KATEKESE UMAT DAN KELOMPOK BASIS GEREJANI
(PKKI VII: Sawiran – Jawa Timur, Juni 2000)
Tema pokok PKKI VII di Sawiran, Jawa Timur, tgl. 24 s.d. 30 Juni 2000 adalah “Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani”. PKKI VII ini dapat dipandang sebagai persiapan untuk menunjang “Pertemuan Gereja Katolik Indonesia, dengan tema “Memberdayakan Komunitas Basis Gerejani Menuju Indonesia Baru” yang berlangsung pada bulan Nopember 2005 dengan fokus pergumulan pada Kelompok Basis Gerejani pula. PKKI VII dan Pertemuan Gereja Katolik Indonesia diadakan dalam rangka perayaan tahun Yubelium 2000, momen Gereja Indonesia berbenah diri memasuki millenium baru.
A. SITUASI KATEKESE UMAT (KU) DAN KELOMPOK BASIS GEREJANI (KBG) DI LAPANGAN
•KATEKESE UMAT
Hampir pada semua keuskupan telah dilaksanakan Katekese Umat, tetapi polanya masih beragam.Bahkan masih ada yang menggunakan pola pelajaran agama, pendalaman Kitab Suci…., tetapi dinamakan saja Katekese Umat.Namun ada keuskupan-keuskupan yang KU-nya sudah membudaya dan telah menggunakan analisa sosial dengan baik.Dibanyak tempat KU dilaksanakan pada masa APP, Adven, bulan Mei dan Oktober, bahkan ada yang melaksanakannya secara tetap, mingguan, atau bulanan.
•KOMUNITAS BASIS GEREJANI
Dari laporan-laporan yang muncul, menjadi jelas bahwa ada kecenderungan bahwa kelompok teritorial dan kategorial apa saja mau disebut Kelompok Basis Gerejani.
Peran dan makna Komunitas Basis, khususnya yang teritorial sangat berbeda dari tempat ke tempat. Misalnya, kalau hampir seluruh rakyat beragama Kristen Katolik, maka komunitas basis hampir sama dengan rukun tetangga. Malah pimpinan desa, dusun, dan RW, mungkin sekali sama dengan pimpinan wilayah, lingkungan dan komunitas basis. Karena itu, wadah komunitas basis cukup kuat sebagai basis masyarakat.Lain halnya di mana umat Kristen Katolik merupakan minoritas kecil.Di situ Komunitas Basis terdiri dari orang yang bukan tetangga dekat, tetapi adalah orang per orang atau keluarga-keluarga yang terpencar-pencar.Tidak jarang basisnya dalam masyarakat berdasarkan suku, pendatang (perantau atau transmigran dari Jawa Tengah, Bali, atau NTT misalnya).
Mudah dipahami bahwa sejarah pembentukan dan pertumbuhan komunitas atau kelompok basis juga berbeda dari keuskupan – keuskupan.Ada yang bertumbuh dari lingkungan (kring) atau wilayah, ada yang bertumbuh dari unit kampung atau rukun tetangga, dsbnya.
Halangan utama dari KBG model ini adalah KBG tersebut sering dianggap sebatas wilayah administratif paroki. Halangan atau kendala lain ialah kelompok-kelompok itu sering menjalankan pola budaya politik atau adat yang otoriter dan patrinalistik.
B.CIRI-CIRI KOMUNITAS BASIS GEREJANI
Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Komunitas Basis Gerejani diberi pengertian yang sangat berbeda dari tempat ke tempat. Ada keuskupan yang menyebut kelompok-kelompok khusus sebagai KBG, misalnya, Legio Mariae, Kharismatik, Kelompok Karyawan Muda Katolik, dsbnya, sebagai Komunitas Basis Gerejani. Artinya, kelompok Gerejani mana saja dijuluki Komunitas Basis Gerejani. Sambil mengakui bahwa sejarah perkembangan KBG berbeda dari Keuskupan ke Keuskupan, dan basis sosialnya berbeda dari wilayah mayoritas Katolik ke wilayah minoritas Katolik, kita masih harus bertanya: Apakah setiap kelompok boleh saja disebut sebagai KBG?
Satu hal penting yang sungguh membedakan KBG dari organisasi Legio Mariae dan sejenisnya ialah kenyataan bahwa tiap-tiap KBG memiliki wujud yang khas.Lain dengan Legio Mariae serta paguyuban rohani lainnya, KBG tidak memiliki konstitusi anggaran dasarnya.KBG adalah sebuah persekutuan yang senantiasa bertumbuh, berkembang, berada di tengah perjalanan.KBG selalu “sedang menjadi”. Namun, walaupun wujudnya bermacam-macam, gagasan teologi yang melatarbelakanginya tetap sama.
Dari masukan pakar (P. John Prior SVD) dan refleksi para peserta akhirnya bisa dirumuskan beberapa ciri KBG, antara lain:
1.KBG adalah komunitas yang relatif kecil
Komunitas Basis adalah satuan umat yang relatif kecil, di mana dimungkinkan relasi dan komunikasi yang intensif.KBG adalah persekutuan, bukan sekelompok orang.KBG adalah satuan Gerejani karena daya dorong dasar yang melahirkan dan mengembangkannya adalah Roh Kristus.
2.KBG adalah komunitas yang mendasari hidupnya pada firman Allah (Kitab Suci)
Dalam menggumuli kebutuhan dan persoalan hidup nyatanya sehari-hari komunitas ini selalu menimba inspirasi dan kekuatannya dari Kitab Suci.Kitab Suci menjadi pegangan hidup mereka.
3.KBG selalu berorientasi pada kaum kecil
Komunitas Basis ini terdiri dari orang-orang kecil dan mereka yang memiliki keprihatinan dan keberpihakan pada orang kecil.Mereka melihat, mendengar, dan merasa seperti orang kecil.Mereka menghayati keprihatinan dan keberpihakan Kristus sendiri.
4.Komunitas Basis ini adalah komunitas yang terbuka
Komunitas yang menerima siapa saja, ayah, ibu, anak-anak, kaya-miskin, dari strata sosial dan kebudayaan mana saja.
5.Komunitas Basis ini adalah komunitas yang menghayati pola hidup alternatif
Ia diharapkan menghayati budaya tandingan, tidak terbawa arus, misalnya: semangat konsumerisme, ketidakadilan, korupsi, kesewenang-wenangan dan kekerasan, diskriminasi, dsbnya.
6.KBG diharapkan menjadi basis pemberdayaan umat awam
C.KATEKESE UMAT YANG MENUNJANG KOMUNITAS BASIS GEREJANI
Peserta PKKI VII dapat melihat beberapa peran KU terhadap KBG, antara lain:
1.KU menghantar umat membangun komunitas, saling mengenal secara lebih mendalam, serta menyadari mengapa kita perlu berkomunitas. Orientasi KU bukan sebagai kegiatan yang dihadiri sekelompok umat, melainkan KU sendiri menjadi satu peristiwa umat berkomunio.Maka, suasana pola relasi di antara mereka menjadi satu tujuan yang penting.Dalam komunitas ini persaudaraan mulai dibangun. Tidak ada persaudaraan yang bisa ditumbuhkan tanpa proses saling mengenal yang semakin mendalam. Melalui proses itu, kepekaan terhadap suka dan duka anggota sekomunitas ditumbuhkan, terutama suka duka anggota komunitas yang paling lemah dan menderita. Lalu bersama-sama mencarikan jalan untuk membebaskan mereka dari belenggunya. Kepekaan akan kesetaraan (kaya-miskin, tua-muda/senior-yunior, perempuan-laki-laki, etnis dsbnya) menjadi basis pertumbuhan komunitas. Kepekaan terhadap lingkungan hidup juga mendapat tempat penting dalam komunitas.
Pemandu KU tidak hanya seorang ahli berproses, tapi juga seorang yang sangat mampu menciptakan suasana dan membangun relasi, terutama dengan yang paling lemah, minder, miskin dalam komunitasnya, dan memampukan mereka bersuara dan berperan serta.Pemandu KU mempunyai visi yang jelas dan kepekaan terhadap nilai-nilai dasar pertumbuhan komunitas.
2.KU menghantar semua anggota komunitas memiliki visi, misi, dan spiritualitas yang sama. Sebagai komunitas murid-murid Yesus (Gereja), komunitas merefleksikan pengalaman berkomunitas dalam terang injil.Apa arti menjadi murid-murid Yesus? Siapa Yesus? Apa visi dan misiNya? Mengenal Yesus dari Nazaret dengan misiNya untuk membangun Kerajaan Allah menjadi sentral dan dasar hidup komunitas.
Membangun komunitas bukan lagi hanya merupakan pengalaman manusiawi, melainkan pendalaman iman, perwujudan iman itu sendiri.Untuk itu, seorang pemandu KU hendaknya memiliki visi dan misi Yesus cukup jelas dan sejauh mungkin terinternalisasi dalam hidup dan karyanya. Dan perlahan-lahan semua anggota dihantar ke visi yang sama. Pengalaman hidup berkomunitas yang ditumbuhkan, direfleksikan, dalam pertemuan/KU dan dari refleksi dicarikan perwujudannya dalam komunitas. Dengan kata lain, KU dengan proses Aksi – Refleksi Iman – Aksi, dst, merupakan sarana pertumbuhan komunitas.
3.KU mengamalkan kesederajatan. Pemimpin hanya fasilitator.Maka KU dapat membantu semua anggota komunitas memahami dan mempraktekkan kepemimpinan partisipatif yang menjadi sentral dalam membangun komunitas.Dengan kepemimpinan pastisipatif dan karakter-karakternya yang sarat dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, terutama nilai kesetaraan dan option for the poornya, komunitas basis dapat berkembang dengan baik.Bahan-bahan kepemimpinan banyak dikembangkan dalam ilmu manusia.