JAKARTA, KOMPAS.com – Penundaan penerapan Kurikulum 2013 menjadi momentum untuk merevisi sungguh-sungguh kurikulum itu. Ibarat bangunan, struktur Kurikulum 2013 kurang kokoh meskipun visi kurikulum tersebut dinilai sudah tepat. Perbaikan diharapkan tidak hanya terkait implementasi, tetapi juga pada substansi.
Kekurangan dalam Kurikulum 2013 alias K-13 menunjukkan penyusunan yang terburu-buru dan paralel demi menyingkat waktu. Idealnya, butuh tiga hingga lima tahun untuk menggodok, mengevaluasi, dan memberlakukan sebuah kurikulum.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebelumnya memutuskan menerapkan Kurikulum 2013 di 6.221 sekolah. Sisanya kembali melaksanakan Kurikulum 2006. Dalam Peraturan Mendikbud Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013, yang ditandatangani pada 11 Desember 2014, disebutkan, satuan pendidikan dasar dan menengah dapat melaksanakan Kurikulum 2006 paling lama sampai tahun ajaran 2019/2020.
Dalam diskusi pendidikan harian Kompas, “Mendudukkan Persoalan dan Mencari Solusi Kurikulum 2013”, Jumat (12/12), di Jakarta, persoalan itu dibahas oleh empat pembicara. Mereka adalah Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad (mewakili Mendikbud Anies Baswedan); pelatih guru nasional Itje Chodidjah; konsultan dan anggota tim revisi Kurikulum 2013, Weilin Han; Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting Doni Koesoema; serta moderator Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen.
Dalam hal ide dan konsep, menurut Hamid, K-13 sudah tepat karena hendak menyiapkan generasi bangsa dengan penekanan pada penguatan pendidikan karakter. Kekurangannya adalah pada penerapan yang terlalu cepat dan paralel. Padahal, tidak semua tahapan perumusan kurikulum dapat diparalelkan. Terlebih lagi, sasaran K-13 sangat besar, yakni 205.341 sekolah dengan 31 juta murid SD hingga SMA/SMK. Buku yang dicetak pun mencapai 245 juta eksemplar dalam waktu singkat.
Hal itu menyebabkan kekacauan di lapangan. Saat penundaan K-13 diumumkan, misalnya, masih ada sekolah belum menerima buku berbasis K-13. Kepala SMP Negeri 1 Tanah Merah Piter Yawan mengungkapkan, distribusi buku belum menyeluruh. Selain itu, baru empat dari 34 tenaga guru yang telah dilatih.
“Para siswa kelas II SMP belum memiliki buku mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika,” ujarnya. Kepala SMPN 1 Palangkaraya Jono mengeluh, pemahaman guru tentang K-13 belum merata. Alat peraga juga tidak memadai.
Perbaikan
Hamid mengatakan, jika substansi sudah beres, K-13 baru diberlakukan lagi. ”Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud akan mengevaluasi dan merevisi kurikulum,” ujar Hamid.
Pemerhati pendidikan berpandangan, landasan filosofis K-13 sudah tepat sehingga tidak perlu lagi merombak visi K-13. Hal yang perlu ditata ulang ialah penerjemahan visi ke dalam silabus lalu ke materi atau mata pelajaran. Menurut Weilin, letak persoalan K-13 adalah kerangka dasar dan struktur isinya. Kurikulum tak bisa dibuat parsial, tetapi mesti berkelanjutan dari kelas rendah hingga kelas tinggi. Sebaiknya ditetapkan dulu generasi seperti apa yang hendak dicetak, lalu ditentukan tahapan yang harus dijalani murid di setiap tingkatan. “Ini harus jelas dan bersambung antar-lintas jenjang dan terkait antar-mata pelajaran,” ujarnya.
Doni Koesoema berpandangan, masalah dalam K-13 antara lain pendekatan spiritualisme yang kurang tepat. “Dalam pelajaran Matematika kelas X, misalnya, kompetensi intinya menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Kompetensi dasarnya sama. Ini membingungkan, sebenarnya pelajaran Agama atau Matematika?” ujarnya. Penyatuan mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti juga kurang tepat. Pendidikan agama bersifat eksklusif, unik, dogmatis, dan ritual. Sebaliknya, budi pekerti terkait nilai-nilai moral bersifat universal. “Jika tiap-tiap agama mendefinisikan budi pekerti menurut ajaran agamanya, pendidikan karakter dalam K-13 bukan mempersatukan siswa, melainkan memisahkan,” ujarnya. Selain itu, Doni juga menyoroti masalah kompetensi inti, penggunaan tematis sebagai materi dan silabus yang tanpa pemetaan kompetensi dasar. Doni mengatakan, perumusan kurikulum perlu 3-5 tahun, mulai dari revisi silabus, penulisan buku, pelatihan guru, uji coba, evaluasi, hingga perbaikan kembali. “Kalau sudah tidak bermasalah, baru diterapkan,” kata Doni.
Para pembicara berharap K-13 dihentikan di semua sekolah. Namun, Hamid mengatakan, keputusan sudah final di Kemdikbud. Revisi akan dilaksanakan sambil K-13 “berjalan” di sekolah uji coba. (LUK/ABK/DNE/FLO/DKA)
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2014/12/15