BERIMAN DALAM HIDUP BERMASYARAKAT: TANTANGAN BAGI KATEKESE
(PKKI V: Caringin – Bogor, 1992)
A.REFLEKSI ATAS PKKI V
PKKI V yang berlangsung tanggal 22 sampai dengan 10 September 1992 masih menggemakan sesuatu dalam benak penulis.Bukan bahwa pertemuan itu begitu hebat, melainkan bahwa masalah-masalah yang digumuli di situ memang bukan masalah ringan.Berikut ini ada beberapa refleksi atas masalah-masalah pokok yang muncul selama pertemuan itu.
1.‘Iman yang memasyarakat’
Kiranya tiada peserta pertemuan yang meragukan bahwa penghayatan iman harus mendapat wujud dalam hidup memasyarakat.Cukup disadari bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk ini, bukan hanya dalam situasinya sekarang ini, tetapi juga dalam trend perkembangannya lebih lanjut, mengandung struktur-struktur yang cenderung meminggirkan semakin besar bagian masyarakat yang lemah dari penikmatan kekayaan alam Indonesia.Tentang fakta ini bisa dikatakan ada kesepakatan. Namun demikian orang tidak begitu saja sepakat tentang bagaimana hal itu dilihat sebagai medan perwujudan iman kristiani sebagai wujud mengikuti Kristus.
Hidup bermasyarakat memang menyuguhkan pelbagai tantangan yang menuntut keterlibatan nyata dan penyelesaian masalah-masalah; namun tidak begitu saja jelas kaitan iman di situ. Orang memperjuangkan suatu masyarakat yang lebih baik Karena ia manusia, yang memperjuangkan sesuatu yang lebih manusiawi. Hidup beriman secara spontan lebih dikaitkan dengan hidup doa, ibadat, pelaksanaan kewajiban-kewajiban “agama”. Ini pun lama dihayati secara individual, dan jarang secara komuniter.Sangat mungkin ini merupakan warisan dari faham iman masa lalu yang tidak mudah dihapus begitu saja. Akan tetapi faham iman dalam Kitab Suci tidak membatasi hidup iman pada ‘hidup kegamaan’, melainkan mencakup pula sikap dan tindakan nyata terhadap sesame dalam masyarakat, khsuusnya mereka yang lemah. Bahwasanya hidup bermasyarakat itu termasuk dalam hidup beriman itu belum tampak menjadi kesadaran spontan umat.Di sini pula katekese harus bisa menjelaskan mengapa hidup bermasyarakat sekarang menjadi bahan katekese.
Iman yang memasyarakat tidaklah berarti bahwa hidup bermasyarakat didikte oleh kaidah-kaidah agama.Hidup bermasyarakat ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diambil secara otonom.Namun iman mempunyai peranan tertentu dalam hidup bermasyarakat.Di sini dijumpai masalah tentang penafsiran Injili atau situasi dan pengalaman bermasyarakat.
2.Penafsiran Injil atas situasi social kemasyarakatan
Dalam PKKI V muncul pula kecemasan bahwa arah yang diambil akan menjadikan kegiatan katekese tinggal pada taraf yang melulu humanistis. Ini merupakan keprihatinan yang pantas mendapatkan perhatian.Bila kegiatan katekese ingin sungguh berupa “katekese”, maka perjumpaan dengan Sabda Tuhan tidak dapat tiada. Akan tetapi masalahnya: Apa yang dimaksud dengan “perjumpaan dengan Sabda Allah” ini, dan bagaimana? Dari satu pihak harus dihindari penafsiran fundamentalistis. Dari lain pihak juga tidak bisa dikatakan bahwa situasi social tidak mempuyai relevansi apa pun untuk situasi sekarang. Dirumuskan secara lebih positif, masalahnya adalah masalah hermeneutic, baik hermeneutic situasi (sekarang) maupun hermeneutic pengalaman alkitabiah.Hermeneutik bertolak dari fakta beriman, dijalankan oleh subyek yang sudah beriman.Dalam diri orang berimanlah terjadi prosese pertemuan antara pengalaman actual dengan pengalaman alkitabiah.Pengalaman actual kemasyarakatan dibacanya dari sudut pandang pengalaman wahyu, dan sebaliknya.Selain mengandaikan pula kebiasaan refleksi. Dengan kata lain, ini mengandaikan suatu taraf tertentu dari apa yang secara tradisional disebut apologetic, yaitu mempertanggungjawabkan iman. Di sini iman dihadapkan pada pertanyaan tentang rasionalitasnya, agar tidak jatuh dalam fideisme atau subyektivisme.
Orang bisa berpikir, apakah hermeneutic ini memang harus menjadi tugas dan beban bagi katekese, dan bukannya tugas ilmu-ilmu lain. Apakah katekese tidak lalu dibebani dengan suatu hal yang tidak langsung menjadi bidang tugasnya? Apakah katekese bukannya hanya bertugas sebagai menyampaikan hasil yang telah diolah oleh ilmu-ilmu lain, untuk disampaikan kepada para pendengar. Ini memang suatu pertanyaan yang sah.Di sini kita kembali lagi pada hakekat katekese sebagaimana dirumuskan dalam PKKI I sampai dengan IV.Dalam rumusan-rumusan itu katekese bukan semata-mata menyampaikan informasi, melainkan pengolahan pengalaman dalam terang Injil. Dengan kata lain, katekese mengandung suatu usaha hermeneutic.
3.Dialog atau Pewartaan Langsung?
Dasar teologis dari orientasi katekese yang memasyarakat adalah keikutsertaan Gereja dalam gerak perwujudan Kerajaan Allah mulai dari dalam dunia ini. Memang, karena kesatuannya dengan Kristus, Gereja mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus dalam rangka perwujudan ini; namun dari lain pihak sebagai karya ilahi Kerajaan Allah mewujudkan diri secara lebih luas dan dalam dari pada apa yang bisa diraba dari bentuk institusional Gereja. Ini berarti suatu faham yang lebih terbuka tentang Gereja sendiri atas dasar sebuah pneumatology yang sehat, khususnya dalam kaitannya dengan Kerajaan Allah.Keterbukaan ini mendapat kongkritisasi dalam kesediaan untuk berdialog dan bekerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik daripada sekarang, lebih mendekati pola-pola hubungan manusiawi yang dicita-citakan Yesus. Akan tetapi pandangan ini memancing reaksi dan pertanyaan seperti misalnya: tidakkah ini akan mengurangi semangat dan dorongan untuk sungguh mewartakan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Penyelamat secara eksplisit serta mengaburkan perlunya baptis untuk mencapai keselamatan? Padahal menjelang tahun 2000 ini sering ditekankan konsentrasi kristologis dari penginjilian. Kiranya diperlukan suatu pandangan yang lebih dinamis tentang realisasi Kerajaan Allah, dan bubungannya dengan institusi Gereja, tentang “kepenuhan Wahyu” yang telah dipercayakan kepada Gereja, tentang keselamatan itu sendiri. Pola piker yang terlalu yuridis dan institusional telah menghalangi orang untuk menyerap apa yang justru telah ditandaskan oleh Konsili Vatikan II (LG 16, GS 22). Keselamatan itu sesuatu yang relasional dan mempunyai corak personal.Pewartaannya kepada semua orang juga harus menempuh jalur yang sesuai dengan hakekat keselamatan itu sendiri.Keselamatan dalam Kristus tidak dapat diwartakan dengan pemaksaan, dengan sikap merendahkan orang lain, dengan terlalu mengandalkan modal dan kekuatan politik, dengan sikap sektarian.
Dilema antara “dialog” dan “pewartaan langsung” merupakan segala dari dilupakannya peranan Roh Kudus dalam kesadaran teologis. Orang hanya bisa mewartakan Kristus dengan tepat karena kekuatan Roh Kudus.Begitu pula, orang hanya bisa menerima Yesus Kristus sebagai yang membawa makna ke dalam kehidupannya hanya karena dorongan Roh Kudus. Tegangan antara “semangat misioner” dan kesabaran serta keluasan hati tentang basil akhirnya hanya bisa dihayati dalam kesadaran akan peranan Roh Kudus. Sikap dasar dialogal, yang mutlak perlu untuk penginjilian dewasa ini, sudah harus tampak dan nyata dalam kegiatan berkatekese itu sendiri. Keterbukaan untuk mendengarkan, belajar dan menerima dari yang lain harus menadai sikap missioner Gereja, juga harus menjadi suasana yang menadai katekese. Secara kongkrit, interaksi dalam katekese perlu lebih beragam; pengembangan materi pengolahan dan pendalaman iman perlu diusahakan oleh segenap peserta daripada melulu usaha fasilitator atau katekis.Dalam taraf perkembangan tertentu, bakan teks-teks Kitab Suci yang relevan bisa justru muncul dari interiaksi para peserta sendiri.
4.Akhir kata
PKKI V harus dilihat sebagai satu mata rantai saja dan suatu proses panjang untuk membuat katekese sungguh fungsional dalam pembentukan Gereja yang missioner di Indonesia ini. Kehadiran dan pembentukan missioner suatu Gereja local menjadi lebih kompleks. Namun apa yang dasariah dalam katekese tetap berlaku, yaitu: iman umat dibangun secara terarah, dalam perjumpaan dengan wahyu ilahi di tengah situasi masyarakat yang kongkrit.
Pesta Penampakan Tuhan 1993
Putranto, SJ
B.PERNYATAAN BERSAMA DAN REKOMENDASI PARA PESERTA PKKI V
PERNYATAAN BERSAMA
1.Kami para peserta PKKI V yang berkumpul dan bersidang di Wisma Kinasih-Caringin-Bogor, dari tanggal 22-30 September 1992, ingin menyampaikan dan membagikan apa yang telah kami jalani, kami alami serta kami sadari dalam pertemuan kami.
2.Pertemuan dengan tema: “membina Iman Yang Terlibat Dalam Masyarakat” ini lebih bercorak usaha untuk belajar bersama-sama tentang bagaimana lewat bantuan analisis social kami bisa melihat situasi masyarakat dengan lebih jelas dalam dimensi keselamatannya, agar dengan demikian pembinaan iman lewat katekese bisa terarah untuk membantu mewujudkan Gereja yang bisa terbuka kepada masyarakat, khsusnya dalam solidaritas nyata kepada mereka yang miskin dan tertindas dalam berbagai wujud.
3.Oleh karenanya dalam pertemuan ini kami menempuh suatu proses, di mana lewat latihan-latihan analitis social kami menggali macam-macam kesadaran baru dalam aspek-aspek problematic bagaimana orang bisa berjumpa dengan sabda ilahi dalam situasi-situasi masyarakat. Dalam perspektif menemukan sabda Allah yang hidup dalam situasi konkrit inilah pertemuan kami diakhiri dengan latihan-latihan menggunakan Kitab Suci dalam katekese yang berorientasi kemasyarakatan.
4.Analisa Sosial bukan pengertian baru dalam katekese di Indonesia. Dalam PKKI IV di Bali tahun 1988 hal ini sudah dimunculkan sebagai alat yang perlu dipakai bilama katekese ingin mempunyai kontak dengan situasi masyarakat yang nyata. Sebagai tindak lanjut dari PKKI IV diadakan macam-macam lokakarya baik di tingkat nasional maupun regional berkenaan dengan ketrampilan mengadakan analisa social. Bahkan lebih dari itu, dibeberapa tempat Analisis Sosial pun mencapai lapisan paling bawah dari pelaksana-pelaksana katekese. Ini menjadi jelas dari pengalaman yang saling dibagikan antar regio-regio pada hari pertemuan kami.
5.Kami menyadari bahwa Analisa Sosial ini hanyalah suatu sarana, namun suatu sarana yang penting, khususnya dalam situasi Indonesia seperti sekarang ini. Kami menyadari bahwa ketidakadilan social merupakan wujud yang paling menonjol dari kenyataan dosa dewasa ini. Oleh karena itu penugasan mewartakan Injil keselamatan, dan katekese termasuk di dalamnya, mengandung penegakan keadilan sebagai dimensianya yang konstitutif (Sinode para Uskup 1971). Analisa Sosial, terutama dalam model konflik, yang dilatihkan dalam pertemuan kami, tidak ingin membuktikan fakta ketidakadilan, melainkan mengandaikannya, dan selanjutnya berusaha mengungkapkan wujud konkret ketidakadilan itu dalam struktur social yang berlaku. Alat bantu ini sejalan dengan tugas keberadaan kristiani di tengah dunia untuk mengungkit kesenjangan yang ada antara Kerajaan Allah yang sedang terwujud di dunia dengan kenyataan-kenyataan yang menentangnya. Lewat model analisis ini perlu cara-cara tanpa kekerasan bisa dicari dan diusahakan untuk merubah struktur masyarakat dan mencari alternatifnya. Analisis semacam ini akhirnya menuntut suatu kepekaan akan ketidakadilan yang muncul dari spiritualitas kedekatan dengan orang kecil.
6.Latar belakang teologis dari usaha menyertakan Analisis Sosial ke dalam proses katekese tidak lain adalah pengertian tentang misi gereja sendiri: Mewartakan Injil Kerajaan Allah dan ikut serta menjadi saksi serta pelaku perwujudan awalnya di dunia ini. Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus dan yang perwujudan awalnya memuncak dalam diri Yesus serta misteri Paskah, menyiratkan tatanan masyarakat baru yang dibangun dari nilai-nilai Kerajaan Allah (keadilan, damai, solkidaritas, cinta kasih), yang dalam banyak hal bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh dunia ini. Oleh karenanya pewartaan ini sekaligus mencakup pewartaan tentang Yesus dalam konteks masyarakat yang konkret, dan akhirnya mengandung perintah untuk ikut membaharui masyarakat yang bersangkutan.
7.Dengan bantuan ilmu-ilmu manusia, analisis dijalankan dalam perspektif untuk menemukan wujud realitas Kerajaan Allah atau lawannya di masa sekarang. Tidak ada situasi yang netral terhadap dinamika Kerajaan Allah yang sedang berlangsung. Maka terhadap permasalahan dasariah yang ditemukan lewat analitis suatu ilmu manusia yang otonom itu perlu diadakan penafsiran atas dasr iman, yakni melihat pengalaman itu sebagai lokasi dari janji Allah akan keselamatan dan atau sebaliknya, sebagai penolakan manusia terhadap tawaran serta janji Allah.
8.Bagian tentang penggunaan Kitab SUci di dalam katekese yang menggunakan Analisa Sosial ditandai dengan permasalahan bagaimana mempertemukan pengalaman kemasyarakatan masa kini dengan pengalaman Alkitabiah, mengingat bahwa Allah, yang dulu dialami sebagai yang menyapa umatnya, kini juga sedang menyapa manusia dalam situasi sosialnya yang konkret. Kami sampai pada kesadaran bahwa Katekese Suci dalam proses tersebut bukanlah semata-mata soal menemukan teks yang tepat, melainkan soail membiasakan diri terbuka akan pengalaman orang lain, dan terutama pengalaman alkitabiah, sehingga terbiasa pula dengan dinamika perjumpaan dengan Allah dalam macam-macam wujud konkret. Dengan demikian pengalaman memperlajari penggunaan Kitab Suci ini membuka mata kami akan hakekat Katkese Umat yang sebenarnya, yang telah kami rumuskan dalam PKKI II.
9.Dengan demikian kami yakin bahwa katekese dalam orientasi yang telah kami latih di atas, ikut serta memberi wujud konkret pada realisasi Kerajaan Allah, realisasi bagaimanapun di dunia ini selalu bercorak tanda yang menantikan pemenuhan definitifnya oleh Allah di akhir zaman.
REKOMENDASI
1.Agar para pemimpin Gereja meresteui dan menyebarluaskan katekese yang berorientasi kemasyarakatan ini demi pengabdian dan pelaksanaan tugas Gereja Indonesia sekarang ini.
2.Agar diadakan kerjasama dan gerak yang terpadu diantara komisi-komisi yang ada, baik di tingkat KWI maupun di tingkat Keuskupan, agar Gereja bisa sungguh mengabdi dan berarti bagi bangsa dan masyarakat Indonesia zaman sekarang.
3.Agar setahun sekali KWI menentukan dan mengadakan minggu katekese atau bulan katekese, dalam waktu mana Gereja secara khusus memikirkan dan memberi perhatian pada karya katekese, terutama katekese yang terarah untuk membina iman yang terlibat dalam masyarakat.
4.Agar para Pembina calon katekis selalu mengusahakan dan meningkatkan pembinaan calon katekis dalam bidang pengetahuan, ketrampilan dan spiritualitas, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan penghayatan iman yang memasyarakat. Hal yang sama diharapkan pula dari para penanggungjawab aktekis (pastor paroki, pimpinan lembaga-lembaha pendidikan) terhadap para katekis mereka.
5.Agae di setiap Keuskupan ada suatu peraturan kepegawaian yang jelas bagi mereka yang bekerja untuk Keuskupan, termasuk di dalamnya para katekis, entah mereka ini akademis atau non-akademis, entah full-timer atau part-timer.
Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, September 1992