Kamis Putih

Perjamuan_terakhir.jpg

Renungan Bersama Rm. Yosef Lalu, Pr

Bacaan I : Kel 12:1-8,11-14
Bacaan II : 1Kor 11:23-26
Bacaan Injil : Yoh 13: 1-5

MEMBERI DIRI

Selama perang kemerdekaan tentara-tentara rakyat yang luka dirawat di pelbagai Rumah Sakit. Waktu itu banyak pemerhati mengunjungi para prajurit yang luka itu untuk menghibur mereka. Seorang ibu berhenti di tepi tempat tidur seorang anak muda yang baru kembali dari medan pertempuran. Pemuda pejuang itu sudah tidak memiliki tangan kirinya. Si ibu dengan rasa sedih bertanya kepada pemuda itu:
“Di mana kamu kehilangan tanganmu?”
Dengan bersemangat pemuda pejuang itu menjawab: “Saya tidak kehilangan, saya memberikannya untuk ibu pertiwi”. Memberi itu suatu perbuatan yang indah. Ia membahagiakan orang yang diberi, tetapi juga orang yang memberi.

***

Dalam perayaan liturgi Kamis Putih kita mengenang Yesus Kristus yang memberikan diri-Nya bagi kita.
Pada Malam Perjamuan Terakhir itu Ia mengambil roti, mengucap syukur lalu memecah-mecahkan dan memberikannya kepada murid-Nya sambil berkata: “Ambillah ini dan makanlah, inilah Tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu. Sesudah itu Ia mengambil piala yang berisi anggur, mengucap syukur lalu memberikannya kepada para murid-Nya seraya berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian baru, yang ditumpahkan bagi banyak orang”.

Dengan tindakan-tindakan seperti memecah-mecahkan roti dan memberikannya kepada murid-muridNya, Yesus sebenarnya sudah mengungkapkan tentang derita dan kematian-Nya. Ia akan sungguh dipecah-pecahkan, dicabik-cabik dan diserahkan di atas salib itu. Tindakan-tindakan Yesus itu kemudian dipertegas oleh kata-katanya “Inilah tubuh-Ku, yang akan diserahkan bagi kamu. Ini darah-Ku yang akan ditumpahkan bagi banyak orang…………”

Dan sejak saat itu peristiwa pemecahan dan penyerahan roti itu memang selalu dirayakan kembali sesuai pesan-Nya. “Lakukan ini sebagai peringatan akan Daku…….”.
Sesudah kebangkitan-Nya, dengan dua murid dari Emaus itu, Yesus kembali mengulangi peristiwa pemecahan dan penyerahan roti itu. Injil Lukas menceriterakan bahwa kedua murid dari Emaus yang tidak mengenal Yesus, baru terbuka matanya ketika Yesus memecah-mecahkan roti dan menyerahkan kepada mereka.

Kisah para rasul menceriterakan bahwa umat perdana selalu berkumpul untuk berdoa memecahkan roti bersama.
Peristiwa pemecahan roti merupakan kata kuat dan indah untuk mengungkapkan makna Ekaristi dalam hubungan dengan kurban-Nya di salib!!
Sampai hari ini kita masih merayakan kembali peristiwa pemecahan roti itu. Kita sering menamakannya Ekaristi atau Misa. Mungkin kata-kata itu bisa memiskinkan makna dari peristiwa yang maha berarti untuk kehidupan kita!!

Ada bahaya misa untuk kita hanya akan menjadi sekedar suatu upacara liturgi, suatu ibadah, yang menjadikan kita lebih saleh, tetapi mungkin tanpa implikasi nyata untuk hidup kita bagi sesama.
Ekaristi, seperti juga sakramen-sakramen lain bahkan Gereja sendiri tidak boleh pernah hanya merupakan suatu peristiwa penyelamatan diri sendiri, tetapi peristiwa penyelamatan umat. Setiap sakramen, apalagi Ekaristi mempunyai dimensi dan seharusnya mempunyai dampak sosial yang sangat kuat. Dalam Perayaan Ekaristi pertama itu dengan sengaja Yesus membuat tindakan memecah-mecahkan dan memberikan roti itu kepada para murid-Nya. Maka kita yang sekarang ini mengikuti peristiwa pemecahan dan penyerahan roti itu harus juga terlibat dalam pemecahan dan penyerahan itu. Bertemu dengan peristiwa penyelamatan berarti rela dirubah oleh peristiwa itu.

Merayakan peristiwa pemecahan dan penyerahan roti berarti kita sendiri diubah semangatnya untuk selalu bisa memecahkan dan menyerahkan diri atau milik sendiri untuk orang lain. Semangat peristiwa itu menjadi semangat kita pula. Tentu tidak gampang, mungkin menyakitkan, tetapi itulah dimensi kurban dari peristiwa pemecahan itu. Kalau tidak apalah artinya ikut merayakan peristiwa pemecahan dan penyerahan roti, kalau kita tetap egois dan mengingat diri sendiri. Seorang egois sebenarnya tidak mungkin merayakan ekaristi secara bermakna. Ekaristi selalu mempunyai implikasi kerelaan untuk senantiasa membagi diri kita, membagi milik kita dan menyerahkannya untuk orang lain, sehingga orang lain turut diperkaya, diselamatkan dan dibebaskan.

***

Uskup Agung Oscar Armulfo Romero dari kota San Salvator terkenal karena hidupnya yang penuh pengabdian kepada umat dan masyarakatnya, khususnya kepada masyarakat kecil yang miskin dan tertindas. Ia tidak segan-segan memperingatkan para penguasa negerinya yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat kecil yang tidak berdaya. Tentu saja para penguasa itu tidak senang. Mereka berusaha untuk “mengamankan” dia.

Hari Senin tanggal 24 Maret 1980 ia mati ditembak oleh penembak sewaan. Ia mati tertembak pada saat ia sedang merayakan Ekaristi dan ketika ia mengucapkan kata-kata itu: “Ini tubuhku, yang dikorbankan bagi kamu, dan ini darahku yang ditumpahkan bagi kamu”. Hidupnya telah berubah menjadi Roti Ekaristi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *