Renungan Hari Minggu Biasa XIV : “Salah Menilai”

Bacaan: Yeh.2:2-5; 2Kor. 12:7-10; Mrk 6:1-6.

Yesus pulang kampung. Dan di kampung asalnya ini pada hari Sabat Yesus mengajar dalam Bait Allah, rumah ibadat mereka. Tentu saja pendengarnya adalah orang-orang seasalnya atau sekampungnya. Pewartaan Yesus sangat dikagumi. Mereka takjub mendengar Dia. Karena itu mereka heran dan saling bertanya, “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?”

Kekaguman dan keheranan itu bukan membuat mereka teguh percaya, bukan bersyukur karena ajaran-Nya itu membangkitkan semangat iman dan membuat mereka berkobar-kobar dan bangga, menjadi lebih bersyukur atas kehadiran orang yang telah mereka kenal karena Dia adalah orang-orang seasal atau sekampung, dimana orangtua, saudara-saudari, latarbelakang  keluarganya sudah sangat dikenal. Ternyata mereka menjadi kecewa, menyesal dan menolak apa yang diajarkan, apa yang diwartakan. Mereka tidak lagi mau memahami warta kabar baik, kabar keselamatan yang dibawa Yesus. Hanya karena mereka mengenal siapa Yesus dengan latarbelakang keluarga yang biasa-biasa saja, dan mungkin di luar perhitungan manusia, tanpa mau menerima isi pesan warta yang disampaikan. Mereka hanya menilai bagian luarnya saja, tanpa melihat apa yang disampaikan.

Pengalaman Yesus ini sering menjadi pengalaman kita. Terkadang kita menilai seseorang karena asal usulnya, karena latarbelakang keluarga yang tidak diperhitungkan, karena dia kita kenal baik, juga orangtua dan sanak keluarga. Hal ini terkadang ketika orang itu menyampaikan sesuatu yang baik, atau berlaku dan bertindak demi kebaikan sesama, kita bukannya bersyukur dan mendukung, tapi kita lalu menyebarkan mosi tidak percaya, menolak dan tidak mau mendengar isi atau pesan kebaikan yang disampaikan. Boleh jadi kita menilai orang hanya karena dari mana asalnya, siapa keluarganya, apa stastusnya, dan lain sebagainya, ketimbang kita menghargai orang lain, juga menghargai kebaikan entah apa yang dikatakan maupun apa yang dilakukan.

Tuhan mengingatkan kita untuk bersikap rela dan berani menyadari kelemahan kita. Kesadaran akan dicintai Tuhan membuat kita juga dapat mencintai hidup kita dan orang lain. Kita sering kurang sadar akan kelemahan diri dan cenderung lebih mudah menilai keburukan orang lain, bahkan lebih mudah menutup kesalahan dan kekurangan diri sendiri.

Yesus sangat heran atas ketidakpercayaan mereka. Padahal mereka adalah orang-orang seasal, yang mestinya bersyukur, bangga dan menyambut dengan gembira kehadiran-Nya. Dan kita pun menjadi heran karena ternyata sering juga menjadi pengalaman kita, bisa jadi ketika kita berada di tengah keluarga, sahabat kenalan, orang-orang yang sudah biasa bersama dan kita kenal baik. Ternyata bukanlah jaminan orang-orang itu untuk mendukung dan menerima kebaikan dan pewartaan kita. Apakah dengan itu kita menjadi kecewa dan putus asa?  Semoga kita pun tidak begitu saja menilai orang lain dari luarnya saja. Tidak begitu saja menolak orang lain karena dia kita kenal baik dengan segala latar belakang hidup dan perjuangannya, juga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tetapi kita patut bersyukur  dan berbangga atas kebaikan sesama kita itu. Dan tentu saja masih ada jalan lain untuk terus berbakti dan mewartakan kebaikan kepada siapa saja. Semoga kita tidak menjadi kecewa dan menolak Yesus dan sesama kita. Kita berdoa, Allah yang Mahaadil, bantulah kami menyadari kelemahan kami dan membuat hidup kami lebih baik lagi sesuai kehendak-Mu. Amin. **

Rm. Fransiskus Emanuel da Santo, Pr; Sekretaris Komkat KWI.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *