Renungan Hari Minggu Biasa IV: “Menjadi Bahagia Di Mata Allah”

Bacaan : Zef 2:3;3:12-13; 1Kor.1:26-31; Mat.5:1-12a.

Semua orang di muka bumi ini, selalu mendambakan kebahagiaan. Karena itu semua orang pun berusaha dan berjuang mencari, meraih dan mengharapkan agar kebahagiaan itu sungguh dialami dan dirasakan. Namun, ukuran dan nilai kebahagiaan bagi setiap orang tentu sangat berbeda satu dengan yang lain. Sering kebahagiaan itu diidentikkan dengan kekuasaan, kehormatan, ketenaran, kemolekan, kecerdasan atau kelimpahan harta dan rejeki. Ada pula yang merasa bahagia, kalau ia bisa berumur panjang, sehat sejahtera, dan sukses dalam berbagai usaha dan cita-cita yang diraih.

Yesus dalam Injil hari ini ternyata tampil beda. Menurut Yesus, yang berbahagia adalah yang miskin di hadapan Allah, yang berdukacita, lemah lembut, yang lapar dan haus akan kebenaran, yang murah hati, yang suci hati, yang membawa damai, yang dianiaya karena kebenaran atau yang dicela dan dianiaya karena nama Yesus. Ternyata, ukuran kebahagiaan menurut Yesus sangat jauh berbeda dengan ukuran manusia atau ukuran dunia ini.

Sabda bahagia Yesus ini menjadi suatu bentuk pembalikan atau perlawanan budaya berdimensi rohani. Kebahagiaan yang dijanjikan dalam Sabda Bahagia Yesus dalam terang kaca mata Allah justru mau menggerakkan dan merangkum manusia dalam kasih yang hanya dapat dimengerti dan dialami dalam “kemiskinan rohani” dan dalam penerimaan ajaran-Nya dalam iman dan ketekunan untuk mengandalkan Dia sebagai penguasa dan pemilik kehidupan. Kata “berbahagia” ini menunjuk kepada kesejahteraan semua orang yang karena hubungan mereka dengan Kristus dan Firman-Nya, menerima Kerajaan Allah yang meliputi kasih, perhatian, keselamatan dan kehadiran Allah. Maka “berbahagia” dapat kita maknai bahwa berbahagia dalam situasi apapun, baik itu miskin, berdukacita, lemah lembut, lapar, haus, murah hati, suci hati, membawa damai, dianiaya oleh karena kebenaran. Dan orang percaya yang  sanggup melakukan hal-hal yang dikehendaki Allah, akan disebut orang-orang yang berbahagia dan mereka akan memiliki Kerajaan Allah. Bahwa kebahagiaan itu tetap ada apabila segala kesulitan itu dibawa dalam relasi dengan Tuhan sendiri. Itu berarti orang mempunyai iman yang mendalam yakni merindukan Tuhan setiap saat. Cintanya kepada Tuhan sangat besar sehingga yang muncul keinginan terus menerus untuk membahagiakan. Orang yang miskin di hadapan Tuhan adalah orang yang selalu merasa kurang untuk terus mencintai Tuhan. Demikian juga dengan ucapan sabda bahagia yang lain, yang memberikan pemahaman bahwa harapan akan cinta Tuhan menjadi kekuattan untuk menjalani seluruh kehidupan ini dengan baik.

Harta kekayaan bukan ukuran, demikian juga jabatan dan kedudukan bukan jaminan bahagia, karena semua itu hanya sementara, hanya menjadi saran dan bukan menentukan. Maka bahagia yang sesungguhnya adalah ada dalam persatuan hakiki dengan Tuhan sendiri. Mari kita semakin rendah hati dengan merindukan kehadiran Tuhan dalam hidup kita setiap saat. Nilai-nilai Kerajaan Allah tidak ditawarkan sebagai beban yang menyiksa kita, tetapi kiranya Sabda Bahagia ini sungguh menjadi tawaran pada kebebasan untuk mengalami kasih Allah. Bila kita ingin bahagia, maka jangan takut miskin, jangan larut dalam duka, jangan takut dianiaya karena kebenaran, harus pembawa damai, menjadi manusia yang lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, menjadi manusia yang murah hati, dan suci hati. Semoga Tuhan selalu memberkati kita dan memampukan kita di kala kita mengalami tantangan dalam perjuangan kita melawan arus zaman ini.***

Rm. Fransiskus Emanuel Da Santo, Pr; Sekretaris Komkat KWI

One thought on “Renungan Hari Minggu Biasa IV: “Menjadi Bahagia Di Mata Allah”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *