Uskup Malang, Mgr Pandoyoputro: Melalui keluarga, belaskasih bertumbuh dan diwujudkan

Mgr-Herman-Joseph.jpg

“Mewujudkan hidup kristiani yang berbelaskasih dalam relasi dengan sesama dan lingkungan dimulai sejak usia dini dan terjadi dalam keluarga kita masing-masing. Saya memperhatikan dan mengalami bahwa anak-anak yang dididik dalam belaskasih dan kepedulian di dalam keluarga, mereka akan menjadi pribadi dewasa yang juga peduli dan berbelaskasih pada sesama dan lingkungannya.”

Uskup Malang Mgr Herman Joseph Pandoyoputro OCarm menulis hal itu dalam Surat Gembala Prapaskah 2016 yang berjudul “Keluarga Sekolah Ketekunan, Keuletan dan Kesabaran dalam Mewujudkan Belaskasih Allah.”

Menurut uskup itu, panggilan sakramental perkawinan tidak lain adalah kesetiaan untuk mewujudkan kesempurnaan Kristiani yang terungkap dalam sikap belaskasih, pengampunan. “Kesetiaan sebagai sekolah kerahiman dalam keluarga dan sekaligus pendidikan nilai pada anak-anak menuntut kita semua untuk menjadi pribadi dan keluarga yang tekun. Tekun dalam arti yang mendasar tidak lain adalah sikap hidup di mana keluarga dengan segala keadaannya berani menghadapi perjalanan dan situasi yang ada tanpa meninggalkan iman atau kesetiaan pada Kristus.”

Ketekunan, lanjut uskup, menuntut umat untuk berani, ulet dan sabar. “Tekun, Ulet dan Sabar sebagai keluarga kristiani dalam zaman sekarang sungguh merupakan panggilan yang harus selalu kita upayakan,” tegas Mgr Pandoyoputro.

Mengapa? “Sebagai keluarga yang dipanggil untuk mencapai kesempurnaan hidup kristiani, kita tidak bisa lepas dari godaan dan tantangan yang terjadi. Budaya korupsi, budaya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, budaya untuk menguasai dan memiliki untuk dirinya sendiri dan budaya mencari kenyamanan dan kenikmatan adalah tontonan sehari-hari bahkan mungkin saat ini menjadi bagian dari kita dan kita terlibat,” jawab uskup seraya menegaskan bahwa murid-murid Yesus tidak boleh mengingkari belaskasih dengan perbuatan-perbuatan tersebut.

“Gereja mengingatkan kita semua bahwa keunggulan iman menjadi sejati ketika dalam situasi itu kita tetap setia. Seperti emas menjadi indah dan memancar ketika dimasukkan dalam api. Iman kita juga akan memancar ketika dalam aneka godaan belaskasih kita tetap mampu mengatasinya dan menang,” tulis uskup. Ditambahkan, ketekunan, keuletan dan kesabaran sebagai keluarga dalam mewujudkan belaskasih Allah sebagai wujud iman yang benar bisa dimulai dengan latihan rohani dan jasmani.

Latihan pertama adalah memanfaatkan saat-saat indah masa puasa dengan rekonsiliasi dan Sakramen Tobat, serta dengan adorasi kepada Sakramen Mahakudus. “Rekonsiliasi dan pertobatan membuat kita rendah hati dan kerendahan hati mendidik kita untuk mampu berbelaskasih … Perjumpaan dengan kerahiman Allah dalam Sakramen Mahakudus akan mendidik kita menyerap nilai-nilai kerahiman Allah dan akan lebih mudah untuk diwujudkan dalam hidup.”

Latihan berikut adalah mengembangkan budaya silih. “Apa yang kita silihkan dan kita sisihkan sungguh dibagikan kepada mereka yang berkekurangan. Keberanian berbagi akan mendidik kita untuk tidak mudah masuk dalam kebiasaan korupsi dan memanipulasi.”

Mewujudkan belaskasih nyata dengan perbuatan nyata yang lebih memperhatikan orang kurang beruntung dengan perbuatan konkret juga bisa menjadi latihan lain. “Misalnya memberi makan, membiayai mereka yang tidak bisa bersekolah, menolong orang sakit dan mengupayakan pekerjaan bagi yang tidak bisa bekerja, serta merawat orang yang berkebutuhan khusus, orang jompo dan tak berdaya,” tulis uskup itu seraya mengajak penggalakan dana beasiswa di paroki-paroki.

Masih banyak hal yang bisa dikembangkan dan diwujudkan. “Namun yang paling mendesak pada masa puasa di tahun Yubileum ini adalah melaksanakan anjuran nabi Yesaya. Puasa kita bukan sekedar gaya hidup melainkan perbuatan-perbuatan yang nyata.” (pcp)

Sumber artikel dan foto/gambar: penakatolik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *