Jumat Agung

Jumad Agung.jpg

Renungan Bersama Rm. Yosef Lalu, Pr

Bacaan I : Yes 52:13-53:12
Bacaan II : Ibr 4:14-16.5:7-9
Bacaan Injil : Yoh 18: 1-19. 42

RELA BERKURBAN

Ada suatu ceritera dari suatu medan pertempuran. Suatu divisi tentara terputus komunikasinya dengan markas besarnya. Rupanya kabel jalur komunikasi antara divisi dan markas besar itu telah diputuskan oleh musuh, entah di mana. Jadi perbaikan harus segera dilakukan.
Dalam divisi itu hanya ada satu orang yang tahu mengenai urusan kabel komunikasi itu. Dia segera dikirim untuk mencari kabel yang putus dan menyambungnya lagi. Rupanya ia melakukan tugasnya dengan baik, karena beberapa saat kemudian pesan-pesan dari markas besar bisa masuk lagi. Beberapa jam kemudian, ahli kabel itu belum juga kembali, karena itu satu kelompok tentara dikirim untuk mencari dia. Dia diketemukan terbaring sambil memegang kedua ujung kabel yang putus itu dengan kedua tangannya, sementara didadanya terdapat sebuah lubang peluru yang menghabisi nyawanya. Rupanya ia ditembak musuh, tetapi tetap berusaha untuk menyambung jalur komunikasi dengan tangan dan badannya, supaya komunikasi dengan markas besar tidak terputus.
Tentara itu telah menjalankan tugas dan misinya dengan baik dengan mempertaruhkan nyawanya.

***

Pada hari Jumat Agung ini kita merenungkan dan merayakan misteri misi Yesus yang untuknya Ia rela mempertaruhkan nyawa-Nya.
Apa kiranya misi Yesus itu??

Misi pokok Yesus adalah mewartakan khabar-Baik. Dan Khabar-Baik itu adalah bahwa dengan kedatangan Yesus Kerajaan Allah mulai dibangun di dunia ini.
Yesus mewartakan bahwa semua orang bisa mengandalkan Allah dalam situasi apa saja. Bahwa semua manusia adalah saudara dan anak-anak Allah yang merdeka dan bermartabat.
Ia menyapa dan bergaul dengan semua orang, termasuk orang-orang yang tersingkir dan para pendoa. Hal-hal seperti itu sering tidak sesuai dengan adat istiadat dan ajaran yang berlaku.

Yesus tahu apa yang Dia katakan dan Dia lakukan sering tidak cocok dengan kepentingan orang-orang yang berkuasa di bidang agama dan politik pada waktu itu.
Ia tahu pula risikonya kalau menentang golongan yang berkuasa ini. Dan resikonya tidak kecil. Termasuk resiko nyawa! Tetapi apakah dengan itu Yesus harus mundur atau mengambil sikap kompromistis? Bukankah itu bijaksana? Mengelakkan bahaya yang lebih besar!! Tetapi tidak! Yesus tidak mundur! Ia konsekuen dengan apa yang dikatakan-Nya dan apa yang telah mulai dikerjakan-Nya. Ini menyangkut nilai-nilai fundamental dari Kerajaan Allah. Ia harus konsekuen! Ia harus maju! Apapun resikonya, walau sebagai manusia ia takut dan gemetar.
Akhirnya memang Yesus harus berhadapan dengan resiko itu. Ia harus menderita dan mati untuk misi-Nya.

Ia berusaha maju dengan kepala tegak. Ia berjuang untuk menjadi tuan atas penderitaan-Nya. Yesus rupanya menyadari bahwa penderitaan dan kematian-Nya adalah bagian dari misi tugas-Nya. Kalau Dia mundur, bagaimana dengan nasib Kerajaan Allah yang telah mulai diwartakan dan dibangun-Nya itu?? Bukankah Kerajaan Allah itu telah mulai direalisir justru dalam diri-Nya?? Dan kalau dia mundur, bagaimana dengan pengikut-pengikutNya kelak. Bukankah Dia ada untuk menolong, mendukung, memajukan, memerdekakan dan membahagiakan orang lain?? Yesus sadar bahwa sengsara dan kematian-Nya sudah menjadi bahagian dari karya penyelamatan. Ia merupakan “tumbalnya” seperti yang telah dialami oleh banyak nabi yang mendahului-Nya. Bukankah ia telah berkata “biji gandum harus jatuh untuk menghasilkan buah??”
Sengsara dan kematian Yesus harus merupakan pengabdian dan kesaksian-Nya yang terakhir. Pengabdian karena kasih demi Kerajaan Allah dan demi sesama. Yesus percaya bahwa kemudian akan bangkit orang-orang seperti Dia untuk membangun Kerajaan Allah. Ia telah memberi jalan! Ia adalah contoh. Ia adalah teladan. Ia adalah idola. Dalam Dia siapa saja dapat melihat bagaimana seorang manusia sejati bertindak.

***

Pada jaman yang sangat dipengaruhi oleh semangat materialisme dan konsumerisme seperti sekarang ini, mungkin kurban dan semangat berkurban mengalami erosi makna yang memprihatinkan. Orang berusaha untuk mengelakkan korban dan semangat berkurban dari hidupnya.
Namun kita boleh percaya bahwa masih terdapat cukup banyak orang yang memahami, bahkan menghayati makna dari kurban dan semangat berkurban itu.

Uskup John Yoseph adalah seorang Uskup Pakistan dan dalam Konferensi Waligereja Pakistan beliau menjadi ketua Komisi Justice and Peace (Komisi Keadilan dan Perdamaian). Beliau berjuang mati-matian, dengan segala cara, untuk meminta perhatian pemerintah dan masyarakat bagi kepentingan golongan minoritas, termasuk umat katolik, yang sering diperlakukan secara tidak adil. Beberapa kasus terjadi, warga katolik dituduh menghujat dan dihukum mati, padahal tidak ada niat sama sekali dari warga itu untuk menghujat.

Beberapa saat lampau terjadi lagi seorang warga katolik dituduh menghujat dan diputuskan oleh pengadilan dengan hukuman mati. Uskup John Yoseph memprotes terhadap pengadilan yang tidak adil itu. Rupanya segala cara telah ditempuhnya tetapi sia-sia. Akhirnya ia menempuh cara yang membuat Pakistan dan dunia terkejut dan terbuka matanya.
Pada suatu hari, sesudah lama ia merenung dan berdoa, ia pergi ke gedung pengadilan yang sering memutuskan perkara secara tidak adil itu. Di pelataran gedung pengadilan itu, ia menembak kepalanya dengan peluru. Ketika ia rubuh bersimbah darah dipelataran gedung pengadilan itu, baru Pakistan dan dunia terkejut melihat dan tahu tentang ketidakadilan yang sering terjadi di gedung-gedung pengadilan Pakistan.
Mgr. John Yoseph telah rela menjadi kurban, menjadi tumbal, demi keadilan dan kebaikan untuk banyak orang lainnya. Dan itu dilakukannya dengan tenang dan kepala tegak. Ia tidak gentar dan takut untuk menghadapi maut demi perjuangannya menegakkan kebenaran dan kebaikan untuk umatnya. Dengan mati secara demikian ia mau memberikan kesaksian paling kuat dan final untuk perjuangannya.

***

Roh, semangat dan kekuatan untuk menghadapi maut yang dihayati Uskup John Yoseph dalam memperjuangkan kebenaran dan kebaikan tentu saja ditimbanya dari Sang Guru Ilahi, Yesus Kristus.
Bagaimana dengan kita??

Kurban-kurban dan tumbal-tumbal seperti para mahasiswa Trisakti dan Semanggi dan sebagainya tentulah bukan kurban-kurban tanpa makna. Mungkin secara sadar mereka menghayati makna religius dari pengorbanan mereka. Mungkin secara sadar atau tidak sadar mereka percaya bahwa pengurbanan mereka sedikit banyaknya akan membawa berkat bagi banyak orang lain, bagi bangsa dan Tanah Air. Mungkin mereka rela menjadi tumbal.

Misteri dan semangat pengurbanan Yesus memberi makna kepada setiap pengorbanan dari orang-orang yang berkehendak baik.nn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *