Mgr. Paskalis Bruno Syukur: “Katekese Berjenjang dan Berkesinambungan”

regio jawa 2015.jpg

Komisi Kateketik Regio Jawa mengadakan pertemuan tahunan di Megamendung, Bogor Jawa Barat pada tanggal 3 d.s. 6 Feb 2015. Uskup keuskupan Bogor Mgr. Paskalis Bruno Syukur, hadir dan memberikan masukan kepada para peserta pertemuan regional yang bertemakan “Katekese Berjenjang dan Berkesinambungan”. Berikut kami kutip pandangan, serta arahan Mgr. Paskalis tentang katekese berjenjang dan berkesinambungan pada pertemuan tersebut.

“Katekese Berjenjang Dan Berkesinambungan” merupakan tema temu karya Komisi Kateketik Regio Jawa. Tema ini mengingatkan kita bahwa pembinaan iman umat merupakan suatu proses panjang. Di dalam proses itu ada serangkaian kegiatan yang harus dilakukan, satu sesudah yang lain (suksesif – berjenjang atau bersama-sama, serentak). Rangakaian kegiatan itu kita sebut unsur-unsur pembinaan.

Tujuan akhir pembinaan adalah terbentuknya sikap hidup kristiani sejati di dalam pribadi penganut Kristus. Sikap-siakp hidup itu berpegang teguh pada ajaran Kristus dan berusaha mengikuti teladan Kristus. Maka pada tempat pertama harus diusahakan agar umat benar-benar mengenal pribadi Yesus Kristus, ajaran-ajarannya dan mengetahui dengan baik teladan-teladan hidupNya. Untuk itu, unsur pertama yang penting di dalam pembinaan iman umat adalah pengajaran agama dan bentuk-bentuk lain penyajian ajaran dan teladan Kristus. Itulah bentuk pewartaan Sabda atau bentuk penyampaian Kabar Baik yang disebut Katekese.

Kita mengetahui bahwa kata “Katekese” berasal dari bahasa Yunani Katechein, yang berarti menggemakan, mengumandangkan. Katekese merupakan salah satu “fungsi” utama Gereja di tengah dunia, yaitu sebagai “nabi” yang harus “menggemakan” dan “mengumandangkan” berita gembira Tuhan kepada dunia, selain fungsinya sebagai imam dan raja. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium 33 menegaskan bahwa tugas “menggemakan” dan “mengumandangkan” berita gembira Tuhan itu merupakan bagian penting dari kerasulan awam: “Maka kerasulan awam adalah peran serta dalam perutusan penyelamatan Gereja. Untuk kerasulan ini, semua orang ditugaskan Tuhan sendiri, melalui pembaptisan dan penguatan” (LG 33).

Dalam rangka “mengumandangkan” itu ada metode berkatekese bermacam-macam. Salah satu metode berkatekese yang dikembangkan ialah katekese kontekstual. Katekese Kontekstual ingin agar pewartaan tidak saja bersumber pada Kitab Suci dan tradisi Gereja, tetapi juga pada pengalaman manusia sekarang ini di dalam lingkungan hidup konkritnya: lingkungan sosial, lingkungan kultural, lingkungan sosial-ekonomi, sosial-politik, ekologi, dsb. Semua usaha menyesuaikan cara pewartaan Sabda dengan tuntutan perkembangan dan perubahan zaman adalah wajar-wajar saja, bahkan diperlukan. Akan tetapi, yang disesuaikan adalah cara, metode pewartaan, bukan isi pewartaan itu sendiri. Memang, isi pewartaan harus dikaji sesuai dengan sikon terungkapnya pewartaan tersebut. Jika tidak hati-hati, dapat terjadi bahwa upaya menyesuaikan cara, akhirnya berubah menjadi upaya menyesuaikan isi warta seturut keinginan, kebutuhan dan aspirasi pewarta di dalam lingkungan hidupnya. Dalam arti ini, kita mesti berguru pada Yesus sendiri. Pewartaan Sabda harus tetap pewartaan Sabda, bukan pewartaan paham-paham kita tentang sabda. Kita tidak mewartakan diri kita dan paham kita, melaikan warta Tuhan, sama seperti Kristus bukan menyampaikan pesan diriNya, tetapi pesan Bapa. “Aku berkata-kata bukan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Aku katakan, dan Aku sampaikan” (Yoh 12:49).

Tantangan berkatekese masa kini amatlah nyata. Secara kasat mata, banyak sekali umat yang enggan atau ragu berbicara tentang hidup Yesus. Mendengarkan dan membahas Firman Tuhan yang adalah jalan, kebenaran dan kehidupan, hampir tidak menarik minat. Keluhan sederhana dan nyata seperti terungkap “umat katolik banyak yang tidak familiar dengan membuka Alkitab, tidak mengenal banyak isi Firman Tuhan dari Alkitab, kurang berminatnya umat untuk mendalami Firman Tuhan di lingkungan-lingkungan” merupakan sinyal-sinyal yang mesti membuat para pecinta dan aktivis berkatekese bertanya “Quo vadis Katekese”?

Lebih memprihatikan lagi, sekolah-sekolah katolik Indonesia berlomba-lomba membina para didikannya dengan iptek agar percaya diri berkompetisi di dunia kerja, sehingga minim sekali pengetahuan tentang Yesus dan minat bermisi amat rendah. Semestinya, sekolah katolik menumbuhkan minat peserta didik untuk mendalami pribadi Yesus dan seluk beluk Gereja, termasuk posisi dan sikap Gereja tentang masalah sosial budaya dan lingkungan hidup, serta berkembang minatnya untuk berpartisipasi dalam melanjutkan misi Yesus dan Gereja. Setiap proses berkatekese yang tidak membuat umat tidak mengenal Kristus atau enggan mengenal dan mengetahui Kristus, mesti dipandang sebagai proses yang perlu diperbarui.

Disinilah urgensitas temu karya Komisi Kateketik Regio Jawa. Akan adakah semangat pembaruan yang dilaksanakan setelah temu karya ini dalam hal berkatekese? Apakah ada indikator yang menunjukkan “katekese berjenjang dan berkesinambungan” menumbuhkan minat umat untuk menjadi misionaris Kristus yang handal?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *