Katekese Dalam Pastoral Kitab Suci

mgr-silvester-san-hidup-katolik.jpg

Berbicara mengenai pastoral Kitab Suci tidak terlepas dari katekese. Kitab Suci akan tetap menjadi buku yang asing bagi umat apabila tidak diumatkan. Salah satu cara mengumatkan Kitab Suci adalah dengan jalan katekese. Dengan demikian hubungan Kitab Suci dengan katekese sangat erat, yaitu saling membutuhkan dan menguntungkan, sebab Kitab Suci membutuhkan katekese dan isi katekese bersumber terutama dari Kitab Suci. Jadi, Katekese penting dalam pastoral Kitab Suci atau kerasulan Kitab Suci. Berikut kami kutip tulisan Mgr. Silvester San, Uskup Keuskupan Denpasar tentang “Katekese dalam Pastoral Kitab Suci” dari blog Rm. Patris Alegro, Pr. (admin)

Mgr Silvester San

A. Pengertian Katekese
Kata katekese berasal dari kata Yunani catechein (kt. Kerja) dan catechesis (kt. Benda). Akar katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luas dan echo artinya gema/gaung. Secara etimologis katekese berarti membuat bergema, menyebabkan sesuatu bergaung; .suatu gema yang diperdengarkan/disampaikan keluar/ke arah luas. Gema dapat terjadi jika ada suara yang penuh dengan keyakinan dan gema tidak pernah berhenti pada satu arah; maka katekese juga harus dilakukan dengan penuh keyakinan dan tidak pernah berhenti pada satu arah.

Dalam Kitab Suci terdapat sejumlah kata katekese, yaitu dalam Luk 1:4 (diajarkan, katekhethes); Kis 18:25 (pengajaran, katekhemenos); Kis 21:21 (mengajar, katekhethesan); Rm 2:18 (diajar, katekhoumenos); 1Kor 14:19 (mengajar, katekheso); Gal 6:6 (pengajaran, katekhoumenos). Dalam konteks ini katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman dan pendidikan iman agar seorang Kristen semakin dewasa dalam iman. Jadi, katekese biasanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis di tengah umat yang sudah Kristen. Namun pada prakteknya, terutama pada masa Gereja Purba, katekese dimengerti sebagai pengajaran bagi para calon baptis; ini merupakan arti sempit dari katekese. Istilah yang dipakai untuk itu ialah katekese baptis dan katekese mistagogi, yang memberi uraian perihal misteri dan sakramen-sakramen bagi mereka yang dibaptis. Sedangkan Gereja masa kini menempatkan katekese untuk pengertian yang lebih luas. Dalam anjuran apostolik Catechesi Tradendae, Sri Paus Yohanes Paulus II menegaskan: “Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT.18).

Dengan kata lain, katekese adalah usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terdapat unsur pewartaan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan serta pendewasaan. Metode yang sesuai perlu dicarikan agar katekese dalam berbagai bentuknya bergema dalam hati pendengar dan berbuah nyata.

B. Katekese dalam Dokumen-Dokumen Gereja
* Direktorium Kateketik Umum (1971)

– Katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan sabda, yang bertujuan membuat iman umat hidup, berdasar, dan aktif lewat cara pengajaran (DKU. 17).
– Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai karya gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang dewasa (DKU. 21).
– Katekese terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, tetapi sifat khasnya, yakni sebagai inisiasi, pendidikan dan pembinaan tetap dipertahankan (DKU. 31).
– Isi katekese adalah wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyelamatkan, yang terjadi dalam sejarah umat manusia (DKU. 37).

* Evangelii Nuntiandi
– Evangelisasi atau pewartaan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil (EN. 14).
– Bagi Gereja penginjilan berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, dan melalui pengaruhnya Injil mengubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi manusia baru (EN. 18).
– Injil harus diwartakan melalui kesaksian hidup (EN. 21).
– Kabar Baik yang diwartakan dengan kesaksian hidup cepat atau lambat haruslah diwartakan dengan Sabda Kehidupan. Dan segi yang penting dari pewartaan Sabda Kehidupan adalah kotbah dan katekese (EN. 22).

* Catechesi Tradendae
– Penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugas yang amat penting, yang disadari berasal dari tugas perutusan Yesus sendiri kepada para murid-Nya (CT. 1).
– Katekese yang otentik seluruhnya berpusat pada Kristus – Kristosentris (CT. 5).
– Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT. 18).

C. Dasar Katekese
Dasar katekese adalah “penugasan Kristus kepada para rasul dan pengganti-pengganti mereka”. Dalam Mat. 28:19-20 Yesus mengutus para rasul. Ia bersabda “pergilah”, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, “baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”, dan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Dalam tafsir Injil Matius dijelaskan bahwa tugas para rasul mencakup pewartaan awal kepada orang yang belum mengenal Tuhan, pengajaran kepada para katekumen, dan pengajaran kepada orang yang telah menjadi anggota Gereja agar iman mereka lebih mendalam dan dewasa.

D. Sasaran Katekese
Tujuan definitif katekese adalah bukan hanya membuat orang saling berkontak, melainkan juga membuat orang berkontak dalam kesatuan dan kemesraan, dengan Yesus Kristus. Segala kegiatan mewartakan Kabar Gembira dimengerti sebagai usaha mempererat kesatuan dengan Yesus Kristus. Mulai dengan pertobatan ‘awal’ seseorang kepada Tuhan yang digerakkan oleh Roh Kudus melalui pewartaan Injil yang pertama, katekese berusaha mengukuhkan dan mematangkan kesetiaan pertama ini.

E. Bentuk Katekese:
Ditinjau dari segi penyajiannya, katekese dapat dibedakan dalam 3 bentuk:
1. Bentuk praktis: Bentuk ini mengarahkan peserta katekese untuk bergiat dan rajin mempraktekkan kehidupan agamanya: rajin beribadah, rajin berdoa dan berdevosi, bergairah menghadiri perayaan Ekaristi dan perayaan liturgis lainnya, mengenal baik masa-masa liturgi dengan segala sarana dan peralatannya. Sumber utamanya adalah liturgi Gereja
2. Bentuk historis: Bentuk ini memperdalam pengenalan umat akan sejarah penyelamatan dari pihak Allah, yang diawali dengan janji-janji mesianis dalam Perjanjian Lama dan memuncak dalam pribadi Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Sumber utamanya adalah Kitab Suci. Di dalamnya campur tangan Allah dalam menyelamatkan umat manusia ditampakkan.
3. Bentuk sistematis: Bentuk ini menyajikan kepada umat ajaran teologis dan dogmatis yang tersusun secara sistematis, singkat dan padat. Sumbernya adalah buku katekismus.

Pada prakteknya bentuk-bentuk tersebut berbaur. Tidak murni hanya satu bentuk yang dilaksanakan. Sebab nampaknya untur-unsur yang ditekankan oleh masing-masing bentuk saling berkaitan. Ajaran biblis, historis, teologis, dogmatis dimaksudkan untuk membantu umat semakin menyadari penyelamatan Allah melalui Gereja-Nya. Dengan kesadaran itu umat diharapkan akan terdorong untuk semakin giat dalam praktek-praktek keagamaan.

F. Prinsip-Prinsip Katekese
Usaha katekese merupakan tanggung jawab seluruh umat sebagai Gereja
Usaha katekese mementingkan “proses” (bukan hasil yang langsung/”instan”). Dengan kata lain: yang lebih utama adalah bukan “target”/”hasil” yang sudah dicapai, melainkan “proses” menuju/memperoleh hasil. Peserta katekese adalah “subyek”/pelaku yang berperan dalam proses. Katekese membantu orang menghayati imannya dalam situasi aktual (orang mampu mewujudkan imannya secara konkret dalam hidup/ada integrasi antara iman dan hidup bersama orang lain).

Katekese berupaya mendorong umat untuk membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama maupun lingkungannya. Dalam hal ini, proses katekese yang bertujuan mematangkan dan mendewasakan iman harus dilaksanakan secara sadar dan terencana dengan penuh tanggung jawab (tidak “improvisasi”). Katekese harus memperhitungkan situasi peserta (latar belakang, psikologi, minat, kebutuhannya). Dalam hal ini katekese harus menjadi lebih kontekstual. Proses katekese adalah proses pendidikan iman yang membebaskan. Dalam proses katekese setiap pribadi dihargai martabatnya sederajat, di mana setiap orang bebas mengungkapkan pengalaman imannya tanpa rasa takut. Dalam hal ini setiap pengalaman iman dari masing-masing pribadi harus dilihat sebagai pengalaman yang dapat memperkaya sesamanya dalam proses berkatekese. Katekese diharapkan membangun iman yang “terlibat’ (mendorong “aksi” nyata).

Pendamping katekese adalah “fasilitator” yang memudahkan terjadinya komunikasi iman. Untuk itu, tidak tepatlah kalau pendamping bertindak sebagai orang yang ‘maha tahu’ apalagi sebagai penceramah yang mendominasi proses pertemuan.

Proses katekese harus mampu “menjemput/menyentuh” pengalaman hidup ataupun pengalaman iman peserta, sebagai medan pertemuan manusia dengan Allah.
Sarana maupun metode katekese yang diupayakan, semuanya bertujuan untuk memudahkan terjadinya komunikasi iman. Pemikiran bahwa dalam pertemuan katekese “yang penting asal diisi dengan banyak kegiatan bagi umat” bertentangan dengan prinsip suatu proses katekese yang bertanggung jawab.
Katekese hanya salah satu dari upaya-upaya pastoral secara menyeluruh. Proses perkembangan iman harus dilengkapi dengan upaya-upaya pastoral yang lain.

G. Pewartaan Kitab Suci membutuhkan Katekese

Katekese memberitakan Sabda Allah

Sabda Allah yang terbaca dalam Kitab Suci memuat berita tentang penyelamatan umat manusia dari pihak Allah yang memuncak dalam diri Yesus Kristus. Dalam diri Kristuslah, terdapat puncak segala wahyu. Sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya adalah peristiwa definitif penyelamatan manusia menuju pertemuan abadi dengan Allah agar manusia bertemu secara pribadi dengan Kristus. Katekese adalah pewartaan diri Kristus. Yesus Kristus dalam kepenuhan pribadi-Nya adalah pusat yang tak dapat dibantah dalam katekese. Itulah sebabnya katekese haruslah bersifat kristosentris, berpusat pada Kristus. Seorang pewarta, seperti katekis atau tenaga pastoral pada umumnya, perlu menyadari sungguh-sungguh bahwa yang ia wartakan kepada umat adalah Kristus; sedangkan ia sendiri adalah alat di tangan Kristus, agar tercipta pertemuan pribadi manusia dengan Kristus, Sang Guru Ilahi.

Kedudukan Kitab Suci di dalam Gereja

Rasul Paulus memberikan alasan kepada kita untuk mempelajari Kitab Suci yaitu: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim 3:16) agar kita yang menjadi umat-Nya diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. Dengan demikian, Kitab Suci mendapatkan tempat yang tinggi di dalam Gereja Katolik, yang dapat kita lihat dari dokumen-dokumen Gereja yang senantiasa mempunyai sumber Kitab Suci di samping Tradisi Suci, dan kita dapat melihat secara jelas dalam liturgi Gereja yang selalu mengutamakan Kitab Suci melalui liturgi Sabda. Perhatian akan pentingnya Kitab Suci bagi Gereja, umat Allah, nampak juga dalam pernyataan St. Hironimus yang mengatakan: “Barang siapa tidak membaca Kitab Suci, tidak mengenal Kristus”.

Perlu kita ketahui bahwa sejak zaman Reformasi sebagai reaksi melawan “semangat protestan”- yang menekankan “sola scriptura”, kedudukan sentral Kitab Suci dalam kehidupan Gereja mulai sangat berkurang. Bahkan oleh pengaruh Konsili Trente, umat dilarang membaca Kitab Suci tanpa pendampingan hirarkhi karena dikuatirkan salah tafsir. Namun, kemudian (pada awal abad 20) Gereja Katolik menyadari bahwa Kitab Suci kurang dihargai dalam kalangannya sendiri dan bahwa reaksi melawan reformasi membawa akibat-akibat negatif di dalam Gereja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka melalui ensiklik-ensiklik khusus yang dikeluarkan oleh Paus, melalui promosi studi Kitab Suci serta melalui organisasi kerasulan Kitab Suci, Tahta Suci telah berjasa banyak dalam bidang Kitab Suci ini, sehingga situasi pada waktu Konsili Vatikan II berlangsung sudah jauh lebih positif daripada satu abad yang lalu. Para Bapa Konsili ingin mendukung segala jasa itu, dan mereka menganjurkan usaha yang lebih efektif lagi, agar supaya Kitab Suci sekali lagi dapat menjadi pedoman, sumber kekuatan dan hidup bagi Gereja, sesuai dengan maksud Tuhan. Dalam Konstitusi Dei Verbum (art. 21-26) para Bapa Konsili ingin memberikan sejumlah gagasan dan petunjuk praktis, supaya Kitab Suci menerima kembali kedudukan sentral dalam kehidupan Gereja (i.e. dalam Liturgi, pewartaan, teologi) dan kehidupan masing-masing anggota (melalui bacaan, renungan, meditasi). Paus Benediktus XVI dalam pengajaran apostoliknya, Verbum Domini, mengajarkan bahwa Kitab Suci mendapatkan tempat di dalam Sakramen-sakramen, Liturgi, ibadat harian, buku-buku doa dan pemberkatan, lagu-lagu, kotbah, katekese dan lain-lain.

Kerasulan/Pastoral Kitab Suci

Kitab Suci sebagai Sabda Tuhan dimaksudkan untuk mengantar orang pada pemahaman akan siapakan Tuhan, karya-Nya, kuasa-Nya, kehendak-Nya. Selain itu Kitab Suci juga menghantar manusia pada pemahaman mengenai dirinya. Kita percaya bahwa Kitab Suci merupakan perwahyuan dari Allah sendiri yang berpuncak pada Yesus Kristus dan disampaikan dalam bahasa manusia dengan pengantaraan para pengarang suci. Para pengarang Suci ini dipilih Tuhan sendiri, sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing.

Perwahyuan Sabda Tuhan dalam Kitab Suci menjadi dasar iman sekaligus juga menjadi bahan pewartaan yang utama. Dengan kata lain, Kitab Suci diwahyukan, ditulis, dihayati dan diwartakan. Iman kita pada prinsipnya adalah iman untuk dihayati dan diwartakan. Siapakah yang harus mewartakan iman? Semua anggota Gereja dipanggil untuk menjadi pewarta. Tugas pewartaan disampaikan oleh Yesus sebelum naik ke Surga: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajararlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20). Tugas tersebut disampaikan oleh Yesus kepada para rasul, yaitu membaptis dan mengajar. Gereja melanjutkan tugas para rasul untuk membaptis dan mengajar tersebut. Tugas inilah yang kemudian disebut tugas kerasulan, karena gereja dibangun di atas para rasul dan berpegang teguh pada kesaksian iman mereka.

Di dalam pertumbuhannya Gereja menyadari bahwa tugas kerasulan bukan hanya membaptis dan mengajar. Karya-karya Gerejani berkembang semakin bermacam-macam, antara lain karya-karya yang sifatnya karitatif (pelayanan kasih), pendidikan, kesehatan, sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Untuk menangani berbagai karya tersebut, seluruh potensi Gerejani yang dimiliki oleh seluruh umat dilibatkan sedemikian rupa sehingga kelihatan bahwa Gereja bukan sekedar organisasi, tetapi sungguh membentuk sebuah organisme, jaringan yang hidup dan dinamis di dalam melaksanakan karya-karya kerasulan itu.

Peranan Katekese dalam Pastoral Kitab Suci

Katekese Mendidik Untuk Beriman Iman sungguh anugerah dari pihak Allah sehingga seseorang terpaut pada-Nya (bdk. Yoh 6:65-66), berserah diri dan menaati Allah. Peranan manusia sifatnya sekunder. Namun manusia perlu menciptakan suasana agar iman itu kian dirasakan, bertumbuh, dan berbuah. Dalam hal ini katekese itu penting. Katekese mencari kemungkinan agar jawaban manusia terhadap tawaran Allah (yang termuat dalam teks-teks Kitab Suci) dapat terwujud dengan semestinya. Katekese menolong agar umat terpikat pada diri Allah, yang diwartakan oleh Yesus Kristus dan agar mereka terdorong untuk melakukan kehendak dan perintah Allah. Dengan demikian diharapkan tercapailah pembaruan dalam hidup manusia. Manusia yang hidup pada zamannya dalam konteks budaya tertentu menjadi manusia rohani yang hidup lebih bekenan di hadapan Allah. Iman yang dihidupi senantiasa membutuhkan pengembangan yang berproses. Maka dalam katekese ada 3 komponen penting yaitu: 1. Kognitif: dalam berkatekese disajikan pemahaman agar orang semakin yakin dan dapat bertanggungjawab atas iman atau agamanya; 2. Afektif: dalam berkatekese, perasaan/penghayatan perlu dibangkitkan sehingga umat semakin mencintai agama dan Allah yang diimaninya serta hanya selalu berkobar untuk berbakti, menyembah dan bersyukur; 3. Operatif: dalam berkatekese perlu diberikan contoh-contoh konkret sehingga umat melihat kemungkinan untuk mengkonkretkan imannya dalam hidup sehari-hari.

Katekese Mengembangkan Gereja Umat Allah yang mengimani Kristus sebagai Pemimpin dan Juruselamatnya disebut Gereja. Kegiatan/usaha mengukuhkan persaudaraan Gerejawi dan untuk mengobarkan semangat iman anggota Gereja termasuk tugas utama katekese. Tidak ada katekese yang benar kalau bukan dalam konteks kegerejaan. Dokumen Catechesi Tradendae mengatakan: “…. Katekese di masa lampau maupun di masa mendatang selalu merupakan karya yang harus termasuk tanggung jawab Gereja, dan yang oleh Gereja memang harus diinginkan sebagai salah satu tanggungjawabnya. Tetapi para anggota Gereja mengemban tanggung jawab yang berbeda-beda, tergantung dari perutusan mereka masing-masing”.

Perkembangan suatu Gerejapun sangat tergantung pada usaha-usaha katekese menyebarkan sabda penyelamatan Allah kepada manusia. Gereja ada, berkembang dan menyebar karena aktivitas kateketis. Bahkan lewat katekese, gereja sendiripun semakin dibarui, dalam arti bahwa katekese memberi penilaian kritis terhadap keberadaan gereja dalam zaman yang terus berubah.

Demi mengembangkan Gereja, dibutuhkan suatu program katekese yang menyeluruh dan berkesinambungan sejak usia dini sampai usia lanjut (i.e. katekese anak-anak, katekese remaja, katekese orang dewasa, katekese usia lanjut) serta katekese bagi kelompok-kelompok kategorial. Berkaitan dengan ini Kardinal Carlo Maria Martini pernah mengatakan bahwa keempat Injil itu adalah sebuah katekese yang berkelanjutan dalam Gereja Purba: Injil Markus adalah buku katekese untuk para katekumen, orang yang dipersiapkan untuk dibaptis; Injil Matius adalah buku katekese untuk orang yang telah dibaptis dan secara khusus untuk para katekis; Injil Lukas adalah buku katekese untuk orang yang telah dibaptis dan secara khusus bagi para teolog; Injil Yohanes adalah buku katekese untuk orang yang telah dewasa dalam iman dan khususnya bagi para imam. Jadi, Gereja dapat bertumbuh dan berkembang kalau katekese berjalan lancar dan dilaksanakan secara terprogram dan berkelanjutan.

Semua Orang Kristiani Perlu Katekese
Gereja senantiasa menganggap katekese sebagai salah satu dari kewajiban fundamental, yang berasal dari perintah terakhir Kristus yang bangkit: menjadikan semua orang murid-Nya dan mengajari mereka melakukan segala sesuatu yang telah diajarkan-Nya. Dalam katekese, yang diajarkan kepada para katekumen adalah Kristus, Sang Sabda yang menjadi Daging dan Putra Allah serta segala sesuatu yang bertalian dengan-Nya. Dalam katekese perlu disadari bahwa Kristus sendiri adalah guru kita. Semua guru lainnya adalah juru bicara Kristus, orang-orang yang percaya akan ajaran Kristus yang dimaklumkannya.

Katekese merupakan jalan yang memungkinkan pertemuan dengan Pribadi Kristus melalui iman. Maka semua orang perlu diberi katekese. Katekese harus tetap menjadi sekolah iman, pedagogi iman. Katekese mengajari baik orang muda maupun orang dewasa agar tetap berpikir jernih dan berpegang teguh pada iman. Katekese menunjukkan identitas mereka sebagai orang-orang Kristen, agar mereka tetap setia kepada Allah dan sanggup memberi kesaksian tentang diri-Nya kapan dan di mana saja.

H. Kesimpulan akhir

Dari uraian di atas jelas sekali bahwa hubungan timbal balik antara katekese dan Kitab Suci sangat erat: Di satu pihak katekese adalah pelayan Sabda Allah, dalam arti katekese menjadi sarana untuk mewartakan Sabda Allah yang termuat dalam Kitab Suci. Katekese menjadi tempat istimewa di mana sabda Allah senantiasa bergema dalam sejarah manusia dalam bentuk pengajaran, ajakan, pewartaan, doa dan kesaksian hidup. Dengan kata lain Kitab Suci membutuhkan katekese agar Sabda Allah yang termuat dalam Kitab Suci dapat menjadi pegangan hidup, pedoman dan terang bagi jalan umat Allah. Di pihak lain isi Kitab Suci, yaitu Sabda Allah adalah sumber utama bagi Katekese, sehingga katekese dapat membimbing umat untuk beriman dan mengembangkan Gereja.

Isi Kitab Suci yang menjadi sumber utama bagi katekese dapat disampaikan kepada umat Allah melalui berbagai metode atau pendekatan katekese, yang pada umumnya dapat digolongkan dalam dua jenis: katekese doktrinal dan katekese antropologis. Katekese doktrinal adalah pedagogi iman yang bertolak dari Firman Allah menuju ke situasi hidup manusia. Dalam pastoral Kitab Suci metode atau pendekatan yang dipakai bervariasi, misalnya: metode Bacaan-Syering-Aplikasi, metode Teks-Amanat-Tanggapan (TAT), metode 7 Langkah, metode Jawaban Kelompok, metode Lectio Divina, dll. Sementara itu katekese antropologis adalah pedagogi iman yang bertolak dari situasi hidup manusia menuju Firman Allah, di mana Firman Allah menerangi situasi hidup manusia tersebut. Dalam pastoral/kerasulan Kitab Suci metode atau pendekatan yang digunakan, antara lain: metode Amos/Kontekstual dan metode Look-Listen-Love.

Sumber referensi
1. Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese, Mirifica.
2. Dr. Marinus Telaumanua OFMcap., Ilmu Kateketik: metode dan Hakikat dan Peserta Katekese Gerejawi, Penerbit OBOR, 1999
3. Materi Rm. Hari Kustono berjudul: Kerasulan Kitab Suci dalam Gereja
4. Paus Paulus VI, Anjuran Apostolik Evangelii Nuntiandi
5. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae
6. Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis
7. KWI, Komisi Kateketik, (1989) Menuju Katekese Kontekstual Tahun 2000.
8. KWI, Komisi Kateketik, (1993) Membina Iman yang Terlibat Dalam Masyarakat.
9. FABC V, Pernyataan Penutupan dalam Spektrum, XIX (1991) no. 2, 3 dan 4.
10. Gereja Indonesia Pasca Vatikan-II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, 1997.

Sumber: http://romopatris.blogspot.com/2013/01/katekese-dalam-pastoral-kitab-suci-2.html
Sumber gambar: hidupkatolik.com

One thought on “Katekese Dalam Pastoral Kitab Suci

  1. Ir. Fillan Samosir says:

    Program Katekese ini perlu dilakukan secara teratur dg acuan waktu sehingga dapat terlaksana secara rutin disetiap gereja, sehingga semakin nyata hasilnya. Termasuk juga Pembentukan Tim Pengajarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *