Hari Minggu IV Adven
Bacaan I: Yesaya 7:10-14
Bacaan II: Roma 1:1-7
Bacaan Injil: Matius 1:18-24
Dahulu kala, lebih dari 1700 tahun silam, seorang pemuda memutuskan untuk menjadi santo, menjadi Orang Kudus. Ia meninggalkan rumahnya, keluarganya dan segala harta miliknya dan pergi menjadi pertapa di padang gurun. Ia berpikir bahwa menjadi pertapa adalah cara yang paling baik untuk menjadi kudus.
Menurut legenda, diceritakan bahwa sesudah ia bertapa bertahun-tahun di padang gurun, Allah berkata kepadanya: Tinggalkan gua pertapaanmu untuk beberapa hari dan pergilah ke sebuah kota yang jauh letaknya. Carilah tukang sepatu di kota itu dan tinggallah bersamanya beberapa saat!!
Pertapa suci itu merasa bingung oleh perintah Allah yang aneh itu, tetapi mentaatinya.
Ia kemudian bertemu dengan tukang sepatu itu dan diterima dengan sangat ramah tamah. Tukang sepatu itu memanggil istrinya. Mereka menyediakan hidangan yang lezat dan tempat tidur yang nyaman. Pertapa itu tinggal bersama keluarga tukang sepatu selama tiga hari tiga malam. Pertapa mengajukan banyak pertanyaan tentang kehidupan mereka. Mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing dan menjadi teman akrab.
Kemudian sang pertapa berpamitan kepada tukang sepatu dan istrinya. Ia berjalan kembali ke gua sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa Allah menyuruhnya mengunjungi tukang sepatu itu. “Bagaimana sikap tukang sepatu itu?” Allah bertanya kepadanya setelah ia kembali di dalam guanya yang gelap. “ia seorang pria yang sederhana”, tuturnya. “ia mempunyai seorang istri yang akan segera melahirkan anak lagi. Mereka tampaknya sangat mencintai satu sama lain. Ia mempunyai sebuah perusahan kecil tempat ia membuat sepatu-sepatunya. Ia bekerja keras. Mereka mempunyai sebuah rumah yang sederhana. Mereka memberi ruang dan makanan kepada orang-orang yang nasibnya kurang beruntung dari mereka. Ia dan istrinya beriman teguh kepada-Mu dan mereka berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari. Mereka mempunyai banyak sahabat. Dan tukang sepatu itu gemar mengisahkan cerita yang jenaka kepada anak-anaknya!”
Allah mendengarkan dengan penuh perhatian dan kemudian berkata: “Engaku seorang suci yang sejati, Antonius, dan tukang sepatu itu juga adalah seorang suci yang sejati”.
Demikianlah kisah legenda mengenai santo Antonius dari Mesir. Legenda ini mau mengatakan bahwa seorang bapak rumah tangga yang dengan tulus ikhlas mengabdi Tuhan dan keluarganya adalah juga seorang kudus. Baik Santo Antonius, maupun bapak tukang sepatu itu sama-sama telah menjawab panggilan Allah dengan baik dan melaksanakan amanat Allah dengan ikhlas.
Dalam injil hari ini kita mendengar bagaimana seorang bapak keluarga, Santo Yusuf, dengan tulus ikhlas telah mendengar amanat dari Allah dan melaksanakannya dengan tuntas. Amanat Tuhan lewat malaikat yang hanya terjadi dalam mimpi saja tidaklah gampang dan gamblang. Mungkin banyak yang tidak dapat ditangkap dengan akal sehat. Tetapi Yusuf melaksanakannya dengan tuntas tanpa syarat. Yusuf tidak melaksanakannya secara buta-tuli dan legalistik. Kalau demikian, ia tentu sudah menceraikan Maria yang ternyata sudah mengandung, sesuai ketetapan hukum Yahudi. Ia tulus hati dalam arti rohani sejati. Ia begitu percaya dan mencintai Maria. Tetapi Ia tidak mengerti mengenai kandungan Maria! Ia tahu suatu tindakan Allah sedang terjadi dalam diri Maria. Ia menganggap dirinya tidak layak untuk diikutsertakan dalam tindakan Allah dalam kehidupan dan panggilan Maria, yang terjadi di luar kemampuannya. Ia berpikir lebih baik Ia diam-diam menarik diri. Dan itu mau dibuatnya dengan tulus ikhlas. Tetapi ternyata Allah membutuhkannya. Malaikat menjelaskan kepada Yusuf bahwa itu semua adalah rencana Allah! Anak yang berada dalam kandungan Maria berasal dari Roh Kudus. Yusuf hendaknya memasukkan anak itu dalam keturunan bangsa Daud serta memberi kepada-Nya nama. Yusuf dengan tulus ikhlas mengikuti penyampaian malaikat itu. Dan sampai akhir hayatnya ia menjalankan tugasnya dengan baik tanpa banyak bicara.
Dalam seluruh Kitab Suci kita tidak menemukan satu perkataan ppun yang keluar dari mulut Yusuf. Dia hanya melaksanakan. Dan… dengan tulus ikhlas. Ia selalu berpikir dan bekerja lurus sesuai tugas dan panggilannya. Dalam diri Yusuf hendaknya Gereja dan semua kita anggota Gereja melihat gambaran diri kita. Gereja dan tiap-tiap anggota Gereja dipanggil untuk mendengarkan dan melaksanakan amanat dan firman Allah. Pada masa kita ini rasanya semakin sulit untuk mendengar suatu amanat yang luhr dengan baik dan melaksanakannya dengan tulus.
Kita misalnya sering mendengar apa yang dikatakan amanat penderitaan rakyat. Berapa banyak orang, terlebih para penguasa dan pejabat yang sebenarnya harus mengemban amanat ini, sungguh-sungguh mendengarkan amanat ini dan melaksanakannya dengan setia dan tulus.
Pada zaman ini orang sudah dirasuki oleh semangat kebendaan (materialisme dan hedonisme) dan ambisi akan kuasa serta kedudukan. Kepentingan diri dan golongan yang diperjuangkan lewat ambisi-ambisi tersebut membuat telinga kita pekak terhadap amanat yang luhur dan membelenggu diri kita, sehingga kita tak mampu lagi untuk melaksanakannya.
Betapa sulit, pada zaman ini kita mendengar dan melaksanakan amanat bangsa, amanat Gereja, amanat keluarga, dan sebagainya.
Disadur dari Yosef Lalu, Homili Tahun A, Komisi Kateketik KWI, Jakarta 2002, Hal. 12-15