Guru Katolik Zaman Now; Peran Penting Guru di Sekolah-Sekolah Katolik (DR. Andreas B. Atawolo OFM)

Menjadi Komunitas yang Mendidik*

 DR. Andreas B. Atawolo OFM

                                                                                                       (christusmedium.com)

Pengantar

Paparan berikut didasarkan pada beberapa dokumen Gereja tentang Pendidikan Katolik. Sebuah dokumen Gereja Katolik yang penting ialah Pernyataan Tentang Pendidikan Kristen (Katolik) Gravissimum Educationis yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II[1] (1962-1965).

Dokumen Konsili tersebut menginspirasi penerbitan dokumen lain yang secara langsung maupun tidak langsung berbicara tentang Sekolah Katolik. Dokumen-dokumen tersebut datang dari seorang Paus atau secara khusus dari Kongregasi Pendidikan Katolik.

Kongregasi Pendidikan Katolik sendiri misalnya telah menerbitkan beberapa Instruksi tentang Pendidikan Katolik. Dalam paper ini saya menggunakan dokumen Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik (2013), Mendidik untuk Humanisme Persaudaraaan (2017)[2] dan Identitas Sekolah Katolik untuk Budaya Dialog (2022)[3]Selain itu, saya juga mengambil inspirasi dari Ensiklik dan Seruan Apostolik Paus Fransiskus.

Terkait tema Hari Studi MNPK kali ini saya memberi fokus pada poin-poin berikut: Pertama, mamaknai corak kemendesakan pendidikan yang dimaksud oleh Konsili Vatikan II sambil menempatkannnya dalam konteks dunia sekarang. Kedua, merefleksikan corak peran menentukan guru dalam dunia pendidikan, secara khusus guru di Sekolah Katolik. Ketiga, menempatkan peran bersama antara orangtua, guru, siswa, Gereja, serta pihak-pihak lainnya, sebagai sebuah komunitas yang memberi kesaksian sebagai komunitas yang mendidik.

  1. Kemendesakan Pendidikan

Judul Pernyataan Konsili Vatikan II tentang pendidikan, Gravissimum Educationis mengindikasikan sifat kemendesakan pendidikan. Mengapa dikatakan ‘mendesak’? Menurut saya, kemendesakan yang dimaksud oleh Konsili bermakna positif sekaligus negatif:

Di satu pihak Konsili melihat bahwa pendidikan merupakan hak asasi pribadi manusia. Hak untuk menerima pendidikan itu melekat pada diri manusia, tidak dapat digugat. Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah mencapai pembinaan pribadi manusia secara utuh: dalam hal fisik, moral, intelektual, suara hati.[4] Di masa Konsili Vatikan II, Gereja sudah melihat dampak positif kemajuan ilmu dan teknologi, yaitu membuka peluang bagi semakin banyak orang untuk menempuh pendidikan dan membentuk dirinya dengan lebih utuh.

 Di lain pihak, Konsili menyadari bahwa masih banyak sekali orang yang belum mendapat pendidikan (bahkan pendidikan dasar sekalipun), dan masih banyak pula yang belum menikmati pendidikan secara memadai. Kenyataan ini menantang misi Bunda Gereja untuk memperluas pendidikan, dan melalui itu, mewujudkan misi keselamatan bagi semua orang.[5]

Gereja sendiri adalah pelaku pendidikan. Dan ia menyadari bahwa dalam mengemban misi pendidikan itu, ia memang memiliki peran khusus, sambil tetap menghargai hak maupun kewajiban pihak-pihak lain yang perannya sangat menentukan, yaitu orangtua di rumah dan guru di sekolah. Peran guru dan orangtua dalam pendidikan, oleh Konsili dimaknai sebagai panggilan. Panggilan ini memerlukan ‘bakat khas budi maupun hati, persiapan yang amat saksama, dan kesediaan hati untuk tiada hentinya membarui dan menyesuaikan diri’[6].

  1. Guru: Peran yang Menentukan

Judul yang ke delapan dokumen Gravissimum Educationis yang dikutip dalam Instruksi dari Kongregasi Pendidikan Katolik Identitas Sekolah Katolik no. 14, menekankan beberapa poin terkait peran guru Katolik. Dikatakan bahwa peran guru Katolik bersifat menentukan bagi sekolah Katolik. Peran yang menentukan itu dapat dijabarkan dalam poin-poin berikut:

 2.1. Formasi Bagi Guru dan Pengelola Sekolah

Guru adalah orang yang telah menjalani suatu formasio dalam bidang ilmu dan sekarang ia siap untuk membentuk orang lain (siswa). Gravissimum Educationis menegaskan bahwa hendaknya para guru sungguh disiapkan supaya membawa bekal ilmu pengetahuan profan maupun keagamaan. Bagi seorang guru Katolik, yang diperlukan bukan hanya formasi intelektual, tetapi juga sebuah formasi keagamaan yang khas Katolik.

Perlu dicatat bahwa bagi Konsili Vatikan II, seorang guru Katolik hendaknya memiliki “pengetahuan keagamaan yang dikukuhkan oleh ijazah semestinya.”[7] Kongregasi Pendidikan bahkan menekankan bahwa ‘dalam pembinaan generasi muda, guru harus menonjol dalam ajaran yang benar dan integritas hidup (bdk. kan. 803 § 2 KHK dan kan. 639 KKGKT).[8]

Lebih lanjut Kongregasi Pendidikan mengingatkan bahwa pembinaan bagi para guru dan pengelola sekolah wajib mempertimbangkan dua hal penting: pertama, aspek-aspek disipliner dan profesional yang khas dalam pelajaran dan tata kelola; dan kedua, dasar-dasar budaya dan pedagogis yang membentuk identitas sekolah-sekolah Katolik.[9]

Tuntutan ini searah dengan regulasi di Indonesia tentang seorang guru. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru memiliki empat kompetensi dasar: kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.

Formasi yang baik bagi para guru akan memampukan mereka untuk dapat membaca dan menafsirkan tuntutan masyarakat dalam konteks saat ini. Pada tataran lebih konkret, mereka mampu membangun dan meningkatkan kerja sama dengan orangtua seraya menghormati tanggung jawab orangtua di keluarga sebagai pendidik pertama.[10]

Alasan lebih lebih mendasar terkait formasi bagi seorang guru Katolik ialah bahwa “mendidik bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah sikap, cara berada; agar dapat mendidik, orang harus keluar dari dirinya sendiri dan berada di antara orang-orang muda, mendampingi mereka dalam tahap-tahap pertumbuhan mereka dengan menempatkan diri di samping mereka.”[11]

2.2. Kemahiran Mendidik di Tengah Zaman

Konsili juga menegaskan bahwa guru Katolik hendaknya mempunyai kemahiran mendidik, sesuai dengan penemuan zaman modern.[12] Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik yang mahir (terlatih, trampil, profesional, tahu seluk-beluk apa yang ia lakukan).

Namun kemahiran mendidik perlu ditempatkan dalam konteks perubahan zaman. Karena itu ditegaskan bahwa “pendidik harus mau belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan terbuka terhadap pembaruan dan pemutakhiran metodologi.”[13]

Tentang kemahiran mengajar dan mendidik sesuai dengan penamuan zaman, seruan Paus Fransiskus dalam Christus Vivit patut untuk disimak. Dalam Seruan ini Paus berbicara tentang konsekuensi-konsekuensi praktis dalam pendidikan bagi generasi muda era milenial.

Pertama-tama perlu disadari bahwa lingkungan digital merupakan ciri dunia kontemporer. Kita ‘hidup dalam sebuah budaya yang hampir seluruhnya digital’. Dalam konteks ini internet menjadi ‘sebuah ruang publik di mana orang-orang muda meluangkan banyak waktu dan saling bertemu dengan mudah’. Di era sekarang ini web atau jejaring sangat diperlukan.[14]

Ditekankan pula bahwa orang muda perlu ditempatkan sebagai pelaku utama program pastoral dan pendidikan. Bagi para pendidik dan agen pastoral diperlukan gaya dan strategi baru: lebih fleksibel, bukan rutin dan kaku. Gaya baru ini, demikian Paus, termasuk pilihan sarana dan media: pesan, nyanyian, video, musik, teater, olahraga, outing, camping, jalan-jalan.[15]

Selain itu, patut disadari bahwa bahasa yang dimengerti oleh orang muda adalah bahasa dari orang yang memberikan hidupnya. Maka ditekankan pentingnya pengalaman sukacita dan perjumpaaan, bukan indoktrinasi; mempercayai bukan menghakimi.[16]

 2.3. Belajar dari Guru Yesus

Yesus sendiri digelari Guru dan Tuhan (Yoh. 13: 13). Sebagai Guru, ketika orang banyak datang kepada-Nya, “seperti biasa Ia mengajar mereka” (Mrk. 10: 1). Santo Paulus menegaskan bahwa Kristus satu-satunya Guru. Beberapa ciri Yesus mengajar sebagai Guru:

Berwibawa Karena Teladan. Kuasa Yesus berasal dari Allah sendiri. Ia taat pada kehendak Bapa-Nya. Maka misi-Nya tidak bergantung pada keinginan manusia. Namun kuasa Yesus adalah kuasa yang membebaskan, membawa perubahan diri seseorang, tak membelenggu.

Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14: 6). Yesus adalah Jalan: Ia memberi petunjuk dan mengajar melalui kata-kata. Kebenaran: apa yang diajarkan Yesus itu merupakan kebenaran (veritas). Ada banyak guru yang mengajar dan memberi inspirasi. Namun Yesus menegaskan otoritasnya sebagai Guru Kebenaran, satu-satunya Kebenaran.

Yesus tidak hanya memberi kesaksian tentang kebenaran. Lebih lagi: Diri-Nya sendiri adalah Kebenaran itu sendiri. Apa yang diajarkan oleh Guru Yesus adalah kebenaran yang Ia sendiri hayati. Ia Guru yang berwibawa. Semua orang kagum dan takjub pada Dia, karena ajaran-Nya tampak nyata dalam tindakan-Nya. Ia mengajar dengan teladan. Dan kebenaran yang diajarkan Yesus adalah kebenaran yang membawa kehidupan, mengubah cara pandang orang, membawa pembaruan dan memberi pengharapan akan makna hidup yang lebih mendalam.

Dengan kata lain, teladan guru adalah otoritas yang paling berwibawa bagi siswa. Paus Fransiskus, dalam Pidato kepada para Siswa Sekolah-sekolah Yesuit Italia dan Albania berkata: “Seorang pendidik…menyampaikan pengetahuan, nilai-nilai dengan kata-katanya, tetapi kata-kata itu akan berdampak sangat menentukan pada anak-anak dan orang muda jika kata-katanya itu disertai dengan kesaksiannya, dengan cara hidupnya yang konsisten”[17].

Pendekatan Personal. Ajaran Yesus menyentuh pribadi manusia, tidak dibatasi oleh identitas luar, melainkan diri orang. Guru Yesus mengerti bahwa orang-orang yang datang kepada Dia adalah mereka yang kehilangan perhatian dan tuntunan, bagaikan domba tanpa gembala.

Ajaran Yesus merupakan sebuah personal formation, bukan sekedar pengetahuan dan pengertian-pengertian rasional. Dalam Injil Markus, Yesus mengajar di Sinagoga, tepih pantai, di jalan, dan akhir perjalanan-Nya ke Yerusalem. Adegan pengajaran Yesus dalam Mrk 4: 1, di mana Yesus duduk di atas sebuah perahu dan orang banyak duduk di tepi pantai. Ini memperlihatkan bahwa mengajar bagi Yesus adalah relasi, bukan posisi/kedudukan.

Membangun Kepercayaan. Dalam perjalanan menuju Yerusalem Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya bukan hanya tentang kata orang tentang Dia, tetapi pandangan para murid sendiri tentang Dia. Artinya sebagai Guru, Ia bukan hanya penyalur informasi. Ia berusaha membangun relasi sehingga para murid semakin percaya pada-Nya (trust).

Menggerakkan imajinasi kreatif. Yesus mengajar dengan perumpamaan, metafora, gambaran, dan cerita, untuk merangsang para pendengar sendiri merefleksikan maknanya. Perumpamaan tentang penggarap (Mrk. 12: 1-11) misalnya bersifat interaktif, karena merangsang para pendengar menafsirkan dan berefleksi agar dapat menerapkan pesan sesuai situasi dan pengalamannya. Yesus menggerakan imajinasi dan menyentuh hati. Dalam Mrk. 12: 12, para pendengar sendiri menyadari bahwa merekalah yang Ia maksudkan.

Penuh belas kasih. Dalam Mrk. 6: 34, dikisahkan bahwa hati Yesus tergerak oleh belas kasihan ketika melihat orang banyak bagaikan domba tanpa gembala. Jika dalam Mat. 14: 14, dikatakan bahwa “Yesus menyembuhkan mereka yang sakit,” dalam Markus dikatakan bahwa “Yesus mengajar banyak hal kepada mereka.” Penginjil Markus menekankan bahwa Yesus memperlihatkan belas kasih kepada orang banyak bukan hanya dengan memberikan makanan dan memulihkan kelemahan fisik, tetapi juga memenuhi kerinduan mereka akan kebijaksanaan.

Muatan moral dalam ajaran Yesus terasa tajam, tuntutannya tidak kompromistis, dan kuasa-Nya pun absolut/ mutlak. Namun Yesus menyampaikannya kepada para pendengar dengan cara yang membangkitkan optimisme dan kepercayaan, bukan ketakutan atau keraguan.

Mengajar adalah tugas Kerasulan. Tugas mengajar Guru Katolik adalah sebuah kerasulan. Ia memberi kesaksian tentang Kristus satu-satunya Guru, yang ajaran utamanya ialah cinta kasih. Hendaknya cinta kasih yang menjadi landasan relasi antara guru dan siswa.[18]

Hal ini penting mengingat bahwa karya pendidikan yang dilakukan oleh Gereja melalui sekolah-sekolah bukan sekadar pekerjaan filantropis yang ditujukan untuk menanggapi kebutuhan sosial belaka, tetapi mewakili bagian penting dari identitas dan misinya.[19]

Karya para guru di sekolah Katolik “adalah kerasulan dalam arti sebenarnya […] dan sekaligus pelayanan sejati yang ditawarkan kepada masyarakat.”[20] Hal ini senada dengan penegasan Kongregasi Pendidikan Katolik bahwa kerasulan umat awam, religius dan klerus di sekolah-sekolah adalah kerasulan gerejawi yang otentik.”[21]

Sebab itu Gereja mengharapkan agar seorang guru Katolik memiliki identitas penuh dalam ketaatan pada kebenaran transenden, yaitu kebenaran yang bersumber pada Allah sendiri. Terkait hal ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa jika tidak ada kebenaran transenden, dalam ketaatan manusia mencapai identitas penuhnya, maka tidak ada prinsip yang pasti.[22]

  1. Komunitas yang Mendidik (Guru, Orangtua, Gereja)

Orangtua, anak didik, guru, dan Gereja merupakan unsur-unsur pokok pendidikan. Mereka merupakan sebuah komunitas: masing-masing memainkan peran khas, namun semua berjalan dalam satu spirit, sehingga peran dari satu pihak memengaruhi dinamika seluruh komunitas.

Jejaring Komunitas. Jelaslah bahwa sekolah “merupakan pusat, yang aktivitas dan kemajuannya harus diikuti bersama oleh keluarga, guru, berbagai jenis asosiasi dengan tujuan budaya, kewarganegaraan dan agama, masyarakat sipil dan seluruh komunitas manusia.”[23]

Misi pendidikan Katolik dilaksanakan dalam kerja sama antara murid, orang tua, guru, staf non guru dan badan pengelola – yang membentuk komunitas pendidikan.[24] Masing-masing pihak ini merupakan bagian tak terpisahkan dari ‘komunitas yang mendidik.’[25]

Di era mondern ini, tidak ada lembaga pendidikan yang mampu berdiri sendiri. Gravissimum Educationis menegaskan pentingnya kerja sama dari tingkat keuskupan sampai tingkat internasional: Mengingat bahwa “kerja sama, yang diangkat di tingkat keuskupan maupun tingkat nasional dan internasional semakin mendesak, serta berkembang, juga sangat penting di bidang persekolahan, maka harus diusahakan sekuat tenaga, agar dipupuk koordinasi yang baik antar sekolah Katolik dengan sekolah-sekolah lain.”[26]

Tentu saja komunitas pendidikan juga perlu memperluas jaringan kerja sama dengan pelbagai pihak lain seperti pemerintah, swasta, lembaga akademik, non akademik, perusahaan, lembaga kemsayarakatan, dan sebagainya[27]. Dengan kerja sama itu, lembaga pendidikan Katolik berpartisipasi membangun komunitas pendidikan yang menjangkau masyarakat luas.

 Orangtua. Para orangtua tak tergantikan. Gravissimum Educationis mengingatkan bahwa orangtua terikat kewajiban yang amat berat untuk mendidik anak mereka. Orangtua lah pendidikan mereka yang pertama dan utama. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat.[28] Meminjam kata-kata Paus Fransiskus, keluarga adalah sanggar budaya kehidupan, tempat pembinaan integral.[29]

Peran itu menegaskan bahwa mereka (orangtua) adalah mitra kerja bagi para guru. “Penting bagi orangtua untuk bekerja sama erat dengan guru, terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai komunitas sekolah dan anak-anak mereka, dan berpartisipasi dalam pertemuan atau asosiasi sekolah (bdk. kan. 796 § 2 KHK dan kan. 631 § 1 KKGKT).[30]

 Guru. Para guru adalah anggota komunitas profesional. Mereka bertanggung jawab dalam hubungan dengan keluarga-keluarga para siswa. Mengingat peran mereka ini, perlu ditegaskan bahwa keberadaan mereka lebih dari sekedar sebuah korps yang diikat dengan birokrasi. Mereka adalah komunitas yang menghidupi relasi profesional sekaligus personal.[31]

Peran guru dalam pendampingan siswa, tidak hanya selesai di tahap pendidikan formal, tetapi juga setelah siswa tamat dari sekolah, melalui himpunan, organisasi atau persahabatan.

Peran penting para guru di sekolah, berjalan dalam arahan kepala sekolah sebagai leader. “Kepala sekolah lebih dari sekadar manajer organisasi. Mereka adalah pemimpin pendidikan sejati karena merekalah yang pertama mengambil tanggung jawab ini, yang juga merupakan misi gerejawi dan pastoral yang berakar pada hubungan dengan para gembala Gereja.”[32]

Gereja. Gereja sendiri merupakan ibu dan guru yang mengajar para anggotanya tentang keutamaan Kristiani. Gereja memberi kesaksian tentang karya keselamatan Allah yang terwujud dalam diri Yesus Kristus. Gereja sebagai ibu dan guru wajib menyelanggarakan pendidikan, agar seluruh umat diresapi semangat Kristus.[33]

Dokumen Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog memaparkan implikasi praktis-yuridis berkaitan dengan peran Gereja lokal bagi lembanga pendidikan. Misalnya tentang pengangkatan ataupun pemberhentian seorang guru oleh Uskup atau Ordinaris Wilayah, berdasarkan pertimbangan profesional, etis, moral, hukum, dan hak asasi seorang Guru.

“Uskup Eparki /Ordinaris setempat berhak mengangkat atau setidak-tidaknya menyetujui guru-guru agama untuk keuskupan/eparkinya, dan demikian pula, jika alasan agama atau moral mengharuskannya, memberhentikan mereka atau menuntut mereka diberhentikan. (lih. kan. 805 KHK dan kan. 636 § 2 KKGKT)[34].

Anak didik (Orang Muda). Anak didik adalah pihak yang berhak dididik. Dalam Seruan Apostolik Christus Vivit, Paus Fransiskus memberikan beberapa seruan menarik bagi orang muda. Bagi saya, seruan ini dapat menjadi inspirasi yang perlu disampaikan kepada generasi muda di sekolah-sekolah Katolik, dan sekaligus juga menjadi refleksi bagi para pendidik.

Di satu pihak Paus menegaskan pentingnya pendampingan bagi orang muda, agar mereka tidak kehilangan arah di tengah keramaian zaman. “Orang-orang muda yang dikasihi Tuhan, betapa berharganya kalian jika kalian telah ditebus oleh darah Kristus yang begitu berharga!…tolong jangan biarkan kalian dibeli, jangan biarkan kalian dirayu….Kalian tak ternilai harganya. Kalian harus selalu mengulangi ini: ‘saya bukan barang lelang, saya tak ternilai harganya. Saya bebas, saya bebas! Jatuh cintalah pada kebebasan ini, yang diberikan oleh Yesus”[35].

Orang muda perlu diajak untuk bermimpi, artinya membangun komitmen sekarang untuk hidup di masa depan. Bagi Paus Fransiskus, “mimpi yang paling indah dicapai dengan harapan, kesabaran dan komitmen, menolak ketergesaan.”[36] Karena itu ia menegaskan lagi: “Jangan menganggap bahwa kebahagiaan itu ada di kursi malas, dan janganlah menghabiskan hidup hanya di depan layar… Tolong, janglanlah kamu pensiun sebelum waktunya”[37].

 Di lain pihak, Paus menegaskan bahwa anak didik sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk masa depannya. Orangtua dan guru menemani tanpa memaksakan kehendak. Metode pendampingan atau pendidikan yang ditawarkan ialah Metode Emaus (bdk Luk. 24: 13-35):

Dua murid berjalan dengan arah berlawanan. Yesus berinisiatif berjalan bersama mereka. Yesus mewartakan Sabda, membantu mereka memahami Sabda, tidak memaksa. Yesus menerima undangan mereka untuk tinggal bersama mereka. Yesus memecahkan roti, sehingga mata mereka terbuka, sadar akan kehadiran-Nya. Yesus hilang. Mereka sendiri yang memutuskan kembali ke arah yang benar: ke komunitas dan membagikan pengalaman.

Ibu Bumi. Paus Fransiskus juga menegaskan pentingnya pendidikan ekologis dalam komunitas-komunitas pendidikan. Ia mulai dengan peran penting keluarga, yang adalah sanggar budaya kehidupantempat pembinaan integral. Ia menulis demikian:

“Dalam keluarga, ditanamkan kebiasaan awal untuk untuk mencintai dan melestarikan hidup, seperti penggunaan barang secara tepat, ketertiban dan kebersihan, rasa hormat akan ekosistem lokal, dan kepedulian terhadap semua makhluk ciptaan”[38].

Selain keluarga, pendidikan ekologis juga menjadi tugas semua komunitas Kristiani: “Saya juga berharap bahwa di seminari-seminari dan rumah-rumah pembinaan hidup bakti diberikan pembinaan keugaharian yang bertanggung jawab, kontemplasi dunia dengan penuh rasa syukur, dan kepedulian akan kerapuhan orang miskin serta lingkungan hidup.”[39]

Dalam hal ini pendidikan estetika berarti pembentukan rasa kagum pada alam, agar alam tidak hanya menjadi objek konsumsi. Rasa kagum pada alam menumbuhkan relasi dengan alam, sehingga paradigma konsumerisme dapat dilawan.[40]

Bagi Paus dari Argentina ini pendidikan perlu ditempatkan sebagai sebuah proses untuk membentuk ethos masa depan bumi. Sebab itu manusia dibentuk agar ia mampu bersikap secara baik terhadap sesama maupun ciptaan lain: “Pendidikan tidak akan efektif, dan segala upaya akan sia-sia, jika kita tidak berusaha untuk menyebarkan suatu cara berpikir baru tentang manusia, kehidupan, masyarakat, dan hubungan kita dengan alam.”[41]

Penegasan

Panggilan dan Komitmen. Menjadi guru dan pendidik adalah sebuah panggilan: Orang dikaruniai kemampuan mengajar dan mendidik. Panggilan itu ditanggapi dengan komitmen, yaitu kesediaan untuk melaksanakan tugas dan bertanggung jawab atasnya. Komitmen seorang guru Katolik ialah setia terhadap pencerdasan kehidupan bangsa, setia pada ciri khas Katolik.

Tentu saja komitmen seorang guru Katolik tidak bisa diwujudkan sebagai individu. Dibutuhkan jejaring kerja sama dengan banyak pihak. Dalam hal ini kemajuan teknologi komunikasi memudahkan kita untuk memperluas jejaring kerja sama dalam mencerdaskan bangsa.

Motivasi Internal. Pentingnya motivasi dari dalam diri untuk menjalani profesi sebagai guru (Katolik). Orang yang profesional dalam tugasnya tentu memerlukan motivasi eksternal. Namun ia tidak selalu bergantung pada motivasi luar itu. Ia sendirilah penentu pilihan hidupnya. Sekali menjadi guru, tetaplah selamanya mendedikasikan diri sebagai guru!

Pengajar-Pendidik-Pewarta. Intisari pembicaraan tentang corak khas pendidikan Katolik tampak jelas dan sebuah pernyataan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium:

“Sekolah Katolik, yang selalu berusaha untuk menggabungkan pekerjaan pendidikan mereka dengan pewartaan Injil yang eksplisit, adalah sumber yang paling berharga bagi evangelisasi budaya, bahkan di negara-negara dan kota-kota di mana situasi bermusuhan menantang kita untuk kreativitas yang lebih besar dalam pencarian kita untuk metode yang cocok.”[42]

 Pribadi Anak Didik Sebagai Sentral. Guru, orangtua dan Gereja membina peserta didik agar dapat mengembangkan kemampuan berupa bakat-bakat fisik, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan budaya secara harmonis. Dengan demikian mereka memiliki rasa tanggung jawab yang matang untuk mampu menggunakan kemampuannya dalam partisipasi aktif membangun kehidupan yang baik dalam relasi dengan Tuhan, sesama dan alam semesta. Muara akhir pendidikan adalah diri anak didik, bukan kepentingan orangtua atau guru.

 

* Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan pada Hari Studi MNPK di Bogor, 16-19 Maret 2023.

[1] Dokumen Konsili Vatikan II (Penerjemah: R. Hardawiryana SJ), Jakarta: OBOR 1993.

[2] Kongregasi Pendidikan Katolik,. Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik. B. Mendidik untuk Humanisme Persaudaraan (Penerjemah: Bernadeta Harini Tri Prasasti, editor: Andreas Suparman SCJ), Jakarta: Dokpen KWI 2020.

[3] Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, Identitas Sekolah Katolik untuk Budaya Dialog (Penerjemah: Thomas Eddy Susanto SCJ), Jakarta: Dokpen KWI 2022.

[4] Gravissimum Educationis, 1.

[5] Gravissimum Educationis bagian pengantar.

[6] Gravissimum Educationis, 5.

[7] Gravissimum Educationis, 8.

[8] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 47.

[9] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 76.

[10] Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik, 77.

[11] Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik (bagian kesimpulan).

[12] Gravissimum Educationis, 8.

[13] Identitas Sekolah Katolik, 26.

[14] Bdk. Christus Vivit, 86-88. Lihat Paus Fransiskus, Christus VivitKristus Hidup (penerjemah: Agatha Lydia Natania, editor: Andreas Suparman SCJ dan Bernadeta Harini Tri Prasasti), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2019.

[15] Bdk. Christus Vivit, 202, 204, 210, 226-228.

[16] Bdk. Christus Vivit, 211, 214, 246.

[17] Dikutip dalam Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik (kesimpulan).

[18] Gravissimum Educationis, 8.

[19] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 10.

[20] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 14.

[21] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 54.

[22] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 96.

[23] Gravissimum Educationis, 5.

[24] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 37.

[25] Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik, 58.

[26] Gravissimum Educationis, 12.

[27] Bdk. Nota Pastoral tentang Pendidikan. Lembaga Pendidikan Katolik: Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan Lebih Berpihak kepada yang Miskin, Konfrensi Wali Gereja Indonesia (2008), hlm. 32

[28] Gravissimum Educationis, 3.

[29] Laudato Sí, 215. Lihat Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Sí. Terpujilah Engkau (Pnerejemah: Martin Harun OFM. Editor: F.X Adisusanto SJ., Maria Ratnaningsih & Bernadete Harini Tri Prasasti), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI 2016.

[30] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 34

[31] Mendidik untuk Dialog Antarbudaya di Sekolah-Sekolah Katolik, 82.

[32] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 48.

[33] Gravissimum Educationis, 3.

[34] Identitas Sekolah Katolik Untuk Budaya Dialog, 59.

[35] Christus Vivit, 122.

[36] Christus Vivit, 142.

[37] Christus Vivit, 143.

[38] Laudato Sí, 213.

[39] Laudato Sí, 214.

[40] Laudato Sí, 215.

[41] Laudato Sí, 215.

[42] Pus Fransiskus, Seruan Apostolik Evengelii Gaudium. Sukacita Injil (penerjemah: F. X. Adisusanto dan Bernadete Harini Tri Prasasti. Editor: Martin Harun OFM & Krispurwana, SJ), Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI 2015, no. 134.

 

Sumber: https://christusmedium.com

DR. Andreas B. Atawolo, OFM:

Lahir di Lembata, 20 Mei 1978. Menyelesaikan studi Filsafat dan Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Sejak 2011 menjalani studi Teologi Dogmatik di Universitas Kepauasan Antonianum, Roma, dengan tesis doktoral The Category of Good in Bonaventures Creative Trinity: A Window of Dialogue between Theology and Science.

Sejak 2016 aktif mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Kontak: bernadinusatawolo@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *