Renungan Hari Minggu Palma : “Setia Memikul Salib”

Bacaan : Perarakan : Luk.19: 28-40

Ekaristi : Yes. 50:4-7; Flp. 2: 6-11; Luk. 22:14-23:56.

Setiap Minggu Palma kita merenungkan Kisah Sengsara Yesus. Kisah versi Lukas mempunyai beberapa kekhasan dan pesan.

Pertama, dalam injil Markus/Matius hanya ada satu kalimat Yesus di Salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, Mengapa Engkau meninggalkan Daku?”. Injil Lukas tidak memuat kalimat ini, tetapi ia mempunyai tiga kalimat lain, yang tidak ada dalam seluruh Perjanjian Baru. Setiap kalimat tersebut merupakan ringkasan tema pokok injil Lukas. Dalam 23:34 Yesus berseru “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Kalimat ini adalah ringkasan tema doa dan pengampunan yang diajarkan Yesus kepada para murid-Nya (bdk.6:28).

Kalimat kedua dalam 23:43: “Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus”. Kalimat ini menjadi ringkasan tema tentang kekinian keselamatan yang menjadi tekanan khas Lukas (bdk.2:11; 4:21; 5:26; 19:9). Kalimat ketiga dalam 23:46: “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” merupakan ringkasan pewartaan Lukas tentang Yesus sebagai Anak Allah yang menerima penderitaan dan wafat-Nya secara mulia! Pesan Lukas jelas: setiap orang Kristen harus menanggapi pelbagai penindasan dengan sikap seperti Yesus sendiri, yaitu: mengampuni dan tetap bersatu dengan Bapa dalam doa dan penyerahan diri.

Kedua, dalam Markus/Matius ditekankan Yesus yang menjalani penderitaan-Nya seorang diri dan para pengikut-Nya gagal menemani Dia. Yesus bahkan merasa ditinggalkan juga oleh Bapa-Nya! Dalam Lukas, Yesus tidak menderita sendirian. Di taman Getsemani Dia dikuatkan oleh seorang malekat. Di jalan ke salib, para perempuan meratapi-Nya. Yesus menyembuhkan telinga hamba Imam Besar yang ikut menangkap-Nya. Ia menyembuhkan (mendamaikan) relasi Herodes dan Pilatus yang mengadili-Nya. Persis itulah makna kematian-Nya: untuk menyembuhkan dan mendamaikan manusia dengan Allah! Itulah warisan-Nya bagi kita: tidak ada penderitaan yang tak bermakna. Tidak ada kematian yang tak bertuah. Dalam iman, semua penderitaan, ketidak-adilan, juga kematian kita, akan menjadi sarana keselamatan bagi diri sendiri dan sesama.

Ketiga, dalam kisah Matius/Markus, orang Yahudi semuanya membenci Yesus. Tetapi dalam injil Lukas, orang-banyak mengikuti Yesus ke tempat penyaliban (23:27) tanpa mengolok Dia. Mereka kembali sambil memukul-mukul diri sebagai tanda penyesalan (23:48). Putri-putri Yerusalem meratapi Yesus. Lukas juga tidak berbicara tentang tirai Bait Allah yang tercarik menjadi dua bagian, karena injil ini melihat Yerusalem dan Bait Allah secara positip. Injil Lukas diawali dengan wakil Israel, Umat Allah yang lama (Zakharia) “memuji Allah dalam Bait Allah di Yerusalem” (1:8 dstnya) dan berakhir dengan Umat Allah yang baru (para Murid Yesus) yang juga “memuji Allah” dalam Bait Allah di Yerusalem (24:53). Iman kita akan Tuhan bukanlah hasil ciptaan dan renungan kita sendiri. Iman itu kita terima dari tradisi, baik tradisi Umat Allah dalam PL maupun tradisi jemaat Kristen dalam PB. Segi komunal dan radikal (mengakar) itulah yang perlu selalu kita sadari, saat kita merenungkan Sengsara Tuhan Kita dalam Pekan Suci ini.

Top of Form

Yesus telah memberi contoh bagi kita untuk setia memikul salib kehidupan kita. Kesetiaan itu akan mendapat ganjaran kemenangan kebangkitan. Apa makna penderitaan Yesus itu bagi kita. Agar kita manusia bisa dan sepatutnya solider akan penderitaan sesama. Namun warta Kisah Sengsara ialah warta Injili. Bahwa penderitaan dan wafat Yesus itu bernilai karena ia menunjukkan kepada Tuhan betapa manusia tidak bisa lagi dikenali sebagai manusia karena terlalu dikuasai kekerasan. Penderitaan Yesus membuat Tuhan tak bisa ingkar melihat kemanusiaan. Semoga setia kita kepada-Nya menjadi berkat dalam perjalanan hidup di tengah tantangan dan cobaan ini. **

 

 

By Rm. Fransiskus Emanuel Da Santo, Pr; Sekretaris Komisi Kateketik KWI

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *