Sumbangan Ilmu Psikologi dan Pendidikan Pada Ilmu Kateketik (Prof. Dr. Paulus Suparno, SJ, M.S.T)

Paulus Suparno.jpg

A. Pendahuluan

Anak zaman ini sering disebut anak generasi Z. Mereka mempunyai gaya, sifat, dan cara hidup yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka dicirikan sebagai dapat berpikir dan menanggapi banyak persoalan di saat yang sama (multitasking), selalu berpikir cepat, berpikir tidak linear, tidak mendalam, dan tergantung pada gadget. Relasi antar mereka lebih banyak melalui dunia maya bukan dengan dunia nyata. Perubahan ini jelas menyebabkan ilmu psikologis dan juga pendidikan mengalami perubahan. Ilmu Kateketik, yang mempelajari persoalan katekese-pendidikan iman, pada anak zaman ini jelas harus memperhatikan perubahan ini. Maka ilmu kateketik perlu mengerti perkembangan psikologi dan pendagogi yang sesuai dengan anak zaman ini, agar Warta Yesus dapat disampaikan tepat pada siswa/peserta yang hidup di zaman baru ini.

B. Peran dan Tugas Katekese dalam Gereja

Katekese sangat penting dalam kehidupan Gereja. Gereja dalam rangka pewartaan iman Yesus Kristus (keselamatan) kepada manusia salah satunya dengan menggunakan katekese. Peran dan fungsi katekese ini sangat ditekankan dalam Konsili Vatikan II terutama dalam dekrit tentang tugas pastoral para uskup dalam gereja (Christus Dominus, CD). Dalam dekrit itu diungkapkan antara lain berikut:
•Hendaklah mereka (para uskup) berusaha menyebarluaskan ajaran krsitiani dengan mengerahkan berbagai upaya yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama kotbah dan pendidikan kateketis; tetapi juga pelajaran agama di sekolah, di akademi, dalam konferensi dan segala macam pertemuan (CD, 13).
•Hendaklah para uskup menjaga supaya pendidikan kateketis, yang tujuannya ialah supaya iman umat diterangi melalui ajaran, menjadi hidup, eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan saksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang dewasa; supaya dalam memberikan pendidikan itu tetap diindahkan tatasusunan yang baik dan metode yang cocok bukan hanya mengenai bahan yang diolah, melainkan juga berkenaan dengan sifat prangai, bakat-kemajuan dan umur serta situais hidup para pendengar, supaya pendidikan itu mengacu kepad KS, tradisi, liturgy, ajaran resmi dan kehidupan gereja (CD, 14).
•Selain itu para uskup supaya mengusahakan agar para katekis disiapkan dengan baik untuk tugas mereka, sehingga mereka mengenal ajaran gereja dengan jelas, begitu pula secara teoretis maupun praktis mempelajari kaidah psikologi dan mata pelajaran pedagogi (CD, 14).

Dari beberapa teks diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
•Kateketis dan pelajaran agama itu menjadi tugas gereja dalam meneruskan ajaran Kristus;
•Tujuannya; agar iman umat diterangi oleh ajaran, menjadi hidupm eksplisit serta aktif.
•Diberikan kepada semua orang (anak, remaja, orang muda, dan dewasa
•Perlu diperhatikan: metode yang cocok sesuai dengan bakat, situasi, sifat, umur pendengar;
•Para katekis harus disiapkan terutama juga mempelajari kaidah psikologi dan pedagogi.

Dalam beberapa ensiklik dan sinode para uskup, katekese juga mendapatkan perhatian dan tekanan antara lain sebagai berikut (Wikipedia.org/wiki/katekese):

Paus Paulus VI menyatakan “Melalui pelajaran agama yang sistematis, akal budi dibina dengan ajaran-ajaran dasar, kenyataan yang terkandung di dalam kebenaran yang disampaikan Allah kepada kita, agar dicamkan oleh ingatan dan diolah hati sedemikian sehingga merasuki kehidupan….juga dengan menggunakan media komunikasi sosial yang dapat menjangkau sejumlah besar, menyapa secara pribadi dan sekaligus mengundang komitmen yang sepenuhnya bersifat pribadi” (Evangelii Nuntiandi, 43-45).

Sinode Para Uskup pada tahun 1977 secara istimewa menaruh perhatian pada katekese di dunia modern. Ditegaskan bahwa katekese merupakan suatu bentuk kegiatan Gereja yang tetap dan mendasar, bentuk pewartaan Injil yang menampilkan ciri kenabian Gereja, di mana kesaksian dan pengajaran berlangsung serentak. Makin perlu diusahakan pelbagai bentuk katekese dan aneka bidangnya, antara lain katekese anak-anak oleh orang tua mereka (Paus Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, 1979, art. 19 al. 5-6).

Sinode Federasi Konferensi Para Uskup Asia (FABC) V di Lembang pada tahun 1990 memberi arah katekese sebagai kesaksian, “pewartaan melalui perbuatan yang menyerupai perbuatan Krsitus sendiri”. Perlu dibuat katekese yang dapat membantu umat agar menghayati iman dengan hidup berbaur dalam masyarakat, peka akan kehadiran Allah dalam kebudayaan setempat dan tradisi agama lain, tanggap dan terlibat dengan pelbagai masalah sosial, memberi kesaksian tentang Yesus Kristus dan Kerajaan Allah melalui kebersamaan, solidaritas, berbagai rasa dan perkataan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Katekese).

Dari beberapa teks di atas dapat dikatakan tentang katekese bahwa:
•Tujuan katekse untuk menyampaikan warta keselamatan Yesus;
•Melalui pelajaran agama yang disusun secara sistematis;
•Menggunakan berbagai media: komunikasi sosial;
•Menggunakan berbagai bentuk katekese;
•Melalui perbuatan seperti perbuatan Yesus.

C.Apa Sumbangan Psikologi pada Katekese?

Dari dokumen Konsili Vatikan dan surat Paus di atas sangat jelas bahwa dengan katekese kita ingin membantu orang/pendengar (bisa anak, remaja, orang muda, dan dewasa) untuk mengembangkan imannya akan Yesus dan hidup seturut Yesus. Dalam membantu itu kita perlu memperhatikan keadaan si pendengar (sifat, situasi, karakter, kemampuan awal, umur, minat, dll).

Menyampaikan warta keselamatan agar mengena pada si pendengar (yang diwartai), hanya mungkin bila kita mengerti situasi mereka dan keadaan mereka baik secara fisik, psikologis, dan bahkan rohani. Kita perlu mengerti kemampuan intelektual, emosi, pengalaman, dan sikap penerimaan mereka. Secara umum kita perlu mengenal keadaan psikologis mereka. Disinilah ilmu psikologi menyumbang dan andil pada ilmu kateketik. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan antara lain:

1.Anak Generasi Z

Anak yang lahir antara 1995 -2010 sering disebut igeneration, generasi net. Mereka ini adalah generasi digital yang mahir dengan teknologi informasi seperti facebook, twitter, SMS, WA, dan berbagai aplikasi computer. Beberapa sifat menonjol pada generasi ini seperti:
-Bebas berkomunikasi dengan siapapun dan level apapun lewat jaringan.
-Bebas mengungkapkan perasaan dan apapun yang dipikirkan secara spontan, tanpa ketakutan;
-Cenderung toleran dengan perbedaan budaya dan sangat peduli dengan lingkungan;
-Multitasking, dapat melakukan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan. Maka mereka ingin serba cepat dan langsung, tidak berputar-putar. Cenderung ingin serba instan, tidak sabar, dan kurang menghargai proses.
-Cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, cenderung egosentris dan individualis; (bdk. Akhmad Sudrajat, 2012).

2.Umur dan tingkah kedewasaan peserta

Dengan mengetahui umur kita dapat melihat tingkat kedewasaan, daya tangkap dan daya intelektual mereka untuk menangkap warta yang kita sampaikan. Pewartaan pada anak berbeda dengan orang muda dan berbeda dengan orang dewasa. Mengajarkan warta gembira kepada anak SD, berbeda dengan anak SMA, berbeda dengan mahasiswa atau sarjana. Kedewasaan mereka lain dan daya tangkap mereka pun dapat lain.

3.Sifat dan karakter peserta

Sifat-sifat dan karakter yang berbeda akan menuntut kita pewarta menyampaikan secara lain agar lebih mengena pada peserta yang kita bantu. Mengajar agama kepada siswa yang sifatnya lembut, berbeda dengan yang sifatnya kasar dan urakan. Mengajar agama kepada siswa yang tertutup berbeda dengan yang terbuka. Mengajar agama kepada siswa yang rajin berbeda dengan yang malas dan ogah-ogahan.

4.Minat peserta

Bagi yang sangat berminat, kita akan lebih mudah menyampaikan warta Yesus karena mereka sudah tertarik; tetapi bagi mereka yang tidak berminat, kita barangkali harus berusaha meningkatkan minat mereka dulu sebelum mewartakan inti pewartaan. Anak zaman ini kebanyakan lebih tertatik pada pelajaran IPA, matematika, TIK dari pada pelajaran agama. Maka, guru agama/katekis perlu kemampuan menarik dan mengembangkan minat siswa.

5.Jumlah peserta
Jumlah peserta dapat mempengaruhi proses berkatekese. Berkatekese pada satu orang sangat berbeda dengan rombongan 40 orang. Dalam berkatekese pada banyak orang kita diharapkan juga mengerti interrelasi diantara mereka. Kita perlu tahu psikologi kelompok yang berbeda dengan satu orang. Kita mau mengajar dalam kelompok kecil berbeda dengan kelompok besar. Kelompok campuran juga berbeda dengan kelompok yang homogeny. Hal-hal ini dapat kita pelajari dari psikologu sosial.

6.Keadaan khusus peserta

Keadaan khusus peserta baik fisik, psikologi, dan rohani, perlu diperhatikan agar pewartaan kita mengena. Misalnya; Mengajarkan kepada siswa yang berkebutuhan khusus berbeda dengan yang biasa. Mengajarkan kepada siswa yang sakit-sakitan berbeda dengan yang sehat bugar; Mengajarkan kepada siswa yang hidup rohaninya kuat berbeda dengan yang hidup rohaninya lemah.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kita membutuhkan bantuan dari bidang psikologi agar kita para pewarta mengerti keadaan peserta. Beberapa bidang psikologi yang kiranya dapat membantu kita antara lain:
•Psikologi perkembangan, yang lebih membahas perkembangan manusia dari masa kanak-kanak sampai dengan dewasa, termasuk perkembangan pemikiran, intelektual, seksual.
•Psikologi sosial, yang lebih membicarakan bagaimana manusia hidup bersama yang lain dan membutuhkan kebersamaan.
•Psikologi kepribadian, membahas macam-macam kepribadian manusia dan pengaruhnya dalam kehidupan pribadi dan bersama.
•Psikologi pembelajaran lebih membahas bagaiamana manusia belajar dan mampu belajar dengan baik dan berhasil.

Tanpa bantuan pengetahuan psikologi di atas maka kita sebagai pewarta kurang dapat mengerti keadaan peserta yang kita bantu secara benar, sehingga pewartaan menjadi kurang mengena dan kurang dimengerti oleh mereka.

D. Bantuan Pedagogi (Ilmu Pendidikan) pada Katekese
Yang tidak kalah penting dalam berkatekese pada seseorang adalah pedagogi yang kita gunakan. Secara sederhana kita bertanya model pendidikan dan metode pembelajaran macam apa yang kiranya dapat lebih membantu peserta dalam menerima warta keselamatan, mengembangkan, serta mewujudkan warta itu dalam kehidupan mereka.

Confusius, seorang filsuf Cina, menuliskan gagasannya tentang bagaimana seseorang dapat belajar lebih baik dan seorang guru dapat membantu siswa lebih baik:
•Apa yang saya dengar, saya lupa.
•Apa yang saya lihat, saya ingat
•Apa yang saya kerjakan, saya pahami.

Ungkapan diatas oleh Mel Siberman dalam bukunya Active Learning (1998) dijabarkan menjadi 5 langkah prinsip pembelajaran aktif yaitu:
•Ketika saya dengar, saya lupa;
•Ketika saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit;
•Ketika saya dengar, lihat dan tanya atau bahas dengan orang lain, saya mulai mengerti;
•Ketika saya dengar, lihat, bahas dan lakukan, saya mendapat pengetahuan dan keterampilan’
•Ketika saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai.

Ada beberapa hal penting dari ilmu pendidikan yang dapat membantu kita berkatekese lebih tepat dan mengena sesuai dengan situasi zaman sekarang.

1.Pendidikan yang berpusat pada siswa (learner center)

Pendidikan di zaman sekarang bergeser dari yang tadinya berpusat pada guru, menjadi berpusat pada siswa (pembelajar). Ini berarti yang harus aktif belajar dan menggali penegtahuana dalah siswa bukan pertama-tama guru. Guru lebih sebagai fasilitator yang membantu siswa belajar. Maka pendekatannya konstruktivis, dimana siswa memang menggali, mencerna, dan merumuskan sendiri.

Dalam pendidikan katekese, kiranya kita harus juga bergeser dan mengolah. Apalagi, katekese bukan hanya mengajarkan ajaran, tetapi membantu peserta menghidupi nilai Kristus; maka perlu peserta aktif melakukan tindakan.Misalnya: bukan terutama guru cerita, tetapi siswapun dapat membaca dan bercerita. Bukan hanya mengerti tentang kasih, tetapi bertindak kasih pada orang lain.

2.Metode pembelajaran
Metode pembelajaran perlu bervariasi dan dipilih metode belajar yang sungguh mengaktifkan siswa mempelajari bahan pewartaan Yesus. Metode perlu bervariasi sehingga siswa dapat lebih menangkap, gembira, tidak bosan. Apalagi kita tahu bahwa setiap anak dapat mempunyai inteligensi yang berbeda, maka pendekatannya perlu disesuaikan dengan inteligensi siswa, sehingga semua siswa merasa dibantu untuk belajar. Disini penting guru menguasai berbagai cara mengajar.

Oleh karena anak-anak zaman ini adalah anak generasi net, maka penggunaan TIK sangat penting diperhatikan. Pembelajaran online, menggunakan model, pembelajaran yang sesuai dengan karakter mereka sebagai anak zaman perlu mendapat panggilan.

Anak zaman ini cepat bosan, berpikir dangkal, tidak memperhatikan satu titik tetapi kemana-mana; maka kategis perlu mengerti itu semua dan memilih strategi dan model pembelajaran yang sesuai. Yang tidak boleh dilupakan katekis perlu memahami dan sabar dengan mereka.

3. Pendekatan lewat praktek-perbuatan
Anak zaman ini juga lebih suka melakukan praktek, kegiatan, dan bukan hanya teori atau ceramah di kelas. Dari beberapa penelitian didapati bahwa nilai agama kebanyakan tinggi, tetapi tidak mengubah karakter dan tingkah laku siswa. Dari sini nampak bahwa pelajaran agama hanya merupakan hafalan dan tidak mengenai pada perbuatan.

Kiranya sudah saatnya pelajaran agama justru banyak meniru apa yang dilakukan Yesus sendiri dalam pewartaan Kerajaan Allah, yaitu dengan tindakan real. Maka beberapa model dapat dikembangkan seperti:
•Pendekatan live in, dimana siswa mengalami hidup sesuai dengan nilai yang mau diajarkan. Misalnya mau mengajarkan kepekaan pada orang kecil seperti Yesus, mereka diminat live in di daerah yang memang miskin dan membantu orang yang kekurangan disana.
•Ajaran Yesus diterjemahkan dalam suatu tindakan. Lalu dicari indikatornya. Siswa dilatih melakukan tindakan itu, sehingga ajaran Yesus dan semangatnya memang mempengaruhi tingkah laku mereka. Misalnya, belajar kasih, harus dilakukan dalam hidup bersama orang lain atau melakukan kerja bersama dengan orang lain yang berbeda-beda. Mengajarkan ekaristi, lebih baik langsung diajak ke gereja dan menghayati ekaristi, baru nanti dijelaskan sesudahnya.
•Pendekatan hafalan sebaiknya dikurangi atau bahkan dihapuskan. Biarlah siswa mencari sendiri dan dengan itu mereka akan lebih hafal daripada diceritakan guru.
•Outbound. Anak zaman ini lebih antusias melakukan pendidikan di luar kelas dengan outbound. Ajaran Yesus banyak yang dapat dilakukan di luar kelas sehingga siswa menangkap dan melakukan nilai itu.
•siswa diminta mencari contoh pengalaman hidup tentang pelajaran yang telah dipelajri sehingga tidak hanya tinggal pengetahuan, tetapi juga prakteknya di lingkungan, di kampung dll.
•Media komputer, online, web, dapat dikembangkan karena ini merupakan alat-alat modern yang dapat membantu siswa belajar. Di gooogle dan youtube banyak film yang sesuai dengan nilai Yesus dan dapat digunakan.

4. Kurikulum 2013: Pendekatan Saintifik
Indonesia sekarang ini sedang menggunakan kurikulum 2013, dengan kekhasannya pendekatan saintifik. Apakah pendekatan ini dapat digunakan dalam pelajaran katekese atau pelajaran agama? Secara umum pendekatan ini dapat kita gunakan sebagai salah satu pendekatan pelajaran agama karena pendekatan ini menjadikan siswa aktif dalam mempelajari bahan agama. Prosesnya sendiri teridiri dari:
•Mengamati: siswa diajak mengamati suatu gejala, Kejadian;
•Merumuskan masalah yang ada dari peristiwa itu;
•Mengajukan hipotesis: mengapa hal itu terjadi?
•Mengumpulkan data
•Menganalisis data
•Menarik kesimpulan
•Mengkomunikasikan

Pendekatan ini diambil dari pendekatan ilmiah yang memuat beberapa langkah utama yaitu: (1) apa persoalannya?; (2) dibuat hipotesa: jawaban sementara; (3) Melakukan eksperimen, kumpulkan data; (4) menganilisa data; (5) menyimpulkan data; (5) Menyimpulkan apakah hipotesenya benar atau tidak; (6) Menyimpulkan.

Pendekatan ini dapat membantu siswa berpikir kritis, rasional, menemukan sendiri dan menganalisanya. Pendekatan ini membantu siswa menjadi lebih berpikir berdasarkan data dan realistik.

5.Evaluasi

Evaluasi pelajaran agama sebaiknya disesuaikan dengan metode yang sering kita gunakan dan juga bahan yang ada. Evaluasi tidak selalu harus tertulis tetapi dapat juga berupa proyek yang dilakukan bersama dan mereka menceritakan proyek itu.

6.Hubungan guru dan siswa (dialogis)

Salah satu hal penting dalam pendidikan adalah relasi guru dan siswa. Hubungan guru dan siswa harus dialogis saling membantu dan menguatkan. Guru perlu dekat dengan siswa yang diajarkan sehingga siswa senang dan dapat dengan mudah menangkap bahan. Demikian juga dalam berkatekese, relasi dekat antata guru dan siswa sangat penting.

Disinilah salah satu unsur profesionalitas guru agama/katekis dari sisi kompetensi sosial.

7.Keteladanan

Oleh karena pelajaran agama ini penuh dengan nilai kehidupan, maka unsur keteladanan dari guru menjadi sangat penting. Mengajarkan nilai kasih Yesus, jelas membutuhkan keteladanan kasih dari guru, sehingga siswa dapat menirunya. menjelaskan pengampunan, kiranya hanya akan berjalan baik bila siswa dapat melihat gurunya dapat mudah mengampuni mereka kalau salah. Disini seorang guru agama diharapkan memang menjalankan nilai agama itu, sehingga siswa menemukan teladan beriman padanya.

Dari sini sangat jelas bahwa dalam konteks mempersiapkan guru agama/katekis, adalah penting mempersiapkan kehidupan beriman para calon guru sendiri. Di sininlah salah satu letak preofesionalitas guru agama/katekis dari sisi kompetensi kepribadian.

E.Persiapan Guru Agama/Katekis Zaman Ini

Situasi anak zaman yang kita bantu berubah, perubahan dahsyat teknologi informasi terjadi pesat; maka guru agama/katekis perlu disiapkan sungguh-sungguh agar dapat berkatekese sesuai dengan tuntutan zaman yang ada. Disinilah institusi yang menyiapkan guru agama/katekis perlu berbenah diri dan mengembangkan kurikulum dan program yang lebih maju.

Beberapa hal yang harus dipersiapkan dan dikembangkan oleh calon guru agama/katekis zaman iini adalah:
a.Kompetensi isi (warta iman, teologi?);
b.Kedalaman penghayatan iman;
c.Pengenalan akan situasi, sifat, karakter anak zaman
d.Penguasaan model/metode pembelajaran yang sesuai dengan zaman;
e.Penguasaan mengaktifkan siswa/peserta belajar untuk menggali sendiri;
f.Penguasaan alat-alat teknologi modern.
Untuk menunjang nomor (c-f) di atas, ilmu psikologi dan pendidikan dapat menyumbang banyak.

F.Ilmu Kateketik yang Sejati/otentik?
Ilmu kateketik, sebagaimana ilmu pendidikan yang lain: pendidikan fisika, matematika, bahasa, sejarah, jelas merupakan ilmu yang interdisipliner. Minimal ada dua unsur utama di dalamnya, yaitu ilmu tentang bidang itu sendiri dan ilmu tentang pendidikan/pengajaran. Misalnya, ilmu pendidikan fisika, ada unsur bidang fisika dan bidang kependidikan. Maka yang dipelajari (1)bidang ilmu fisika dan (2) bidang kependidikan/pengajaran. Untuk bidang kependidikan, pasti membutuhkan ilmu psikologi karena kita membutuhkan pengertian tentang siswa/peserta yang ingin kita didik.

Kiranya ilmu kateketik juga mempunyai 2 unsur penting, yaitu (1)bidang isi (iman, ajaran, teologi Gereja) dan (2) bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena bidang isi menyangkut iman, ajaran, teologi, yang di dalamnya ada unsur penghayatan iman akan Yesus, maka di situ dibutuhkan beberapa unsur lain seperti: teologi, moral, liturgi, praktek kehidupan beriman, hukum, budaya, sejarah, bahasa, estetika. Dari sisi pendidikan/pengajaran jelas memerlukan bantuan ilmu pendidikan dan psikologi, media, tenik dll.

Oleh karena itu beberapa hal perlu mendapatkan tekanan kalau ingin mengembangkan ilmu kateketik yaitu:
a.Menguasai isi bahan: teologi, KS, Ajaran Gereja;
b.Menguasai psikologi siswa agar dapat memilih pendekatan yang sesuai dengan situasi mereka;
c.Menguasai pedagogi, sehingga dapat mengajarkan bahan kepada siswa secara tepat dan memajukan.
d.Harus ada praktek kehidupan karena iman adalah kehidupan bukan teori.
e.Perlu mengerti budaya setempat sehingga dapat menyampaikan warta sesuai dengan budayanya.

G.Penutup

Berkatekese adalah membantu seseorang untuk beriman, menghayati, dan mengembangkan imannya akan Yesus Kristus. Agar proses membantu itu tepat sasaran maka kita harus mengerti siapa yang kita bantu dan bagaimana cara membantu yang tepat. Dalam proses membantu mengerti peserta lebih mendalam dan memilih metode penyampaian yang tepat, ilmu psikologi dan pedagoogi mempunyai sumbangan yang besar. Mengembangkan ilmu kateketik di zaman modern yang penuh perubahan ini, ilmu psikologi dan pendidikan tidak dapat diceraikan.

Acuan:
-Konsili Vatikan II. Dekrit tentang tugas pastoral para uskup; Christus Dominus
-Depdiknas. Kurikulum 2013.
-Paus Paulus VI. Ensiklik tentang pewartaan Injil, Evangelii Nutiandi
-Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik: Redemptor Hominis, 1979.
-Sudrajat, Akhmad. 2012. Generasi Z dan Implikasinya terhadap Pendidikan. Dalam https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/10/5/generasi-z-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/
-Wikipedia
Catatan:
Penulis: Prof. Dr. Paulus Suparno, SJ, M.S.T, adalah guru besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tulisan telah disajikan penulis pada Lokakarya Nasional Ilmu Kateketik oleh Prodi IPAK – USD dan Komisi kateketik KWI dengan tema: “Merumuskan Kembali Identitas Ilmu Kateketik di Zaman Sekarang”, di Santikara, Yogyakarta (tgl.18-21 Juli 2016).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *