Katekese Umat Menunjang Pelaksanaan Kebijakan Pastoral Di Gereja Katolik Papua

Pengantar

Keprihatinan bangsa merupakan keprihatinan Gereja. Kehadiran kaum muda pada SAGKI 2005 menampakkan wajah muda Gereja yang hidup yang didorong lagi untuk mengembangkan kesadaran akan jatidiri dan peran sebagai orang beriman kristiani dalam masyarakat Indonesia dengan memberdayakan komunitas basis.

Menyadari keprihatinan hidup sekarang ini yang dinyatakan dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) November 2004 sebagai keadaban publik yang telah rusak, orang muda Katolik Indonesia dalam Pertemuan Nasional sepakat memulai gerakan merintis keadaban publik. SAGKI  2005 melanjutkan langkah itu dengan berseru kepada segenap anggota Gereja untuk bangkit dan bergerak guna ikut dan terlibat membentuk keadaban publik baru bangsa Indonesia. Oleh karena itu di mana-mana di seluruh Indonesia semangat membangun komunitas basis sebagai wadah bangkitnya gerakan orang muda merintis keadaban publik, dalam  menanggapi berbagai permasalahan yang ada di lingkungan Gereja dan bangsa.

Pemberian otonomi yang sedikit banyak diberikan dalam “pemekaran wilayah” di Papua adalah tanda kepercayaan dan pemicu semangat kemandirian. Maka sejalan dengan semangat komunitas basis Gereja dan masyarakat boleh berjalan meretas sedikit demi sedikit hambatan kesejahteraan merajut kesehatan dan pendidikan dalam tumbuhnya anak-anak Allah.

Melihat Realitas

Untuk dapat mewujudkan panggilan-Nya, Gereja perlu senantiasa “menganalisis secara objektif” situasi yang khas bagi negeri sendiri, menyinarinya dengan terang  Injil yang tidak dapat diubah, dan dengan ajaran sosial Gereja menggali asas-asas untuk refleksi, norma-norma untuk penilaian serta pedoman-pedoman untuk bertindak.” (Octogesima Adveniens 4) Ajaran tersebut ditegaskan lagi oleh Konsili Vatikan II dengan rumusan, agar umat semakin mampu menangkap tanda-tanda zaman, dan meneranginya dalam cahaya Injil (bdk. Gaudium et Spes 4).

Di Tanah Papua dalam gerakan Katekese Umat sungguh sepaham dengan memperhatikan segi  yang tersebut di atas yang dapat kami katakan sebagai “segi kontekstual”. Kontekstual yang dimaksud bukan saja soal budaya, melainkan juga tentang situasi kemasyarakatan umum yang berkembang berkaitan dengan Otonomi Khusus, Pemekaran Propinsi dan Kabupaten serta tuntutan-tuntutan dari berbagai kebutuhan dalam meningkatkan kualitas dan mutu hidup. Maka situasi yang terhampar di hadapan  adalah soal kemiskinan, pengangguran,  pendidikan formal maupun non formal, kesehatan, kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ketidaksetaraan Gender, tak dapat terhindarkan.

Bagaimana realita ini dapat diolah agar menjadi bermakna dan hidup terus agar dapat digumuli dalam Katekese Umat di tengah-tengah komunitas komunitas agar dapat mewujudkan “communio” yang  akrab. Pengolahan ini nampaknya bukanlah soal realita bukan pula soal  manusia yang tidak memahami melainkan orang dihadapkan pada putusan-putusan yang harus diambil dalam waktu singkat pada hal mereka belum siap untuk hal tersebut. Oleh karena itu orang terkadang lebih banyak bingung, kemanakah langkah kita selanjutnya.

Bercermin pada “Cinta Allah”[1]

Dasar terdalam dari segala upaya tersebut akhirnya terletak dalam iman kristiani kita sendiri, khususnya iman kita akan Putra Allah yang menjadi manusia dan masuk ke dalam dunia kita yang konkret, tempat  dimana manusia  di jaman kini penuh dengan kebingungan.

Dengan mengalami nasib manusia, Yesus menyatakan solidaritas-Nya dengan manusia yang dipandang sekadar daging, yaitu mereka yang miskin tak bermilik, sakit kusta, lumpuh, buta, sampah masyarakat, dan lain-lain. Solidaritas Yesus tinggal bersama-sama dengan menjadi daging membesarkan hati kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Kepada mereka diwartakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19). Mereka diberi harapan untuk bertahan dan berjuang memelihara kehidupan sebagai anugerah Allah Sang Pencipta, Bapa-Nya. Orang-orang miskin diberi-Nya pencerahan bahwa dengan solidaritas mereka mampu saling memberdayakan. Bahkan sebagai ungkapan solidaritas-Nya dengan manusia, hidup-Nya sendiri Ia berikan supaya manusia dan seluruh alam semesta selamat dan hidup. Karena solidaritas-Nya, Ia rela mati di salib sebagai manusia dalam daging (Fil 2:7).

Gereja dipanggil untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah yang menjadi nyata dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus. Seperti Allah sendiri, Gereja tidak boleh lari dari kenyataan keras dunia yang tidak beradab. Ia juga tidak boleh menunggu sampai dunia ini beradab lebih dahulu, melainkan diutus untuk masuk ke dalam dunia yang tidak beradab itu dan mewujudkan hakikatnya dengan mengupayakan keadaban publik.

Bila Gereja menemukan jati dirinya dalam Yesus Kristus yang menjadi daging, maka seperti Kristus, Gereja pun harus berani mengalami nasib menjadi korban untuk mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan. Dengan demikian Gereja berada di pihak manusia yang menjadi korban ketidakadilan. Jati diri Gereja ini hendaknya diwujudkan dalam habitus [2] baru, yaitu solider dengan korban. Untuk itu perlu dikembangkan spiritualitas kesaksian (martyria) yang terwujud dalam kesedian untuk berkorban, untuk melayani tanpa pamrih, dan untuk mewartakan kabar sukacita dengan menjadi saksi kabar sukacita tersebut.

Kata-kata tersebut di atas merupakan sebuah penghayatan yang indah. Namun demikian pertama-tama hendaknya kita dapat menunjukkan posisi keberpihakan kita yang sebenarnya. Banyak kali kami di Tanah Papua ini merasa bahwa selalu dilibatkan dalam persoalan bangsa, dalam persoalan seluruh Keuskupan di Indonesia ini. Akan tetapi seluruh Indonesia tidak merasa terlibat dalam situasi Tanah kami ini. Keberpihakan ini sangatlah penting dalam menghadirkan communio itu sendiri.

Oleh karena itu di masing-masing Keuskupan mencoba menterjemahkan Gerakan Inkarnatoris ini sesuai dengan situasi setempat. Keuskupan Jayapura terus menerus menggalangkan Gereja Mandiri; Keuskupan Manokwari-Sorong menggalangkan komunikasi untuk meningkatkan kesadaran Solidaritas dalam merangkai communio. Bapak Uskup di mana-mana terus menerus mengajak umat bahkan masyarakat untuk bertindak dengan jujur karena disitulah dasar komunikasi yang membangun harapan masa depan yang baik.

Penutup

 Sangat disadari bahwa Katekese Umat  tidak dapat dipisahkan dalam pewartaan kebijakan pastoral Gereja di Tanah Papua ini. Justeru peranan katekese ini semakin mengental dengan hadirnya semangat komunitas-komunitas yang semakin peduli pada satu sama lain. Bahwa kenyataan pula bahwa keterlibatan umat dan masyarakat dalam pembaruan dan pengembangan Gereja masih jauh dari sempurna; namun demikian kesadaran untuk berelasi dengan sesama dan Tuhan demi pengembangan Gereja dan masyarakat menampak dalam solidaritas yang terus menerus meningkat. Dan lebih dari itu adanya sikap terbuka dan bangga untuk melaksanakan panggilan pewartaan ini atas dasar meterai sakramen baptis dan krisma.

RD Paul Tan, Pr

Wakil  Komkat  Regio  Papua 2010-2016

 

catatan kaki:

[1] (bdk. Gerakan Inkarnatoris Allah)
[2] Habitus adalah “gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi dengan seseorang atau kelompok.” Nota Pastoral KWI 2004, butir 10.

 

credit gambar: https://seputarpapua.com/view/budaya_amor_dalam_misa_inkulturasi_di_gereja_katolik_st_petrus_.html   dan seswi.net

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *