KATEKESE SEBAGAI PELAYANAN SABDA
(Rm. FX. Adisusanto, SJ)
I.PENGANTAR
Dalam pembicaraan tentang identitas katekese tidak dapat dilupakan tiga hal yang sangat penting bagi katekese, yaitu Sabda Allah sebagai sumber pewartaan, iman sebagai jawaban manusia terhadap Sabda Allah, dan Gereja sebagai ruang lingkup serta subyek penerima Sabda Allah. Maka identitas katekese dapat ditemukan di sekitar tiga hal ini: katekese sebagai pelayanan Sabda, katekese sebagai pendidikan iman dan katekese sebagai pengalaman ekklesial. Tulisan ini, yang diambil dari pemikiran Romo Emilio Alberich yang ditulis pada bukunya Catechesi e Prassi Ecclesiale, akan membahas Katekese sebagai Pelayanan Sabda.
Pembahasan tentang katekese sebagai pelayanan sabda tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang sabda Allah sendiri. Pembahasan tentang sabda Allah akan dilaksanakan berdasarkan ajaran Konsili Vatikan II, – yang tahun ini (2012) genap berusia 50 tahun – , tentang Wahyu dan Sabda Allah seperti terdapat pada Konstitusi Dogmatis Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi, artikel 2. Kemudian akan dilanjutkan dengan mendalami dimensi-dimesi sabda Allah yang ditemukan dalam faham Konsili Vatikan II tentang wahyu dan sabda Allah itu. Setelah itu akan diutarakan kosekuensi-konsekuensi kateketis dari dimensi-dimensi sabda Allah. Pengamatan terhadap konsekuensi-konsekuensi kateketis itu memberiikan gambaran tentang identitas katekese sebagai pelayanan sabda.
II. WAHYU DAN SABDA ALLAH
Mengenai wahyu dan sabda Allah, seperti ditemukan dalam Dei Verbum, Konsili Vatikan II menyatakan demikian:
“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya. Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu (bdk. Mat 11:27; Yoh 1:14 dan 17; 14:6; 17:1-3; 2Kor 3:16 dan 4:6; Ef 1:3-14)”.
Faham teologis tentang wahyu dan sabda Allah yang dimiliki oleh Gereja dewasa ini, seperti terungkap dalam kutipan di atas, lebih eksistensial dan personal, lebih Kristosentris dan terbuka bagi sejarah. Hal itu jelas dari pengamatan lebih lanjut sebagaii berikut.
1.Faham Dei Verbum tentang wahyu dan sabda Allah dimulai demikian:
“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2Ptr 1:4)”.
Kalimat di atas menggambarkan asal, obyek dan tujuan wahyu. Dikatakan bahwa wahyu berasal dari inisiatif Allah yang cuma-cuma, berhakekat menyelamatkan dan bercirikan triniter (berkembang dalam misteri Trinitas dan menuju ke misteri Trinitas). Sedangkan obyek wahyu adalah Allah sendiri dan rencana keselamatan-Nya. Tujuan wahyu adalah keselamatan manusia yang digambarkan secara triniter.
2.Selanjutnya Dei Verbum mengatakan, bahwa
“…. dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya”.
Dalam kalimat di atas ditampilkan unsur personal wahyu: wahyu adalah perjumpaan pribadi, pertemuan antar sahabat, yaitu antara Allah dan manusia, dalam komunikasi yang mendalam.
3.Setelah itu, faham tentang wahyu dan sabda Allah dilanjutkan sebagai berikut:
“Tata perwahyuan itu terlaksana melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga karya, yang dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan ajaran serta kenyataan-kenyataan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-kata menyiarkan karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya”.
Dalam kalimat di atas diungkapkan unsur historis wahyu Allah: wahyu adalah jalinan antara tindakan dan kata-kata, yang terikat secara erat satu sama lain dalam sejarah manusia.
4.Pada akhirnya Dei Verbum menegaskan, bahwa
“…… melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu (bdk. Mat 11:27; Yoh 1:14 dan 17; 14:6; 17:1-3; 2Kor 3:16 dan 4:6; Ef 1:3-14)”.
Kalimat terakhir itu mempertegas tempat sentral yang dimiliki Kristus dalam ekonomi wahyu ilahi: Kristus adalah sabda utama dan definitif, puncak perwahyuan Allah dan rencana keselamatan-Nya bagi manusia.
Apa yang diungkapkan dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum artikel 2 di atas menunjukkan kepekatan dan kekomplekkan misteri dan peristiwa sabda Allah dalam sejarah umat manusia. Dalam kutipan-kutipan di atas sabda Allah terutama diperkenalkan sebagai campur tangan ilahi yang penuh kuasa dan belas kasih, melalui mana Allah mengkomunikasikan diri-Nya serta rencana keselamatan-Nya bagi umat manusia. Sehubungan dengan komunikasi diri Allah serta rencana keselamatan-Nya, yang berpusat pada Kristus, katekese merupakan sarana dan alat dalam situasi Gereja yang aktual dan konkret zaman sekarang.
III. DIMENSI-DIMENSI SABDA ALLAH
Pengamatan dan pencermatan terhadap faham tentang wahyu dan sabda Allah di atas membawa ke pemahaman akan adanya dimensi-dimensi sabda Allah sebagai berikut:
1. Dimensi Kristosentris Sabda Allah
”Yesus Kristus Pusat dan Puncak Wahyu”
Dimensi Kristosentris sabda Allah menegaskan, bahwa Yesus Kristus adalah pusat dan puncak wahyu. Berikut penjelasan tentang hal itu:
1)Perwahyuan Allah merupakan elemen pokok dalam sejarah manusia. Dalam perwahyuan Allah Kristus bukan merupakan sepatah sabda, tetapi Sang Sabda Allah, puncak perwahyuan diri Allah kepada umat manusia. Kristus adalah logos, Sabda Allah Bapa , kebijaksanaan Allah , gambar Allah yang tidak tampak. Pada Kristuslah rencana keselamatan Allah dan pembebasan manusia terlaksana dan dipusatkan.
2)Sebutan-sebutan yang diberikan kepada Yesus, seperti Messias, Kristus, Tuhan, Penebus, menggarisbawahi keyakinan, bahwa dalam diri Yesus dari Nasaret suatu yang definitif untuk umat manusia telah terjadi. Bagi umat beriman Yesus merupakan “suatu” yang definitif dari Allah untuk harapan umat manusia, bukti historis tentang adanya kemungkinan bagi umat manusia untuk melaksanakan kepenuhan kemanusiaan mereka. Peristiwa Yesus Kristus, terutama wafat dan kebangkitan-Nya, merupakan meterai atau jawaban definitf bagi pertanyaan mendasar tentang makna hidup dan sejarah umat manusia. Dalam peristiwa Yesus Kristus ditemukan arti kesengsaraan, persahabatan, kegembiraan, masa depan dan sebagainya. Maka dalam Yesus manusia menemukan kunci penafsiran hidupnya dan jaminan pelaksanaan suatu rencana yang telah diperbaharui bagi dirinya.
2. Dimensi Personalistis Sabda Allah
”Yesus Kristus Sabda Allah yang Menjelma”
Dimensi personalistis sabda Allah menegaskan, bahwa Yesus Kristus adalah sabda yang menjelma menjadi manusia. Dalam Yesus Kristus sabda Allah menjadi seorang pribadi, yang hidup sebagai manusia dalam sejarah. Penjelmaan yang personalistis tersebut memungkinkan adanya perjumpaan dan komunikasi antara Allah dan manusia dalam arti yang sepenuhnya. Perjumpaan dengan Yesus menjadi tanda dan sakramen istimewa perjumpaan manusia dengan Allah, dan sekaligus merupakan manifestasi tujuan personalistis seluruh proses perwahyuan diri Allah dalam sejarah
3. Dimensi Makna dan Pembebasan Sabda Allah
” Sabda Allah adalah Warta untuk Umat Manusia”
Makna dan pembebasan adalah dimensi lain sabda Allah, sejauh sabda Allah merupakan sabda yang ditujukan kepada manusia sebagai warta keselamatan dan pembebasan. Dalam sabda Allah ditemukan unsur keselamatan dan unsur antropologis. Berikut disampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan dimensi makna dan pembebasan sabda Allah.
1)Sabda Allah adalah warta keselamatan bagi umat manusia. Pada dasarnya sabda Allah selalu merupakan Kabar Gembira, yakni sabda yang mempunyai makna bagi hidup umat manusia dan membuka jalan-jalan baru bagi sejarah umat manusia. Allah mewahyukan Diri bukan pada Diri-Nya sendiri, tetapi pada umat manusia. Hal ini berarti bahwa perwahyuan Diri Allah selalu bermakna bagi eksistensi manusia. Ditemukan suatu korelalsi antara sabda Allah dan eksistensi manusia: seluruh misteri wahyu Allah memiliki kemampuan eksistensial dan historis, dan seluruh eksistensi manusia dapat diterangi oleh warta wahyu Allah.
2)Sabda Allah adalah tafsir dan penerangan atas eksistensi manusia. Dalam wahyu terdapat saling hubungan antara sabda dan fakta, antara warta dan kejadian, dalam dinamikia rencana keselamatan Allah: “…..kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di dalamnya”. Maka orang dapat berbicara tentang wahyu-kejadian dan wahyu-sabda untuk menegaskan fungsi penerangan sabda yang diwahyukan sebagai tafsir atas kejadian-kejadian, masalah-masalah eksistensial dan historis umat manusia dalam sinar rencana keselamatan Allah. Itulah fungsi kenabian sabda Allah. Fungsi penerangan sabda ini memuncak pada diri Yesus Kristus dari Nazaret, nabi istimewa dan kebijaksanaan yang menjelma, kunci definitif utnuk penafsiran hidup dan sejarah umat manusia. Dengan mendengarkan sabda penerang ini, umat kristiani menemukan arti mendalam hidup mereka, menemukan dalam sabda tersebut misteri keselamatan, dan mengharapkan berdasarkan janji Allah unsur-unsur positif dari kejadian-kejadian yang dijumpai dalam hidup ini.
3)Sabda Allah adalah kekuatan yang mampu menciptakan perubahan dan membebaskan, memiliki keprihatinan operatif untuk menciptakan sejarah. Sabda Allah bersifat efisien, mampu merubah keadaan secara dinamis, dan merupakan kekuatan yang tidak hanya mampu menafsirkan sejarah, tetapi juga menciptakan sejarah. Sabda Allah adalah sabda yang melaksanakan apa yang diwartakan dan dijanjikan: keselamatan, pembebasan, kesatuan, perdamaian, keadilan dan sebagainya. Sabda Allah adalah sabda yang mewartakan serta merealisir kebebasan manusia seutuhnya, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
4. Dimensi Historis dan Dialogal Sabda Allah
“ Sabda Allah Menjelma dalam Sejarah”
Tuhan mewahyukan diri dan berbicara kepada umat manusia dalam sejarah, yang memuncak dalam peristiwa Yesus Kristus dari Nazaret. Hal itu bisa dipahami sebagai berikut:
1)Sabda Allah menjelma dalam jawaban manusia yang percaya. Perwahyuan Diri Allah dalam sejarah tidak pernah terjadi dalam status yang murni, dalam arti tanpa perantaraan orang-orang yang menjadi juru bicara kabar yang diwahyukan. Sabda Tuhan selalu sampai kepada manusia melalui kesadaran orang atau sekelompok orang menyampaikan warta ilahi dan pada waktu yang sama menerima serta menjawabnya dalam iman. Dengan demikian sabda Allah mewahyukan diri dalam realitas dialog pertemuan Tuhan dengan manusia, yang dalam kejadian-kejadian konkret baik pribadi maupun historis bertanya dan mendengarkan, merenung dan menjawab, mewartakan dan menanggapi. Sabda Allah bercampur dengan kata-kata manusia dengan tak terpisahkan.
2)Sabda Allah menjelma dalam kebudayaan-kebudayaan yang menyejarah. Dengan mengandaikan sejarah sebagai tempat dan sarana manifestasi diri, sabda Allah perlu merias diri dengan unsur-unsur kebudayaan dari situasi dan zaman dalam mana sabda Allah mewahyukan diri. Maka pelbagai macam bahasa, kategori interpretatif, jenis sastra dan sarana kebudayaan merupakan sarana pengungkapan yang perlu, tanpa pernah menyerap habis isi sabda Allah atau mengidentifikasikan diri dengan sabda Allah. Hukum strukturlah yang menyucikan hubungan yang tak terpisahkan antara sabda dengan kebudayaan-kebudayaan yang menyejarah, tanpa pernah mengidentifikasikan sabda Allah dengan salah satu kebudayaan manapun.
3)Sabda selalu terbuka untuk proses interpretasi dan perumusan kembali. Tuntutan hermeneutiklah yang dalam pengaktualisasian kembali sabda Allah mengandaikan dua usaha, yaitu interpretasi perumusan-perumusan sabda Allah yang telah lalu, yang dilakukan dalam konteks kebudayaan-kebudayaan konkret, dan pemikiran kembali dalam susunan baru zaman sekarang. Hal ini menimbulkan masalah yang rumit, entah masalah pemahaman warisan tradisi masa lalu secara benar, entah masalah perumusan kembali sabda Allah secara aktual tanpa mengorbankan baik nilai kontinuitas maupun nilai aktualitas, agar setiap orang dapat mendengarkan warta keselamatan dalam bahasa masing-masing.
5. Dimensi Spiritual Sabda Allah
“ Sabda Allah adalah Anugerah Roh Yesus”
Dalam keseluruhan ekonomi sabda Allah Roh Kudus memegang peranan yang paling utama. Seluruh rencana penjelmaan Sabda dalam sejarah adalah karya Roh Kudus: Roh Kuduslah yang memberi inspirasi kepada Kitab Suci, Roh Kuduslah yang bersabda melalui para nabi, Roh Kuduslah yang berperanan dalam penjelmaan Sang Sabda, Roh Kuduslah yang memberi anugerah kenabian kepada Gereja dan memenuhi hati umat beriman, agar sabda dapat tinggal dan berkembang dalam diri mereka. Roh Kudus adalah kehadiran penuh misteri dan kekuatan yang mendominasi dan memimpin “perjalanan” sabda Allah. Hubungan antara Roh dan sabda Allah dapat disimak lebih lanjut sebagai berikut:
1)Dalam Perjanjian Lama Roh Tuhan hadir sepanjang sejarah umat Israel sebagai kekuatan Tuhan yang hidup dan berdaya merubah. Roh Tuhan melembutkan daya kekuatan daging, merubah alam dan jiwa, terutama roh manusia, dan menggenggamnya dari dalam dengan menganugerahkan suara hati dan kemampuan-kemampuan baru. Wujudnya bermacam-macam dan bertumbuh mengikuti proses perkembangan kemajuan batin dan kesempurnaan. Pada permulaan Roh Tuhan memberi semangat kepada para bapa bangsa, para hakim dan para raja. Pada zaman para nabi Roh Tuhan merupakan sumber internal pembaharuan kehidupan moral dan penafsiran kehidupan. Roh Tuhan merupakan terang bagi para nabi dan memenuhi nabi sedemikian rupa, sehingga mereka sebagai orang dari Roh mampu menjadi juru bicara atau pewarta sabda. Berkat karya Roh sabda Allah turun atas manusia sedemikian rupa, sehingga berdayaguna dan menyuburkan, seperti hujan yang dibawa angin mendatangkan kesuburan. Dalam Kitab Suci selalu ditemukan hubungan yang erat antara sabda dan Roh: bila Roh turun pada diri seseorang, orang ini kemudian berbicara atas nama Tuhan.
2)Mesias yang diwartakan oleh para nabi ialah seorang nabi yang luar biasa: Dia yang menerima kepenuhan Roh Tuhan. Yesus dari Nazaret menyatakan bahwa Diri-Nya memiliki Roh berkat tugas kenabian-Nya , dan menunjukkan, bahwa dalam Diri-Nya ditemukan puncak kehadiran dan kekuasaan Roh, sehingga Dia sendirilah sumber, dari mana dapat dianugerahkan Roh kebenaran dan Roh kehidupan manusia seluruhnya.
3)Setelah kebangkitan-Nya, Yesus yang mulia membagikan secara berlimpah Roh Kudus dan menciptakan bangsa baru yang bersifat imamat dan kenabian, yang dengan pengurapan Roh juga menghayati kepenuhan sabda Allah. Dalam Gereja yang mendengarkan sabda, Roh membagikan anugerah-anugerah, menciptakan rasul-rasul dan nabi-nabi, menggerakkan hati untuk percaya. Semua perwujudan sabda Allah terjadi di bawah gerakan Roh.
4)Dalam perspektif ini perwujudan sabda Allah dalam Gereja mengandaikan ciri-ciri Roh Tuhan, yakni asli dan berdaya menyemangati. Dalam arti ini sabda nampak sebagai “anugerah” dan “rahmat”, yang dibawa oleh “anugerah” istimewa, yaitu Roh. Berkat karya Roh Kudus sabda Allah meninggalkan jejak Kristus dalam Gereja dan menjadi sumber kesatuan dan komunio, sumber pengembangan dan ketentraman.
5)Didukung oleh Roh, sabda Allah dalam Gereja mengambil bagian dalam dialetika daging dan roh. Sabda Allah menunjukkan diri sebagai karya Roh, bukan karya daging dalam arti biblis, yakni kemanusiaan yang berdosa, yang bersemangat duniawi, yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan Allah. Dalam konteks ini, di mana spiritual bukan dilawankan dengan material, tetapi dengan kedagingan dan keduniawian, sabda Allah menemukan hukum intrinsik keotentikan dan keberdayagunaan, yakni sabda Allah harus menghindarkan diri dari ciri-ciri kedagingan dan keduniawian, seperti interes pribadi, ambisius, egosme, keinginan untuk berkuasa dan memerintah, memburu kekayaan dan sebagainya. Dalam Roh, sabda Allah sebaliknya harus nampak sebagai kabar baik bagi orang-orang miskin, pembawa damai dan kegembiraan, sabda rekonsiliasi dan pengampunan, kuat melulu berkat daya Kristus yang telah wafat dan bangkit.
6. Dimensi Eskatologis Sabda Allah
”Sabda Allah adalah sekaligus Sabda yang Dianugerahkan dan Dijanjikan”
Seperti semua yang berkaitan dengan keselamatan, sabda Allah mengambil bagian dalam ketegangan eskatologis antara sudah dan belum, antara keselamatan yang telah dianugerahkan dan keselamatan yang masih dijanjikan.
1)Sabda Allah dalam Kristus mencapai kepenuhan dan kesempurnaan. Konstitusi Dogmatis Dei Verbum mengatakan:
“Adapun tata keselamatan kristiani, sebagai perjanjian baru dan tetap, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim 6:14 dan Tit 2:13).
Dalam perwahyuan Kristus, Sabda menjelma, kebijaksanaan Allah terlaksana, misteri Allah terungkap, dan dalam arti ini perwahyuan Kristus adalah perwahyuan yang definitif, meyakinkan dan tak teratasi. Maka orang kristiani mengetahui bahwa dirinya memiliki bukan sepatah sabda keselamatan, tetapi Sang Sabda Tertinggi, Sang Kunci Definitif untuk menafsirkan realitas dan jaminan mutlak pelaksanaan janji keselamatan. Perwahyuan Kristus adalah warta yang tak akan pernah dapat berkurang, yang tak dapat disangkal. Dalam eksistensi historis Yesus dari Nazaret suatu yang radikal dan definitif bagi nasib umat manusia telah terjadi: Allah telah mengadakan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali dengan umat manusia, yang merupakan dasar harapan kristiani. Baik dari segi isi iman maupun dari segi sikap iman orang kristiani mengetahui bahwa dirinya memiliki suatu kepastian dan suatu jaminan yang tidak bisa disangkal.
2)Sabda Allah menantikan perwujudan akhir dari kebenaran. Sifat definitif sabda Allah tidak boleh membuat orang lupa akan sisi lain dari tegangan eskatologis, yakni aspek kebenaran yang masih dijanjikan, yang belum dimiliki. Yesus Kristus adalah Dia yang telah datang ke dunia untuk mewahyukan rencana keselamatan Allah, tetapi juga Dia yang datang dan yang akan datang. Yesus Kristus adalah sabda yang definitif dan menyeluruh, tetapi hanya sejauh merupakan permulaan dan akhir hubungan kehidupan beriman dalam rencana keselamatan, sejauh mengungkapkan rencana keselamatan Allah secara menyeluruh. Hal ini berarti masih terbuka masalah-masalah yang berkaitan dengan proses iluminasi realitas manusia dan sejarah dalam hubungannya dengan pembaharuan warta yang diwahyukan dengan realitas sejarah secara terus menerus. Sabda Allah diwartakan sedemikian rupa sebagai suatu perjalanan yang panjang dari perwahyuan dan pengungkapan, penyadaran dan pencarian, di bawah bimbingan Roh Kudus. Semua ini mau mengatakan bahwa karya pewartaan dalam Gereja tidak tertutup dari kegelapan dan keragu-raguan, susah payah dan usaha-usaha mencari kebenaran. Dengan kata lain umat kristiani bukan hanya orang-orang yang beruntung karena memiliki kebenaran tanpa susah payah, tetapi mereka juga mengambil bagian bersama semua orang yang berkehendak baik untuk secara terus menerus terbuka dalam usaha mencari kebenaran dan jawaban-jawaban yang tepat terhadap masalah-masalah yang mendasar dari hidup umat manusia.
IV. KONEKUENSI-KONSEKUENSI BAGI KATEKESE
Keenam dimensi sabda Allah yang diuraikan di atas membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi katekese. Pengamatan terhadap konsekuensi-konsekuensi itu memberikan gambaran tentang identitas katekese sebagai pelayanan sabda. Berikut dipaparkan konsekuemsi-konsekuensi kateketis yang muncul dari dimensi-dimensi sabda Allah, yang sekaligus memberi gambaran tentang identitas katekese sebagai pelayanan sabda.
1. Katekese adalah Pewartaan tentang Kristus
Sebagai konsekuensi bagi katekese, dimensi Kristosentris bersama dimensi personalistis sabda Allah adalah dasar dan prasyarat katekese. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1)Katekese terutama merupakan pewartaan tentang Kristus, yang merupakan pusat dan acuan katekese. Berikut diberikan kutipan dari dokumen Gereja yang menekankan sifat Kristosentris katekese.
“Demikianlah nampak bagaimana misteri Kristus memberi cahaya kepada seluruh isi katekese. Bermacam-macam unsur – yang al-kitabiah, injili, gerejani, manusiawi, dan bahkan yang kosmis – yang harus diambil dan diuraikan oleh karya katekese, perlu dikaitkan dengan Putera Allah yang menjelma menjadi manusia”.
“Sifat Kristosentris katekese mencakup juga maksud: bukan untuk menyampaikan ajarannya sendiri, atau entah ajaran seorang guru lain, melainkan ajaran Yesus Kristus, Kebenaran yang diajarkan-Nya, atau lebih cermat lagi: Kebenaran yang tak lain ialah Diri sendiri . Maka harus dikatakan, bahwa dalam katekese Kristus sendirilah, Sabda yang menjelma dan putera Allah, yang diajarkan; segala sesuatu lainnya diajarkan dengan mengacu kepada-Nya. Lagi pula hanya Kristuslah yang mengajar; siapa saja selain Dia mengajar sejauh ia jurubicara Kristus, memungkinkan Kristus mengajar melalui mulutnya”.
Sehubungan dengan sifat Kristosentris katekese, perlu diperhatikan adanya dua tuntutan: katekese supaya diberikan dengan lengkap (dalam katekese seluruh aspek peristiwa Yesus Kristus harus diberikan secara lengkap) dan makna keselamatan serta pembebasan Kristus bagi umat manusia supaya ditekankan dalam katekese (dalam katekese perlu ditekankan bahwa Kristus merupakan cahaya bagi hidup manusia dan jawaban atas masalah-masalah yang mendasar umat manusia).
2)Kristosentrisitas katekese tidak eksklusif, baik isi maupun metodenya. Sifat Kristosentis katekese tidak boleh ditafsirkan secara absolut atau eksklusif: tidak boleh, misalnmya, ditafsirkan bahwa pewartaan tentang Kristus secara materiil merupakan satu-satunya isi katekese dan hal-hal lain tidak boleh dibicarakan. Hal ini juga berarti bahwa dalam setiap pelaksanaan katekese tokoh dan karya Kristus tidak selalu harus dimunculkan secara eksplisit. Dengan kata lain, setiap pelaksanakan katekese tidak perlu selalu harus sampai pada pewartaan eksplisit tentang Kristus, entah karena situasi atau kelompok belum siap untuk menerima pewartaan tersebut, entah karena sebab lainnya. Katekese semacam ini, meski belum membicarakan Kristus secara eksplisit, sudah merupakan katekese yang sesungguhnya. Namun perlu diingat, bahwa katekese yang tidak pernah sampai pada pewartaan eksplisit tentang Kristus adalah tidak lengkap atau kurang sempurna.
2. Katekese adalah Ajakan Hubungan Pribadi
Seperti dikemukakan di atas, sebagai konsekuensi kateketis dimensi personalistis sabda Allah adalah dasar dan prasyarat katekese. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang hal itu.
1)Katekese adalah permulaan suatu perjumpaan antar pribadi. Karena sabda Allah bukan “sesuatu”, tetapi seseorang, maka katekese sebagai pelayanan sabda Allah harus mengintroduksi perjumpaan yang bersifat pribadi antara umat beriman dengan Kristus.
“…..sebagai jantung katekese pada hakekatnya kita menjumpai seorang pribadi, yakni Pribadi Yesus dari Nazaret,….. Sejalan dengan itu tujuan mutakhir katekese ialah: bukan saja menghubungkan umat dengan Yesus Kristus, melainkan mengundangnya untuk memasuki persekutuan hidup mesra dengan-Nya.”
Memang berkatekese berarti mengkomunikasikan ajaran Kristus, tetapi bukan sebagai suatu hal yang abstrak, melainkan sebagai komunikasi misteri Allah yang hidup.
Terpusatnya katekese pada pribadi Kristus menjadikan proses katekese lebih bebas dan lebih bermutu. Hal ini terbukti dari kenyataan, bahwa katekese pertama-tama bukan merupakan penyampaian ajaran secara lengkap dan kesetiaan pada rumusan-rumusan tertentu, tetapi pertama-tama merupakan kesetiaan pada seorang pribadi yang hidup. Kesetiaan semacam ini jauh lebih eksistensial, lebih dinamis, lebih konkret dan lebih bebas dari pada kesetiaan pada sejumlah ajaran tertentu.
2)Katekese adalah komunikasi antar pribadi dan inisiasi ke komunikasi antar pribadi. Katekese sebagai pelayanan sabda Allah, yang bersifat pribadi dan merupakan proyek komunikasi antar pribadi, membawa konsekuensi bahwa katekese perlu merupakan proses komunikasi, yang melibatkan pribadi-pribadi dalam keseluruhan eksistensi dan pribadi mereka, baik katekis maupun kelompok, hingga kelompoklah yang berkatekese, bukan hanya katekis.
Dimensi personalistis katekese menyerap pula isi komunikasi kateketis, yang harus disajikan dengan istilah-istilah yang mengandung relasi antar pribadi. Dengan demikian isi tersebut bukan barang atau fakta yang impersonal.
3. Katekese adalah Cahaya dan Tafsir Kehidupan Manusia
Apa yang dikatakan tentang dimensi makna dan pembebasan sabda Allah di atas membawa beberapa konsekuensi bagi katekese sebagai berikut.
1)Katekese dilaksanakan demi perkembangan manusia seutuhnya. Sejauh merupakan penyampaian sabda Allah yang membebaskan dan menyelamatkan, katekese tidak membatasi fungsinya dalam bidang kehidupan “keagamaan”, tetapi meliputi seluruh kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan katekese yang utama adalah membantu umat agar berhasil dalam hidup mereka dengan menerima panggilan dan tuntutan-tuntutan dari Allah. Maka katekese tidak boleh melalaikan unsur-unsur “profan” hidup manusia: hidup manusia seutuhnya perlu diperdalam dalam terang Injil, agar nilai-nilai Kerajaan Allah sungguh-sungguh terlaksana dalam hidup manusia seutuhnya.
2)Katekese merupakan tindak kenabian yang menerangi serta menafsirkan hidup dan sejarah umat manusia. Dengan kata lain, membaca secara mendalam dan menafsirkan hidup manusia yang menyejarah dalam terang iman merupakan tugas katekese. Dengan demikian katekese boleh dianggap sebagai suatu proses penerangan atas eksistensi manusia sebagai campur tangan Allah, dalam mana misteri Yesus Kristus disaksikan dalam bentuk pewartaan sabda dengan tujuan untuk memperdalam dan mendewasakan iman dan untuk membimbing umat mengaktualisasikan iman dalam hidup sehari-hari. Secara lebih singkat dapat dikatakan, bahwa katekese adalah kegiatan sekelompok umat beriman menafsirkan kehidupan mereka sehari-hari dalam terang Kabar Gembira, agar dapat menghayati dan mengungkapkannya selaras dengan Kabar Gembira. Dari pemahaman katekese di atas jelas, bahwa dalam pembicaraan tentang iman, pembicaraan yang menyangkut manusia dan dunianya haruslah menjadi hal yang penting, bukan hanya sebagai suatu tambahan.
3)Bila dipandang dari keprihatinan akan adanya suatu dunia yang sesuai dengan rencana keselamatan Allah, katekese merupakan karya konsientisasi dan pembebasan. Hal ini menunjukkan aspek keprihatinan dan keterlibatan katekese dalam usaha perkembangan manusia seutuhnya, sejauh merupakan pewartaan sabda Allah yang mewahyukan proyek pembebasan manusia dan sejarah seutuhnya serta mengundang umat beriman untuk ikut serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek ini. Pada pertemuan di Medellin antara lain dikatakan: “Katekese zaman sekarang harus menyerap secara menyeluruh kekhawatiran-kekhawatiran dan harapan-harapan umat manusia dewasa ini untuk menawarkan kepada mereka kemungkinan-kemungkinan pembebasan secara utuh dan kekayaan-kekayaan keselamatan yang utuh dalam Kristus Tuhan…..”. Dalam usaha memahami dan mendalami tugas konsientisasi dan pembebasan dari katekese, menarik memperhatikan batasan katekese yang diberikan oleh Mgr. Andrade Ponte dalam Sinode para Uskup 1977 sebagai berikut:
Katekese adalah “tindakan profetis Gereja, melalui mana di bawah dorongan Roh Kudus umat kristiani atau setiap orang beriman, dengan merefleksi jati diri mereka dan misteri paskah Kristus seperti diwahyukan dalam Injil dan diterangkan oleh Gereja, menciptakan kesadaran kritis melalui suatu interpretasi atas kehidupan dan sejarah umat manusia secara terus menerus dalam terang iman, dengan tujuan mencapai kematangan hidup kristiani mereka sedemikian rupa, sehingga Kerajaan Bapa dirayakan di bumi melalui liturgi dan ditegakkan di dunia melalui keperdulian-keperdulian yang semakin besar”.
4. Katekese adalah Penafsiran Kembali Iman dan Dialog Kebudayaan
Pemahaman tentang unsur kebudayaan yang menyejarah dan perwahyuan sabda Allah di atas membawa beberapa konsekuensi bagi katekese. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1)Katekese adalah pewartaan sabda yang menjelma dalam ceritera-ceritera sejarah, termasuk secara essensial ceritera tentang fakta-fakta yang bermakna bagi umat manusia. Itulah aspek memoria (kenangan) yang menghiasi katekese , pengandaian sifat menyejarah dari sabda yang diwahyukan, yang berfungsi sedemikian rupa, sehingga “dalam tiap penyajian katekese perlu muncul secara jelas pengenangan kembali masa yang telah silam, penyadaran masa kini dan harapan akan kehidupan yang akan datang”. Dalam arti ini ceritera, atau lebih tepat ceritera yang bermakna, secara konstitutif menjadi upaya komunikasi dalam katekese.
“Setiap katekese adalah penuturan kembali ceritera tentang kejadian-kejadian, melalui mana Allah mewahyukan Diri kepada umat manusia”.
“Tetapi ceritera menjadi juru bicara sejarah keselamatan hanya kalau kita membiarkan sejarah keselamatan menjadi sejarah kita”.
2)Katekese tersisipkan dalam dialog antara Pewahyu dan umat beriman, antara Tuhan dan manusia. Dalam sejarah yang panjang dari jalinan yang tak terpisahkan antara perwujudan-perwujudan sabda Allah yang ditujukan kepada umat manusia dan jawaban manusia yang percaya tersisipkan juga sebagai suatu momen yang amat penting katekese umat beriman kristiani. Momen ini adalah momen perwujudan warta ilahi dan jawaban umat beriman, yang memperbaharui dan memperdalam rasa penerimaan dan kerjasama. Dalam arti itulah katekese menjadi suatu tempat, di mana sabda Allah terus bergema dalam sejarah, dalam pelbagai bentuk ajaran, ajakan, pewartaan, doa, kesaksian dan sebagainya.
3)Katekese mengandaikan dan merealisasikan inkulturasi iman. Hal ini merupakan suatu tuntutan pewartaan injil , yang dalam arti tertentu juga mewarnai refleksi Gereja atas katekese dalam Sinode para Uskup 1977. Refleksi itu menyatakan, bahwa katekese, seperti setiap bentuk pewartaan injil dan pelayanan sabda, mengambil bagian dalam tugas Gereja yang rumit tetapi perlu. Tugas ini ialah memikirkan kembali dan menyampaikan iman dalam kategori-kategori kebudayaan setiap daerah dan setiap bangsa dalam upaya menafsirkan kembali pengalaman kristiani secara otentik
“Dalam arti ini sah memikirkan katekese sebagai salah satu sarana ‘akkulturasi’, yakni memperkembangkan dan dalam waktu yang sama menerangi dari dalam bentuk-bentuk kehidupan para peserta katekese”.
“Dapat kami katakan, bahwa katekese, begitu pula pewartaan Injil pada umumnya, dipanggil untuk mengantar kekuatan Injil memasuki inti kebudayaan serta kebudayaan-kebudayaan. Untuk maksud itu katekese akan mencoba memahami kebudayaan-kebudayaan itu beserta komponen-komponennya yang pokok. Katekese akan mempelajari ungkapan-unkapannya yang paling relevan. Katekese akan menghormati nilai-nilai serta kekayaan khas kebudayaan-kebudayaan. Begitulah katekese akan mampu menyumbangkan kepada kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang tersembunyi (bdk. Rom 16:25; Ef 3:5)”.
Sejauh berkenaan dengan masalah-masalah dewasa ini tentang pewartaan Injil dan katekese, tema inkulturasi atau akkulturasi iman menduduki tempat yang penting, baik secara teoretis maupun praktis. Inkulturasi iman merupakan suatu yang menarik dan sulit dari kegiatan katekese, yang di masa mendatang membutuhkan usaha yang penuh keberanian dan seimbang sebagai jawaban atas syarat-syarat yang riil dari penyebaran sabda yang secara terus-menerus ditujukan Allah kepada semua manusia dari segala zaman.
4)Katekese juga mengambil bagian dalam upaya hermeneutik untuk menafsirkan dan merumuskan kembali iman. Upaya ini, yang dilaksanakan dengan pelbagai cara oleh refleksi teologi dan keseluruhan praxis Gereja, juga menjadi tugas katekese dalam pelaksanaan aktualisasi sabda demi pendalaman iman umat, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok. Pada zaman sekarang dalam konteks kepekaan kultural dewasa ini tugas ini sedemikian penting, sehingga langkah-langkah proses katekese dalam arti tertentu didominasi oleh masalah-masalah hermeneutik. Maka perlu diusahakan, supaya sekaligus katekese menjadi penyampaian dokumen-dokumen iman dan tempat terciptanya bahasa iman yang dapat dimengerti oleh orang-orang zaman sekarang.
5. Katekese adalah Tindakan Roh dan Tindakan dalam Roh
Katekese, sejauh merupakan karya pewartaan Gereja untuk memperdalam iman, adalah karya Roh Kudus. Dimensi spiritual sabda Allah membawa banyak konsekuensi bagi katekese. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Katekese perlu dilaksanakan dalam semangat penerimaan dan kepatuhan pada anugerah Roh Kudus. Proses katekese tidak dapat hanya bersandar pada hukum komunikasi yang manusiawi belaka dan pada kehebatan pendidikan yang diorganisir dengan baik. Katekese tidak dapat dimengerti di luar konteks spiritual penerimaan anugerah, rahmat, yang menyebabkan munculnya sikap rendah hati dan patuh.
“Dengan demikian katekese mempunyai tugas untuk mempersiapkan manusia (lewat kata-kata, yang harus disertai kesaksian hidup dan doa), supaya mampu menerima karya Roh Kudus dan supaya dapat bertobat dengan lebih mendalam”.
“…..jelaslah, bahwa sementara melaksanakan perutusannya untuk berkatekese, Gereja…..harus menyadari sedalam-dalamnya, bahwa ia bertindak sebagai instrumen hidup yang patuh terhadap Roh Kudus. Terus menerus menyerukan Roh Kudus, berada dalam persekutuan dengan-Nya, mencoba menangkap inspirasi-Nya yang otentik, itulah seharusnya sikap Gereja yang mengajar dan setiap katekis”.
2)Katekese menuntut suasana rohani dari doa dan kontemplasi. Untuk mengatasi kelemahan “daging” sabda manusia yang tidak didukung oleh Roh, katekese harus merupakan sabda yang diwartakan dalam Roh, dalam suasana kerendahan hati dan doa, dan harus merupakan suatu inisiasi ke doa dan meditasi. Dalam konteks demikianlah ditekankan pentingnya spiritualitas yang mendalam bagi pelaksanaan katekese sebagai suatu dorongan batin dari suatu kegiatan yang terbuka untuk pembaharuan dalam Roh. Spiritualitas tidak boleh dicampuradukkan dengan pelarian ke kesunyian, dengan penolakan diskusi atau karya untuk kepentingan umum. Spiritualitas tidak menghilangkan sikap kritis, justru sebaliknya. Spiritualitas yang didasari oleh Injil dan Roh Kudus merupakan sumber pembaharuan hidup, baik hidup pribadi, hidup menggereja maupun hidup bermasyarakat. Maka spiritualitas memungkinkan seseorang bersikap kritis yang didasari cinta kasih.
3)Katekese dalam Roh harus merupakan sabda yang disampaikan dengan kewibawaan, kebebasan, keberanian dan kreativitas. Itulah sifat-sifat Roh yang menjiwai Gereja dan mendorong Gereja untuk menyampaikan sabda. Sifat-sifat Roh seperti itu membawa banyak konsekuensi praktis bagi katekese, seperti menghindari bentuk-bentuk immobilitas, sikap tertutup pada skema tradisional, ketakutan akan hal-hal yang baru dan yang segar.
6. Katekese adalah Pewartaan tentang Kepastian dan Perjalanan menuju Kebenaran
Dari satu pihak berdasar pengertian sabda Allah sebagai kebenaran yang telah disampaikan dan dimiliki, muncul pandangan katekese sebagai suatu warisan, yakni penyampaian suatu sistem ajaran yang sudah definitif dalam bentuk pengajaran megisterium. Dari lain pihak ada macam katekese lain yang dimengerti sebagai pelayanan sabda Allah yang masih dijanjikan, yang dilaksanakan dalam suatu dinamika yang terbuka dan bersifat dialogal. Di bawah ini diberikan beberapa sifat dari katekese yang terbuka itu sebagai konsekuensi dari sabda Allah yang dimengerti sebagai sabda yang sekaligus sudah dianugerahkan dan masih dijanjikan.
1)Katekese adalah penyampaian hal-hal yang pasti, tetapi juga merupakan suatu upaya pencarian yang terbuka. Katekese tradisional dalam bentuk tanya-jawab merupakan suatu sistem yang tertutup: hanya hal-hal yang pasti yang harus disampaikan dan menganggap semuanya sama pasti. Katekese zaman sekarang perlu memiliki rasa dan sikap proposional dalam usaha bersama mencari kebenaran. Hal itu berarti bahwa katekese perlu memiliki kemampuan menerima hal-hal yang bersifat sementara tanpa mengabaikan hal-hal yang tetap dan definitif dari warta kristiani. Ada dua hal penting dalam katekese. Dari satu pihak katekese perlu memiliki keyakinan bahwa memiliki kebenaran, yang dapat meneguhkan orang-orang kristiani dalam jatidiri mereka dan membantu mereka agar dapat melepaskan diri dari iklim keragu-raguan, ketidakpastian dan kejenuhan yang mengelilingi mereka. Dari lain pihak katekese perlu menyadari bahwa setiap pembicaraan tentang Tuhan tidak pernah tuntas. Maka perlu membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus dalam perjalanan menuju kepenuhan kebenaran dan bukan menjadikan iman kristiani sikap orang yang sudah mencapai tujuan, melainkan sikap orang yang masih dalam perjalanan ke depan, seperti yang dialami Abraham.
2)Katekese bukan hanya tindakan megisterium, tetapi juga kesaksian dan perjalanan yang dilaksanakan dalam kelompok umat beriman. Anggapan bahwa hanya ada satu model katekese, yakni penyampaian isi katekese oleh katekis kepada kelompok peserta katekese, tidak berlaku lagi. Dalam setiap proses katekese pada kenyataannya seluruh para peserta katekese, anak-anak dan orang-orang dewasa, para imam dan kaum awam, bersama-sama menempuh suatu perjalanan, dalam mana mereka saling tolong menolong dalam usaha memberi kesaksian tentang iman mereka dan memperdalamnya.
3)Dalam katekese ditemukan perbedaan-perbedaan. Tidak semua hal dalam katekese sama penting dan memiliki tingkat kepastian yang sama. Isi suatu katekese yang terbuka pada dinamika sabda tidak disajikan tanpa perbedaan, tetapi dibedakan antara yang pokok dan tambahan, yang pasti dan yang belum pasti. Pendek kata, dalam katekese semacam itu ditemukan dan diberlakukan hierarki kebenaran.
4)Katekese perlu terbuka pada dialog dan diskusi. Dalam paham Gereja sebagai satu-satunya pemilik kebenaran, katekese menunjukkan diri sebagai pemilik kebenaran agama yang eksklusif, yang – berbeda dengan kebenaran agama-agama lain – dianggap sudah mencukupi dan tertutup. Dari sini muncul sikap polemik dan apologetik palsu, bahaya intoleransi, prasangka dan persaingan. Katekese yang terbuka akan kebenaran dalam sejarah, dengan bimbingan Roh Kudus, tidak takut untuk berhadapan dan berdialog dengan agama dan keyakinan lain, membuka diri untuk kerjasama, dan merupakan pendidikan menuju perdamaian, kesatuan dan penghayatan pluralitas.
5)Katekese perlu disesuaikan dengan kondisi para peserta katekese dan zamannya. Menurut paham lama katekese merupakan kristalisasi rumusan-rumusan iman yang sama untuk semua peserta katekese tanpa membedakan umur, lingkungan kebudayaan dan sejarah. Dalam pandangan yang historis dan eskatologis tentang sabda, katekese dilihat sebagai suatu usaha penyesuaian dan perumusan kembali yang terus menerus, mengingat para peserta dan situasi mereka yang bermacam ragam. Katekese perlu selalu waspada akan tuntutan-tuntutan sezaman dan dinamika setiap perkembangan.
6)Katekese merupakan pendalaman iman yang terus menerus. Katekese yang dipandang sebagai penyampaian suatu sistem ajaran yang tertutup akan berhenti pada akhir siklus waktu tertentu atau pada akhir usia tertentu. Tetapi, sebaliknya, katekese yang terbuka dilaksanakan secara terus menerus mengikuti dinamika perkembangan eksistensi umat beriman.
7)Katekese bukan hanya asimilasi, tetapi juga kreativitas. Dalam katekese para peserta tidak hanya secara pasif menerima ajaran-ajaran, tetapi juga harus bersikap aktif dengan menyumbangkan gagasan dan pengalaman hidup beriman mereka.
Jakarta, 5 Maret, 2014,
FX. Adisusanto SJ.
Sumber :
Emilio Alberich, Catechesi e Prassi Ecclesiale, Elle Di Ci, Leumann (Torino), 1982
Kongregasi Untuk Iman, Petunjuk Umum Katekese, terj. Komkat KWI, Dokpen KWI, Jakarta, 2000.
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum Tentang Wahyu Ilahi, terj. R. Hardawiryana, SJ., Dokpen KWI, Jakarta, 1993.
Paulus VI, Paus, Evangelii Nuntiandi, terj. J. Hadiwikarta, Pr., cet. ke-17, Dokpen KWI, Jakarta, 2003.
Yohabes Paulus II, Paus, Catechesi Tradendae, terj. R. Hardawiryana, SJ., cet. ke-3, Dokpen KWI, Jakarta, 2006.