Arsip: Anis Baswedan, “Penguatan Aktor Pendidikan Lebih Utama”

anisbaswedan-4.jpg

Berbagai program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan diterapkan untuk menunjang pendidikan. Semua itu, agar berjalan sesuai dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Di antaranya, perbaikan Kurikulum 2013. Yang terpenting dari dunia pendidikan adalah peningkatan aktornya.Masyarakat melihat pendidikan lebih dari sekadar tanggung jawab pemerintah. Secara konstitusional tanggung jawab negara, tetapi moral tanggung jawab semua orang.

Berbagai program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan diterapkan untuk menunjang pendidikan. Semua itu, agar berjalan sesuai dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Di antaranya, perbaikan Kurikulum 2013. Yang terpenting dari dunia pendidikan adalah peningkatan aktornya.Masyarakat melihat pendidikan lebih dari sekadar tanggung jawab pemerintah. Secara konstitusional tanggung jawab negara, tetapi moral tanggung jawab semua orang.

Senyum tersungging di bibir Anies Baswedan masuk ruang kerjanya, seusai rapat dengan jajaran di bawahnya. Sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, tugas berat pun sudah menanti. Selama kurang-lebih empat bulan menjabat, pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969, ini sudah disibukkan pelbagai masalah dan upaya perbaikan pendidikan di Indonesia.

Menurut Anies, secara konsep pendidikan di Indonesia sebetulnya banyak hal yang sudah baik. Tetapi, dalam pelaksanaannya tidak diikuti dengan monitoring yang benar. Ada beberapa hal yang harus dibereskan. “Misalnya soal ujian, datanya ada semua lho. Jadi, yang mau dikerjakan besok itu tidak ada yang baru dari sisi proses. Tapi, kenapa data yang sedetail itu dulu tidak dipresentasikan,” ucapnya.

Kemudian, ia pun berencana menfokuskan perbaikan pendidikan dari sisi aktor, yang terdiri dari guru, kepala sekolah, orangtua dan murid. Anies sudah tak mau lagi berkutat pada perdebatan penggantian kurikulum. Dirinya tak akan mengganti kurikulum 2013 dengan kurikulum baru. Dalam pandangannya, akar permasalahan pendidkan itu ada di aktor yang tidak digodok dengan cara yang tepat.

Di tengah kesibukannya, Anies Baswedan menerima wartawan GATRA Gandhi Achmad, Adistya Prabawati, dan pewarta foto Ardy Widi Yansah di kantornya, di Kompleks Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Jumat, 30 Januari lalu. Ia mengemukakan berbagai persoalan yang akan diperbaiki oleh kementrian yang dipimpinnya dalam lima tahun ke depan. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat kurikulum 2013 yang kini sedang ramai diperbincangkan?
Saya ingin menggarisbawahi, jika berbicara tentang pendidikan, sebenarnya kita berbicara tentang interaksi antar-manusia. Peserta didik dengan pendidik yang berinteraksi. Kuncinya ada pada siapa? Pendidik. Pendidik ini adalah orangtua dan guru. Dalam interaksi orangtua dengan anak tentu tidak memakai kurikulum. Tapi, kalau interaksi antara guru dan siswa, dilakukan lintas kelas, lintas waktu, lintas mata pelajaran. Karena itu, interaksinya harus distrukturkan. Untuk menstrukturkan itu dibuat kurikulum.

Nah, itu cenderung lebih suka mendiskusikan struktur ini daripada substansinya, yaitu interaksinya itu. Karena itu, sering saya katakan, Indonesia sudah berapa kali ganti kurikulum, tapi ya gitu-gitu aja. Lha yang membawakan kurikulum siapa? Guru. Gurunya sudah disentuh belum? Belum.
Analogi saya, itu seperti penembak jitu. Menembak meleset. Diganti peluru, meleset. Diganti pistol, masih meleset. Lha penembaknya tidak pernah diajarin nembak. Siapa sih yang melaksanakan kurikulum? Guru. Meskipun kurikulum diubah berkali-kali, kalau kualitas gurunya tidak meningkat, no way berubah. Jadi, lima tahun ke depan ini konsentrasi kita adalah penguatan aktor pendidikan. Yaitu, guru, kepala sekolah, orangtua siswa.

Lalu, penilaian Anda?
Kurikulum dijalankan dengan sangat terburu-buru, gurunya juga belum siap, kurikulumnya juga belum terlalu sap, dipaksakan untuk dijalankan. Tidak ada sejarah di dunia, ganti kurikulum satu tahun seluruh sekolah. Ya hanya di kita, ini dicoba. Dan akhirnya muncul banyak masalah.

Bagaimana kelanjutan Kurikulum 2013. Apakah akan dihapus?
Saya tidak berniat mengganti kurikulum. Jadi, kalau semua orang ribut tentang Kurikulum 2013, saya justru berkonsentrasi pada guru.
Lalu, Kurikulum 2013 ini mau diapakan?

Yang sekarang kita lakukan adalah sekolah yang sudah menjalankannya tiga semester. Itu kita jadikan sebagai sekolah uji coba Kurikulum 2013. Kita uji dulu, masak barang belum diuji sudah dberikan kepada siswa. Setelah diuji, kita terapkan secara bertahap.
Peraturan pemerintahnya sudah betul lho. Kita diberi waktu tujuh tahun dari tahun 2013 untuk dipersiapkan pelaksanaan. Kenapa dipaksakan dalam 2013. Akhirnya, muncul banyak sekali masalah, bahkan kontennya pun ada masalah.

Apa visi Anda mengatasi itu?
Kami tidak mempunyai visi kementrian, yang ada adalah visi presiden. Kami mengikuti visi presiden. Kita terjemahkan apa prioritasnya.
• Satu, penguatan aktor, yakni guru, kepala sekolah, dan orangtua murid.
• Kedua, peningkatan akses dan mutu pendidikan.
• Ketiga, perbaikan tata kelola pendidikan. Baik dari Kementerian sampai dengan sekolah.

Apa yang perlu diperbaiki dari Kurikulum 2013 ini?
Pada saat kurikulum ini disusun, ada yang namanya kompetensi inti dan kompetensi dasar. Dalam kompetensi inti ada aspek sosial, spiritual, pengetahuan, dan keterampilan. Nah, yang menjadi tantangan itu adalah ketika kompetensi dasar itu dimasukkan bersama-sama. Di situ muncul masalah karena menerjemahkannya menjadi rumit, lalu mengukurnya menjadi sulit.

Seperti apa masalahnya?
Guru mempunyai tugas ekstra berat untuk mengukur keempatnya itu secara bersamaan. Penilaiannya autentik assesment yang artinya dinilai deskriptif satu per satu anak. Ya kalau di Eropa, satu kelas isinya 20-an anak, gurunya dua, nulis deskriptif. Di sini satu guru 40 siswa, ngajarnya 3 kelas. Gimana dong? Sesudah orang kesepuluh ya copy paste.
Jadi maksud saya, kita, kalau membuat sesuatu, dites dulu di lapangan. Jalan nggak? Kalau jalan,baru diterapkan di seluruh sekolah.
Lalu apa lagi?
Selain penilaan, ada empat komponen yang penting.
•Ide kurikulum
•Desain kurikulum
•Dokumen kurikulum
•Implementasi kurikulum.

Nah, jangan kita menilai dari ide, lalu menyimpulkan implementasinya akan bagus.
Ide bagus belum tentu implementasinya bagus. Karena ide harus diterjemahkan dalam bentuk desain yang nanti diimplementasikan dalam bentuk dokumen, baru nanti implementasi kurikulum.

Nah, ini, Menteri Pak Nuh membuat surat menteri yang meminta kurikulum dievaluasi. Tetapi itu dikeluarkan seminggu sebelum masa pemerintahan berakhir.
Pertanyaan saya waktu itu adalah, kenapa evaluasi dilakukan justru setelah dilakukan di seluruh sekolah? Harusnya dievaluasi dulu baru dijalankan.
Jadi, saya sebagai orang baru dalam situasi harus menentukan, didiamkan wong ini bermasalah, kalau dikoreksi dulu nanti dikatakan, “Tuh bener kan, ganti menteri ganti kurikulum.”

Padahal, saya tidak berniat mengganti kurikulum karna saya percaya kekuatannya ada pada guru. Tapi, kurikulum ini menghadapi masalah di implementasi. Jadi harus dikoreksi. Karena itu, saya pilih untuk tidak takut dengan opini orang hari ini, tetapi takut dengan opini sejarawan di masa depan. Karena besok orang akan menilai kita yang sekarang.

Apakah sekolah yang sudah menjalankan Kurikulum 2013 nantinya akan jadi sekolah percobaan?
Iya jika bersedia. Kalau dulu kan ditunjuk. Kalau ditunjuk kan mereka pada taat, tidak ada yang berani menolak.

Artinya kalau tidak bersedia dia akan kembali ke Kurikulum 2006?
Boleh. Karena untuk sekolah yang uji coba masih cukup jumlahnya. Sekitarnya 6.000-an atau 3% dari seluruh sekolah.

Dari 3% itu, apakah merata di seluruh Indonesia?
Tidak. Itulah yang saya juga gemes. Karena memilihnya berdasarkan kedekatan dengan airport. Kalau tidak salah empat jam dari airport.
Artinya, nanti akan susah untuk melihat implementasi teknologi yang mendukung Kurikulum 2013?
Exactly. Di situ letak masalah lagi. Saya kemarin sudah tidak terlalu menyinggung masalah kompetensi karena banyak juga persoalan implementasi logistik. Buku yang belum sampai, guru yang belum di-training dengan baik, plus menggabungkan empat kompetensi dasar.

Kenapa itu terjadi?
Karena dikebut waktunya. Makanya jadi seperti ini. Sebagai ilustrasi, di Australia sekarang penyusunannya sudah tahun kelima dan belum benar-benar diterapkan. Di Inggris mau menempatan itu setelah empat tahun. Baru diterapkan setelah menyusun silabusnya. Di Indonesia hanya sembilan bulan. Menurut saya, kita menghabiskan waktu terlalu banyak membicarakan kurikulum.

Jadi pembentukan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan tujuannya untuk menangani masalah ini?
Iya. Jadi, memang yang saya fokuskan kepada gurunya agar siap dengan kurikulum yang berubah terus.
Karena kurikulum itu selalu mengalami penyesuaian. Tetapi gurunya yang harus dilatih agar siap dengan kurikulum yang terus mengalami penyesuaian.

Langkah selanjutnya, apa yang akan dilakukan terkait implementasi dan pembenahan Kurikulum 2013?
Tinggal dijalani saja. Mudah-mudahan uji coba selesai tahun ini. Tahun depan, dari 3 % bisa lompat jadi 15 %. Karena diharapkan nanti satu sekolah bisa mendampingi tiga-empat sekolah. Dengan perhitungan itu, bisa tahun ketiga semua selesai.
Tapi, akan ada yang diubah dari substansi Kurikulum 2013 ini?
Sedang dievaluasi sekarang. Targetnya tahun ini juga.

Kalau dari sisi guru, sudah adakah evaluasi?
Jadi, guru PNS sejumlah 1, 7 juta. Total guru 3, 1 juta. Dari mereka itu, ada uji kompetensi guru. Skor yang diharapkan itu 70 tapi yang terjadi sekarang rata-rata 45. Itu saja bisa menghasilkan seperti kita-kita ini.

Lalu apa yang harus dilakukan?
Yang harus kita lakukan, satu, tingkatkan kualitas Kepala Sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah itu kunci.
Perusahaan juga kalau CEO-nya bermasalah jadi repot. Kalau leadership-nya baik, dia bisa mengidentifikasi masalah di sekolah, rumus untuk memunculkan sistem pendidikan yang baik ada. Dan, mendidik kepala sekolah jumlahya lebih terukur untuk mengembangkan kemampuan dalam memimpin.
Kedua, guru yang dilatih. Metode-nya tadi (interaktif). Jadi, saya sering mengatakan kepada guru-guru,
“Anda ingin menjadi guru yang diingat atau guru yang dilupakan?” Nggak usah rumit-rumit merumuskannya. Yang diingat, pasti guru yang mengesankan.
Anak itu menyukai mata pelajaran bukan karena buku teksnya, melainkan gurunya.

Sudah diterapkan?
Untuk kepala sekolah, saya ingn tandaskan, awal Desember lalu saat saya mengumpulkan kepala dinas di sini (kantor kementrian). Saya membawa buku Ki Hajar Dewantara. Saya tunjukan dan bertanya, “Apakah ada yang sudah membaca buku itu.” Nggak ada satu pun yang membaca.
Ki Hajar Dewantara menyebut intitusi pendidikan dengan taman. Jadi, tugas kepala sekolah menjadikan sekolah menjadi taman. Artinya, anak-anak ketika datang senang, ketika pulang susah. Sekarang terbalik. Kita jangan memperumit masalah dengan ukuran. Anak akan di sekolah selama enam tahun, kalau tidak betah akan menjadi malapetaka. Nggak pada senang pada pengetahuan, nggak pada senang belajar. Kalau berbicara tentang Ki Hajar, dunia memuji Finlandia sebagai salah satu tempat yang dari paling bawah di Eropa menjadi paling tinggi. Sistem pendidikan yang diterapkan di Finlandia adalah yang ditulis Ki Hajar yang di negeri ini tulisannya tidak dibaca oleh orang-orang. Konsepnya sama.

Kalau dengan guru sendiri targetnya bagaimana?
Ya, kita berharap dalam waktu lima tahun ke depan, pelatihan guru bukan sekadar memenuhi statistik.Kalau ditanyakan apakah 1, 3 juta guru sudah dilatih? Jawabannya, sudah. Mereka sudah mengikuti penataran tentang Kurikulum 2013.

Lalu bagaimana dengan orang tua?
Orangtua adalah pendidik terpenting yang paling tak tersiapkan. Guru masih mendingan ada sekolahnya. Ibu terdidik lebih pasti akan lebih bisa mendidik anaknya jauh lebih baik. Nutrisi yang diberikan saat hamil, sampai perilaku interaksi dengan anak saat bayi, sampai anak itu sudah sekolah, orangtua yang bisa mendidik anaknya pasti lain. Nah, banyak yang tidak tahu cara mendidik anak.

Sederhana saja, bagaimana mengelola TV. Banyak orangtua yang merasa lebih baik anaknya nonton TV daripada main lumpur di luar. Nanti nyuci-nya repot. Kalau orangtua itu sadar, kemampuan anaknya seperti apa pada umur berapa. Makanya, orangtua harus diperkuat. Kasihan orangtua sendirian.

Jika orangtua adalah salah satu aktor pendidikan, akankah membuat satu bagian khusus yang fokus ke orangtua?
Ya, jadi kita akan mengembangkan program-program untuk orangtua. Nanti, pengaturan strukturnya akan diatur lagi. Nanti ini akan menjadi rujukan untuk membimbing anak seperti pertumbuhan fisiknya, nutrisinya sesuai umur anak. Sebab, kita,Kementerian Pendidikan bukan persekolahan, artinya mendidik semua orang tidak hanya yang di sekolah. Sehingga, orangtua punya partner termasuk ketika orangtua datang ke sekolah. Karena orantua yang paling cepat mendeteksi dan orangtualah pengawas sekolah yang sebenarnya.

Langkahnya macam-macam.
•Pertama dengan memberikan informasi,
•kedua dengan memberikan mereka channel.
Sekarang, kita ada layanan sms, misalnya. Tapi saya belum akan ngomong terlalu jauh sampai nanti jadi barangnya.

Bagaimana dengan ujian nasional?
Tujuan UN untuk menilai capaan kompetensi seorang anak. Jadi, tujuannya bukan pemetaan, melainkan menilai capaian kompetensi. Lalu hasil itu digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, melakukan pemetaan, melakukan pembinaan ke sekolah-sekolah.
Jadi, yang berbeda adalah untuk kelulusan tidak lagi menggunakan UN. Laporannya nanti juga akan berbeda. Kalau dulu yang dilaporkan hanya nilainya. Sekarang kita bandingkan dia dengan rata-rata sekolah, standar nasional, lalu diberikan penjelasan kualitatifnya. Jadi, sebagai orangtua kalau menerima angka tujuh itu maksudnya apa sih? Kan meaningless, nah, kita terjemahkan itu. Jadi, nanti ketahuan di mana anak kuat dan lemahnya. Setiap orantua nanti menerima dua lembar, ada lembar yang menjelaskan secara deskriptif di setiap mata pelajaran.

Itu akan diterapkan di semua sekolah, baik yang menggunakan Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006?
Iya tentu. Karena yang dinilai capaian kompetensi. Jadi sama, mau Kurikulum 2013 dan 2006 kompetensinya kan sama. Jadi, sama-sama yang dinilai fisika, yang satu belajar memakai teknik Kurikulum 2013 yang satu 2006. Nilainya sama yang diharapkan.

Apa yang Anda lihat dari kunjungan ke daerah-daerah?
Kebanyakan guru, hampir semuanya, mengeluh soal evaluasi atau cara melakukan penilaan. Bukan hanya rapot, tapi dokumennya sampa 1.200-an evaluasi. Harus dicatat terus sampai harus dibikinkan Software agar itu dijalankan. Ini sebenarnya bisa dihindari kalau kita melakukan evaluasi terlebih dulu.

Persoalan apa yang ditemui di daerah pelosok atau perbatasan?
Permasalahannya ada di infrastruktur. Begitu ada masalah pada transportasi, dua masalah langsung muncul,
•kesehatan
•pendidikan.

Jadi, yang harus dibereskan transportasinya supaya kesehatan dan pendidikan bisa jalan. Begitu ada masalah listrik langsung proses belajar terhambat sekali. Jadi, kita sekarang berharap pembangunan infrastruktur berjalan cepat supaya pendidikan bisa lebih baik.
Di sisi lain dari tenaga pendidik, masih banyak yang enggan ditempatkan di daerah, mengapa dan cara mengatasinya bagaimana?
Sebenarnya tidak juga. Sekarang banyak anak muda yang menjadi tenaga pendidik yang bersedia ditempatkan di pelosok. Desember kemarin saja, kita lakukan rekrutmen 1.000 orang. Mau langsung ditempatkan di tempat terjauh, terluar, dan terdepan. Banyak juga daerah yang mau langsung mengangkat mereka menjadi pegawai.

Kebutuhan guru kurang atau tidak?
Kalau jumlah secara keseluruhan, lebih. Tapi, ada tempat kekurangan dan kelebihan. Tidak merata. Distribusi masih bermasalah.
Rasio guru murid 1:16. Ada yang sampai 1:40. Kalau di daerah, jika sekolah itu di pinggir jalan, pasti gurunya lebih. Kalau sekolahnya dua kilometer dari jalan, tidak usah dicek lagi, pasti kurang guru.

Dari kunjungan, adakah kesenjangan antara di pelosok dan di perkotaan?
Iya, terutama kalau tidak ada listrik. Tiadanya merepotkan sekali.

Kabarnya, madrasah akan ditarik ke kementrian Anda?
Enggak.Madrasah akan tetap dikelola oleh Kementrian Agama.

Untuk mendorong Nawacita, program yang diandalkan apa saja?
Kita harus mengubah maindset dengan rangsangan-rangsangan “akupuntur”. Titiknya kecil, tidak sakit tapi efeknya sistematik. Jadi, revolusi mental itu begitu maksudnya.

Jadi, arahan Presiden apa saja?
Arahan diterjemahkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), kemudian diterjemahkan lagi dalam strategi kita. Karena yang akan beliau lakukan itu memang revolusi mental. Revolusi mental itu nggak mungkin infrastrukturnya yang mengalami revolusi mental, pasti manusianya. Jadi, secara sederhana ada tiga,
•aktornya,
•akses dari sisi ekononomis dan geografis dan mutu,
•lalu soal birokrasi pendidikan.

Anggaran pendidikan sangat besar tapi tidak merata. Mengapa?
Anggaran fungsi pendidikan 409 trilyun. Dari jumlah itu, 254 trilyun ditransfer ke daerah. Lalu 48 trilyun untuk Kementrian Agama, 46 trilyun Kemendiknas, 42 trilyun untuk Dikti. Nah, yang 254 trilyun inilah yang harus dikelola dengan baik. Saya, sebulan lalu, menginisiasi pertemuan soal ini, antara Kemendiknas, Kemenag, dan Kemendagri untuk membereskan soal ini. Karena uang banyak mengalir ke daerah dipakanya untuk apa saja, pengawasannya bagaimana dan sekarang sudah jalan. Nanti ujungnya, mungkin ada kesepakatan bersama tiga menteri.

Bagiamana Mengawasinya?
Di situ kan wilayahnya gubernur dengan Depdagri. Sebenarnya yang kita butuhkan sedarhana kok. Tata aturan yang sangat teknis sehingga gubernur, kepala dinas itu bisa memutuskan uangnya untuk apa. Petunjuk teknisnya akan dibikin.

Harapan ke depan seperti apa?
Harapan ke depan, masyarakat melihat pendidikan lebih dari sekadar tanggung jawab pemerintah. Secara konstitusional tanggung jawab negara, tetapi moral tanggung jawab semua orang, terutama orang terdidik. Karena itu, saya mengajak semuanya untuk melakukan gerakan, termasuk mengapresiasi guru.

Sumber: anisbaswedan.com/Berita Gatra edisi 17/XXI (26 Feb – 4 Mar 2015)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *