Pengalaman Hidup Iman dan Moral Katekis dalam Keluarga dan Masyarakat Multikultural

Gimin.jpg

Hari kedua Pernas Katekis diawali dengan sharing pengalaman yang dikemas panitia dalam bentuk talk show dengan dua narasumber. Narasumber pertama adalah satu keluarga katekis dari kampung di kaki gunung merapi yaitu bp. Gimin bersama istrinya, ibu Monica serta putranya Revo. Acara yang sungguh menarik ini dipandu oleh dr. Agung dari Yogyakarta.

Pak Gimin berkisah bahwa asal-usul dirinya dari keluarga non katolik. Orangtuanya adalah petani sederhana di desa lereng gunung merapi. Pada masa kecil hingga remaja, demikian pak Gimin, ia termasuk anak nakal dan bandel, suka miras. Ia pun sering melawan nasihat dan perintah orangtuanya. Bahkan pernah mengancam melakukan kekerasan terhadap ayahnya yang seorang petani sederhana itu. Meski demikian bapaknya tetap sabar menghadapinya. Oleh karena kebandelannya itu, pak Gimin hanya dapat menyelesaikan sekolahnya di SD.

Waktupun terus berlalu, pada tahun 1991, pak Gimin dibabtis menjadi katolik, melalui proses yang panjang. Di kampungnya cukup banyak umat Katolik sehingga ia sering bergaul dengan mereka. Ia menjadi katolik bukan karena diajak apalagi dipaksakan orang katolik di kampung itu, tetapi karena merasa tertarik sendiri. Setelah menjadi katolik pak Gimin terlibat aktif dalam kegiatan gerejani, terutama di kelompok OMK.
Ibu Monica, istri pak Gimin bersaksi bahwa ia mengenal suaminya itu ketika ia (Gimin) sudah menjadi orang katolik. “Mas Gimin saat itu sangat sibuk dengan urusan kegiatan OMK di kampung halamannya. Dalam kesibukannya di OMK, sempat beredar isyu berbau fitnah bahwa calon suaminya itu berselingkuh dengan perempuan lain.

Singkat cerita, setelah menikah dengan Monica, pak Giman yang aktivis paroki itu mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama sekolah sawah yang menampung dan mendidik anak-anak yang kurang atau minus secara ekonomi. Berkaitan dengn sekolah sawah ini, pak Giman bekerja sama dengan sekolah kanisius yang berada di kampung halamannya. Ia merasa terpanggil untuk memerhtikan anak-anak itu agar pendidikannya tidak hanya berhenti di SD seperti dirinya.

Ibu Monica beraksi bahwa ia menjalani hidup dengan suami yang aktivis gerejawi itu mengalami banyak suka dan dukanya. Pak Giman menjadi katekis atau pewarta di kampungnya melalui karya di lembaga pendidikan yang ia bentuk. Semnetara anaknya yang bernama Revo memberikan kesaksian bahwa kedua orangtuanya sungguh menjadi orangtua yang baik. Revo bangga dengan bapak dan ibunya memberikan perhatian antara lain dalam hal pendidikan. Ibu Monica menandaskan bahwa suaminya selama ini telah berusaha mendidik dirinya untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anak, serta menjadi istri yang baik bagi suami.

Narasumber kedua yang tampil dalam talkshow adalah bp. Totok Dwi, dari desa Ganjuran, Bantul. Dalam kesehariannya, Totok Dwi adalah karyawan di PT. Penerbit-Percetakan Kanisius, Yogyakrta. Doa Bapa Kami, demikian Dwi merupakan andalan utama dalam hidupnya sebagai katekis. Hidup ini harus dijalani dengan penuh syukur. Pak Dwi yang pernah bekerja di studio audio visual Puskat Yogyakarta ini, kini aktif juga dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, khususnya di kampung halamanya. Ia bersama kelompok budayanya pernah menampilkan pertunjukan ketoprak di TVRI Yogyakarta. Ia tertarik merasul lewat kegiatan budaya karena dalam kelompok budaya tidak ada pengkotak-kotakan antar-sesama anggota kelompok. Melalui kelompok budaya ini, ia membangun relasi dengan banyak orang dari berbagai latarbelakang agama. Di dalam kelompok kebudayaan ini, pak Dwi dapat memberikan kesaksian hidupnya sebagai orang Katolik. Setelah acara talk show, para peserta pernas katekis masuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling berbagi pengalaman tentang hidup dan karya mereka sebagai katekis dan menjadi saksi iman dan moral di tengah keluarga serta masyarakat multikultural.

Usai sharing dalam kelompok kecil, peserta kembali berkumpul di aula untuk menerima masukan dari Rm. Nur Widi Pranoto, Pr (Sekr. Komisi Karya Misioner KWI, dan Direktur KKI), tentang Gerak Misioner keluarga dalam masyarakat multikultural. Peserta cukup antusias mendengar paparan materi dari Rm. Nur. Dalam sesi tanya jawab, para katekis bertanya dan juga menyampaikan refleksi kritisnya terhadap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan karya misioner Gereja di Indonesia yang kini menghadapi banyak tantangan.

Sebagai penutup kegiatan pernas hari kedua ini, Rm. C.B. Putranto, SJ memberikan refleksi terbimbing dari seluruh proses sharing pengalaman, baik dari panelis maupun dari berbagai sharing katekis dalam kelompok (Daniel B.Kotan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *