat kita diharapkan dapat mengilhami dan mendorong kita untuk rela berkorban demi keselamatan dan kesejahteraan banyak orang.
Uskup John Yoseph adalah uskup paskitan dan dalam konferensi Waligereja Pakistan menjadi ketu komisi Justice and Peace. Beliau berjuang mati-matian dengan segala cara, untuk meminta perhatian pemerintah dan masyarakat bagi kepentingan golongan minoritas, termasuk umat Katolik yang sering diperlakukan secara tidak adil. Beberapa kasus terjadi, warga Katolik dituduh menghujat dan dihukum mati, padahal tidak ada niat sama sekali dari warga Katolik untuk menghujat.
Beberapa saat lampau terjadi lagi seorang warga Katolik dituduh menghujat dan diputuskan oleh pengadilan dengan hukuman mati. Uskup John Yoseph memprotes terhadap pengadilan yang tidak adil itu. Rupanya segala cara telah ditempuhnya tetapi sia-sia. Akhirnya ia menempuh cara yang membuat pakistan dan dunia terkejut dan terbuka matanya.
Pada suatu hari, sesudah lama ia merenung dan berdoa, ia pergi ke gedung pengadilan yang sering memutuskan perkara secara tidak adil itu. Di pelataran gedung itu ia menembak kepalanya dengan peluru. Ketika ia rubuh bersimbah darah di pelataran gedung pengadilan itu, baru pakistan dan dunia terkejut melihat dan tahu tentang ketidakadilan yang sering terjadi di gedung pengadilan itu.
Mgr. John Yoseph telah rela menjadi kurban, menjaid tumbal demi keadilan dan kebaikan banyak orang.
Bagaimana dengan kita?? Apakah kita masiih memahami dan menghayati makna kurban pada zaman yang semakin materialistik ini??
Disadur dari Yosef Lalu, Homili Tahun A, Komisi Kateketik KWI, Jakarta 2002, Hal. 39-42.