Ensiklik Paus Fransiskus; “Fratelli Tutti”, Persaudaraan Universal

Oleh P. Dr. Andreas Atawolo, OFM.

Fratelli Tutti [1]

Poin utama Pengantar dan Bab Pertama

Titik tolak dan spirit dasar Ensiklik Fratelli Tutti dari Paus Fransiskus ialah persaudaraan universal dalam cara hidup Fransiskus Assisi: Ia memperlakukan segenap makhluk sebagai saudara dan saudari. Santo Fransiskus mengajak kita untuk mencintai sesama baik yang jauh maupun yang dekat. Bagi Santo Fransiskus, semua makhluk adalah saudara. Semua manusia makhluk dari daging [2].

Fransiskus Assisi berani ‘keluar dari batas’: Ia berani menjumpai Sultan Malik Al Kamil di Mesir pada masa perang salib dengan membawa misi damai dan kasih, bukan perang. Mengapa Fransiskus berani? Karena ia memiliki damai otentik dalam dirinya. Dasar dari semangat damai itu ialah inti Injil: Allah adalah kasih (Yoh 1 Yoh 4: 16). Semua manusia adalah anak-anak yang dikasihi Bapa yang sama [3-4]. Titik tolak Fratelli Tutti ialah komunitas segenap ciptaan, bukan individu [8]. Berikut inti Bab Pertama:

Bab pertama Ensiklik dengan judul bayangan dunia yang tertutup, memuat ajakan untuk melihat realitas dunia dengan jujur: mengakui bahwa dunia masih ditutupi topeng yang bernama kemajuan. Asosiasi-asosiasi besar seperti Uni Eropa misalnya, dengan semboyan tentang kesetaraan belum membuktikan suatu komitmen komunual. Masih tampak nasionalisme maupun ideologi yang eksklusif. Belum ada sebuah kesadaran tentang kerja sama dalam rumah bersama. Ciri memisahkan dan memecah-belah masih terjadi; belum menjadi sebuah proyek ‘kita’ [10-112, 15-17].

Dunia diliputi suasana kesendirian dan kesepian, karena generasi tua yang kurang mendapat perhatian dari generasi muda. Kematian banyak orang tua karena pandemi korona menandakan bahwa mereka telah diabaikan, diperlakukan sebagai ‘sisa’ yang saatnya dibuang [19].

Dunia dibayangi damai palsu, karena hanya digerakkan oleh rasa takut: takut akan orang lain, akan budaya lain…. Jadi, meski dunia sudah terkoneksi oleh kemajuan digital, dan kota-kota dibangun megah, namun kegersangan batin terus dirasakan oleh para penghuninya. Dalam damai yang palsu ini, gerakan mafia yang meneror dan menjanjikan kenyamanan palsu bertumbuh cepat [26-28].

Dalam situasi seperti ini, kita harus menyadari bahwa kita berada dalam satu perahu. Kita mengupayakan keselamatan sebagai satu persaudaraaan, bukan sebagai individu. Indah rasanya bersolider sebagai saudara. Pandemi korona membuka topeng egoisme, dan menyingkap kenyataan bahwa kita telah mengabaikan harta bersama yang paling berharga, yaitu menjadi saudara satu sama lain [31-2].

Persaudaraan universal juga ditantang oleh kemajuan digital. Kita terpenjara dalam dunia virtual. Dengan kamajuan itu, dunia marketing tumbuh subur. Namun kita tenggelam dalam penjara dunia virtual, dan sering kali mengabaikan realitas. Jangan sampai kita hidup dalam sebuah ilusi global [36]. Ironis: dalam kemajuan komunitas virtual, banyak orang justru mau meninggalkan tanah arinya karena peperangan, dan di tempat baru mereka pun ditolak, dan mengalami kekerasan karena rasisme [41].

Ini paradoks dalam dunia digital: di satu pihak manusia bisa menampilkan diri dengan bebas. Di lain pihak, ia bisa tampil anonim, dan dengan cara itu dapat melacak korbannya secara detail, bahkan ekstrim. Jaringan kekerasan pun dengan mudah disebarkan dengan teknologi informasi. Ternyata kemajuan teknologi digital bukan jaminan untuk membentuk sebuah ‘kita’ [42-3].

Kemajuan teknologi informasi telah menjadikan dunia sebagai dunia tuli; orang tidak dapat saling mendengarkan. Fransiskus Assisi adalah orang yang mampu mendengar suara Tuhan, suara alam dan suara orang miskin. Kiranya benih sikapnya ini bertumbuh dalam diri banyak orang [48].

Komunikasi superfisial dan instan harus disikapi dengan dialog yang otentik. Atau sebaliknya kebebasan kita sebenarnya sebuah ilusi saja: bebas di hadapan layar, bukan di hadapan sesama [49-50].

Bab pertama dengan judul yang terdengar muram ini (bayangan dunia yang tertutup), diakhiri dengan dua paragraf yang bernada pengharapan. Di masa pandemi korona ini, apa yang disebut harapan itu justru datang dari orang-orang biasa yang mendedikasikan hidupnya bagi hidup sesama, yaitu para dokter, perawat, guru, petugas kebersihan, penjaga keamanan, pedagang di pasar…. . Mereka adalah orang-orang yang paham bahwa krisis global harus diatasi bersama, bukan sendiri; mereka menunjukkan dengan jelas bahwa harapan sejati terwujud dalam solidaritas dan pengorbanan [54-55].

Fratelli Tutti [2]

Poin-Poin Bab Kedua Fratelli Tutti

Bab Kedua Fratelli Tutti dengan judul Orang Asing di Jalan, diawali dengan teks Gaudium et Spes (GS.1) dari Konsili Vatikan II yang memuat pernyataan bahwa sukacita, harapan dan kesedihan semua manusia adalah juga sukacita, harapan dan kesedihan para pengikut Kristus.

Paus lalu membentangkan teks Luk 10: 25-37, perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Perumpamaan dengan tema belas kasihan ini dikemukakan Yesus untuk menjawab pertanyaan seorang ahli Taurat: ‘siapakah sesamaku manusia’?

Pijakan Alkitab. Yesus tidak menunjuk kriteria tertentu, tetapi berkisah tentang orang Samaria yang baik hati. Di akhir perumpamaan itu Yesus bertanya kepada ahli Taurat: ‘siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama bagi manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun’? Ahli Taurat menjawab dengan tepat: ‘orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya’. Lalu Yesus berkata kepadanya: ‘pergilah dan perbuatlah demikian’ [56].

Pertanyaan tentang siapa sesamaku berakar dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kisah Kain dan Habel. Kepada Kain yang telah membunuh adiknya, Tuhan bertanya: ‘di mana Habel adikamu’? Kain menjawab: ‘Aku tidak tahu. Apakah aku penjaga adikku’? (Kej 4: 9). Jawaban serupa sering keluar dari mulut kita: apakah aku penjaga saudaraku? Apakah aku penjaga saudaraku? [57].

Dasar alkitabiah dari persaudaraan universal ialah kesetaraan manusia di hadapan satu Pencipta (bdk Ayb 31: 15). Aku setara dengan saudaraku karena kami sama-sama dijadikan dari rahim Tuhan; ia saudaraku, karena ia bukan tiruan, tetapi dijadikan pula oleh Bapa. Kasih Tuhan melampaui batas-batas buatan manusia. Ia menerbitkan matahari bagi orang jahat maupun orang baik (Mat 5: 45). Maka, hendaknya kalian menjadi sempurna seperti Bapamu sempurna adanya (Luk 6: 36) [58-59].

Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan teks-teks yang menjadi dasar untuk membuka hati bagi orang-orang asing. Orang Israel dulu menjadi orang asing di Mesir, dan mereka diselamatkan Tuhan (bdk Kel 20: 20; 23: 9; Im 19: 33-34; Ul 24: 21-22). Dalam PB, perhatian bagi orang asing didasarkan pada teks Gal 5: 14; 1Yoh 2: 10-11; 3: 14; 4: 20). Ajakan berbuat baik bagi orang asing juga terjadi dalam komunitas Paulus (1Tes 3: 12) maupun komunitas Yohanes (3 Yoh: 5) [60-62].

Ditinggalkan. Ada seseorang yang jatuh di tangan penyamun. Ia terluka, hampir mati. Dua orang yang memiliki peran penting dalam masyarakat mengabaikannya. Lewat begitu saja. Untuk sekedar mencari bantuan pun mereka tidak sempat. Seorang Samaria datang memberi pertolongan: merawat, membayar biaya perawatan. Ia memberikan hal yang dalam dunia serba cepat ini kita sangat menghematnya: waktu. Ia mungkin memiliki rencana lain, namun ia mengabaikan semuanya, dan mengutamakan orang asing yang terluka. Ia memberi waktunya bagi seorang asing [63].

Dengan siapa Anda menyamakan diri: orang terluka, penyamun, imam, orang Samaria? Itulah pertanyaan yang menantang kita. Mengabaikan: itulah mentalitas dunia kita. Dan sayangnya, itu menjadi umum. Sejauh sesuatu atau seseorang tidak menjadi urusanku atau menimbulkan masalah bagiku, aku tak akan menyentuhnya. Kita mengutamakan kepentingan diri. Kita membangun dunia dengan cara menghindari yang sakit dan terluka. Orang Samaria yang baik hati mengundang kita untuk memaknai bahwa hidup bukan berarti: melewati melainkan menjumpai [64-66].

Perumpamaan ini adalah panggilan bagi kita untuk merawat sesama yang terluka. Kebaikan bersama dalam masyarakat terwujud bukan karena kita mengabaikan mereka yang terluka. Sebaliknya: menjumpai dan merawat adalah cara terbaik membangun rumah bersama. Perumpamaan ini bukan seruan moral-teoritis, melainkan corak universal manusia: dijadikan demi satu tujuan, yaitu kasih. Kita tidak pantas membangun kesejahteraan dengan mengabaikan hidup sesama [67-68].

Kisah yang Terulang. Setiap hari selalu ada orang yang terluka di dunia. Maka kita selalu dihadapkan pada pilihan: menjadi imam/Lewi atau orang Samaria yang baik hati? Harus dikatakan pula bahwa kalau kita melihat dunia secara keseluruhan, kita masuk dalam semua peran itu: orang yang terluka, perampok, imam atau lewi, maupun orang Samaria yang baik hati.

Di hadapan orang terluka, kita berhadapan dengan dua pilihan yang jelas: menjadi orang yang mengabaikan atau yang merawatnya? Itulah tantangan bagi dunia aktual. Orang Samaria telah memperlihatkan bahwa ia tergerak oleh rasa kemanusiaan. Motif itu melampaui batas agama, kultur, atau peran sosial [69-71].

Apa yang akan kita lakukan ketika melihat orang yang terluka: menghindarinya agar terlindung dari kekerasan atau mengejar para perampok? Akankah kenyataan orang terluka akan menjadi alasan untuk membenarkan cara bertindak kita yang berbeda-beda? Kita juga melihat sosok seperti imam dan lewi yang hanya melihat dari kejauhan. Yang perlu disadari di sini ialah bahwa kita dapat membenarkan diri dengan berbagai alasan untuk menghindari saudara yang terluka [72-74]. Sikap imam dan lewi menunjukkan bahwa:

“…percaya pada Tuhan dan menyembah-Nya bukan jaminan bahwa orang hidup sesuai keinginan Tuhan. Seseorang yang beriman belum tentu setia pada semua yang dituntut oleh iman itu sendiri, meskipun ia bisa merasa dekat dengan Tuhan dan merasa lebih layak dari orang lain. Sebaliknya ada orang yang menghayati iman dengan memupuk hati yang terbuka bagi saudari dan saudara lain, dan itu menjamin keterbukaan otentik kepada Tuhan… Paradoksnya ialah bahwa sering kali mereka yang tidak percaya dapat menjalankan kehendak Tuhan secara lebih baik dari pada orang percaya” [74].

Sosok. Penyamun adalah orang yang membuat sistem: menunggu sasaran dengan cara rahasia, mengantisipasi saingan, memanfaatkan orang lain yang mau diajak bekerja sama. Sosok seperti ini banyak kita jumpai dalam masyarakat: Mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam sistem sosial dan politik, namun dengan licik mempropagandakan kepentingan pribadi atau kelompok. Paus menekankan bahwa adanya bahaya kemunafikan dalam sistem politik dan sosial [75].

Akhirnya ada sosok orang terluka. Mungkin kita sendiri pernah merasakan sebagai korban terluka: karena sistem, karena kepentingan, atau alasan lain. Kita tergeletak dibiarkan terluka di jalanan. Di zaman kemajuan ini, orang terluka sering hanya mendapat perlakuan yang elegan: menjadi berita hangat di media, tetapi tidak disentuh. Mereka hanya dilihat dari kejauhan [76].

Mulai Lagi. Kita punya banyak kesempatan untuk menjadi seperti orang Samaria yang baik hati, tanpa menunggu sistem. Kita dapat berbuat baik meskipun sederhana. Di hadapan berbagai kepentingan serta ambisi politik dan ekonomi, kita konsisten berbuat baik. Tuhan telah menabur benih baik dalam diri manusia, tinggal kita merawatnya, tanpa takut, dan selalu bersama, bukan sendiri dan secara individu. Orang Samaria itu telah melakukan misi kemanusiaan secara tulus, tidak meminta balasan atau ucapan terima kasih. Ia melalukan apa yang seharusnya dilakukan [77-79].

Sesama tanpa Batas. Kata ‘sesama’ waktu itu diartikan sebagai orang yang menjadi bagian dari kelompok atau keluarga. Orang Samaria adalah kelompok pinggiran, seorang pagan. Namun justru dialah yang telah memperlihatkan apa artinya menjadi sesama: Ia adalah orang yang bebas. Ia membongkar batas antara Yahudi dan Samaria, sebuah batas ideologis yang telah lama membelenggu mereka. Di hadapan luka kemanusiaan, kita perlu bergerak keluar dari batas diri. Yesus sendiri telah memperlihatkan keterbukaan bagi perbedaan (bdk Yoh 4: 9; 8: 48) [80-83].

Yesus sendiri pernah berkata: “Ketika Aku seorang asing kamu memberi Aku tumpangan” (Mat 25: 35). Menerima orang asing berarti menerima Yesus sendiri (Mat 25: 40,45). Bagi seorang Kristiani, tanpa menyoal asal seseorang, ia tetap dapat mengasihinya sebagai sesama ‘satu daging’ (bdk Yes 58: 7). Poin kemanusiaan universal ini hendaknya mewarnai katekese Gereja [84-86].

Fratelli Tutti [3]

Poin-poin Bab Ketiga Fratelli Tutti

Judul bab ketiga Ensiklik Fratelli Tutti, Memikirkan dan Melahirkan Dunia yang Terbuka. Apa tanda bahwa saya mengenal dan memaknai diriku dengan baik? Itu terlihat ketika saya mampu membuka diri bagi relasi dengan sesama. Menjadi utuh sebagai pribadi terjadi dalam kebersamaan dengan sesama. Berelasi dengan sesama identik dengan memilih hidup; sebaliknya tertutup bagi diri identik dengan maut [87].

Melampaui. Menjadi saudara dan sahabat bagi orang lain berarti keluar dari egoisme untuk membangun relasi. Semua manusia memiliki benih kasih dalam dirinya. Kasih itulah yang memungkinkan dia dapat berelasi dengan sesama. Kasih menjadikan sikap seseorang atau kelompok menjadi lebih inklusif. Dua orang yang saling mengasihi sebagai pasangan hidup atau sahabat pun tidak menjadi eksklusif dan tertutup, jika relasi yang dibangun sungguh otentik [88-89].

Pada dasarnya kemampuan mengasihi adalah suatu karunia. Namun corak asli pada manusia itu sekarang dihambat oleh egoisme yang begitu intim, yang sering kali ditampilkan seakan-akan sebagai relasi kasih yang intens. Relasi antara pribadi sering kali menjadi bentuk proteksi diri pula: saya mengasihi dia demi kepentinganku. Relasi adalah sebuah anugerah. Tinggal dalam egoisme diri atau kelompok yang eksklusif berarti mereduksi makna relasi menjadi kesempitan diri saja [90].

Nilai Kasih. Kasih menjadi dasar dari semua kebajikan lain dalam membangun relasi dengan sesama. Dan sumber kasih ialah Allah sendiri. Santo Bonaventura mengatakan bahwa tanpa kasih (caritas), kebajikan-kebajikan lain tidak terwujud sesuai kehendak Allah. Orang beriman hendaknya menempatkan kasih di atas segalanya: bahaya terbesar ialah jika kita tidak mencintai (bdk. 1Kor 13:1-13). Bagi Santo Thomas Aquinas, kasih menggerakkan seseorang dari kedalaman dirinya untuk terarah kepada sesama; kasih mendorong orang untuk melakukan yang baik bagi sesama [91-94].

Keterbukaan Kasih. Jeas bahwa kasih otentik mendorong keterbukaan kepada sesama sebagai saudara dan saudari; kasih mengarahkan orang kepada persaudaraan universal. Orang yang matang dalam kasih tidak menjadikan diri sendiri sebagai pusat. Kasih menjadikan orang mampu menerima sesama. Yesus berkata: ‘kamu semua adalah saudara’ (Mat 23: 8). Kesediaan membuka batas diri dan kelompok inilah yang kita butuhkah dalam dunia sekarang [95-96].

Terdapat batas-batas geografis yang dekat dengan kita, bahkan dalam keluarga. Namun keterbukaan kita bersifat eksistensial. Sering kali orang-orang di sekitar kita, satu kota, satu wilayah, malah tak dijumpai secara eksistensial, karena tekanan politik dan rasisme. Mereka yang berkebutuhan khusus (disablitas) sering kali tidak mendapat peran dalam kehidupan sosial dan gerejani. Begitu pula orang-orang tua sering dianggap sebagai beban saja. Paus mengajak kita untuk tetap memandang semua orang dari segala kalangan sebagai persona yang unik dan tak tergantikan [97-98].

Kasih Universal. Kesediaan membuka batas-batas merupakan jalan menuju persahabatan sosial. Paus mengingatkan bahwa ia tidak sedang berbicara tentang universalisme yang abstrak: orang dapat saja pergi keluar, berjalan ke banyak wilayah namun tidak berbuat apa-apa. Persahabatan sosial juga tidak berarti menghapus segala perbedaan. Ini palsu! Menciptakan persahabatan sosial berarti memberikan tempat bagi hak hidup semua orang dalam rumah kita bersama [99-100].

Melampaui Sebuah Dunia Keanggotaan. Kembali ke perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Ada orang jatuh ke tangan penyamun: ia terluka, hampir mati, terkapar di jalan. Imam dan lewi yang lewat melihatnya, namun tidak mengikuti panggilan nurani untuk mendekatinya. Mereka mengutamakan peran dan prestise sosial. Orang yang terluka itu bukan siapa-siapa: bukan sesama anggota kelompok masyarakat mereka; ia adalah gangguan bagi waktu dan agenda mereka.

Datang pula seorang Samaria. Ia hanya seorang asing. Ia tidak punya kedudukan sosial. Tidak ada klasifikasi sosial yang membatasinya. Ia bebas dari gelar-gelar dan struktur. Karena itu ia dapat mengganggu rencana perjalanannya. Ia bebas untuk menolong sesama saudara yang terluka.

Apa reaksi dunia kepada orang Samaria? Dunia sekarang ditandai dengan banyak grup atau kumpulan orang dengan identitas dan kriteria tertentu yang membedakannya dari kelompok lain. Dalam fenomena ini, kata ‘sesama’ sungguh kehilangan maknanya. Orang lebih akrab dengan kata partner (socio) untuk menunjuk orang-orang yang sama kepentingannya [101-2].

Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan. Persaudaraan (fraternitas) bukan sekedar berarti saling menghargai kebebasan pribadi atau kesamaan yang ditetapkan. Apa artinya sebuah fraternitas tanpa upaya edukasi dan dialog untuk saling mengenal dan memperkaya? Tanpa langkah-langkah itu persaudaraan hanya sebuah kesendirian (soliditas), sebuah otonomi murni, dan hanya memerlukan orang kalau mendatangkan keuntungan. Ini tidak memperkaya persaudaraan berdasarkan kasih.

Kesetaraan juga bukan sebatas prinsip abstrak ‘semua manusia sama’. Kesetaraan harus dibangun dari sebuah kesadaran dan pedagogi. Orang yang terikat pada kelompok sebenarnya tertutup diri dan kelompok. Apa artinya sebuah asosiasi yang tak mendatangkan kebaikan lebih luas?

Individualisme menghambat persaudaraan. Kalaupun banyak orang ada bersama, namun jika masing-masing bersifat egois, grup ini tidak akan membuahkan kebaikan bersama, karena mereka adalah kumpulan orang-orang egosi. Jadi semakin global sebuah asosiasi pun tidak menjamin sebuah kebaikan global, jika setiap orang hanya mau memenuhi kepentingan dan ambisi pribadi [103-105].

Mempromosikan Kasih Universal. Prinsip dasar membangun persaudaraan universal ialah ini: kenyataan bahwa banyak orang yang terlahir di daerah tertinggal bukan alasan untuk membenarkan bahwa banyak orang harus hidup secara tidak layak. Lahir di suatu tempat tertinggal tidak mengurangi martabat seseorang. Ia berhak atas hidup. Tentu tak disangkal bahwa ada banyak inisiatif untuk memberikan hidup dan pendidikan bagi anak-anak yang tertinggal [105-108].

Namun semua itu masih bersifat parsial, belum menjadi sebuah gerakan bersama atau sebuah gerakan politik mondial. Manusia, khususnya yang tua dan berkebutuhan khusus, belum mendapat perlakuan sebagai pribadi yang memang layak mendapatkan hak-haknya. Jika sistem sosial dan politik dunia tidak memberikan perhatian di bidang ini, maka gerakan-gerakan parsial itu hanya sebuah romantika belaka: belum nyata menjamin masa depan generasi manusia [109-111].

Mempromosikan Kebaikan Moral. Mengupayakan kebaikan bagi orang lain. Itulah visi yang disuarakan paus Fransiskus. Visi itu berakar pada corak kodrati manusia sebagai makhluk yang dapat berbuat baik bagi sesama. Manusia memiliki potensi ‘buah-buah Roh’ (Gal. 5: 22) dalam dirinya. Ia diberi karunia untuk memiliki bene-volentia: menghendaki yang baik bagi sesama.

Berbuat baik sebenarnya adalah dambaan dalam diri manusia. Nilai moral yang otentik ini telah lama didominasi oleh keinginan manusia akan rasa senang yang superfisial, bukan buah Roh berupa kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan… kita ingin menggerakkan kebaikan bersama, berjalan bersama demi sebuah pertumbuhan integral [112-113].

Nilai Solidaritas. Banyak pihak memainkan peran penting bagi pembentukan sikap solider. Sejak di rumah, ibu mengajarkan sikap itu kepada anak-anaknya. Para pendidik di sekolah atau entitas pendidikan lain juga berperan membentuk sikap solider dalam diri anak-anak dan kaum muda. Solidaritas terkait erat dengan perhatian pada mereka yang lemah dan berkekurangan [14-15].

Solidaritas itu sebuah nilai yang lebih jauh dari sekedar gerakan populer yang bertahan sebentar saja. Ada unsur pengorbanan dari setiap pribadi untuk berpihak pada yang miskin dan tersingkir. Ketika kita berbicara tentang tanggung jawab merawat rumah bersama, setiap kelebihan yang dimiliki satu orang atau kelompok, misalnya air bersih, hendaknya digunakan untuk keperluan umum, bukan dijadikan milik privat, sementara banyak orang tidak memiliki akses air bersih [16-17].

Mengembalikan Fungsi Sosial dari Harta Milik. Keluhuran manusia ialah bahwa ia terlahir dengan haknya yang asasi. Hak itu tidak dapat digugat karena agama, budaya, ras, atau kelas sosial. Ia pertama-tama adalah manusia. Semua manusia memiliki kesetaraan sebagai ciptaan Tuhan. Cara hidup jemaat Kristen awal ialah saling berbagi. Yang memiliki lebih membaginya kepada yang berkekurangan. Komunitas Kristen awal adalah komunitas kasih universal [118-119].

Seruan untuk mengembalikan fungsi sosial harta milik menjadi jelas dalam dua kutipan berikut: “Tidak memberikan kepada orang miskin apa yang menjadi hak mereka berarti mencuri milik mereka; dan itu berarti mencabut mereka dari hidupnya; dan semua yang kita miliki bukan milik kita, melainkan milik mereka” (Yohanes Krisostomus). “Ketika kita membagikan sesuatu kepada orang miskin, kita tidak memberi milik kita, namun mengembalikan milik mereka” (Gregorius Agung) [119].

Santo Paulus ke VI dan Yohanes Paulus II juga mewariskan ajaran tentang fungsi sosial harta milik privat. Hendaknya harta milik pribadi menjadi sarana yang memfasilitasi kebaikan sosial, bukan menghambatnya. Penggunaan kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama adalah prinsip etis yang paling mendasar. Ini merupakan hukum alam yang berlaku universal. Privatisasi kekayaan bumi bukan sebuah pandangan yang bercorak Kristen [120].

Hak-Hak Tanpa Batas. Kemajuan pembangunan tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar setiap manusia: entah dia orang tua, anak-anak, perempuan, laki-laki. Batas hak milik suatu negara menandakan bahwa mereka juga orang asing, sebab orang lain juga memiliki hak atas harta milik tersebut. Batas antara negara telah menjadi biang konflik dan kekerasan [121-124].

[….] “Jika setiap orang memiliki hak asasi, jika setiap manusia adalah saudara dan saudari saya, dan jika benar-benar dunia adalah milik semua orang, maka menjadi tidak penting apakah seseorang lahir di sini atau tinggal di luar negaranya”. Penolakan terhadap sesama, terutama karena batas-batas negara telah menyebabkan ketidakadilan terutama bagi mereka yang miskin [125].

Banyak negara-negara miskin berhutang kepada negara-negara kaya dalam jumlah yang begitu besar. Ini sering kali menjadi pembenaran untuk menekan negara-negara miskin. Paus mengingatkan: jangan sampai hutang menjadi alasan untuk menghambat martabat hidup manusia.

Kenyataan-kenyataan seperti ini memang menantang kita untuk harus memiliki cara berpikir yang baru. Atau sebaliknya, kata Paus: ‘kata-kata saya ini hanya terdengar seperti khayalan belaka’. Jika kita kembali pada nilai universal martabat manusia, kita dapat bermimpi membangun sebuah humanitas baru dalam rumah bersama. Dan dengan demikian kita dapat membangun persaudaraan otentik, bukan sekedar dengan strategi-strategi dangkal atau damai palsu, melainkan sungguh berdasarkan sebuah etika kemanusiaan global yang mempersatukan semua manusia [126-127].

 

Fratelli Tutti [4]

Poin-poin Utama Bab Keempat Fratelli Tutti

Judul bab keempat Fratelli Tutti: Hati yang Terbuka bagi seluruh Dunia. Paus menegaskan bahwa ketika visi persaudaraan universal menyentuh kenyataan manusia sebagai makhluk daging, ia menjadi visi imperatif: mengharuskan kita bertindak konkret.

Ketika yang menjadi sesama kita adalah orang asing, tantangan bagi kita menjadi lebih kompleks. Paus menyerukan empat kata kerja yang merangkum sikap etis kita kepada orang asing atau pendatang: menerima, melindungi, meningkatkan, mengintegrasikan [128-129].

Paus menyebut hal-hal konkret yang dapat dilakukan bagi orang-orang asing di negara atau kota tempat kita tinggal: memberikan penginapan terutama bagi mereka yang paling lemah (orang tua dan anak-anak), menyediakan makanan, memberi jaminan keamanan, menghormati kebebasan beragama, memungkinkan pendidikan bagi anak-anak,…..

Kepada para pendatang yang telah lama tinggal, hendaknya diupayakan status kewarganegaraan penuh, dan diberikan hak-hak sebagai warga, bukan sebagai minoritas, yang sering kali menjadi pembenaran untuk perlakuan diskriminatif. Tentu saja seruan seperti ini mengandaikan kerja sama komunitas-komunitas internasional, bukan atas kemauan negara tertentu saja [130-132].

Saling Memperkaya. Para imigran adalah sebuah berkat: kehadiran mereka membuka kemungkinan bagi kita untuk perjumpaan dengan pribadi lain dengan budaya yang berbeda; dan karena itu saling memperkaya. Paus secara khusus mengajak orang muda untuk belajar menerima para imigran, dan tidak terprovokasi pada sikap diskriminatif dan rasisme. Para imigran tetapi diberi kesempatan untuk mengungkapkan diri dengan budaya aslinya, dan kita dapat belajar dari budaya mereka. Untuk itu perlu dialog yang otentik dan belajar saling memperkaya satu sama lain [133-134].

 

Paus memberi contoh para imigran dari Meksiko yang turut memperkaya kultur Amerika Serikat; atau para imigran Italia dan orang Yahudi yang turut membentuk dan memperkaya kultur Argentina, negara asal Paus. Dalam konteks ini Paus menegaskan bahwa ia bersama Imam besar Ahmad Al-Tayyeb menyadari pentingnya relasi antara dunia Timur dan Barat [135].

“Dari peradaban Timur Barat dapat belajar memulihkan beberapa penyakit dalam aspek spiritual dan religiusnya yang disebabkan oleh dominasi materialisme. Sebaliknya Timur dapat menemukan pada peradaban Barat begitu banyak elemen yang bisa membantunya mengatasi kekurangannya, perpecahan, konflik dan kemunduran dunia ilmiah, teknis dan budaya” [136].

Saling Melengkapi. Akar budaya suatu bangsa adalah harta berharga bagi semua manusia. Belum pernah terjadi sebelumnya, bahwa dunia kita sekarang terkoneksi satu sama lain. Semua terhubung. Jelas pula bahwa kemiskinan dan penderitaan suatu negara akan berdampak bagi semua. Kita membutuhkan sistem hukum, politik dan ekonomi yang memungkinkan kerja sama semua pihak. Negara miskin perlu dibantu negara maju untuk mendapat akses pasar internasional [137-138].

Menerima dengan gratis. Paus tegaskan bahwa di sini ia tidak sedang berbicara tentang utilitarianisme: sekedar saling memanfaatkan. Ada pula corak cuma-cuma. Ini adalah ajakan untuk memberi tanpa mengharapkan balasan yang menguntungkan. Negara-negara hendaknya tidak hanya menerima ilmuwan dan investor asing, tetapi juga mereka yang lemah dan miskin.

Ingatlah akan kasih Tuhan yang tidak memilah-milah. Ia menerbitkan matahari baik bagi orang baik maupun orang jahat (Mat 5: 45). Yesus juga mengingatkan kita: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6: 3-4). Kita telah menerima secara cuma-cuma dari Bapa yang penuh kasih, maka hendaknya kita memberi dengan cuma-cuma pula (Mat 10: 8). [139-140]

Sebuah bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak tertutup dalam nasionalismenya. Dalam situasi krisis seperti sekarang ini kualitas sebuah negara diuji. Sayangnya banyak negara masih tertutup. Ketika para imigran hanya dilihat sebagai ‘perebut’, mereka dianggap berbahaya. Hanya sebuah budaya sosial dan politik yang terbuka bagi orang asing lah yang memiliki masa depan [140-141].

Lokal dan Universal. Menyadari situasi global namun memberi aksi nyata di lingkungan sekitar, itulah prinsip dasar yang dipegang. Kedua hal ini merupakan satu-kesatuan. Warga kota dan negara memang harus bertindak di tingkat lokal dalam rangka menyikapi realitas sekitar. Dan politik sebuah bangsa hendaknya membuka wawasan bagi cara pandang warga akan situasi global, tidak membiarkan mereka terkurung hanya dalam rutinitas lokal. Warga yang tak tercabut dari akar budayanya akan mampu membuka diri secara kritis bagi perkembangan global [142-143].

Unsur universal dan global tidak perlu mendominasi kebudayaan lokal. Universal bukan berarti homogen. Ini palsu. Sejarah keruntuhan Babel (Kej 11:1-9) sudah cukup memberi pesan bahwa manusia tidak bisa menyederhanakan keberagaman karunia Allah dengan ambisinya untuk menyeragamkan semua. Keharmonisan tetap dirawat dalam rumah bersama. Dan itu mungkin kalau perbedaan diterima sebagai hadiah yang memperkaya persaudaraan universal [143-145].

Narsisme lokal bukan tanda yang baik untuk persaudaraan universal. Memelihara kebudayaan lokal tanpa horizon keterbukaan pada yang universal pun tidak sehat. ‘Lokalisme’ hanya membuat suatu negara atau kota menjadi tertutup. “Kebudayaan tanpa keterbukaan pada nilai universal adalah bukan budaya” (Yoh. Paulus II). Dengan kata lain, dialog antara budaya menjadi penting. Dengannya kita menemukan keindahan dari budaya dan bangsa lain. Namun cita-cita ini tinggal sebuah utopia jika manusia tidak belajar membuka diri dan menerima perbedaan [146-150].

Dari wilayah khusus. Paus tidak menutup mata bahwa ada wilayah-wilayah lokal tertentu yang mengupayakan sebuah kultur hidup yang terbuka di perbatasan dengan negara lain. Negara-negara miskin mudah membangun keterbukaan di wilayah batas. Di sana ada aksi solidaritas secara tulus untuk membangun ‘kita’ di wilayah perbatasan. Sikap ini mungkin tumbuh karena Pendidikan yang membentuk seseorang untuk mengasihi sesama sekitar, mulai dari keluarga [151].

Sikap demikian lebih sulit dibangun antara negara-negara besar dan maju. Individualisme dan narsisisme bangsa masih mewarnai banyak negara. Ada perasaan takut terhadap bangsa lain. Jangan-jangan kita dididik untuk merasa takut terhadap orang lain? (152-153].

 

Fratelli Tutti [5]

Poin-poin Utama Bab 5 Fratelli Tutti

Bab Lima Fratelli Tutti: Politik Terbaik. Visi persaudaraan universal mengandaikan politik yang sehat. Kita berhadapan dengan orientasi politik dunia, yang sayangnya, menawarkan arah yang sangat berbeda [154]. Bab ini memuat seruan Paus bagi para leader untuk membangun paradigma politik yang sungguh berpihak pada komunitas manusia. Paus berbicara tentang politik kasih.

Populisme dan Liberalisme. Beberapa tahun terakhir istilah populisme menjadi terkenal. Orang mulai mengelompokkan diri: seorang populis atau non-populis. Orang bisa berpihak pada suatu aliran dan melebih-lebihkan atau anti terhadapnya. Populisme bisa menjadi motif terselubung yang sebenarnya merendahkan martabat rakyat kecil, tetapi melayani para penguasa [155].

Paus mengingatkan kita akan bahaya metodologi demagogi aliran populisme (demoagogi: penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat). Kita juga mengenal sistem ‘demokrasi’ yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Yang utama adalah rakyat, dan bukan sekedar gerakan mayoritas namun tidak terpusat pada rakyat [155].

Dan ketika kita menyebut ‘rakyat’, kita memaksudkan orang, manusia sebagai subjek. Manusia bukan sebuah kategori logis, yang sudah dipahami seluruhnya. Manusia adalah sebuah proses. Ia adalah realitas yang lebih dari patokan logis. Dan karena itu memahami manusia adalah sebuah proses, yang tentu tidak instan, bahkan sering kali dengan proses yang sulit [156-158].

Ada leader populer yang licik: ia memainkan isu-isu populisme, seakan-akan berpihak pada rakyat, tetapi sebenarnya diam-diam memperalat rakyat untuk kepentingan kuasa politik. Leader seperti ini pandai menawarkan pelayanan populer, pandai memainkan emosi rakyat, sehingga orang mudah terkesan dan memilih mereka. Para populis pandai menenangkan rakyat untuk sementara waktu, agar kuasa mereka langgeng; mereka mau memenangkan ideologi yang parsial [159].

Gerakan populisme mereduksi makna rakyat (manusia). Politisi populis memang menggunakan kategori rakyat, namun sebenarnya hanya mau mengendalikan masyarakat, dan tidak berurusan dengan ‘rakyat’ konkret. Ini sebuah kemerosotan. Para politisi ini berkepentingan mengamankan elektibilitas dan kuasa, tidak menjamin kebebasan dan masa depan masyarakat [160-161].

Seorang populis dalam arti sesungguhnya ialah dia yang mengupayakan pertumbuhan kesejahteraan rakyat. Ia merakyat. Ia populis, tetapi bukan demi popularitas. Ia bekerja untuk menumbuhkan benih kebaikan dalam diri rakyat, demi masa depan rakyat. Terkait tema ini, Paus mengangkat isu lapangan pekerjaan. Seorang leader yang merakyat mengupayakan lapangan kerja bagi rakyat, bukan hanya untuk mendapat gaji, tetapi sebagai wadah pengungkapan bakat dan kemampuan, untuk hidup lebih manusiawi, dan pada gilirannya berbuat baik sebagai warga negara [162].

Lebih dan Kurang Aliran Liberal. Aliran liberal mengusung kebebasan. Prinsip ini perlu direfleksikan secara kritis: Kaum liberal individualistis dikritik Paus, karena aliran ini menamai diri orang-orang yang menjunjung kebebasan, namun tanpa berakar pada sebuah narasi bersama. Rakyat dilihat sebagai kumpulan individu. Bagi mereka yang nyata adalah individu, bukan komunitas rakyat [163].

Di hadapan kenyataan ini, Paus menegaskan kebajikan Kristiani: Kasih (caritas) mempersatukan semua. Kasih menggerakkan orang menjumpai sesama dan memperlakukannya sebagai rakyat, dan lebih jauh sebagai saudara dan saudari. Ini butuh kerja sama pada level internasional. Ada berbagai aliran politik, gerakan sosial. Namun tanpa dasar kasih, semua hanya menjadi proyek instan [165].

Kita berhadapan dengan propaganda politik dan provokasi media yang hanya mengutamakan kepentingan dan citra diri penguasa. Cara-cara ini akan mengakumulasi individualisme. Di sini Paus mengingatkan kita akan bahaya konkupisensi, yaitu kecenderungan untuk tertutup dalam kesenangan diri, dan menutup mata terhadap kepentingan komunitas masyarakat [164-166].

Dunia pendidikan memainkan peran penting membentuk kesadaran orang akan sebuah pandangan tentang manusia secara integral, yang tidak memihak pada kepentingan ekonomi, politik, dan media. Kaum liberal ditantang untuk memandang rakyat sebagai komunitas sosial, bukan individu yang mengklaim selalu memiliki solusi atas berbagai kesulitan dalam kehidupan [167].

Dari aliran liberal, muncul kelompok neo-liberal. Dan salah satu dogma yang diusung kelompok ini ialah pasar bebas: setiap orang dapat memasarkan produk ke pasar dunia dengan sarana marketing dan media terkoneksi, dengan tujuan mendapat keuntungan banyak dan cepat. Dampaknya: orang mudah mendapat untung tetapi lapangan kerja berkurang. Kata ‘solidaritas’ tidak masuk dalam kamus pasar bebas. Yang utama ialah strategi mendapat untung [168].

Krisis di masa pandemi korona membuktikan bahwa ekonomi neo-liberal yang mengusung sistem pasar bebas dan global, ternyata tidak mampu memberi solusi efektif. Sementara itu ada gerakan-gerakan populer yang mengusung solidaritas dari bawah: mengupayakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak dapat masuk dalam sistem pasar yang besar dan stabil. Gerakan populer ini menyadarkan kita bahwa politik pasar global itu tertuju kepada orang miskin, tetapi tidak pernah bersama dan dari orang miskin. Dalam kenyataan rakyat menjalani rutinitas sendirian [169-170].

Kuasa Internasional. Bagi Paus, upaya dunia untuk keluar dari krisis keuangan pada 2007-2008 belum berhasil. Sistem politik keuangan dunia masih didominasi kelompok dominan. Sistem distribusi ekonomi yang menyeluruh belum terwujud. Terdapat banyak sektor ekonomi, namun tidak semuanya dijamin oleh sistem hukum, militer, serta teknologi. Sektor-sektor kecil menjadi korban. Seiring pasar global di abad XXI, kita membutuhkan sistem internasional yang sungguh mencakup semua sektor, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia [171-172].

Diperlukan semacam keluarga internasional, yaitu sistem yang menyatukan semua bangsa, baik yang kaya maupun miskin. Komunitas internasional perlu dibangun atas dasar hukum yang tidak memihak pada kepentingan negara besar. Pakta-pakta multilateral harus menjamin kesetaraan semua negara. Paus menilai positif inisiatif-inisiatif yang berusaha menutup kelemahan komunitas internasional dengan gerakan-gerakan yang mengutamakan prinsip subsidiaritas. Rasanya indah, karena gerakan-gerakan seperti ini sering kali bersifat heroik demi membela kemanusiaan [173-175].

Karitas Sosial dan Politik. Bagi banyak orang sekarang ini, ‘politik’ adalah kata yang buruk. Ini bisa dimengerti, sebab nyatanya dalam politik terjadi banyak korupsi dan kepentingan ideologis. Sistem politik dengan motif ekonomi adalah sistem politik yang tidak sehat. Motif ekonomi menyebabkan penegakkan hukum lemah. Kita perlu memikirkan sistem politik yang sehat [176-177].

Tanda politik yang sehat: siap dan mampu mengatasi situasi sulit dan mampu menjamin kebaikan bersama dalam jangka panjang: sekarang dan masa depan. Politik yang sehat memiliki mimpi akan masa depan manusia yang lebih baik, bukan hanya demi kepentingan elektorat sesaat. Dengan kata lain, jika politik itu sehat, bukan kepentingan ekonomi yang mengendalikannya, tetapi ia menjadi wadah untuk mengarahkan sistem ekonomi demi kesejahteraan bersama [178-179].

Politik Kasih. Memperlakukan sesama sebagai saudari dan saudara bukanlah cita-cita kosong. Ini mungkin terjadi kalau setiap aktivitas di semua sektor digerakkan oleh semangat kasih. Dalam hal ini kita membutuhkan sistem politik yang sehat, sebab politik sesungguhnya panggilan yang luhur, yang bertujuan menciptakan kebaikan bersama. Dunia sekarang membutuhkan ‘politik kasih’.

Yesus mengajarkan bahwa kasih adalah hukum utama (Mat 22: 36-40). Dan hukum kasih dapat diwujudkan bukan hanya antara pribadi manusia, tetapi juga disalurkan pada tingkat relasi yang lebih luas, yaitu dalam dunia politik, ekonomi dan relasi sosial. Nah, kesulitan untuk mewujudkan cita-cita ini ialah individualisme yang sudah mengakar. Politik yang sehat memperlakukan rakyat sebagai pribadi. Kata ‘rakyat’ dan ‘pribadi’ terkait sangat erat: keduanya memaksudkan manusia subjek yang bebas, bukan sasaran dominasi atau ambisi-ambisi politik [180-182].

Kasih yang dimaksudkan bukan perasaan atau emosi subjektif yang juga akan memengaruhi emosi rakyat, melainkan kasih sejati, yang didasarkan pada nilai kebenaran. Kasih perlu diterangi dengan kebenaran, agar ia tidak jatuh pada emosi sesaat atau untuk pihak tertentu saja. Kasih yang universal tidak jatuh dalam relativisme. Politik yang dilandasi semangat kasih, tidak menjanjikan kenyamanan sesaat bagi rakyat, tetapi membentuk kemanusiaan secara integral [183-185].

Aktivitas Politik Kasih. Seorang warga melakukan tindakan kasih berupa aksi kecil (aksi yang ditimbulkan), sedangkan seorang politisi, oleh karena panggilannya, dapat melakukan aksi yang lebih besar (aksi yang diharuskan). Contoh: jika seorang warga membantu seorang tua menyeberang sungai, seorang politisi membangun jembatan penyeberan; jika seorang warga memberi makan warga lain, seorang politisi dapat menyediakan lapangan kerja bagi warga.

Seorang warga terpanggil untuk melakukan aksi solidaritas; seorang politisi terpanggil mengupayakan aksi subsidiaritas: menyediakan sarana distribusi barang kebutuhan rakyat secara lebih luas dan tentu demi kebaikan rakyat yang lebih banyak. Politik itu mulia, ia adalah ruang untuk melakukan aksi kasih yang lebih besar demi kesejahteraan umum [186-187].

Dengan kata lain, perlu pengorbanan dalam politik. Hal yang urgen dalam politik ialah keberpihakan bagi mereka yang lemah. Dalam situasi krisis, politik memainkan peran penting. Tujuan politik ialah membantu warga semakin mandiri, bukan menjadikan rakyat sasaran pemerasan. Perlindungan anak-anak, orang tua, perempuan dari kekerasan merupakan peran sentral institusi politik dan perangkat hukum. Bencana kelaparan rakyat adalah skandal bagi politik [188-189].

Para pemimpin politik hendaknya mampu mengayomi dengan kasih yang berdaya menyatukan dan mengumpulkan. Ini bukan utopia melainkan target yang tinggi. Tantangan bagi politik sekarang ialah mempersatukan individu dan kelompok yang hidup dalam logika eksklusivisme. Kepada organisasi politik dan keuangan internasional, Paus bersama Imam besar Al-Tayyeb telah menekankan pentingnya keterbukaan dan dialog demi damai dan toleransi bagi warga dunia [190-192].

Ketahanan lebih utama dari Hasil. Seorang pemimpin politik memikirkan kebutuhan komunitas warga. Dan ia ditantang untuk lebih khusus memerhatikan kau lemah dan terpinggirkan. Mengutamakan yang lemah tidak mengurangi mutu politik. Sebab, seorang politisi juga adalah manusia, yang tentu memiliki dala diri hasrat untuk mengasihi sesama. Sebagai manusia ia juga memiliki tempat dalam hati untuk mengasihi dengan kehangatan kasih [193-194].

Seorang politisi juga memiliki panggilan nurani untuk memperlakukan warga sebagai saudari dan saudara. Tentu aksi kasih tidak harus berupa proyek besar atau aksi besar. Politik kasih dapat dimulai dengan melakukan perubahan kecil bagi kehidupan warga. Inilah keindahan hidup sebagai warga Tuhan: tidak ada domba yang diabaikan oleh gembalanya. Politisi yang hebat tahu menanam benih yang baik bagi warga, agar mereka memiliki harapan akan masa depan [195-196].

Politisi yang muncul karena marketing dan make-up media adalah politisi murahan, cenderung memprovokasi perbedaan kelompok. Pertanyaan serang politisi besar ialah bukan: berapa orang yang telah memilih saya, berapa warga yang menyenangi saya, berapa yang memberi kesan positif tentang saya. Bukan. Pertanyaannya lebih serius: sejauh mana saya mewujudkan kasih dala karyaku, apa yang telah kulakukan demi kesejahteraan rakyat, sejauh mana saya membangun interaksi dan relasi antara warga, apa yang telah saya hasilkan di tempat saya diberi kepercayaan [196-197].

Fratelli Tutti [6]

Poin-poin Bab Enam Fratelli Tutti

Bab Enam Fratelli Tutti: Dialog dan Persahabatan Sosial. Mendekati, mengungkapkan, mendengarkan, mengetahui, mencoba mengerti, mencari titik temu. Kata-kata ini terangkum dalam kata kerja ‘dialog’. Agar dapat saling berjumpa dan menolong, kita perlu berdialog.

Apa yang terjadi di dunia jika tanpa orang-orang baik yang mau mengupayakan dialog untuk kesatuan keluarga dan komunitas. Dialog tak memunculkan berita seheboh berita bentrokan dan konflik, namun secara diam-diam, jauh dari yang kita bayangkan, membantu dunia untuk hidup lebih baik, jauh lebih baik [198]. Dasar terjauh dialog adalah martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Dialog Sosial Menuju Budaya Baru. Di antara sikap mengabaikan secara egois dan protes dengan kekerasan, ada opsi lain, yaitu dialog: Manusia pada dasarnya dapat saling memberi dan menerima, dan terbuka kepada kebenaran. Sebuah bangsa tumbuh karena dialog antara berbagai budaya: budaya populer, budaya universitas, budaya orang muda, seni dan teknologi, ekonomi, keluarga dan media. Sering kali dialog ditempuh melalu opini panas maupun informasi palsu, jadi hanya cara oportunis yang sebenarnya hanya monolog sehingga tidak mengubah apa-apa [199-200].

Berita di media sering kali hanya bertujuan menyampaikan opini, lalu orang saling menyerang kesalahan, tanpa menyampaikan pandangan baru yang lebih berbobot. Arus umum berita ialah mendiskreditkan lawan, sehingga tidak memungkinkan sebuah dialog terbuka untuk menemukan sintesis yang merangkul semua. Narasi untuk kampanye politik pun menjadi sebuah bahasa umum, sehingga bahasa sehari-hari pun diwarnai dengan manipulasi.

Cara pemberitaan penuh ambisi dan manipulasi seperti ini telah menjalar ke sektor sosial, ekonomi, media, agama. Sulitnya dialog menunjukkan bahwa setiap orang memikirkan kepentingannya, bukan kepentingan dan kesejahteraan bersama. Yang kita perlukan ke depan ialah orang yang berani memutuskan logika ini, memperjuangkan kebenaran melampaui kepentingan pribadi [201-202].

Membangun Bersama. Dialog autentik ditandai dengan kesediaan mendengar dan mengerti pandangan orang atau kelompok lain. Ketika pandangan sebuah kelompok itu benar-benar baik, tentu akan memberi dampak positif pada kehidupan sosial. Namun, itu mengandaikan sebuah dialog di kelompok yang lain. Dialog yang jujur memungkinkan pencarian kebenaran, dan bukan sekedar debat publik yang penuh dengan trik menyembunyikan informasi. Dialog memungkinkan kerja sama demi kepentingan bersama. Perbedaan selalu ada, dan perbedaan menunjukkan kreativitas. Tetapi diperlukan dialog agar perbedaan itu menjadi kesempatan untuk bekerja sama.

Sekarang ini semakin disadari bahwa ada berbagai bidang ilmu yang bersifat khusus, sehingga cara melihat realitas pun berbeda-beda. Memandang realitas hanya dari satu sudut pandang tentu bukan cara yang wajar. Spesialisasi yang baik dalam sebuah sektor justru tampak dari kesediaan untuk belajar dari spesialisasi lain, agar dapat meliat realitas sosial secara seimbang [203-204].

Di era kemajuan global ini, media dapat membantu kita untuk merasakan kesatuan umat manusia, agar tumbuh solidaritas untuk membangun kebaikan bersama. Paus memaknai kemajuan dunia internet sebagai sebuah anugerah Tuhan. Anugerah ini dapat menjadi sarana jejaring yang baik, sebagai media penyatu segenap umat manusia. Namun tetap diperlukan suatu kontrol agar sarana ini sungguh menjadi media yang mempersatukan. Media yang bertujuan mengeksploitasi kekurangan dan memperlihatkan kelemahan orang tidak layak diterima [205].

Dasar Konsensus. Relativisme bukan solusi dalam dialog. Lebih-lebih relativisme moral: tidak tertarik dengan kebenaran objektif, semua demi kepentingan sementara dan tertentu saja. Mungkinkah dalam situasi sekarang ini kita menemukan kebenaran dengan melihat realitas lebih mendalam? Apa artinya hukum-hukum tanpa ada arah menuju kebijaksanaan, dan hormat pada martabat manusia? Sebuah tatanan masyarakat yang baik terlihat dari upaya dialog berdasarkan kebenaran fundamental. Sekarang ini kebenaran ditentukan oleh kelompok dan kepentingan tertentu. Tentu itu bukan kebenaran sejati, melainkan manipulasi yang dibayar dengan uang. Manusia memiliki kemampuan inteligensi dan kesadaran untuk mencari kebenaran asasi [206-208].

Relativisme telah menidurkan umat manusia. Relativisme menyebabkan orang malas mencari nilai-nilai yang lebih luhur dari kepuasan sementara. Dunia tunduk pada logika kompromistis. Berlaku sebiah etika politik yang dangkal: Tidak ada lagi kebenaran moral berdasarkan pembedaan antara nilai yang baik dan yang buruk. Yang ada ialah mana yang menguntungkan mana yang tidak. Ini konsensus superfisial, karena tidak memiliki dasar yang kuat [209-210].

Konsensus dan Kebenaran. Dalam dunia yang plural, dialog menjadi cara terbaik untuk sampai pada prinsip yang seharusnya terwujud, lebih dari sekedar kesepakatan sesaat. Di sini kita sedang berbicara tentang dialog berdasarkan pemahaman rasional yang mempertimbangkan kekayaan berbagai sudut pandang menuju kebenaran mendasar. Kita mengarah kepada nilai-nilai permanen, stabil, tidak ditawar-tawar, yang dihormati bersama karena nilai-nilai intrinsiknya.

Jika ada prinsip-prinsip dasar yang selalu ada dalam tata kemasyarakatan, bukan-kah itu berarti ada kebenaran yang tetap, yang dapat diterima akal sehat? Dan kalau kita meyakini adanya kebenaran fundamental, maka kita tidak harus mempertentangkan antara kesepakatan sosial, konsensus, dan kebenaran objektif sebuah realitas. Sebab ketiganya dapat dirangkum dalam dialog, sejauh orang terbuka untuk bertanya sampai pada pendasaran yang paling fundamental [211-212].

Terlepas dari perbedaan budaya, sejarah dan geografis yang membentuk seseorang, tidak dapat disangkal bahwa semua orang memiliki satu martabat nan luhur dan hakiki, yaitu sebagai manusia. Inilah nilai luhur martabat manusia, sebuah nilai yang memiliki landasan transendental, yaitu martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Bagi iman Kristiani, manusia adalah citra Allah [213-214].

Sebuah Budaya Baru. Kebenaran adalah sebuah seni perjumpaan. Dalam perjumpaan kita diperkaya. Dalam perjumpaan antara yang beragam, nilai kebenaran utama semakin utuh. Sebab, ‘bersama dan seluruh adalah lebih luhur dari hanya sebagian’. Dalam perjumpaan setiap sudut pandang diuji dan dimurnikan: tidak ada yang mengklaim lebih sempurna, dan mengabaikan yang lain. Dalam konteks inilah kita memaknai istilah ‘budaya’. Istilah ini bukan terkait sesuatu yang abstrak, melainkan konkret, yaitu menyentuh ke dalam diri masyarakat [215].

Di sini kita berbicara tentang ‘budaya perjumpaan’ (cultura dellincontro). Perjumpaan dapat menjadi sebuah cara hidup, di mana orang duduk bersama, mencari titik temu, saling menghormati sebagian manusia, dan saling menjembatani perbedaan. Pelaku dari budaya perjumpaan ialah manusia. Ia subjek konkret. Tanpa manusia sebagai pribadi tidak ada tatanan sosial [216].

Perjumpaan memungkinkan kedamaian: bukan sekedar damai yang dirangsang dengan motif perang dan ekonomi, tetapi damai batiniah, damai yang tidak superfisial. Damai juga bukan berarti diam demi kesepakatan dan perjanjian. Damai otentik terjadi karena proses perjumpaan di mana orang belajar menerima perbedaan. Mari kita mendidik anak-anak untuk menciptakan dami dengan senjata dialog; mari mengajari mereka mengenakan cara berjuang dalam perjumpaan [217].

Cita rasa Berjumpa dengan Orang Lain. Dialog mungkin kalau kita berani berjumpa dengan orang yang berbeda. Tanpa keberanian untuk berjumpa dengan yang berbeda, dialog tidak akan terjadi. Di balik peperangan dan banyak tindakan kekerasan, sebenarnya tersembunyi ketakutan manusia untuk berjumpa dengan sesama. Ia hanya mau berjumpa demi kepentingan yang sama.

Budaya perjumpaan dalam arti sesungguhnya bukan pertemuan dan kesepakatan formal antara pihak yang berkepentingan sama, dan hanya pada level para petinggi dan pemimpin. Dialog yang baik melibatkan masakat sebagai subjek kebudayaan, terutama masyarakat asli [218-219].

Pakta-pakta sosial menjadi efektif ketika menjadi pakta budaya. Budaya suku-suku asli juga menghendaki kemajuan, tetapi seriang kali mereka bersikap lebih manusiawi daripada masyarakat yang sudah maju; mereka tidak mencari untung dan kuasa, tetapi mendambakan firdaus kecil di bumi. Patut diingat bahwa tidak ada perubahan yang otentik tanpa dialog kebudayaan, terutama dengan mereka yang miskin. Budaya perjumpaan mengandaikan penerimaan perbedaan, bukan membentuk sebuah keidentikan yang bersifat monolitik [220].

Dalam konteks ini pun kita berhadapan dengan logika individualisme. Dan orang yang tertutup dalam logika ini, sering kali mencari kompensasi dengan jalan kekerasan. Orang mudah jatuh dalam toleransi yang palsu, karena yang paling utama ialah kepentingan diri; baginya sulit memahami bahwa orang lain juga memilik hak yang sama. Hanya kasih yang memungkinkan orang untuk dapat menempatkan diri pada orang lain, agar memahaminya yang lain secara otentik [221].

Memulihkan Sikap Baik. Individualisme mendatang banyak masalah. Seorang individualis memandang orang lain sebagai gangguan bagi kenyamanannya. Maka sedapat mungkin orang lain dijauhkan, sering kali dengan cara kekerasan. Dalam situasi sulit atau krisis, orang individualis hanya mencari jalan menyelamatkan diri. Namun di tengah dunia gelap seperti ini tentu ada orang yang masih memancarkan sinar terang. Orang seperti ini, dalam bahasa St Paulus disebut orang yang memiliki buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran… (Gal 5: 22); yang memiliki kemampuan berpihak pada sesama dalam situasi sulit [222-223].

Sikap baik adalah lawan dari hati yang keras. Orang dengan hati keras sulit membuka diri bagi sesama. Sekarang makin sulit kita menemukan orang yang bersikap sopan santun dengan mengucapkan: permisi, maaf, terima kasih. Meski demikian kadang-kadang ada orang yang melakukannya. Ketika sikap baik bertumbuh dari hari-hari, perlahan-lahan ia membebaskan orang dari egoisme. Inilah cara sederhana menumbuhkan budaya kehidupan [224].

 

Fratelli Tutti [7]

Poin-poin Bab Tujuh Fratelli Tutti

Bab Tujuh Fratelli Tutti: Jalan Perjumpaan yang Baru. Di banyak wilayah di dunia, ada upaya-upaya damai yang dibangun dengan tujuan menyembuhkan luka traumatis, merajut damai, agar terjadi perjumpaan baru dengan cara-cara yang cerdik dan berani [225].

Memulai Kembali dari Kebenaran. Mengapa perlu perjumpaan baru? Sebab, telah terjadi begitu banyak pertentangan dan peperangan antara umat manusia. Diperlukan pengakuan yang jujur akan apa sesungguhnya yang terjadi, sehingga kebenaran sungguh terkuak, dan perjumpaan baru diupayakan. Perjanjian damai di atas kertas saja tidak cukup. Kita butuh penegakkan kebenaran. Dan kebenaran itu tidak tercapai tanpa keadilan dan belas kasihan. Butuh sikap jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi pada para korban peperangan dan kekerasan, lalu diupayakan rekonsiliasi dan pengampunan. Penegakan kebenaran membutuhkan proses yang tak mudah [226-227].

Arsitek dan Ahli Perdamaian. Jalan menuju damai membutuhkan kerja sama. Untuk menciptakan damai saya perlu berdialog dengan lawan bicara: ia partner dialog. Sebab itu posisi dan cara pandangnya perlu dihargai sebagai sikap yang sah, sekurang-kurangnya dari pihak dia. Adanya partner dialog bukan untuk dibungkam dengan gagasanku. Mungkin saja pandangannya salah. Namun perlu didengarkan agar ada titik terang untuk mengevaluasi. Rekonsiliasi mengandaikan dialog, bukan dominasi satu pihak. Sebuah entitas sosial, entah keluarga, suku, maupun bangsa perlu didasarkan di atas penghargaan pada nilai universal, yaitu kemanusiaan [228-229].

Dialog yang mengabaikan identitas satu pihak bukan dialog. Bumi adalah rumah bersama. Umat manusia hidup dalam satu rumah, tempat di mana tidak ada satu orang pun diabaikan: kakek, nenek, orangtua, anak-anak. Semua bekerja sama. Ketika satu orang sakit, semua menolong. Inilah gambaran komunitas masyarakat yang sejati; inilah komunitas sosial yang kuat dan menang. Tentu saja sebuah keluarga tidak selalu sempurna: bisa terjadi pertengkaran. Namun hal itu tidak memisahkan anggotanya. Susah dan senang dirasakan bersama. Tidak ada yang anonim dalam rumah bersama. Itulah indahnya hidup bersama [230].

Visi damai seperti ini membutuhkan kerja keras. Diperlukan sebuah seni membangun damai. Orang yang membangun damai itu siap mengalami transformasi diri. Damai adalah proyek kehidupan: ia dibangun dalam keseharian. Ada sebuah bangunan arsitektur damai dalam masyarakat. Setiap institusi sosial turut ambil bagian berdasarkan kompetensi mereka yang khusus. Meski demikian, semuanya disatukan dalam satu ‘keahlian’, yakni damai. Damai mempersatukan [231].

Perlu dikatakan bahwa damai bukan hal yang sudah final. Damai menuntut budaya perjumpaan yang diupayakan terus-menerus dan dari berbagai sektor sosial. Sebab ada banyak tantangan dalam jalan membangun damai. Tantangan utama bagi perdamaian ialah kepentingan segelintir orang dan yang bersifat sementara. Sering kali orang mengira dapat mewujudkan perdamaian dengan protes-protes publik, yang hampir selalu diwarnai aksi kekerasan. Aksi seperti ini memiliki dasar yang sangat kabur, dan lebih banyak merupakan manipulasi kepentingan politik [232-233].

Persahabatan sosial dilakukan bukan hanya antara kelompok yang besar dengan kepentingan-kepentingan besar, melainkan dengan pihak yang paling lemah dan diabaikan, yang paling miskin dan di wilayah pinggiran. Oleh sebab itu damai sesungguhnya bukan berati tidak ada perang, melainkan proses berjalan bersama, yang ditandai rasa hormat pada saudari-saudara kita. Persahabatan sejati justru tampak dalam pilihan untuk berpihak pada mereka yang lemah [234-235].

Nilai dan Arti Pengampunan. Mengabaikan rekonsiliasi adalah pilihan yang salah. Paus mengkritik pandangan yang mengatakan bahwa rekonsiliasi itu tidak diperlukan karena itu adalah tanda kekalahan, ketidakmampuan untuk konfrontasi, dan karena itu menyembunyikan masalah. Bagi Fransiskus, rekonsiliasi adalah kebajikan agama-agama. Namun sayangnya pemaknaan rekonsiliasi sering kali tidak utuh. Karena itu, daripada memilih damai, orang sering kali lebih memilih aksi kekerasan, yang sebetulnya hanya mendatangkan aksi kekerasan baru [236-237].

Yesus sendiri mengecam kekerasan (bdk Mat 20: 25-26) tetapi mengajarkan pengampunan ‘sampai tujuh puluh kali tujuh kali’ (Mat.18: 22). Menarik bahwa komunitas Kristen awal yang tumbuh dalam dunia yang ditandai dengan korupsi dan penyimpangan, hidup dalam toleransi dan kesabaran. Dengan jelas dikatakan bahwa mereka ‘menuntun orang yang melawan dengan lemah lembut’ (2Tim 2: 25); mereka diminta ‘tidak bertengkar, tetapi selalu ramah dan lemah lembut terhadap semua orang’ (Titus 3: 2-3). Dalam Kisah Para Rasul digambarkan bahwa para Rasul yang dikejar-kejar para pemimpin, ‘disukai banyak orang’ (Kis 2: 47; 4:21,33; 5:13) [238-239].

Dalam pembicaraan tentang damai, kita perlu merefleksikan kata-kata yang menghentakkan dari Yesus: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya” (Mat 10: 34-36) [239].

Konteks dari kata-kata ini ialah ajaran Yesus tentang konsistensi pada pilihan: tanpa malu mempertahankannya, meskipun ditentang oleh orang-orang dekat, bahkan oleh keluarga. Jadi ini bukan ayat untuk membenarkan konflik. Justru sebaliknya: kata-kata Yesus ini memberi dasar bagi kita untuk mengatasi konflik. Sebab, hormat kepada nilai kebenaran itu menuntut komitmen, yang tentu disertai rasa hormat pada keluarga. Teks Injil ini menantang radikalitas dan kesetiaan Gereja dalam iman di tengah konflik dan perang kepentingan sosial [240].

Perjuangan Secara Sah dan Pengampunan. Memberi pengampunan bukan berarti mengabaikan keluhuran martabat seseorang di hadapan pelaku kejahatan dan kriminal. Mengasihi musuh bukan berarti membiarkan sikapnya yang buruk atau membenarkan perbuatannya. Mengampuni musuh berarti membantu melepaskannya dari kuasa jahat yang mengekang martabatnya. “Siapa yang menderita ketidakadilan harus dengan kuat membela hak-haknya dan keluarganya, justru karena ia harus menjaga martabat yang telah diberikan kepadanya, satu martabat yang dicintai Tuhan” [241].

Jika seseorang berbuat jahat kepada saya atau sesamaku, tidak ada yang menghalangi saya untuk menuntut keadilan dan berupaya sehingga orang itu – atau siapa pun – tidak lagi membahayakan saya maupun orang lain. Pengampunan bukan berarti mengabaikan sikap adil, justru mengharuskannya. Yang dilarang ialah membalas dengan kekerasan sehingga menyerang hidup seseorang. Sebab cara terakhir ini tidak pernah akan membuahkan damai [242].

Upaya damai dan pengampunan bukan perkara gampang. Sebab upaya ini menuntut usaha terus-menerus ‘mengalahkan kejahatan dengan kebaikan’ (bdk Rm 12: 21). Budaya damai mengandaikan benih damai yang tumbuh dalam hati setiap orang. Orang yang memiliki damai dalam diri, memiliki kelembutan, terdorong untuk mengampuni.

Sebaliknya hati yang keras hanya menuntut balasan, dan ini memicu perang dan kekerasan. Konflik masa lalu yang meninggalkan trauma yang rumit, butuh untuk diurai, bukan dihindari. Mendiamkan luka konflik hanya memperumit kesalahan dan dosa. Menghindari konflik tidak membuahkan damai. Dialog menjadi jalan yang penting: dialog secara transparan dan jujur [243-245].

Ingatan. Pengampunan dan rekonsiliasi adalah sebuah pengalaman personal. Bukan cara yang wajar jika kita meminta sebuah ‘pengampunan sosial’ atau ‘rekonsiliasi sosial’ dari mereka yang mengalami trauma dan luka masa lalu. Tentu tidak disangkal bahwa ada orang yang sungguh berbelas kasih sehingga rela mengampuni musuh yang menganiaya (bdk Mat 5: 44-46). Yang jelas, tidak dapat diadakan sebuah ‘rekonsiliasi umum’ hanya untuk menutup luka ketidakadilan dengan mantel ‘lupa’. Siapa yang pantas mengklaim pantas memaafkan atas nama orang lain? Tanpa menyangkal bahwa ada orang yang mampu dan rela memaafkan, yang jelas meminta orang melupakan trauma masa lalu adalah cara yang tidak pernah dibenarkan [246].

Shoah (pembunuhan terhadap penganut Yahudi Eropa) tidak untuk dilupakan. Paus mengenang para korban Shoah dengan mengutip doa berikut ini: “Ingatlah kami dalam belas kasihan-Mu. Beri kami rahmat untuk merasa malu atas perbuatan kami sebagai manusia, untuk merasa malu akan penyembahan berhala yang paling besar, karena telah melecehkan dan menghancurkan daging kami, yang Engkau jadikan dari lumpur tanah liat, yang Engkau hidupkan dengan nafas kehidupan-Mu. Tidak pernah akan lagi, Tuhan, tidak pernah lagi!” (Yad Vashem) [247].

Tak terlupakan pula bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, serta para korban perang dan kekerasan di berbagai tempat. Tidak ada amnesia bagi peristiwa-peristiwa tragis itu. Kita tidak bisa membuka lembaran sejarah sambil mengatakan bahwa ini hanya peristiwa masa lalu, sebaiknya dilupakan, agar memandang ke depan. ‘Demi kasih Allah, tidak’! Tanpa ingatan tidak ada masa depan [248].

Kita harus memiliki kesadaran kolektif akan semua ini; mengisahkan kesalahan kita ini kepada generasi muda, agar kesadaran akan anti kekerasan semakin tertanam dalam diri manusia. Dan dari pihak para korban kita harapkan agar mereka tidak jatuh dalam logika balas dendam. Dalam hal ini Paus mengapresiasi gerakan-gerakan, baik kecil maupun besar, yang mengupayakan rekonsiliasi melalu solidaritas, pengampunan dan persaudaraan [249].

Mengampuni Tanpa Melupakan. Mengampuni bukan berarti melupakan. Mengampuni merupakan proses pembebasan para korban dari keinginan balas dendam, agar mereka perlahan-lahan lepas dari naluri kekerasan yang sama. Pengampunan adalah sebuah sikap yang sungguh mulia. Hanya dengan kemurahan hati orang dapat mengampuni. Balas dendam tidak pernah menjadi solusi. Di pihak lain, impunitas bukan pilihan tepat. Seorang kriminal yang melukai manusia perlu ditindak adil, meski tetap dalam semangat kasih, agar kita tidak terjebak dalam rantai kekerasan [250-253].

Paus mengulang kata-katanya dari sebuah Homili di Amana-Yordania, 24 Mei 214: “Saya memohon kepada Tuhan ‘untuk mempersiapkan hati kita untuk berjumpa dengan saudara-saudara, terlepas dari perbedaan ide, bahasa, budaya, agama; agar Ia mengurapi seluruh keberadaan kita dengan minyak belas kasihan-Nya, agar kita disembuhkan dari kesalahan, kesalahpahaman, dan dari perselisihan; rahmat untuk mengantar kami dengan kerendahan hati dan kelembutan di jalan yang berat tetapi membuahkan hasil dalam upaya mencari perdamaian’” [254].

Perang dan Hukuman Mati. Sementara orang berpikir bahwa perang dan hukum mati menyelesaikan masalah. Paus menegaskan bahwa keduanya tidak pernah akan menjadi solusi. “Tipu daya ada di dalam hati orang yang merencanakan kejahatan, tetapi orang yang menasihatkan kesejahteraan mendapat sukacita” (Amsal 12: 20). Sejarah membuktikan bahwa perang sungguh menghambat damai sejahtera. Perang bukan kisah masa lalu. Perang itu nyata [255-257].

Perang bertentangan dengan hak asasi manusia. Piagam PBB pun menegaskan hal ini. Dan kiranya PBB tetap memperjuangkan hak semua umat manusia, dan tidak hanya memihak pada kepentingan negara-negara tertentu. Hal utama yang patut disadari ialah kemajuan teknologi senjata kimia dan biologi, yang sangat mungkin digunakan dalam perang. Senjata militer memiliki kekuatan pemusnah, dan tidak ada jaminan bahwa itu tidak disalahgunakan. Banyak korban tidak bersalah karena senjata pemusnah. Tidak ada ‘perang benar’. Jangan ada perang lagi! [258].

Di zaman kita sekarang perang dingin antara negara tertentu terus terjadi. Mereka memiliki kepentingan. Tidak ada masa depan yang baik karena parang. Banyak korban traumatis karena perang. Kejahatan lain seperti terorisme pun muncul karena ambisi politik dan produksi senjata pemusnah. Sungguh, tidak ada solusi damai melalui perang dan kekerasan. Selama orang tidak memikirkan kesejahteraan bersama, perang teru menghantui umat manusia [259-261].

Hukuman Mati. Cara lain yang juga keliru ialah memberikan hukuman mati bagi orang yang dianggap bersalah. Paus Yohanes Paulus Kedua telah mengecam hal ini, karena sama sekali tidak dibenarkan secara moral maupun hukum. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan bukan solusi untuk kehidupan (bdk Rm 12: 17, 19). Peran memberikan hukum yang adil bagi seseorang ada pada para pemerintah yang mengusahakan kebaikan (bdk Rm 13: 4; 1 Ptr 2: 14). Bagaimanapun, membunuh seseorang adalah kriminal [262-264].

Gereja menentang keras praktek hukuman mati. Orang Kudus seperti St. Agustinus pun menolak hukuman mati. Karena itu Paus juga mengkritik keras hukuman penjara semur hidup. Baginya ini adalah hukuman mati secara halus. Semua orang Kristen dipanggil untuk menjadi pembawa damai dan pembela kehidupan: “Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak” (Yes 2: 4). Bagi kita nubuat ini menjelma dalam diri Yesus, yang kepada seorang murid yang sedang tergoda perbuatan jahat berkata: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat 26: 52) [265-268].

Perkataan Yesus ini menggemakan kembali kata-kata peringatan dari Perjanjian Lama: “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri (Kej 9: 5-6). Reaksi spontan dari Yesus yang dikatakan kepada Petrus itu keluar dari hati-Nya, dan sepanjang sejarah sampai sekarang perkataan itu menjadi suatu peringatan bagi kita [289-270].

 

Fratelli Tutti [8]

Poin-Poin Fratelli Tutti Bab Delapan

Bab Delapan Fratelli Tutti, Peran Agama-agama Dalam Persaudaraan di Dunia. Berdasarkan kesadaran akan kesetaraan manusia sebagai anak Allah, kita semua, perempuan maupun laki-laki, memainkan peran istimewa dalam menjalin damai dan persaudaraan bagi umat manusia.

Tujuan dialog antara agama-agama buka sekedar diplomasi atau sopan-santun, melainkan menjalin persahabatan, damai serta keharmonisan berdasarkan kasih dan kebenaran [271].

Dasar Terdalam. Sebagai umat beriman, kita percaya bahwa dasar terdalam bagi dialog ialah keberadaan kita sebagai anak-anak dari Satu Bapa. Karena kita berasal dari Satu Bapa, maka kita adalah saudara. Dasar dari sikap saling menerima dalam perbedaan bukan hanya nalar, tetapi terutama kasih. Nalar saja tidak cukup untuk membangun persaudaraan [272].

Paus Fransiskus menegaskan pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam Centesimus annus (1 Mei 1991). Dikatakan bahwa, jika tidak ada sebuah nilai transenden yang menyatukan semua manusia, maka tidak ada jaminan yang benar bagi kesatuan manusia. Jika tidak ada kebenaran transenden, yaitu kebenaran paling luhur yang melampaui segala kepentingan manusia, makan manusia sesukanya mengutamakan dirinya demi berbagai alasan: agama, suku, bahasa, identitas bangsa, kedudukan, kuasa, kepemilikan, kepentingan diri….. Akar dari totalitarianisme modern ialah penyangkalan pada keluhuran martabat manusia sebagai pribadi gambaran Allah [273].

Pengalaman kita sebagai umat beragama dalam sejarah menunjukkan bahwa menghadirkan Tuhan dalam pengalaman sebagai manusia membuahkan kebaikan. Jika kita mencari Tuhan dengan hati tulus, kita tidak terjebak dalam kedangkalan pemahaman, ideologi, atau instrumen tertentu. Dengan demikian para penganut agama lain kita pandang sebagai saudara seperjalanan. Mencari Tuhan dengan kaca mata kepentingan kita saja sama dengan berhala kosong [274].

Tantangan serius bagi agama ialah ketika manusia menempatkan pikirannya sebagai berhala yang menggantikan Allah Yang Esa. Ini adalah bahaya dari rasionalisme sempit. Dan ini menandakan bahwa kesadaran manusia masih dangkal; masih dilingkupi sebuah pandangan materialisme. Agama yang baik justru dapat memainkan perannnya yang khusus dalam politik: menjernihkan kesadaran manusia, agar ia tidak mencampuradukkan perannya dalam politik dengan atribut agama [275].

Gereja memang independen dari politik, tetapi ia tidak mengabaikan politik. Sebab, Gereja ada dalam dunia. Dengan motif kemanusiaan Gereja terpanggil untuk memainkan perannya dalam tata sosial masyarakat. Gereja memperjuangkan persaudaraan universal, berdasarkan keluhuran martabat manusia. Bersama Maria, Gereja bagaikan ibu yang melindungi anak-anaknya [276].

Identitas Kekristenan. Gereja menghormati karya Allah dalam agama-agama lain. Gereja menghargai apa yang baik dan suci pada agama lain. Gereja sendiri pun menyadari bahwa ia dipanggil untuk membawa warta gembira Injil; ia tak dapat menyebarkan sukacita tanpa mengikuti irama nada dan melodi Injil. Maka bagi Gereja, sumber yang menyuburkan persaudaraan universal ialah Injil yang pada dasarnya ialah kesaksian tentang seluruh hidup dan pelayanan Yesus [277].

 

 

Penulis: P. Dr. Andreas Atawolo, OFM; dosen teologi di STF Driyarkara, Jakarta

 

Sumber: https://christusmedium.com

Gambar:  Vaticannews.

2 thoughts on “Ensiklik Paus Fransiskus; “Fratelli Tutti”, Persaudaraan Universal

  1. Dra. Astanaria Sinaga says:

    Terima kasih banyak, Pak. Dan untuk Pastor. Karena sudah selalu ngirim yg sangat bermanfaat bagi sy sebagai Guru Agama dsn Katekis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *