Renungan Hari Minggu Biasa VI : “Hukum Yang Membebaskan”

Bacaan: Sir. 16: 15-20; 1Kor. 2:610; Mat. 5:17-37.

Pada saat ini ada banyak peraturan dan hukum yang beredar. Dasarnya tetaplah sama, yakni demi kebaikan, kesejahteraan dan keselamatan manusia, serta mau menegaskan cinta kasih. Inilah yang seharusnya menjadi kriteria kita dalam menerapkan hukum. Apakah kita sudah termasuk orang yang bergerak di jalur itu?.

Yesus menegaskan bahwa Ia datang bukan untuk menghancurkan namun untuk menggenapi Taurat. Yesus tidak ingin berhenti pada peraturan dan huruf-huruf yang ada di dalam Taurat itu. Yesus ingin meluruskan dan mewujudkannya secara nyata. Dalam mewujudkannya Yesus berhadapan dengan kenyataan yang tidak mudah akibat banyak benturan dengan orang-orang Yahudi. Yesus menggenapi Hukum Taurat dengan Hukum Kasih, Hukum yang membebaskan manusia dari segala hal yang membelenggu. Menghayati dan mengamalkan cinta kasih merupakan bentuk nyata dari ambil bagian dari hidup dan misi Yesus yang datang justru untuk menyempurnakan Taurat dan Kitab Para Nabi.

Menghadapi Yesus, banyak orang dalam masyarakat Yahudi di zaman-Nya, menganggap ajaran Yesus bertentangan dengan Taurat (kelima Kitab Musa atau Pentateukh, yang tidak sama dengan ajaran Nabi-Nabi!). Yesus dengan tegas berkata: “Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya (Mat 5:17)”. Menurut prinsip penafsiran yang benar, makna hukum harus dilihat dan dipahami menurut tujuannya, bukan hanya secara harfiah. Dengan demikian, Yesus membenarkan adanya hukum dan adanya kewajiban untuk melaksanakannya, tetapi sekaligus ada pula kewajiban untuk menjauhkan diri dari sifat kemunafikan, sifat harfiah berlebih-lebihan, seperti dimiliki ahli Taurat dan kaum Farisi. Sebaliknya hukum/perintah Allah harus selalu dipahami dengan semangat dan sikap kasih dan ketulusan hati seperti diajarkan dan diberi teladan oleh Yesus sendiri.

Dalam menghadapi Taurat, Yesus menentukan dua sikap dasar ini: ada yang diterima, diperluas dan diperdalam-Nya. Dan ada yang ditolak Nya, sebab hukum itu tidak berpegang sikap dasar hidup Yesus sendiri dan ajaran-Nya. “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab Para Nabi, melainkan untuk menggenapinya.” Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk memahami, menghayati, mengamalkan, serta mengajarkan hukum Tuhan dalam keutuhannya.  Hukum itu dimaksud  agar kita manusia bisa hidup sejahtera, melindungi hidup orang lain, menjamin kesejahteraan. Agar kita bisa memperoleh hidup dalam segala kekayaannya dan hidupnya itu tidak dinodai dan dirusakkan oleh orang lain. Yesus juga mau agar kita menghayati hukum dan aturan itu secara batiniah, tidak secara lahiriah dan buta.

Kenyataan menunjukkan betapa sering kita melaksanakan atau juga membuat hukum dan aturan karena terpaksa, terasa ada beban, dengan perasaan takut, tidak bebas. Bahkan terkadang kitapun menuntut orang utk mengikuti aturan/hukum sampai sedetail mungkin; dan berpikir semuanya itu demi kebaikan bersama, padahal sebaliknya.

Akhirnya kita juga perlu bertanya diri, apakah hidup kita diatur oleh hukum yang mati, atau hukum yang hidup. Demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia, atau semata demi aturan, demi hukum itu sendiri yang ternyata cuma menjadi beban, membelenggu dan tidak membebaskan. Aturan dan hukum itu harus karna cintakasih dan demi cinta kasih, demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Dengan demikian, hukum atau aturan sungguh membebaskan dan memerdekakan. **

 

Rm. Fransiskus Emanuel Da Santo,Pr; Sekretaris Komkat KWI

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *