Api Penyucian

St. Yohanes Vianey.jpg

Menurut kalender liturgi, pada hari Sabtu 1 November 2014, umat Katolik merayakan “Hari Raya Semua Orang Kudus”. Selanjutnya pada hari Minggu, tanggal 2 November, Gereja memperingati secara mulia arwah semua orang beriman. Dalam kaitan kedua intensi tersebut, umat Katolik percaya akan adanya arwah di api penyucian, sebelum memasuki surga mulia untuk bersekutu bersama para kudus Allah dalam rumah Bapa. Untuk memahami apa itu api penyucian, baiklah kita menyimak pengajaran iman (katekese) dari St. Yohanes Maria Vianey, yang dikenal sebagai Santo pelindung para imam, berikut ini.

St. Yohanes Maria Vianney

Saya datang atas nama Tuhan. Mengapa saya berdiri di mimbar hari ini, saudara-saudaraku terkasih? Apa yang hendak saya sampaikan kepada kalian? Ah! Saya datang atas nama Tuhan Sendiri. Saya datang atas nama orangtua kalian yang malang, untuk membangkitkan dalam diri kalian perasaan cinta dan terima kasih atas hutang budi kalian terhadap mereka. Saya datang untuk membangkitkan kembali kenangan akan segala cinta dan kasih sayang yang mereka limpahkan kepada kalian semasa mereka hidup di dunia. Saya datang untuk mengatakan kepada kalian bahwa sekarang mereka menderita di Api Penyucian, bahwa mereka meratap, dan bahwa mereka memohon dengan seruan yang menyayat, pertolongan lewat doa-doa dan karya amal kasih kalian. Seakan-akan saya mendengar ratap-tangis mereka dari kedalaman api yang melalap mereka, “Katakan kepada mereka yang kami kasihi, katakan kepada anak-anak kami, katakan kepada segenap sanak saudara, betapa dahsyat siksa yang menjadikan kami begitu menderita. Tersungkur di bawah kaki mereka, kami mohon dengan sangat pertolongan lewat doa-doa mereka. Ah! Katakan kepada mereka bahwa sejak kami terpisah dari mereka, kami berada di sini, terpanggang dalam api! Oh! Adakah yang tidak tergerak hatinya terhadap siksa hebat yang kami derita ini?”

Kalian lihat, saudara-saudaraku terkasih, apakah kalian mendengar ibu yang penuh kasih sayang, bapa yang penuh perhatian, dan segenap sanak saudara yang menolong serta merawat kalian? “Sahabat-sahabatku,” demikian mereka berseru, “bebaskan kami dari derita ini; kalian dapat melakukannya.” Jadi, pikirkanlah saudara-saudaraku: (a) betapa dahsyat siksa yang harus diderita jiwa-jiwa di Api Penyucian; dan (b) sarana-sarana yang kita miliki untuk meringankan penderitaan mereka: doa-doa kita, karya amal kasih kita, dan di atas segalanya, kurban kudus dalam Perayaan Ekaristi. Saya tidak bermaksud berhenti pada tahap ini untuk membuktikan kepada kalian akan keberadaan Api Penyucian. Hal itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Tak seorang pun di antara kalian yang ragu sedikit pun mengenai hal itu. Gereja, yang kepadanya Yesus Kristus telah menjanjikan bimbingan Roh Kudus dan yang, dengan demikian, tak dapat salah ataupun menyesatkan kita, mengajarkan tentang Api Penyucian dengan sangat jelas dan tegas. Pasti, sungguh pasti, bahwa ada suatu keadaan di mana jiwa-jiwa orang benar harus melunasi hutang dosa (= siksa dosa temporal) mereka sebelum diperkenankan masuk dalam kemuliaan Surgawi, yang memang dipastikan bagi mereka. Ya, saudara-saudaraku terkasih, dan menurut ketentuan iman: jika kita belum melakukan penyilihan yang sebanding dengan beratnya dosa-dosa kita, walaupun telah memperoleh pengampunan melalui Sakramen Tobat yang kudus, kita wajib melunasi hutang dosa itu terlebih dahulu….

Dalam Kitab Suci ada banyak ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa meskipun dosa-dosa kita telah diampuni, Tuhan masih menghendaki kita membayar hutang dosa kita di dunia ini dengan menanggung penderitaan sementara atau di kehidupan yang akan datang melalui Api Penyucian. Lihat, apa yang terjadi pada Adam. Karena ia bertobat setelah berbuat dosa, Tuhan meyakinkannya bahwa Ia sudah mengampuni dosa-dosanya, namun demikian Tuhan menghukumnya dengan silih selama sembilan ratus tahun, silih yang melampaui segala sesuatu yang dapat kita bayangkan. Lagi, Daud memerintahkan, bertentangan dengan kehendak Tuhan, agar menghitung jumlah rakyatnya, tetapi terdorong oleh sesal mendalam, ia menyadari dosanya; merebahkan diri ke tanah, dengan sangat ia mohon pengampunan Tuhan. Tuhan, tergerak oleh belas kasihan atas tobatnya, sungguh mengampuni dia. Namun demikian, Ia memerintahkan nabi Gad untuk menyampaikan kepada Daud bahwa ia harus memilih satu di antara tiga tulah yang dihadapkan Tuhan kepadanya sebagai hukuman atas kesalahannya: penyakit sampar, perang, atau bencana kelaparan. Daud menjawab, “Kiranya kita jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya; tetapi janganlah aku jatuh ke dalam tangan manusia.” Tuhan mendatangkan penyakit sampar atas bangsa Israel selama tiga hari lamanya yang menewaskan tujuh puluh ribu rakyatnya. Jika Tuhan tidak menahan tangan malaikat, yang teracung atas kota itu, niscaya seluruh Yerusalem tentu telah dimusnahkannya! Daud, melihat begitu dahsyat penderitaan yang terjadi akibat dosanya, mohon belas kasihan Tuhan untuk menghukum dia seorang serta membebaskan rakyatnya yang tidak bersalah. Lihat juga air mata pertobatan St. Maria Magdalena; mungkin itu dapat sedikit melegakan hati kalian. Sayang sekali, saudara-saudaraku terkasih, jika demikian, berapa lamakah kita harus melewatkan tahun-tahun sengsara dalam Api Penyucian, kita yang memiliki begitu banyak dosa, kita yang, mengakukan dosa-dosa kita dengan berbagai macam dalih, tidak melakukan silih dan tidak meneteskan air mata pertobatan?

Berapa tahun siksakah yang harus kita derita di kehidupan yang akan datang? Tetapi bagaimana jika Bapa yang kudus mengatakan kepada kita bahwa sengsara yang mereka derita di tempat ini seolah sama dengan sengsara yang diderita Tuhan Yesus Kristus dalam Senggsara-Nya yang ngeri, perlukah saya melukiskan bagi kalian sebuah gambar hati yang terkoyak karena sengsara yang harus diderita oleh jiwa-jiwa malang ini? Tetapi, saya yakin bahwa jika sengsara paling ringan yang harus diderita Kristus itu dibagi-bagikan di antara umat manusia, pastilah mereka semua akan mati oleh karena kekejian dan kengerian sengsara-Nya yang sedemikian itu. Api Penyucian sama dengan api neraka: bedanya ialah api penyucian tidak untuk selamanya. Oh! Seandainya saja Allah dalam belas kasihan-Nya yang begitu besar mengijinkan satu di antara jiwa-jiwa malang itu, yang terpanggang dalam api penyucian, menampakkan diri di tempat saya ini, dengan dilingkupi sepenuhnya oleh api yang melalapnya, dan seandainya ia sendiri melitanikan sengsara yang ia derita, maka gereja ini, saudara-saudaraku terkasih, akan bergaung dengan jeritan serta ratap tangisnya yang pilu, yang mungkin, pada akhirnya dapat menggerakkan hati kalian. Oh! “Betapa menderitanya kami!” jerit mereka kepada kita.

Oh! Kalian, saudara-saudaraku, bebaskan kami dari siksa ini! Kalian dapat melakukannya! Ah, andai saja kalian pernah mengalami sengsara karena terpisah dari Tuhan! … Perpisahan yang kejam! Terbakar dalam api yang berkobar karena keadilan Allah! … Menderita sengsara yang melampaui pengertian manusia yang fana! … Dikuasai sesal mendalam, mengetahui bahwa sesungguhnya dengan mudah kita dapat menghindari penderitaan-penderitaan itu! … Oh! Anak-anakku, jerit para bapak dan ibu, begitu tegakah kalian menelantarkan kami begitu saja, kami yang sangat mengasihi kalian? Dapatkah kalian tidur nyenyak dan membiarkan kami terpanggang di atas tempat tidur api? Bersediakah kalian menjauhkan diri dari segala kesenangan dan kegembiraan sementara kami di sini menderita dan meratap tangis siang dan malam? Kalian mewarisi kekayaan kami, rumah kami, kalian menikmati buah-buah usaha kami, dan kalian menelantarkan kami di sini, di tempat siksa ini, di mana kami menderita sengsara yang ngeri selama bertahun-tahun! … Dan tak ada amal kasih sama sekali, tak ada Perayaan Misa satu kali pun yang dapat membantu membebaskan kami! … Kalian dapat meringankan sengsara kami, kalian dapat membebaskan belenggu kami, namun demikian kalian menelantarkan kami. Oh! Betapa kejam segala siksa ini! … Ya, saudara-saudaraku terkasih, orang menilai dengan cara yang sangat berbeda ketika berada dalam api penyucian, tentang segala kesalahan-kesalahan ringan, jika memang mungkin menyebut segala kesalahan yang menyebabkan kita menderita siksa yang begitu hebat itu ringan. Alangkah celakanya manusia, Nabi Kerajaan berseru, bahkan orang yang paling benar sekali pun, jika Tuhan menghakimi tanpa belas kasihan. Jika Tuhan mengenali lubang-lubang pada matahari dan kejahatan di antara para malaikat, terlebih lagi Ia mengenali orang berdosa. Dan kita, yang telah melakukan begitu banyak dosa berat dan yang hampir-hampir tidak melakukan apa pun untuk memuaskan keadilan Allah, berapa lamakah tahun-tahun sengsara dalam Api Penyucian!

“Tuhanku,” tanya St. Teresa, “jiwa yang bagaimanakah yang murni serta pantas masuk ke dalam surga tanpa melalui api yang mengerikan?” Dalam sakit sebelum ajalnya, sekonyong-konyong St. Teresa berseru, “O keadilan dan kekuasaan Allah-ku, betapa dahsyatnya!” Dalam penderitaannya itu, Tuhan mengijinkan St. Teresa melihat kekudusan-Nya seperti para malaikat dan para kudus melihat-Nya di surga, yang menyebabkannya gemetar ketakutan hingga para biarawatinya, melihatnya gemetar dan gelisah luar biasa, berbicara kepadanya dengan menangis, “Ah! Moeder, apakah yang terjadi padamu; pastilah engkau tidak takut menghadapi maut setelah begitu banyak silih dan begitu banyak air mata kepahitan?” “Tidak, puteri-puteriku,” jawab St. Teresa, “Aku tidak takut mati; malahan sebaliknya, aku merindukannya agar aku dapat bersatu selamanya dengan Tuhan-ku.” “Jika demikian, adakah dosa-dosamu yang menakutkan engkau, setelah begitu banyak laku silih?” “Ya, puteri-puteriku,” katanya kepada mereka. “Aku sungguh ngeri akan dosa-dosaku, tetapi ada satu hal lain yang membuatku lebih ngeri.” “Apakah pengadilan terakhir?” “Ya, aku gemetar dan ngeri akan pertanggungjawaban yang harus disampaikan kepada Tuhan, Yang, pada saat itu, akan tanpa belas kasihan, tetapi ada satu hal lain yang memikirkannya saja akan membuatku mati ketakutan.” Para biarawati malang itu semakin cemas. “Aduh! Apakah itu Neraka?” “Bukan,” katanya. “Neraka, syukur kepada Tuhan, bukan untukku. Oh! Puteri-puteriku, hal itu adalah kekudusan Allah. Tuhan-ku, berbelas kasihanlah kepadaku! Hidupku harus dihadapkan muka dengan muka dengan Yesus Kristus Sendiri! Celakalah aku, jika padaku didapati cela atau noda betapa pun kecilnya! Celakalah aku, bahkan apabila aku ada di ambang dosa!” “Celaka!” seru para biarawati yang malang itu. “Bagaimanakah dengan kematian kami!” Jika demikian, bagaimanakah dengan kematian kita, saudara-saudaraku terkasih, kita yang, mungkin dengan segala silih dan perbuatan amal kasih kita, masih belum dapat melunaskan hutang dosa atas satu dosa yang telah diampuni dalam Sakramen Tobat?

Ah! Betapa tahun-tahun dan abad-abad sengsara akan menyiksa kita! … Betapa mahal kita harus membayar untuk segala kesalahan yang kita anggap sepele, seperti bohong-bohong kecil yang kita katakan untuk menyenangkan diri kita sendiri, gosip-gosip remeh, memandang rendah rahmat yang Tuhan limpahkan kepada kita setiap saat, dengan sungut dan keluhan atas pencobaan yang Ia hadapkan kepada kita! Tidak, saudara-saudaraku terkasih, kita tidak akan pernah memiliki keberanian untuk melakukan dosa, bahkan yang terkecil sekali pun, andai saja kita dapat memahami betapa hebat dosa tersebut menyakiti hati Allah dan karenanya, betapa layak ia dihukum dengan berat, bahkan semasa di dunia ini. Tuhan itu adil, saudara-saudaraku terkasih, dalam segala tindakan-Nya. Ia mengganjari kita atas perbuatan kita yang baik, bahkan yang paling remeh sekali pun, dan Ia melakukannya dengan berlimpah serta melampaui segala yang dapat kita bayangkan. Suatu pikiran yang baik, suatu kehendak baik, misalnya kehendak untuk melakukan suatu perbuatan baik, walaupun kita tidak dapat melakukannya, tak pernah Ia membiarkannya lewat tanpa mengganjarinya. Demikian juga, dalam hal menghukum kita, dilakukan-Nya dengan tegas, dan meskipun pada kita didapati-Nya hanya satu kesalahan ringan, kita tetap harus dikirim ke Api Penyucian. Benarlah demikian, kita dapat melihatnya dalam hidup para kudus, banyak di antara mereka yang tidak langsung menuju surga, melainkan harus terlebih dahulu melewati Api Penyucian.

St. Petrus Damianus mengatakan bahwa saudarinya tinggal beberapa tahun lamanya di api penyucian sebab ia mendengarkan sebuah lagu yang tidak pantas dengan sedikit kesenangan. Dikisahkan juga bahwa dua orang religius saling berjanji satu sama lain bahwa siapa yang meninggal dunia terlebih dahulu akan datang untuk mengatakan kepada saudaranya yang masih tinggal tentang keadaannya di alam baka. Tuhan mengijinkan ia yang meninggal terlebih dahulu untuk menampakkan diri kepada sahabatnya. Ia mengatakan bahwa ia tinggal lima belas tahun lamanya di api penyucian karena ia terlalu suka menuruti kemauannya sendiri. Dan sementara sahabatnya memujinya karena tinggal di sana untuk waktu yang singkat saja, ia yang telah wafat itu berkata, “Saya jauh lebih suka dihukum terus-menerus selama sepuluh ribu tahun semasa hidup di dunia, sebab penderitaan itu bahkan tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang aku derita dalam api penyucian.” Seorang imam mengatakan kepada salah seorang temannya bahwa Tuhan telah menghukumnya untuk tinggal di api penyucian selama beberapa bulan oleh sebab menahan dilakukannya suatu kehendak yang dimaksudkan untuk suatu perbuatan baik. Sungguh sayang, saudara-saudaraku terkasih, berapa banyak di antara mereka yang mendengarkan saya memiliki kesalahan yang sama?

Berapa banyak, mungkin, mereka yang dalam masa delapan atau sepuluh tahun menerima permintaan dari orangtua atau teman untuk suatu intensi Misa dan stipendiun pun telah diberikan, tetapi mereka menjadikan segala sesuatunya sia-sia! Berapa banyak mereka yang, karena takut kalau-kalau suatu perbuatan baik tertentu harus dilakukannya, tidak mau merepotkan diri dengan melihat kehendak baik yang dilakukan oleh orangtua ataupun teman-teman bagi mereka? Sayang sekali, jiwa-jiwa malang ini masih tertahan dalam api penyucian sebab tak seorang pun yang berhasrat untuk memenuhi keinginan terakhir mereka!

Para bapak dan ibu yang malang, kalian berkurban demi kebahagiaan anak-anak serta cucu-cicit kalian! Kalian mungkin telah mengabaikan keselamatan diri kalian sendiri demi menambah kesejahteraan mereka. Kalian tertipu oleh perbuatan-perbuatan baik yang kalian lakukan demi hasrat kalian itu! … Para orangtua yang malang! Betapa butanya kalian sehingga melupakan diri kalian sendiri! … Mungkin kalian akan mengatakan kepada saya, “Orangtua kami hidup mapan; mereka adalah orang-orang yang sangat baik.” Ah! Mereka akan segera masuk dalam kobaran api! Lihat apa yang dikatakan mengenai hal ini oleh St. Albertus Agung, seorang kudus yang kebajikannya bersinar dengan cara yang luarbiasa. Suatu hari ia menampakkan diri kepada salah seorang sahabatnya, mengatakan bahwa Tuhan telah membawanya ke api penyucian oleh karena ia sedikit terlena oleh rasa puas diri karena pengetahuannya. Hal yang paling membuat kita terperanjat adalah ternyata banyak para kudus di sana, bahkan mereka yang telah dibeatifikasi, yang harus melewati api penyucian. St. Severinus, Uskup Agung Cologne, menampakkan diri kepada salah seorang temannya lama setelah ia wafat dan mengatakan bahwa ia ada di api penyucian karena menunda hingga sore, doa yang harus didaraskannya pada pagi hari. Oh! Berapa lamakah tahun-tahun sengsara dalam api penyucian bagi umat Kristiani yang sama sekali tidak merasa bersalah menunda doa-doa mereka ke lain waktu dengan alasan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendesak! Jika kita sungguh merindukan kebahagiaan bersama Tuhan, patutlah kita menghindari baik dosa-dosa ringan maupun dosa-dosa berat, sebab terpisah dari Tuhan sungguh merupakan suatu siksa yang mengerikan bagi segenap jiwa-jiwa malang ini!

sumber : “Sermon on Purgatory by Saint John Vianney”; www.catholic-forum.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *