Mgr. John. Liku Ada’ Pr
Ketua Komisi kateketik KWI
Pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 2014, Komisi Kateketik KWI bekerja sama dengan Komisi Seminari KWI mengadakan pertemuan dosen-dosen kateketik yang mengajar di Sekolah Tinggi Pastoral, Program Studi Kateketik atau Ilmu Pendidikan Agama Katolik (Universitas Katolik) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi. Pertemuan yang diselenggarakan di Puri Avia, Bogor ini mengambil tema “Berkatekese pada Era Digital”. Berikut ini kami sampaikan gagasan pemikiran dari Ketua Komisi kateketik KWI, Mgr. DR. John Liku Ada’ Pr tentang “Panggilan Gereja Berkatekese Sesuai Tuntutan Zaman” yang dipresentasikan pada pertemuan tersebut.
1. Pengantar
Kalau saya tidak salah, ini pertama kali diadakan pertemuan para dosen Kateketik STFT, STIPAS, dan Prodi Kateketik pada Universitas Katolik dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Karena itu pertemuan bersejarah seperti ini patut disyukuri. Sebagaimana dikemukakan dalam surat undangan, pertemuan ini merupakan salah satu tindak-lanjut dari amanah “Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese” dan “Hasil Akhir dan Rekomendasi PKKI X, 2012”. Adapun Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia X mengambil tema “KATEKESE DI ERA DIGITAL; Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”.
Untuk pertemuan ini saya diberi tugas membahas “Arah Katekese di Indonesia Dahulu, Sekarang dan Yang Akan datang”. Nah, saya harus tahu diri. Saya bukan ahli di bidang Katekese. Secara jujur saya harus mengakui, saya tidak mempunyai kompetensi menyajikan sebuah ulasan rinci dan bermutu mengenai arah katekese di Indonesia baik dahulu maupun sekarang, apalagi untuk masa depan. Untuk itu dibutuhkan banyak waktu guna mempelajarinya dan tersedianya sumber-sumber secara memadai. Lalu saya berpaling pada tujuan pertemuan ini. Dalam TOR dirumuskan tujuan pertemuan ini, sebagai berikut: “Agar para dosen Kateketik menyadari pentingnya katekese pada era digital dan bersama menyusun suatu rencana program perkuliahan kateketik di era digital (Kurikulum dan Silabus)”. Saya berpendapat, akan lebih berdaya-guna kiranya apabila saya memfokuskan diri pada upaya membangkitkan motivasi, dan kemudian menyajikan modul pembinaan iman Gereja Perdana, guna membuka wawasan kita. Oleh karena itu, tanpa meminta persetujuan kepada Tim/Panitia, saya memberanikan diri mengubah judul, menjadi “Panggilan Gereja Berkatekese sesuai Tuntutan Zaman”.
Sedemikian itu, di bawah ini, sebelum kita bicara mengenai arah dasar katekese, kita secara sepintas akan belajar dari sejarah menyangkut problem insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal Gereja. Selanjutnya, pada langkah berikut kita akan mencoba belajar dari empat tahap pembinaan iman Gereja Perdana. Akhirnya, tidak dapat tidak kita harus berbicara mengenai peran imam dan katekis dalam karya katekese.
2.Belajar Dari Sejarah
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000 (SAGKI 2000) mengambil tema “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru”. Salah seorang pembicara di SAGKI tersebut ialah Pdt. Eka Darmaputra, PhD. Beliau menyampaikan makalah berjudul “Memberdayakan Komunitas Basis (Dari Perspektif dan Pengalaman Kristen Protestan)”. Beliau secara gamblang mengeluhkan gejala kebekuan yang berlangsung dalam Gereja-Gereja (Reformasi). Kebekuan ini membawa dampak, baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, Gereja-Gereja mengalami insignifikansi internal, yaitu keberadaan Gereja yang kian tidak terasakan makna fungsionalnya dalam kehidupan nyata warganya. Ke luar, Gereja-Gereja mengalami irelevansi eksternal alias insignifikansi sosial, di mana kehidupan serta dinamika internal Gereja terisolasi, teralienasi, atau seolah-olah tidak mempunyai sangkut paut sedikitpun dengan dinamika sosial di lingkungan di mana mereka berada. Kedua hal ini menimbulkan reaksi yang berbeda-beda di kalangan para warga Gereja. Sebagiannya dengan mudah berpindah-pindah Gereja, mencari mana yang lebih menarik sesuai selera; kayak pergi berkeliling belanja di mal-mal saja. Beliau mengapresiasi Gereja Katolik, yang tanggap merespons permasalahan nyata itu dengan mencanangkan Komunitas Basis. Bahkan secara blak-blakan beliau menegaskan: “Di abad ke-16 Gereja-Gereja Reformasi lahir sebagai wujud reformasi Gereja Katolik. Tetapi kini, empat setengah abad kemudian, tampaknya Gereja Katolik-lah yang terpanggil mereformasi Gereja-Gereja yang membawa nama Reformasi tersebut”. Memang dalam Rangkuman Hasil SAGKI 2000 pada no. 10 antara lain ditegaskan: “Dengan komunitas basis yang berada pada tataran akar rumput, Gereja Katolik tidak akan mengalami irrelevansi eksternal atau insignifikansi sosial”.
Tetapi kita tidak pernah boleh melupakan sejarah. Gereja Katolik pra-Vatikan II, selama beberapa abad justru mengalami kebekuan akibat ketertutupan terhadap perkembangan budaya modern. Sambil merujuk pada Avery Dulles, Models of the Church, (Image Books, New York, 1978): 95-108, kita diperhadapkan pada kenyataan historis: Sejak datangnya zaman modern, khususnya sejak Zaman Pencerahan (mulai abad ke-18), dunia telah menjadi semakin aktif dan semakin tak tergantung pada Gereja. Pelbagai disiplin ilmu satu demi satu melepaskan diri dari kontrol Gereja dan umumnya diuntungkan dengan emansipasi ini. Dalam dunia yang tersekularisir pada zaman kita, kesenian dan ilmu pengetahuan, industri dan pemerintah terus mengembangkan bentuk-bentuknya sendiri menurut logikanya masing-masing. Gereja menasehati dunia, tetapi dunia merasa memiliki hak sah untuk tidak peduli. Ia merencanakan teknik dan metodenya sendiri, tanpa mengharapkan bantuan dari otoritas Gereja.
Khususnya sejak pertengahan abad ke-19, Gereja terus-menerus mengingatkan bahwa dunia sedang terjerumus ke dalam kesulitan-kesulitan serius dengan upayanya mengembangkan diri tanpa peduli terhadap peraturan Gereja. Ensiklik-Ensiklik para Paus, mulai dari Gregorius XVI (1831-1846) sampai Pius XII (1939-1958), terus-menerus menyesalkan kesesatan-kesesatan modern. Silabus Kesesatan, yang dikeluarkan Paus Pius IX pada tahun 1864, sampai pada puncak Kesesatan No. 80: “Sri Paus dapat dan harus berdamai dengan, dan menyesuaikan diri pada, kemajuan, liberalisme, dan peradaban baru”. Di tahun 1907 Gereja mengutuk Modernisme, sebuah gerakan yang diprakarsai orang-orang Katolik untuk membawa Gereja mengikuti perkembangan zaman. Lama kemudian, persis di ambang pecahnya Perang Dunia II, Paus Pius XII mengeluarkan enskliknya yang pertama, Kegelapan di atas Bumi (Summi Pontificatus, 20 Oktober 1939), yang masih mencerminkan sisa-sisa mentalis antimodernisme ini.
Adalah Paus Yohannes XXIII yang menorehkan perubahan sikap dramatis. Konstitusi Apostolik yang mengundang Konsili Vatikan II tampil seakan-akan sebagai bantahan terhadap ensiklik Pius XII, Kegelapan di atas Bumi. Paus Yohannes memaklumkan: “Jiwa-jiwa yang penuh kecurigaan melihat semata-mata kegelapan yang menyelimuti muka bumi. Sebaliknya, kami ingin menegaskan keyakinan kokoh kami kepada Penebus kita, yang tidak meninggalkan dunia yang telah ditebus oleh-Nya”. Konsili yang akan datang, demikian beliau meramalkan, akan “merupakan penampilan Gereja, yang selalu hidup dan selalu muda, yang merasakan ritme zaman dan yang di setiap abad mempercantik diri dengan semarak baru, memancarkan cahaya baru, mencapai kemenangan-kemenangan baru…”. Dalam pidato pembukaan pada sidang pertama di tahun 1962, beliau kembali pada tema yang sama. Beliau dengan tegas menjauhkan diri dari mereka yang “pada zaman modern ini… tak bisa melihat lain kecuali kepalsuan dan keruntuhan”. “Disinari oleh terang Konsili ini”, demikian beliau melanjutkan, “Gereja akan bertumbuh dengan kekayaan rohani yang baru, akan mendapat kekuatan dan daya baru dan akan memandang ke depan tanpa perasaan takut. Kita wajib untuk dengan rela dan tanpa takut mengabdikan diri kepada tugas ini yang dituntut oleh zaman kita, dan dengan demikian melanjutkan perjalanan yang telah ditempuh oleh Gereja sejak hampir dua puluh abad”.
Gereja pra-Vatikan II, yang mengambil sikap tertutup terhadap perkembangan zaman, semakin menyibukkan diri dengan urusan-urusan internalnya sendiri. Sebagai akibatnya, Gereja semakin terasing dari peradaban modern, sedemikian rupa sampai komunikasi dengan dunia menjadi teramat sulit. Hal ini telah membawa dampak sangat negatif bagi Gereja sendiri, berupa kehilangan anggota-anggota, kehilangan daya hidup, dan kehilangan pengaruh. Bahasa dan struktur-struktur Gereja tak bersesuaian dengan perkembangan budaya manusia pada umumnya.
Sesungguhnya ketika Paus Yohannes XXIII memanggil Konsili, beliau tidak menentukan tema ‘Gereja’ sebagai bahan pembicaraan Konsili. Yang dikehendaki beliau adalah suatu pembicaraan yang seluas mungkin dengan maksud memberi semangat yang baru kepada Gereja. Bagaimana hal itu secara konkret mau dikerjakan, oleh Paus diserahkan kepada Panitia Persiapan dan kepada Konsili sendiri. Maka tidak mengherankan bahwa pada permulaan Konsili belum ada satu uskup pun yang sadar tentang pokok pembicaraan Konsili Vatikan II ini. Oleh Panitia Persiapan pada permulaan disiapkan sekitar 70 ‘schema’ mengenai bahan yang mau dibicarakan. Hampir mengenai segala-galanya dipersiapkan suatu dokumen. Tetapi ternyatalah Roh Tuhan berembus membimbing para Bapa Konsili ke mana Ia mau. Sungguh pun pembicaraan mengenai Gereja sebetulnya baru dimulai dalam sidang kedua, namun dalam sidang pertama Konsili, orang sudah menyadari bahwa Gereja sendirilah yang menjadi pokok persoalan. Namun adanya kesadaran Konsili bahwa tugasnya adalah menyangkut Gereja sendiri, belum berarti bahwa dari semula sudah ada kesadaran yang jelas tentang apa yang harus dikatakan mengenai Gereja. Dari 16 dokumen yang kemudian dikeluarkan Konsili, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini umumnya dipandang sebagai dokumen Vatikan II yang paling monumental. Inilah dokumen resmi yang paling jelas mewujudkan impian Paus Yohannes XXIII dengan seruan aggiornamento (=penyesuaian dengan zaman sekarang): “Dobbiamo spalancare la porta e le finestre della Chiesa al mondo!” (=”Kita harus membuka lebar-lebar pintu dan jendela-jendela Gereja kepada dunia!”). Apabila Gereja akhirnya meng-kanonisasi Paus Yohannes XXIII (bersama-sama dengan Paus Yohannes Paulus II) pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi, 27 April 2014 baru-baru, barangkali harus dikatakan bahwa mukjizat terbesar melalui beliau adalah justru Konsili Vatikan II itu sendiri, yang oleh banyak orang dipandang sebagai ulangan Pentakosta bagi Gereja.
Memang Gereja harus selalu diperbaharui (Ecclesia semper reformanda est), sesuai tuntutan zaman dan kebudayaan manusia. Ini tentu berlaku pula bagi karya-karya Gereja sendiri. Patut dicatat bahwa dokumen yang dikeluarkan Sinode Para Uskup di tahun 1977, yang berbicara tentang Katekese, memandang katekese sebagai sarana “inkulturasi”. Penegasan ini dibuat dalam hubungan dengan pernyataan bahwa “pesan Kristiani harus mendapatkan akarnya dalam kebudayaan-kebudayaan umat manusia dan sekaligus harus pula mentransformasikan kebudayaan-kebudayaan tersebut”.
3.Arah Dasar Katekese
Sesudah Yohanes ditangkap datanglah Yesus ke Galilea memberitakan Injil Allah, kata-Nya: ‘Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk. 1:14-15; lih. juga Mat. 4:12-17; Luk. 4:14-15). Jadi Yesus pertama-tama tampil sebagai PEWARTA. Ia mewartakan datangnya KERAJAAN ALLAH, yang dari pihak manusia menuntut pertobatan dan kepercayaan. Bagaimanakah Yesus secara konkret melaksanakan tugas pewartaan itu? Ia memanggil murid-murid yang pertama: Simon, Andareas, Yakobus dan Yohanes (lih. Mrk. 1:16-20; Mat. 4:18-22; Luk. 5:1-11); dan selanjutnya membentuk kelompok khusus, “Kelompok 12” (lih. Mrk. 3:13-19; Mat. 10:1-14; Luk. 6:12-16). Markus menegaskan: “Ia (Yesus) memanggil orang-orang yang dikehendakinya dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (3:13-14). Ia “menetapkan 12 orang”, sebuah kelompok khusus, dalam kebersamaan, bukan sendiri-sendiri. Apa tujuan pembentukan kelompok khusus ini? Pertama-tama, “untuk menyertai Dia”. Apa persis maksud ungkapan ini? Berarti berada bersama Dia secara riil. Patut dicatat apa yang dikatakan oleh seorang hamba perempuan Imam Besar kepada Petrus ketika Yesus dihadapkan ke Mahkamah Agama Yahudi. Perempuan itu menuduh Petrus bukan dengan berkata, “Engkau juga murid Yesus”, melainkan “Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus” (Mrk. 14:67). Jadi ciri khas dari orang-orang ini bukanlah bahwa mereka, terikat pada Yesus semata-mata secara intelektual, melainkan bahwa mereka selalu berada bersama dengan Dia secara fisik, secara nyata. Selanjutnya, tujuan kedua Yesus membentuk “kelompok 12” ialah “untuk diutus-Nya mewartakan Injil”. Tidak dikatakan bahwa “mereka bersama-sama dengan Dia dan mereka mewartakan Injil”. Adalah Dia yang mengutus mereka untuk mewartakan Injil. Dengan lain kata, dalam hubungan Yesus dengan orang-orang-Nya, inisiatif selalu berada pada pihak Yesus. Dan Injil yang harus diwartakan itu tiada lain dari Yesus Kristus sendiri, misteri Kerajaan Allah. Mereka selalu bersama Dia karena harus memberi kesaksian tentang Dia. Mereka tidak bersama-sama dengan Yesus karena mereka harus diberi instruksi dan kemudian diutus untuk meneruskannya kepada orang lain. Mereka bersama-sama dengan Yesus agar mengenal Dia secara akrab dalam satu persekutuan hidup, dan selanjutnya memberi kesaksian tentang Dia. Pentingnya “berada bersama Yesus” tidaklah terutama untuk meniru beberapa ucapan atau mengumpulkan sejumlah ungkapan Yesus, melainkan untuk mengidentifikasikan diri pada cara hidup-Nya, cara Dia bertindak, demi memberi kesaksian tentang Dia dengan cara yang sama. (Lih. Carlo Maria Martini, SJ, L’Itinerario Spirituole dei Dodici nel Vangelo di Marco, Roma, 1980: 37-43).
Menjelang akhir hidup dan karya-Nya di depan umum, pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus menegaskan kepada Kelompok Duabelas itu: “Aku telah memberi teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu” (Yoh. 13:15). Tentu teladan yang dimaksudkan Yesus tidak hanya terbatas pada apa yang dibuat-Nya pada malam itu: membasuh kaki murid-murid-Nya. Teladan yang dimaksudkan-Nya menyangkut seluruh hidup dan karya-Nya, yang masih akan memuncak pada Jumat Agung di atas salib.
Demikianlah, kita melihat bagaimana Yesus melaksanakan tugas mewartakan Kerajaan Allah. Wujudnya bukanlah pertama-tama menyampaikan pengetahuan. Wujudnya yang utama ialah komunikasi (iman): menjadi saksi (iman) akan Kerajaan Alllah yang sedang terlaksana dalam diri-Nya sendiri, dalam hidup dan karya-Nya. Karena itu, medan pembinaan para kader, calon penerus tugas mewartakan Kerajaan Allah, bukanlah bangku sekolah/kuliah, melainkan di tengah kehidupan konkret sehari-hari bersama dengan Dia. Tujuannya ialah, agar para murid selanjutnya mampu MENGHAYATI dan MENGAMALKAN apa yang telah dialami bersama dan dipelajari dari Sang Guru.
Sebagai pewarta Kerajaan Allah, Yesus tidak hanya sibuk dengan urusan pembinaan murid-murid-Nya. Justru sebagian terbesar waktunya dihabiskan untuk berkeliling memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada orang banyak. Berita Injil itu menantang para pendengar itu segera mengambil sikap; dituntut dua sikap saling berkaitan, yaitu bertobat dan percaya. Apa artinya? Yesus menegaskan: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 7:21). Atau, “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24). Dan lagi, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya” (Yoh. 14:21). Jadi tujuan pewartaan Injil oleh Yesus kepada orang banyak ialah agar dihayati dan diamalkan.
Peristiwa Pentakosta melahirkan Gereja. Terjadi pergeseran mendasar: Yesus yang sebelumnya mewartakan, kini dan selanjutnya menjadi DIA yang diwartakan. Kisah Para Rasul (2:42-47 dan 4:32-37) melaporkan cara hidup Gereja Perdana itu: “Mereka bertekun dalan pengajaran rasul-rasul” (kerygma: pemberitaan tentang Yesus Kristus, yang telah menjadi Kristus, Tuhan, Juru Selamat karena kebangkitan; tapi menurut Léon-Dufour, dalam arti luas, kerygma mencakup Katekese), “dan dalam persekutuan” (koinonia). “Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (leiturgia). “Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (diakonia). “Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah”, dan karenanya “mereka disukai semua orang” (martyria). Pertanyaan yang menggelitik, adakah model dan sistematika pembinaan iman di Gereja Perdana itu? Pertanyaan ini akan kita coba jawab pada bagian berikut: “Belajar dari Empat Tahap Pembinaan Iman Gereja Perdana”.
Pada abad-abad selanjutnya Gereja berkembang dengan pesat di dunia Barat (Yunani-Romawi). Maka terjadilah pergeseran dari alam pikiran Semit yang bersifat konkret-fungsional ke alam pikiran Graeco-Romawi yang berciri abstrak-spekulatif, dengan segala konsekwensinya (lih. Lampiran “Perkembangan Agama dan Spiritualitas Kristen”). Dalam alam pikiran Semit fokus ada pada kejadian-kejadian nyata/sejarah, sedangkan dalam alam pikiran Graeco-Romawi fokus adalah ajaran-ajaran/kebenaran-kebenaran metafisis. Menurut alam pikiran konkret-fungsional, iman adalah mengenal dan mengalami kehadiran Allah yang berkarya menyelamatkan dalam sejarah, yang berpuncak pada kedatangan, hidup dan karya Yesus Kristus. Sedangkan menurut alam pikiran abstrak-spekulatif, iman ialah penerimaan akal-budi akan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan, yang boleh jadi tidak dimengerti akal-budi. Sedemikian itu, maka arah katekese bergeser dari komunikasi iman ke memberi pengetahuan tentang (rumusan) iman dan moral. Wujudnya berupa mengajarkan katekismus untuk dihafalkan. Ciri Graeco-Romawi ini praktis berlangsung sampai Konsili Vatikan II.
Konsili Vatikan II kembali menekankan Kitab Suci sebagai sumber utama. Dengan demikian iman juga kembali dipahami pertama-tama sebagai: mengenal dan mengalami karya keselamatan Allah dalam sejarah, yang berpuncak pada Yesus Kristus. Maka katekese juga kembali dipahami pada dasarnya sebagai komunikasi iman. Untuk Gereja Katolik di Indonesia, hal ini mulai dikembangkan sejak PKKI yang pertama di Sindanglaya, 1977, dengan nama “Katekese Umat”. Disebut 6 ciri pokok dari Katekese Umat, sebagai berikut:
•Katekese Umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman; antar anggota jemaat/kelompok).
•Melalui kesaksian, peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna. Dalam katekese umat, tekanan terutama diletakkan pada penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan ada perencanaan.
•Dalam katekese umat, kita bersaksi tentang iman kita akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang bersabda kepada kita dan pengantara kita menanggapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Baru, yang mendasari penghayatan iman Gereja sepanjang tradisinya.
•Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus secara bebas berkumpul untuk lebih memahami Kristus; Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pola hidup kelompok; jadi yang berkatekese adalah seluruh umat yang baik, yang berkumpul dalam kelompok-kelompok basis. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang.
•Dalam katekese umat, pimpinan katekese bertindak terutama sebagai pengarah dan fasilitator. Ia adalah pelayan yang menciptakan suasana komunikatif. Ia berupa membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka.
•Katekese umat merupakan komunikasi iman peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka.
Salah satu pertanyaan yang sekarang muncul ialah, apakah model katekese umat masih relevan untuk Era Digital? Salah satu ciri pokok katekese umat ialah kehadiran fisik dalam pertemuan-pertemuan. Hal ini tidak terwujud dalam komunikasi digital (maya, virtual). Jadi corak komunikasi iman ala digital tentu berbeda dari komunikasi iman dengan kehadiran riil fisik. Karena itu model katekese digital masih perlu dirumuskan. Tentu saja di mana masih memungkinkan, juga di Era Digital, hendaknya model katekese umat tetap digunakan. Selanjutnya, satu catatan penting perlu ditambahkan. Tujuan dari inkarnasi Sabda ialah untuk menebus, menyelamatkan dunia/manusia. Oleh karena itu, inkulturasi tidak boleh hanya bersifat adaptif, melainkan juga korektif. Tidak semua unsur budaya digital dapat diadaptasi, melainkan harus dikoreksi. Sebuah contoh, dalam pola-pola relasi dan cara berkomunikasi era digital, manusia cenderung memperlakukan dirinya dan orang lain bukan sebagai manusia melainkan sebagai benda ataupun robot. Dari kodratnya, manusia adalah roh-yang-membadan atau badan-yang-menroh. Menurut Kitab Suci, manusia diciptakan sebagai citra Allah, dan telah dipulihkan dan disempurnakan dalam Kristus, gambar Allah yang sempurna. Karena itu manusia tidak boleh membiarkan diri kehilangan salah satu inti hidupnya, yaitu keheningan.
Kembali ke Katekese Umat, salah satu kritik yang sering terdengar ialah bahwa katekese umat mengabaikan pengetahuan iman. Memang, sebagaimana kita sudah lihat di atas, ditegaskan bahwa pengetahuan iman tidak dilupakan, bahwa katekese umat mengandaikan ada perencanaan. Namun, mohon maaf kalau saya salah, kesan saya memang segi ini kurang digarap secara sistematis dalam katekese umat. Saya belum pernah melihat adanya buku-buku pegangan bagi para fasilitator katekese umat. Sepertinya diandaikan bahwa peserta pertemuan sendiri yang harus mengajukan tema (berupa pengalaman imannya). Tetapi kalau begitu, lama-kelamaan masing-masing peserta mulai kehabisan tema, atau mengulang-ulang tema yang sama, yang lama-kelamaan membosankan; para peserta pertemuan merasa tidak mengalami gerak maju dalam hidup iman mereka. Saya curiga, inilah salah satu sebab mengapa di banyak tempat Komunitas Basis sulit bertahan dan berkembang. Dalam kaitan ini kiranya kita perlu belajar model dan sistematika pembinaan iman Gereja Perdana.
4.Belajar Dari Empat Tahap Pembinaan Gereja Perdana
Mengapa ada 4 Injil? Kardinal Carlo Maria Martini mempunyai jawaban terhadap pertanyaan ini (lih. Carlo Martini, Archbishof of Milan, Christian Formation According to the Gospels, PROGRESSIO, Supplement N. 15, June 1980, Roma). Sebelum beliau diangkat menjadi Uskup Agung Milano, Italia, pada Desember 1979, Pater Carlo Martini SJ, menjabat sebagai Rektor Universitas Kepausan Gregoriana, Roma; dan sebelum itu, beliau adalah Rektor Institut Biblicum. Beliau dipandang banyak orang sebagai salah satu otoritas terkemuka dalam bidang keahlian Kitab Suci. Beliau mengajukan hipotesa bahwa ke-4 Injil itu (Markus, Mateus, Lukas dan Yohanes) merupakan buku pedoman pembinaan iman Kristen dalam empat tahap yang berkesinambungan. Dan kronologi penulisan ke-4 Injil itu tampaknya mendukung hipotesa ini. Menurut The Jerome Biblical Commentary, Injil Markus ditulis antara tahun 65 dan 70 AD; Injil Mateus sebelum tahun 68 AD (ada pula yang berpendapat sesudah tahun 70 AD); Injil Lukas sesudah tahun 70 AD; sedangkan Injil Yohanes ditulis pada masa tuanya, sekitar tahun 90-an AD.
4.1.Markus, Injil Katekumen
Injil Markus memuat unsur-unsur yang hakiki untuk mengintrodusir seorang calon, yang berasal dari suatu lingkungan kafir, ke dalam katekumenat. Markus mengajar calon apa yang perlu untuk mengambil langkah pertama: langkah pertobatan. Calon dibimbing ke ambang pertobatan dengan apa yang dapat disebut sebagai “katekese pra-baptis”. Dalam Mrk. 4:11, misalnya, kita membaca: “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan”. Di sini kita menemukan proses yang digariskan injil Markus untuk dilalui katekumen. Pada kenyataannya katekumen sudah mengetahui sesuatu mengenai Gereja, sesuatu mengenai kelompok sosial ini yang menyebut diri orang-orang Kristen; dia telah mendengar pembicaraan mengenai orang-orang ini, tetapi apa yang dia tahu hanya dalam “perumpamaan”. Semua itu sedikit mengandung teka-teki dan menimbulkan rasa ingin tahu. Apa yang dia harus buat? Mengapa orang-orang ini begitu antusias? Hidup macam apa yang mereka hayati?
Nah, injil Markus bermaksud membimbing katekumen masuk ke dalam “inti” pengalaman Kristiani: “Kepadamu diberikan rahasia (atau misteri)”. Dengan lain kata, injil Markus membimbing calon melalui suatu proses yang dimulai dengan mengetahui sesuatu tentang Kekristenan, dan kehidupan Kristen, “dari luar”. Ini selanjutnya menimbulkan dalam dirinya rasa ingin tahu dan memancing banyak pertanyaan. Dan akhirnya membawa calon ke dalam kontak langsung dengan misteri Kristus yang memanggil dia ke pertobatan.
Calon lalu memulai peziarahannya, dan demikian lahirlah “jalan katekumen”. Sedangkan kita yang ada di dalam Gereja terkadang menemukannya sebagai sebuah teka-teki. Kita kurang-lebih berada di dalam Gereja, tetapi kita menghayati hidupnya separuh di luar habitus-nya. Maka “jalan katekumen” berarti beralih dari pengetahuan tanpa habitus, yang mengaburkan makna sejati dari sesuatu, ke suatu perjumpaan langsung. Dan perlu diingat, “jalan katekumen” itu tidak hanya berlaku bagi mereka yang belum menerima air pembaptisan. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum mengalami peralihan “dari sisi luar” ke “inti”. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa, dalam injilnya Markus menekankan kesendirian total yang dialami Kristus: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34c). Ini mengingatkan kita semua akan kesukaran-kesukaran kehidupan Kristiani kita: tidak hanya peralihan itu, dengan jalan Salib, melainkan juga kenyataan bahwa Kristus yang telah menyembuhkan begitu banyak orang sakit selalu mampu menyembuhkan dan menolong kita.
Bagaimana kita mewujudkan jalan lintasan, peralihan ini? Melalui perjumpaan dengan Allah Tuhan kita Yesus Kristus. Sebagaimana ditulis Paulus, orang kafir mengenal sekian banyak allah dan dewa-dewi. Ia hidup dalam sebuah dunia di mana “agama” merupakan sesuatu yang agak bersifat eksternal bagi dia, tidak menyentuh hati. Kini dia diundang untuk beralih dari dunia macam ini, di mana Gereja tampaknya merupakan salah satu sekte keagamaan tambahan di antara sekian banyak lainnya. Dia diundang untuk beralih dari semua ini kepada Allah Yesus Kristus, seorang Allah yang sama sekali unik.
Perjumpaan dengan Allah Yesus Kristus adalah perjumpaan dengan Yesus Kristus, Putera Allah. Karena itulah injil Markus berjudul: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Putera Allah” (1:1). Yesus Kristus, Putera Allah, ditampilkan dalam dua jalan berbeda dalam Markus. Pertama, Dia ditampilkan sebagai Guru yang harus diikuti dengan antusias, dan kedua sebagai Injil yang harus diterima. Calon baptis harus mencapai tahap pengetahuan sebagai pengalaman hidup, “Yesus adalah Injil”. Dalam cara Dia hidup dan mati Yesus menampakkan kepada kita wajah sejati Allah. Dan perlu kita catat di sini bahwa bagian terakhir injil Markus, itu seruan kepala pasukan, mewakili seruan katekumen pada ambang pembaptisan: “Sungguh, orang ini adalah Putera Allah” (15:39).
Demikianlah injil Markus menapaki perjalanan yang mengantar orang dari seorang Allah kafir yang dapat kita kendalikan, dari seorang Allah kafir yang diciptakan dalam gambar dan rupa saya sendiri, dari suatu “berhala”, ke seorang Allah yang tak dapat kita kendalikan, seorang Allah yang sama sekali “lain”. Inilah Allah yang mendatangi kita, yang memanggil kita, yang menarik kita kepada Diri-Nya dan yang membantu kita membuka diri, dalam Putera-Nya, pada kehidupan sejati Injil.
Begitulah, secara sangat umum, jalan yang digambarkan Markus sebagai jalan katekumen. Sebagaimana dapat kita lihat, itu memuat semua yang hakiki bagi suatu pengantar sangat praktis ke dalam tahap persiapan untuk pembaptisan. Ini bukanlah sebuah “katekismus”, sebuah ringkasan dari apa yang harus dipelajari dan diketahui. Ia lebih merupakan sebuah pedoman praktis bagi seseorang yang bertugas mempersiapkan sekelompok katekumen menuju pembaptisan, dengan memperlengkapi dia dengan bahan yang perlu disampaikan kepada mereka.
4.2.Matius, Injil Katekis
Injil Matius dapat dinamakan demikian, karena berdasarkan pembagiannya yang jelas dan praktis, injil ini memuat bahan yang sangat membantu bagi seorang katekis yang bertugas membimbing mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja. Injil Matius juga cocok disebut “Injil Gereja”, karena dalam mengantar mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja, kita menemukan di dalamnya banyak hal yang oleh Markus dilewatkan diam-diam. Mereka yang sudah dibaptis diantar ke dalam berbagai tahapan misteri Kerajaan, yang diungkapkan dalam 5 khotbah besar dalam injil Matius (bab-bab 5,10,13,18 dan 24). Cukuplah kita mengambil satu dua bagian yang jelas memperkuat anggapan injil Matius sebagai sebuah katekismus.
“Bacaan kunci” pertama ialah Mat. 28:20: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Bertitik tolak dari sini, kita dapat membaca ulang seluruh injil Matius dan menjelaskan kepada seorang yang telah dibaptis bagaimana Yesus menyertai kita sekarang ini. Inilah suatu cara mendekati teks yang memungkinkan kita melihat bagaimana janji Kristus ini dipenuhi, diaktualisasikan, dalam hidup orang yang sudah dibaptis, dan dalam hidup Gereja.
Sebuah “bacaan kunci” lain, sejajar dengan yang baru saja dikutip, diberikan dalam bagian yang khas Matius: 25:30.31-46, khususnya ayat 35-36: “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”. Dan orang-orang benar menjawab, katanya: “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?” Dan Raja itu menjawab: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Kita harus dengan teliti memperhatikan kata ganti yang digunakan” “Bilamanakah kami melihat Engkau … Kamu telah membuatnya untuk Aku…”
Nah, membaca teks ini sebagai bagian dari sebuah pengajaran kateketis, apa yang kita lihat adalah suatu penjelasan yang diberikan kepada orang-orang yang telah dibaptis mengenai bagaimana mereka melihat Tuhan dalam saudari-saudara mereka, di tengah kehidupan mereka bersama dalam Gereja. “Mengetrapkan” penemuan akan Tuhan di dalam sesama ini, dalam hubungan dengan kehidupan bersama dalam Gereja, seseorang perlu dihantar untuk mengenali Tuhan dalam sabda dan dalam sakramen, dalam saudaranya, dalam orang kecil, dalam seseorang yang harus dimaafkan.
Banyak bagian injil Matius dapat dibaca dalam terang ini, sebagai inisiasi praktis ke dalam cara mengenali terus-menerus kehadiran Kristus dalam sejarah, khususnya dalam kehidupan Gereja. Dengan lain kata, Matius memperkenalkan kita dengan sebuah tatanan yang agak kompleks. Ia menyajikan kita semua kriteria, prasyarat yang perlu untuk mengenal Tuhan dalam sesama. Dalam arti ini, ia mengantar kita secara sangat konkrit ke dalam kehidupan Gereja.
4.3. Lukas, Injil Teolog
Lukas mendedikasikan baik injilnya maupun Kisah Para Rasul kepada seorang Theophilus tertentu. Siapa gerangan orang ini? Siapapun dia secara historis (“Theophilus” berarti seorang yang mencintai Allah), jelas kiranya bahwa Theophilus adalah orang Kristen yang mulai menyadari betapa jauh dan luas jangkauan komunitas Kristiani serta dampak komunitas tersebut pada dunia “luar” -sebuah dunia yang boleh jadi adalah Yahudi, Yunani atau Romawi. Tiga dunia ini semua muncul dalam Kisah Para Rasul.
Orang Kristen tersebut menyadari bahwa pengalamannya mengenai Gereja tidak hanya berupa pengalaman akan sebuah kelompok kecil orang yang saling mengerti satu sama lain dan yang mengenal Kristus. Itu juga adalah pengalaman menjadi bagian dari sebuah realitas yang membawa dampak pada dunia sekitar, yang kadangkala bereaksi positif, kadangkala tidak. Dan dengan demikian mulailah penganiayaan dan tuduhan-tuduhan, keperluan untuk membela diri dan menjelaskan diri. Dan kita tidak dapat menerangkan diri kepada orang lain kecuali, pertama, kita dapat menjelaskannya kepada diri kita sendiri serta mengisahkan sejarah kita sendiri. Lalu, secara khusus, sebuah krisis sangat berat menerpa komunitas baru yang mungil itu, persis pada akar ke-Yahudian-nya: bagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Yudaisme, pada janji-janji Allah dan dalam hubungannya dengan seluruh kerumitan sejarah dunia? Sedemikian itu muncullah pertanyaan bagi orang Kristen ini: Apa hubungan antara pengalaman iman yang saya miliki dalam komunitas kecil saya dengan berpegang pada aturan moral dan spiritual yang saya temukan dalam injil Matius, dan sejarah dunia yang di dalamnya saya hidup dan terlibat? Dan dunia tersebut sedemikian kompleks, ada sejarah masa lampau, agama-agama kafir, Yudaisme, janji-janji Allah; ada sejarah masa kini, dunia Yunani, dunia Romawi; ada persoalan-persoalan filsafat, sastra; dan terdapat sekian banyak masalah dan isyu-isyu kontroversial yang harus dipecahkan.
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa ke kesadaran mendalam dan jelas bahwa terdapat sebuah Sejarah Keselamatan dan menampilkan suatu problem yang berciri khas teologis. Ini seluruhnya menyangkut persoalan memahami akar, yang tiada lain daripada soal kemungkinan agama baru itu, dan konteks yang di dalamnya ia menemukan diri. Lalu apa hubungan antara Sejarah Keselamatan itu dan sejarah dunia? “Teologi”, demikian Lonergan menegaskan, “mempertemukan antara sebuah acuan (matriks) budaya dan makna serta peran suatu agama dalam acuan tersebut” (Method in Theology, p.xi). Kiranya inilah persis masalah yang menyebabkan penulisan injil Lukas. Injil Lukas merupakan sebuah karya yang cukup berbeda dari injil-injil lainnya. Ia mempunyai tujuan khas sendiri.
4.4. Yohanes, Injil Imam (Presbyter)
Dengan istilah “imam” di sini tidak pertama-tama dimaksudkan imam tertahbis. Kata ini di sini lebih menunjuk pada suatu keadaan senioritas, kematangan. Injil Yohanes adalah injil manusia Kristen yang sudah matang, orang Kristen yang sudah tercerahkan, penganut Kristen yang “sempurna” (“teleios”, sebagaimana dikatakan Paulus). Orang sedemikian adalah “sempurna”, bukan karena ia tidak mempunyai kesalahan-kesalahan, melainkan karena ia telah mencapai “tujuan” (“telos”), “sasaran” dari perjalanan setiap orang Kristen. Jadi ini menyangkut persoalan manusia Kristen yang telah mencapai suatu sosok tertentu. Semua gambaran ini menunjukkan bahwa orang seperti itu telah melalui banyak pengalaman pembinaan Kristiani. Ini merupakan realitas kompleks yang meliputi “pengakuan iman”, dan pengetahuan akan perintah-perintah, yang berarti orang tersebut tahu bagaimana mencintai, berdoa dan terbiasa dengan ritus-ritus peribadatan. Tidak saja bahwa manusia Kristen dewasa itu telah menapaki pengalaman-pengalaman ini. Ia juga telah menggabungkan semua itu, dan menyaringnya bagai sopi manis nan enak. Kematangan Kristiani yang kita bicarakan ini meringkaskan semua yang telah dilalui sebelumnya, membawanya berbuah, melalui pengalaman iman.
Injil Yohanes adalah persis injil yang membangkitkan dan mempersatukan semua pengalaman terdahulu manusia Kristen. Ini sebuah injil kontemplasi. Ia hampir tak memuat perintah-perintah; tidak berbicara mengenai upacara atau ritus-ritus. Ia tidak mengutip begitu banyak pengakuan (iman). “Pengakuan iman”-nya hanyalah: “Bapa memberi kita Putera”. “Pistis”, tanggapan iman, adalah imbangannya. Siapa saja yang memiliki anugerah ini mulai mencintai seperti Kristus mencintai.
Demikianlah maka kita dapat memahami mengapa Yohanes memberi kita hanya satu perintah: Kasih. Tetapi ini harus dimengerti sebagai sebuah sintese menyeluruh kehidupan. Kasih yang dimaksudkan Yohanes persis sama dengan kasih yang diberikan dalam Khotbah di Bukit dalam Matius, dengan contoh-contoh konkrit yang begitu banyak. Ini bukanlah sebuah prinsip abstrak yang daripadanya kita dapat menarik semua kesimpulan praktis. Prinsip Yohanes, “kasih”, adalah sebuah sintese – sebuah sintese kehidupan. Karena itu, ketika ia berkata: “Satu-satunya hal yang harus kita buat, anak-anakku, ialah mengasihi”, ia tahu sungguh-sungguh bahwa Gereja (umat) mengerti apa yang ia maksudkan, karena ia telah mempunyai pengalaman panjang tentang itu.
Mengambil perintah injil Yohanes – sintesis – dalam rumusan sesederhana mungkin berarti mempersatukan eksistensi Kristiani dan sejarah dunia, pada tarafnya yang paling dalam. Injil Yohanes pada hakekatnya bersifat kontemplatif, dengan mengandaikan semua taraf inisiasi yang telah dilalui sebelumnya. Ia mengundang manusia Kristen melangkah lebih lanjut dan menggapai titik akhir “pencapaian”, yang merupakan inti sari Kekristenan. Pada tahap akhir ini, kasih telah menjadi sedemikian mendalam, sedemikian penuh makna, sehingga dapat dianjurkan kepada manusia Kristen sebagai satu-satunya perintah.
4.5.Rangkuman
Apabila kita mempertimbangkan injil-injil sebagai buku-buku pedoman pembinaan Kristen, kita melihat bahwa mereka menampilkan tahap-tahap berurutan yang harus dilalui. Tahap-tahap tersebut sangat diperlukan bagi pengalaman Kristiani. Tahap terakhir, yang diwakili injil Yohanes, harus didahului oleh tahap-tahap yang ditampilkan dalam Markus, Matius dan Lukas. Jika tidak demikian, maka tahap terakhir itu tidak dipahami secara tepat. Kenyataannya, terdapat bahaya besar bahwa ia dapat merosot ke dalam suatu bentuk kontemplasi yang kabur, cukup menyenangkan dalam caranya sendiri, tetapi jauh menyimpang dari tujuan-tujuan konkrit injil Yohanes, seperti melayani orang sakit, perhatian terhadap sesama dan orang miskin.
Selanjutnya, tidak seorangpun dapat berkata, “Melayani saudari-saudaraku adalah cukup bagiku”. Tidak! Saya harus mengerti mengapa saya melayani saudari-saudaraku; visiku mengenai dunia dan tindakan amalku harus disatukan, diintegrasikan. Jika tidak demikian pelayanan seperti itu tidak pernah dapat menyentuh apa yang inti. Betapa heroiknya pun boleh jadi pelayanan sedemikian, ia tidak pernah dapat merupakan tindakan yang diilhami oleh kasih Bapa dan Putera, yang telah memberi sedemikian ikhlasnya kepada saya, dan kepadaNya saya memberikan tanggapan dalam kegembiraan dan kesederhanaan.
Demikianlah, upaya katekese, sebagai momen pewartaan/pembinaan iman dalam tahapan-tahapan berkelanjutan, harus selalu memuat dua sisi: segi pengetahuan/pemahaman dan segi penghayatan/pengamalan.
5.Peran Imam Dan Katekis
Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese”, no. 4.1 dibuka dengan kata-kata ini: “Para pastor sebagai penanggungjawab katekese tingkat paroki tidak jarang dirasakan kurang memberikan perhatian pada karya katekese”. Keluhan yang sama muncul pula di PKKI ke-10, 2012, bahkan dengan rumusan yang lebih tajam dan sedikit emosional dari kalangan para katekis awam. Perlu kita sadari, permasalahan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang. Sesungguhnya permasalahan ini secara doktriner sudah teratasi dalam Konsili Vatikan II. Tetapi ternyata dalam praktek belum terselesaikan.
Akibat suasana defensif terhadap serangan para Reformator (Gereja-Gereja Reformasi), Konsili Trente (1545-1563) merumuskan ajaran resmi Gereja Katolik secara lebih tegas, tetapi juga menjadi lebih tertutup. Prinsip dogmatis Luther, Tuhanlah yang membenarkan manusia bukan karena perbuatannya, melainkan hanya karena pembenaran yang diperoleh Kristus dengan wafat-Nya (Sola Gratia). Manusia diselamatkan dengan semata-mata percaya pada kerahiman Tuhan saja (Sola fide); berdasarkan keyakinan itu perbuatan-perbuatan saleh dan sarana Gereja (sakramen-sakramen) tidak begitu penting. Selanjutnya, satu-satunya dasar untuk memutuskan masalah-masalah iman adalah Kitab Suci (Sola scriptura). Demikianlah, gedung-gedung gereja Reformasi dibangun dengan pusat pada mimbar sabda (pewartaan firman Tuhan). Sebaliknya, sebagai reaksi, gerakan Kontra-reformasi di lingkungan Gereja Katolik semakin mengutamakan segi pengorbanan dan segi yang khas dari imamat jabatan, dengan akibat merugikan atau kurang memperhatikan fungsi pewartaan dan pastoral sebagai dasar hidup spiritual para imam. Perkembangan ini sebetulnya sudah mulai sejak awal Abad Pertengahan. “Pada Abad Pertengahan teologi imamat dikembangkan dengan semakin menekankan (a) segi kultis (perayaan Ekaristi=Kurban Misa, dan sakramen-sakramen lain), (b) segi rohani (pengaruh cara hidup membiara, selibat) (A. Heurken SJ, Ensiklopedi Gereja, 3:80). Louis Mauvais, dalam artikelnya “Rambu-Rambu bagi Hidup Spiritual Para Imam Diosesan”, menegaskan: “Hidup rohani imam selalu mengarah dan mengacu, entah dekat atau jauh, kepada model hidup membiara dan monastik” (Spiritualitas Imam Diosesan, diterjemahkan J. Hadiwikarta Pr, Yogyakarta, 1989:129). Sebagai akibatnya, hidup rohani (spiritualitas) para imam terpisah dari tri-fungsi imamatnya (mewartakan, menguduskan dan menggembalakan). Kecuali tentu saja Kurban Misa. Setiap imam wajib merayakan Kurban Misa setiap hari, tidak penting ada umat yang hadir atau tidak; tujuannya untuk pengudusan diri sendiri (semacam personalisasi Kurban Misa = Misa privat).
Mengenai hal ini, Konsili Vatikan II jelas mengambil pendekatan yang berbeda. Berbeda dengan Konsili Trente, yang memusatkan tugas pelayanan imam di seputar Ekaristi, Konsili Vatikan II justru memusatkannya di seputar pelayanan Sabda. Perkembangan dalam no. 4,5 dan 6 dari Dekrit “Presbyterorum Ordinis” tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam bukanlah suatu kebetulan belaka. PO,4 berbicara mengenai pelayanan Sabda Allah; PO,5 berbicara mengenai pelayanan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi, sedangkan PO,6 berbicara tentang penggembalaan umat Allah. Maka wajar pulalah ketika dokumen ini berbicara tentang kesucian (spiritualitas) para imam dalam no. 13, teks menggunakan urutan yang sama: “Pada hakekatnya para imam akan mencapai kesucian dengan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah”. Ini pernyataan konsilier teramat penting menyangkut spiritualitas para imam: kesucian mereka dicapai dalam menunaikan tugas-tugas imamat, bukan di luarnya atau di sampingnya. Selanjutnya artikel yang sama (no. 13) menguraikan dimensi kesucian dari pelaksanaan tugas-tugas imamat dalam urutan yang sama seperti pada no. 4-6. (NB: Pertanyaan-pertanyaan penyelidikan dalam setiap upacara tahbisan imam seharusnya mengikuti urutan yang sama).
Setelah mengemukakan secara sepintas latar belakang historis dan penegasan Konsili Vatikan II di atas, maka menyangkut peran imam dalam katekese, saya merasa cukuplah saya mengutip apa yang dirumuskan dalam “Hasil Akhir dan Rekomendasi PKKI X, 2012”, sebagai berikut: (1) Mengambil bagian dalam tugas Uskup untuk menjaga tradisi iman dan nilai moral Kristiani; (2) Penanggung jawab pertama katekese di wilayah/ruang lingkup pastoral yang dipercayakan kepadanya; (3) Pendamping para katekis dalam pelaksanaan karya katekese di era digital; (4) Katekisnya para katekis. Demikianlah, maka amanah dari “Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese” amat penting diperhatikan: “Pembinaan katekese bagi para imam dan calon imam mutlak diperlukan”.
Akhirnya, berkenaan dengan peran katekis, saya juga hanya mau mengulangi rumusan PKKI X, 2012: (1) Fasilitator, dinamisator, animator, komunikator yang mengantar peserta katekese pada perjumpaan dengan Allah; (2) Teman seperjalanan bagi semua orang untuk menemukan Allah; dan (3) Mitra kerja para imam dalam karya katekese (di era digital). Sehubungan dengan ini, perlulah ditekankan dua amanah dari “Pesan Pastoral KWI 2011 tentang Katekese”: (1) Berjalannya karya katekese sangat tergantung pada para petugas pastoral yang menjalankan katekese di tengah umat. Maka perlulah pembinaan terus-menerus bagi para pelaksana atau fasilitator katekese umat tersebut; (2) Perlu ditingkatkan mutu dan peranan lembaga pendidikan pastoral katekese dan kerjasamanya dengan lembaga pendidikan calon imam.
+John Liku-Ada’
Ketua Komkat KWI