Pandangan Para Paus tentang Ilmu Pengetahuan (Sains)

basilika st. Petrus.jpg

Meskipun sejumlah orang berpandangan bahwa Gereja adalah anti sains, namun faktanya tidak demikian. Sejarah mencatat betapa banyak ahli sains Katolik yang menyumbangkan penelitian mereka yang memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan sampai sekarang. Sebut saja, tokoh-tokoh sains seperti Rene Descartes (dalam geometrik analit), Blaise Pascal (penemu mesin hidrolik, teori probabilitas dalam matematika), Gregor Mendel seorang imam Agustinian (penemu teori modern genetika), Louis Pasteur (penemu mikrobiologi, vaksin untuk rabies dan anthrax), Copernicus yang mempelopori penelitian tentang kemungkinan bumi mengelilingi matahari dst, termasuk banyaknya para imam Jesuit yang secara khusus terlibat dalam pencapaian pengembangan ilmu sains dalam berbagai bidang. Kebanyakan orang yang berpandangan bahwa Gereja Katolik anti-sains, adalah karena mereka hanya berfokus pada kasus Galileo. Namun sejujurnya, dalam kasus inipun, sesungguhnya Gereja Katolik tidak anti sains, dan karena itu meminta Galileo untuk membuktikan argumennya dengan standar sains pada saat itu.

Nah, maka Gereja Katolik tidak anti ilmu pengetahuan/ sains. Beberapa kutipan pengajaran para Paus tentang ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:

Paus Leo XIII (1810-1903)
“Gereja dan para pastornya tidak menentang ilmu pengetahuan yang sejati dan solid, entah itu ilmu pengetahuan manusiawi ataupun ilahi, tetapi bahwa mereka merangkulnya, mendorongnya dan memajukannya dengan dedikasi sepenuh mungkin.” (Ut Mysticam, March 14, 1891, dalam pendirian kembali Vatican Observatory).

Paus Pius XII (1939-1958)
“… Ilmu pengetahuan sejati menemukan Allah dalam derajat yang terus bertambah- seperti seakan-akan Allah sedang menanti di belakang setiap pintu yang dibukakan oleh ilmu pengetahuan” (Address to the Pontifical Academy of Sciences, November 22, 1951, 2)
“…. Filosofi dan ilmu pengetahuan berkembang dengan analogi dan metoda yang kompatibel, dengan mengambil keuntungan dari elemen-elemen empiris dan masuk akal dengan tolok ukur yang berbeda dan bekerjasama bersama dalam kesatuan yang selaras menuju penyingkapan kebenaran… Ilmu pengetahuan, yang menemukan Sang Pencipta dalam jalannya, filosofi, dan lebih lagi, wahyu, dalam kerjasama yang selaras, sebab semua dari ketiganya adalah alat-alat kebenaran, seperti berkas-berkas sinar dari matahari yang sama, mengkontemplasikan hakekat, menyatakan garis-garis besarnya, menggambarkan detail dari Sang Pencipta yang sama.” (Audience granted to the Plenary Session of the Academy and to the Study Week on “The Question of Microseisms”)

St. Paus Yohanes Paulus II (1920-2005)
St. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara iman dan akal budi, antara Theologi dan filosofi.
“Iman dan akal budi adalah seperti dua sayap yang atasnya roh manusia naik menuju kontemplasi kebenaran; dan Allah telah menempatkan di dalam hati manusia keinginan untuk mengenali kebenaran – dengan kata lain, mengenali dirinya sendiri- sehingga dengan mengenali dan mengasihi Allah, baik para pria dan wanita juga dapat mendekati kepenuhan kebenaran tentang diri mereka sendiri (lih. Kel 33:18; Mzm 27:8-9; 63:2-3; Yoh 14:8; 1Yoh 3:2- Fides et Ratio, 1)
“Ilmu pengetahuan dapat memurnikan agama dari kesalahan dan tahyul; agama dapat memurnikan ilmu pengetahuan dari pemberhalaan dan kemutlakan yang salah. Masing-masing dapat memperoleh dari yang lain, dunia yang lebih luas, dunia di mana keduanya dapat mencapai puncaknya.” (Surat kepada Rev. George V. Coyne., SJ, Direktur dari the Vatican Observatory)
Namun demikian, St. Paus Yohanes Paulus II juga memperingatkan kita akan ancaman scientism:
“… [Scientism] adalah pandangan filosofis yang menolak untuk menerima validitas dari bentuk-bentuk ilmu pengetahuan yang lain daripada ilmu pengetahuan positif (positive science); dan [pandangan ini]membuang pengetahuan religius, theologis, etis dan estetis ke ranah fantasi semata. Di masa lalu, ide serupa muncul di positivism dan neo-positivism, yang menganggap pernyataan-pernyataan metafisik sebagai sesuatu yang tidak berarti. Penilaian epistemologi -cabang ilmu filosofi yang meneliti asal usul, kodrat, cara dan batasan-batasan ilmu pengetahuan manusia- yang kritis telah menampik klaim tersebut, tetapi sekarang kita lihat hal ini hidup kembali dalam nama samaran scientism, yang membuang nilai-nilai [kebajikan]sebagai produk emosi dan menolak pengertian ‘being‘/ keberadaan, agar melapangkan jalan menuju faktualitas -keadaan faktual- yang murni dan sederhana. Karena itu, ilmu pengetahuan diposisikan untuk mendominasi semua aspek kehidupan manusia melalui kemajuan teknologi…
Sayangnya,… scientism menyerahkan segala yang berkenaan dengan pertanyaan tentang arti kehidupan ke ranah hal imajiner dan tidak rasional. Tidak kalah mengecewakan adalah caranya yang olehnya pandangan ini mendekati masalah filosofi, yang jika tidak diabaikan, ditundukkan pada analisa yang didasari oleh analogi-analogi yang superfisial, yang kekurangan semua dasar akal budi. Ini mengarahkan kepada pemiskinan pemikiran manusia, yang tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan tertinggi yang manusia…, telah selalu merenungkannya secara terus menerus sejak mulai adanya waktu. Dan karena ilmu pengetahuan tidak meninggalkan ruang bagi kritik yang diberikan oleh penilaian etis, mentalitas sains telah berhasil mengarahkan banyak orang untuk berpikir bahwa jika sesuatu itu secara teknis mungkin terjadi, maka sesuatu itu dapat diterima secara moral.” (Fides et Ratio, 88)

Paus Benediktus XVI (2005-2013)
Paus Benediktus XVI lebih lanjut juga menjelaskan tentang pandangan Gereja Katolik tentang sains:
“[Tradisi Katolik] telah selalu menolak prinsip ‘fideism‘, yaitu keinginan untuk percaya tanpa akal budi …. Memang, meskipun merupakan sebuah misteri, Tuhan tidak ngawur/ (absurd) … Kalau, dalam mengkontemplasikan misteri, akal budi melihat hanya kegelapan, ini bukan berarti bahwa misteri tidak mengandung terang, tetapi karena [misteri itu]mengandung terlalu banyak terang. Seperti ketika kita menatang mata kita langsung ke matahari, kita hanya dapat melihat bayangan -siapa yang dapat berkata bahwa matahari tidak terang? Iman memperbolehkan kita memandang ‘sang matahari’ itu, yaitu Tuhan, sebab iman menyambut wahyu-Nya dalam sejarah…. Tuhan telah mencari manusia dan membuat Diri-Nya dapat dikenal, dengan membawa Diri-Nya ke dalam keterbatasan akal budi manusia…
“Hubungan yang benar antara ilmu pengetahuan dan iman juga adalah berdasarkan interaksi yang berdayaguna antara pemahaman dan kepercayaan. Penelitian ilmiah mengarahkan kepada pengetahuan akan kebenaran-kebenaran baru tentang manusia dan kosmos. Kebaikan sejati manusia, yang dapat dicapai melalui iman, menunjukkan arah yang harus diikuti oleh jalan penyingkapannya. Oleh karena itu, adalah penting untuk mendorong, misalnya, penelitian yang melayani kehidupan dan yang berusaha memerangi penyakit. Penyelidikan rahasia-rahasia planet kita dan alam semesta juga penting untuk alasan ini, dalam pengetahuan bahwa manusia ditempatkan di puncak penciptaan, bukan untuk mengeksploitasinya tanpa perasaan, tetapi untuk melindungi dan menjadikannya dapat dihuni.
“Dengan cara ini, iman tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan tetapi bekerjasama dengannya, dengan menawarkan kriteria fundamental untuk memastikan bahwa ilmu memajukan kebaikan universal, dan hanya meminta bahwa ilmu pengetahuan berhenti dari inisiatif-inisiatif itu yang, bertentangan dengan rencana awal Tuhan, dapat menghasilkan akibat-akibat yang menentang manusia itu sendiri. Alasan lainnya yang masuk akal untuk dipercaya adalah ini: jika ilmu pengetahuan adalah rekan pendukung yang bernilai bagi iman dalam pemahaman kita akan rencana Tuhan bagi alam semesta, iman juga mengarahkan kemajuan ilmu pengetahuan menuju kebaikan dan kebenaran tentang manusia, yang setia kepada rencana awal itu….” (General Audience, Nov 21, 2012)

Sumber: http://katolisitas.org/ by Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *