Pewartaan Kristus di Zaman Digital dengan Semangat Rasul Paulus

rasul-Paulus-dalam-dunia-digital.jpg

Kita sedang hidup di zaman digital. Banyak orang menyebutnya sebagai era baru dengan budaya baru. Tentu saja zaman atau era digital ini memberikan banyak kemudahan bagi hidup manusia, terutama dalam hal komunikasi. Kini komunikasi antar manusia sangat mudah, tidak mengenal batas waktu dan tempat. Bagaimanapun ada pula dampak negatifnya, apabila manusia itu sendiri tidak dapat menggunakan media komunikasi digital tidak secara bertanggungjawab. Paus Yohanes Paulus II pada masa kepausannya telaah menghimbau kita (Gereja) agar memanfaatkan teknologi ini sebagai sarana untuk pewartaan Injil. Demikian pula Paus Benediktus XVI dan Paus Frasiskus yang menaruh perhatian tentang pewartaan dengan menggunakan digital. Berkaitan dengan tugas pewartaan, kami mengutip tulisan Bp. Stefanus Tay & Ingrid Tay, (pendiri dan pengelola website http://katolisitas.org) tentang “Pewartaan Kristus di Zaman Digital dengan Semangat Rasul Paulus”.

Stefanus Tay & Ingrid Tay

katolisitas-home-1

I. Kristus hidup di dalam aku
Jika membaca riwayat hidup Rasul Paulus, kita akan terinspirasi dengan betapa besar kasihnya kepada Kristus. Ia benar- benar mempersembahkan seluruh hidupnya untuk mengabarkan Injil. Ia rela di penjara dan dianiaya, rela melakukan perjalanan yang berbahaya, demi mewartakan Kabar Gembira kepada segala bangsa. Semangatnya tak surut bahkan setelah beberapa kali didera, dan diterpa bahaya maut (lih. 2Kor 11:23, 25; Kis 27:27). Namun sesungguhnya, ia dapat mengasihi Kristus sedemikian rupa karena Tuhan Yesuslah yang terlebih dahulu mengasihi dan mengampuni dia. Perjumpaannya dengan Kristus di perjalanan menuju Damsyik mengubah seluruh hidupnya, dan melalui sentuhan kasih Kristus ia menjadi manusia baru. Paulus tidak lagi hidup menurut pengertian dan kehendaknya sendiri, namun menurut ajaran dan kehendak Kristus. Keseluruhan jiwa dan kehendaknya begitu terarah kepada Kristus, sehingga ia dapat mengatakan, “…. namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20).
Kristus yang hidup di dalam diri Rasul Paulus juga hidup di dalam diri kita umat Allah yang telah menerima Sakramen Baptis. Semangat Rasul Paulus untuk mewartakan Kristus, dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk juga melakukan tugas pewartaan – yang memang telah kita terima pada saat kita menerima Sakramen Baptis. Tugas pewartaan yang dulu dilakukan oleh Rasul Paulus dengan berjalan kaki, menjelajahi samudra luas, mengalami penghinaan dan penderitaan, sampai akhirnya menyerahkan nyawa demi Kristus yang tersalib, kini menjadi tugas yang harus kita emban bersama. Hanya seja sekarang jaman dan keadaannya berbeda. Dengan kehidupan yang diwarnai dengan informasi digital, cyberspace, maka tugas mewartakan Kristus menjadi lebih mudah bagi kita. Kita dapat melakukan semuanya dari rumah, asal terhubung dengan kabel internet. Terima kasih kepada teknologi. Selanjutnya, pertanyaannya, apakah kita mempunyai semangat dan spiritualitas seperti Rasul Paulus untuk memberitakan Kristus?

II. Sudahkah perkataan Rasul Paulus itu menggema di dalam hati kita?
Jika kasih kita kepada Tuhan diukur dari sejauh mana kita telah melakukan perintah- perintah-Nya (lih. 1Yoh 5:3), dan sejauh mana kita mempunyai kehendak yang sama dengan kehendak Kristus, maka baik jika kita tanyakan kepada diri sendiri, sudahkah kita mempunyai kerinduan seperti Rasul Paulus, yang melakukan apa saja untuk mewartakan Kristus? Berikut ini adalah beberapa prinsip ajaran Rasul Paulus yang mungkin dapat kita jadikan sebagai patokan dasar pewartaan kita:

1. Beritakanlah Injil!
“Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1 Kor 9:16) Rasul Paulus mempunyai kecintaan yang besar kepada Injil. Maka pewartaannya tentang Kristus juga merupakan pewartaan akan segala pengajaran dan perintah Kristus dalam Injil. Semangat Rasul Paulus ini harus mendorong kita untuk juga semakin bersemangat untuk membaca Kitab Suci, merenungkannya dan melaksanakannya; supaya Injil menjadi sungguh hidup di dalam keseharian kita. Dengan kata lain, Injil yang kita imani itu menentukan sikap hidup, pikiran dan tutur kata kita; inilah sesungguhnya bentuk pewartaan yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasul Paulus (Flp 1:27). Selanjutnya Injil inilah yang harus kita wartakan dalam tugas kerasulan kita sebagai katekis.

2. Berpegang pada pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15) Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar berpegang kepada ajaran-ajaran para rasul, baik yang disampaikan secara lisan -yaitu Tradisi Suci- maupun yang tertulis -yaitu Kitab Suci. Dengan demikian, jika kita mengikuti jejak Rasul Paulus dalam pewartaan Sabda Tuhan, selain kita menyampaikan ajaran yang tertulis dalam Kitab Suci, kita harus juga menyampaikan ajaran Tradisi Suci yaitu pengajaran dari para Bapa Gereja dan Magisterium, yang walaupun tidak termasuk di dalam Kitab Suci namun berasal dari sumber yang sama -yaitu dari Kristus, para rasul dan para penerus mereka- sehingga baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci perlu mendapat penghormatan yang sama.[1] Di samping sumber Kitab Suci dan Tradisi Suci, Rasul Paulus juga mengajarkan untuk “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat (ekklesia = Gereja) dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1Tim 3:15 ) Dari sini kita tahu, bahwa Rasul Paulus sangat menghargai Gereja. Dan penghargaan dan ketaatan Rasul Paulus akan keputusan Gereja diwujudkan dengan mentaati segala sesuatu yang diputuskan dalam Konsili Yerusalem I.

3. Memberitakan Kristus: kebangkitan-Nya tak terlepas dari kurban salib-Nya
“Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (1Kor 2:2)
Rasul Paulus mengajarkan kepada kita agar tidak ragu untuk mewartakan Kristus yang disalibkan, sebab kebangkitan-Nya tidak pernah terlepas dari sengsara dan wafat-Nya di kayu salib. Maka sebagai umat Kristiani, seharusnya kita tidak menekankan hanya pada hal kebangkitan Kristus dan mengabaikan sengsara dan wafat-Nya, sebab tidak ada hari Minggu Paskah tanpa hari Jumat Agung. Sebenarnya tantangan pewartaan Rasul Paulus kepada kaum Yahudi dan kepada kaum Yunani pada jamannya juga masih relevan saat ini. Sebab pewartaan Yesus yang disalibkan itu memang menjadi batu sandungan bagi banyak orang, dan sering dianggap sebagai kebodohan bagi kaum cendekiawan dunia. Namun bagi kita yang percaya, Kristus yang disalibkan merupakan kekuatan dan hikmat Allah (lih. 1 Kor 1:23).

4. Menjangkau semua orang, karena Allah menghendaki semua orang diselamatkan
“[Allah] menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4) Pesan pewartaan berikutnya yang perlu disampaikan sehubungan dengan Kristus yang disalibkan adalah: melalui kurban salib-Nya itu, Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Jadi pesan ini jugalah yang harus kita sampaikan saat kita mewartakan Kristus.

5. Pewartaan iman, pengharapan dan kasih, di dalam Kristus
“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman…. ” (Ef 2:8)…. “yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6) …karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruselamat semua manusia, (1Tim 4:10) “[karena]kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.” (Rom 6:11) Pewartaan Kristus yang tersalib itu adalah pewartaan kebenaran akan kasih karunia Allah kepada kita manusia, dan dengan mengimaninya dan mewujudkan iman itu di dalam perbuatan kasih, kita diselamatkan. Pewartaan akan pentingnya iman yang tak terpisahkan dari kasih ini menjadi salah satu inti pengajaran Rasul Paulus. Walaupun sebelum bertobat ia berlatar belakang Farisi yang sangat taat kepada hukum Taurat, namun setelah perjumpaannya dengan Kristus, Rasul Paulus mengetahui bahwa manusia diselamatkan bukan dari melakukan hukum Taurat tetapi karena kasih karunia Allah yang mengubah seseorang sehingga ia memperoleh hidup yang baru di dalam Kristus.

6. Menggunakan segala cara yang baik untuk mewartakan Kristus
“Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.” (1Kor 9:20-21) Dalam usaha menghantar banyak orang agar mengenal Kristus, Rasul Paulus tidak memusatkan perhatiannya kepada dirinya sendiri, tetapi kepada mereka yang dilayaninya. Ia seolah menempatkan dirinya sejajar dengan mereka dengan harapan mereka dapat menerima pesan yang disampaikannya. Demikian pula dalam tugas pewartaan yang kita lakukan, penting bagi kita untuk mengetahui latar belakang orang yang sedang kita ajak bicara, karena dengan memahami pola berpikir mereka, kita akan dapat mewartakan pesan Injil dengan lebih efektif.

7. Bertekun dalam evangelisasi
“Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat…. Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku.” (2Kor 11:23-30) Mungkin baik kita diam sejenak membaca kesaksian Rasul Paulus ini, dan kita biarkan kata- kata ini menembus kedalaman hati kita. Sebab mungkin pengorbanan kita dalam mewartakan Kristus sungguh masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanan Rasul Paulus. Namun, betapa sering kita tergoda menjadi tawar hati jika ada kesulitan ataupun tantangan dalam tugas pewartaan kita sebagai katekis.

8. Mahkota abadi merupakan penggenapan janji bagi kita yang turut mewartakan Kristus
“Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan … berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi.” (1 Kor 9:25) Namun pada akhirnya Rasul Paulus mengimani bahwa mahkota abadi akan tersedia bagi kita yang turut mengambil bagian dalam tugas pewartaan Kristus ini, sebagaimana para atlet yang turut mengambil bagian dalam pertandingan. Semoga di akhir hidup kita, kita dapat berkata bersama dengan Rasul Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan…” (2Tim 4:7).

III. Dunia modern di bawah pengaruh modernisme dan sekularisme
Untuk dapat melakukan karya evangelisasi di tengah dunia modern ini, maka kita harus mengerti apa yang menjadi pergulatan dan tantangan di dunia pada saat ini, yang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Dunia tempat kita tinggal dipenuhi dengan begitu banyak tipu daya, sehingga banyak orang yang terseret masuk ke dalamnya. Rasul Yohanes mengatakan “…manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.” (Yoh 3:19). Bahaya paling besar yang dihadapi oleh dunia modern adalah modernisme dan juga sekularisme.

1. Modernisme
Modernisme dikatakan oleh Paus Pius X sebagai “sintesis dari semua bidaah”/ gabungan dari semua ajaran sesat[2], yang kemudian ditegaskan oleh Paus Benediktus XV[3]. Dapat dikatakan bahwa modernisme menggabungkan semua ajaran bidaah karena modernisme ingin menghilangkan semua hal yang berhubungan dengan Tuhan dari seluruh sendi kehidupan. Prinsip dari modernisme ini dapat disarikan sebagai: (a) Prinsip emansipasi, yang menghendaki kebebasan ilmu pengetahuan, tata negara dan hati nurani, yang terpisah dari Gereja; (b) Prinsip perubahan, yang mempercayai bahwa satu-satunya yang statis di dunia ini adalah perubahan dan menolak sesuatu yang tetap, yang terstruktur, yang pada akhirnya akan melawan otoritas Gereja, karena dipandang sebagai organisasi yang terlalu kaku dan terstruktur; (c) Prinsip rekonsiliasi, yang mencoba untuk menyatukan semua perbedaan berdasarkan perasaan hati. Dengan demikian, tidak diperlukan doktrin-doktrin dan kebenaran-kebenaran absolut, karena doktrin-doktrin hanyalah memecah belah rekonsiliasi.

Kita melihat contoh-contoh ada cukup banyak situs, facebook, twitter, maupun bbm, yang sering mengungkapkan semua agama sama saja; yang penting adalah ajaran kasih; Gereja Katolik terlalu kaku dan tidak membumi; Gereja Katolik dan dogma dan doktrinnya hanyalah bikinan manusia semata; tidak perlu terlalu fanatik, dll.
Dan sering perkataan-perkataan seperti di atas dituliskan oleh umat Gereja Katolik dan bahkan para katekis! Inilah sebabnya para Paus menyebutkan bahwa modernisme merupakan sintesis dari semua bidaah atau kesesatan, karena bukan hanya melawan salah satu pengajaran dari Gereja Katolik, namun melawan semua pengajaran Gereja Katolik sampai kepada akar-akarnya. Seorang tidak dapat menjadi Katolik dan sekaligus menjadi penganut modernisme.

2. Sekularisme
Sekularisme adalah suatu prinsip yang hanya menaruh perhatian pada hal-hal yang dialami di dunia ini saja. Artinya, paham ini memisahkan diri dari agama, yang mengajarkan kehidupan kekal. Prinsip dari pengajaran ini adalah: (a) meningkatkan kehidupan ini dengan hal-hal material saja, (b) ilmu pengetahuan yang dapat menjawab segalanya, (c) berfokus untuk melakukan kebaikan untuk hidup di dunia ini saja. Prinsip di atas, pada akhirnya akan menghasilkan materialisme, karena fokus dari prinsip ini adalah meningkatkan kehidupan dengan hal-hal material dan kehidupan hanya dilihat sebagai apa yang dialami di dunia ini. Kita melihat di dalam dunia digital, komentar-komentar, yang kadang datang dari umat Katolik sendiri, tentang pentingnya untuk melakukan karya-karya sosial dan tidak perlu untuk mempelajari dogma dan doktrin Gereja Katolik, karena dogma dan doktrin tidak diperlukan.

3. Pemisahan antara iman dan kehidupan sehari-hari
Keadaan di atas diperparah dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari umat beriman, termasuk umat Gereja Katolik. Ada sebagian umat Katolik, yang mengaku diri Katolik namun hidupnya tidak mencerminkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah mengenal Tuhan dan telah diselamatkan. Orang-orang ini, yang walaupun adalah umat beragama – termasuk umat Katolik – namun hidupnya seolah-olah tidak mengenal Tuhan. Paus Yohanes Paulus II menyebut kelompok ini sebagai “practical atheism“ karena mereka hidup seolah-olah tidak mengenal Tuhan. Mereka menolak adanya kebenaran absolut, dan menganggap berbagai pandangan di dunia ini -bahkan yang bertentangan dengan ajaran Kristus sekalipun- sebagai sama-sama benar (ini disebut relativisme). Dalam dunia digital ini, iman seolah-olah hanyalah urusan hari Minggu, selebihnya pornografi dalam internet tidak dipandang sebagai dosa.
Kita tahu bahwa sesuatu yang buruk atau salah akan cepat sekali menyebar. Dan di dunia yang serba cepat dan serta serba digital, mempermudah penyebaran informasi, termasuk informasi akan paham-paham yang salah. Dengan masuknya dan berkembangnya ajaran-ajaran tersebut, maka sebenarnya umat Kristen hidup di zaman yang penuh dinamika dan tantangan yang besar. Namun, apakah kemudian kita hanya menyesali nasib dan membiarkan semua penyesatan ini terjadi? Kalau Rasul Paulus hidup di zaman ini, apakah kita berfikir bahwa dia hanya duduk diam dan berpangku tangan serta hanya menyesali nasib dan menyalahkan masyarakat?

IV. Peluang dan tantangan pewartaan di era digital
Kita bersama yakin, bahwa Rasul Paulus tidak akan berdiam diri menghadapi tantangan ini. Bahkan kita yakin, bahwa dia akan menjadikan media komunikasi sebagai satu peluang yang begitu luar biasa yang harus digunakan untuk mengkomunikasikan/ mewartakan Kristus yang adalah Sang Kebenaran yang sejati. Dalam salah satu dokumen Instruksi Pastoral yang dikeluarkan oleh Pontificum Consilium de Communicationibus Socialibus tentang Komunikasi Sosial, Aetatis Novae (1992), dijabarkannya pentingnya hal komunikasi di dalam Gereja, karena sesungguhnya hal ini mengambil model dari komunikasi yang terjadi di dalam Pribadi Allah Trinitas. Sebab di dalam Kristus yang adalah Sang Sabda yang menjadi manusia, komunikasi kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera oleh kuasa Roh Kudus menjadi nyata. Komunikasi ini yang kemudian ditanggapi oleh manusia dalam iman mewujudkan dialog yang mendalam.[4] Komunikasi kasih inilah yang perlu dihadirkan di tengah kehidupan manusia, melalui media komunikasi sosial, dan orang- orang yang terlibat di dalam media ini mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkan keselarasan antara Teladan yang dicontoh dan pelaksanaannya di lapangan, agar para pembacanya dapat melihat hubungan antara keduanya. Yaitu bahwa Kabar Gembira yang dikomunikasikan adalah Kasih Allah yang disampaikan di dalam Kristus.

Hal komunikasi sebagai hakekat Gereja ini pula yang ditekankan dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Social Communication, yang berjudul Gereja dan Internet (2002). Dikatakan demikian, “Komunikasi di dalam dan oleh Gereja pada dasarnya adalah penyampaian tentang Kabar Gembira Yesus Kristus. Komunikasi tersebut adalah pewartaan Injil sebagai nubuat, sabda yang memerdekakan manusia di zaman sekarang, suatu kesaksian di hadapan sekularisasi radikal tentang kebenaran ilahi dan tujuan akhir umat manusia; sebuah saksi yang diberikan kepada semua umat beriman di dalam solidaritas untuk melawan segala bentuk konflik dan pemisahan menuju keadilan dan persekutuan di antara orang- orang, bangsa- bangsa, dan budaya.”[5]

1. Membaca tanda-tanda zaman akan pentingnya media digital
Oleh karena itu Gereja Katolik mempunyai perhatian besar terhadap media komunikasi sosial. Berikut ini adalah beberapa kutipan pengajaran Magisterium tentang hal komunikasi tersebut:
Paus Pius XII: Pada tahun 1957 menekankan pentingnya media – baik radio, televisi, film – untuk dapat digunakan dalam mengekspresikan kebenaran.[6] Paus Paulus VI: di tahun 1971 mengatakan bahwa Gereja melihat media sebagai karunia Tuhan, yang dapat dipergunakan manusia sebagai alat untuk persatuan di dalam persaudaraan dan juga sebagai alat agar manusia dapat menanggapi warta keselamatan.[7] Media modern dapat menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan Injil.[8] Selanjutnya, ia mengatakan, “Gereja akan merasa bersalah di hadapan Kristus bila gagal menggunakan media untuk evangelisasi.”[9] Konsili Vatikan II: Dalam Dekrit Konsili tentang Media Komunikasi Sosial, ditegaskan bahwa media sosial dapat memberikan kontribusi kepada umat manusia dan Gereja dapat menggunakannya untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah.[10] Paus Yohanes Paulus II: “Gereja belumlah cukup untuk menggunakan media sekedar untuk menyebarkan pesan Injil dan ajaran otentik Gereja. Namun juga perlu mengintegrasikan pesan Injil ke dalam kebudayaan baru yang diciptakan oleh komunikasi modern.”[11].
“[Meskipun dunia komunikasi sosial] sering nampak tidak cocok dengan pesan Kristiani, ia menawarkan kesempatan- kesempatan yang unik untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan dari Kristus kepada seluruh keluarga besar umat manusia. Pertimbangkanlah …. kemampuan- kemampuan positif dari internet untuk menyampaikan informasi dan ajaran religius yang melampaui segala batas dan penghalang. Luasnya para pendengar akan menjadi sesuatu yang melampaui batas imajinasi mereka yang mewartakan Injil jauh sebelum kita …. Umat Katolik tidak perlu takut untuk membuka lebar- lebar pintu komunikasi sosial kepada Kristus, sehingga Kabar Gembira-Nya dapat terdengar dari atap- atap rumah di dunia.”[12] Paus Benediktus XVI: menyerukan agar umat Katolik secara khusus kaum muda, untuk menggunakan media digital dalam memberitakan kabar gembira, yaitu: Tuhan yang telah menjadi manusia, yang menderita, wafat, dan bangkit untuk menyelamatkan kita manusia.[13] Paus juga meminta agar para pastor mempergunakan media ini untuk melayani dunia, untuk memperkenalkan Gereja dan membawa wajah Kristus kepada dunia modern ini.[14] Kemudian di tahun berikutnya, Paus kembali menyerukan agar kita sebagai umat Kristen menyerukan kebenaran di dalam dunia digital, bukan berdasarkan sensasi atau mencari popularitas, namun memberitakan Kristus sesuai dengan dinamika kehidupan saat ini, sehingga mereka sendiri dapat berhadapan dengan kebenaran, yang adalah Kristus sendiri.[15]

2. Kelebihan pewartaan dalam era digital
Jadi, secara umum, Gereja memandang media komunikasi sebagai peluang yang positif untuk mewartakan Kristus. Selain itu, ada beberapa hal yang merupakan kelebihan khas internet, yaitu:
a. Informasi dapat disampaikan dengan langsung, segera, bersifat interaktif dan mengundang partisipasi pembaca.[16] b. Informasi interaktif dua arah ini mengakibatkan hal positif seperti menjadikan komunikasi tidak kaku dan bersifat top-down, tetapi menjadi lebih hidup karena dapat terjadi dialog.[17] c. Karena terbuka untuk umum, maka pendidikan/ pengajaran yang disampaikan melalui internet berpotensi untuk membentuk penilaian banyak orang tentang ukuran moral yang benar dan membentuk hati nurani yang benar[18]

3. Tantangan yang perlu diwaspadai
Namun ada beberapa tantangan yang perlu diwaspadai dalam penggunaan media komunikasi sebagai sarana pewartaan ini, yaitu:
a. Dapat menimbulkan kebingungan: Peluang interaksi/ dialog dua arah di internet juga dapat berpotensi menimbulkan kebingungan, karena pihak yang bertanya mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dengan bebas, sehingga semua pihak di sini sepertinya dapat sama- sama ‘berbicara’.[19] Untuk itu, penting untuk tetap diadakan kemungkinan melakukan moderasi, edit, seleksi, oleh pihak pengelola, agar tidak menimbulkan kebingungan bagi pembaca yang lain, tentang pihak manakah yang mewakili ajaran Gereja Katolik. Selain itu, pandangan dari pihak pengunjung yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik seyogyanya ditanggapi oleh pihak tuan rumah dengan menyampaikan ajaran Gereja Katolik. Untuk itu diperlukan komitmen dari pihak pengelola situs/ blog, untuk mempelajari ajaran resmi Gereja Katolik.
b. Antipati dari dunia terhadap nilai-nilai Kristiani: Dunia media kadang sangat anti terhadap ajaran iman dan moral Kristiani. Ini disebabkan karena pandangan umum yang menganggap tidak adanya yang disebut kebenaran mutlak, dan bahwa semua pendapat adalah benar (relativisme).[20] Waspada terhadap adanya gejala ini, saat mewartakan hal yang berkaitan dengan iman dalam media, kita perlu mengambil informasi dari sumber-sumber Katolik yang dapat dipercaya dan tidak asal cut and paste saja dari berita sekular, yang kadang malah bernada melecehkan Gereja Katolik dan ajarannya. Kita juga harus selektif dalam memilih berita yang ingin disampaikan, dan dalam dialog kita harus berani menyampaikan kepenuhan kebenaran tanpa bersembunyi di balik pernyataan, “ya semua agama/ gereja sama saja.” Sebab memang ada unsur-unsur kebenaran di dalam agama- agama/ gereja-gereja lain, tetapi kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik[21] c. Penyerangan terhadap kelompok agama: Adanya banyak situs di internet yang ditujukan untuk menyerang kelompok- kelompok agama ataupun budaya tertentu, tak terkecuali yang menyerang Gereja Katolik[22]. Terhadap hal ini ada setidaknya tiga macam akibat bagi pembaca: mengacuhkannya, menjadi terpengaruh olehnya, atau menjadi terdorong untuk mencari tahu fakta yang sesungguhnya dari sumber yang netral dan dari sisi Gereja Katolik. Kita sebagai katekis selayaknya mempunyai sikap yang terakhir ini.
d. Mementingkan opini pribadi: Bermunculannya situs- situs yang menamakan dirinya Katolik tetapi tidak menyampaikan informasi yang sungguh sesuai dengan posisi otentik Gereja Katolik. Walau mungkin didirikan dengan maksud yang baik namun dapat terjadi yang disampaikan di sana adalah pandangan pribadi yang eksentrik/ berbeda dengan ajaran resmi Gereja Katolik[23].
e. Pilih-pilih ajaran: Adanya kecenderungan dari pihak umat Katolik sendiri yang memilih-milih ajaran yang mau ditaatinya dan mana yang ingin ditolaknya[24]. Hal ini perlu diwaspadai, bahkan oleh pihak pengelola situs/ blog, supaya jangan sampai ia sendiri termasuk di dalam golongan ini, dan dengan demikian menjadi selektif dan bias dalam menyampaikan informasi, dan tanpa disadari memasukkan opini pribadi yang mempertanyakan atau bahkan menentang ajaran resmi Gereja Katolik. Misalnya, pandangan seperti: umat Katolik harus menjadi vegetarian, harusnya Gereja menahbiskan imam wanita, harusnya perayaan Misa lebih spontan dan tak perlu pedoman, dst.
f. Lupa akan realitas: Realitas dunia maya ini tidak bisa menggantikan realitas sakramen, dan kegiatan-kegiatan penyembahan dalam komunitas gerejawi[25]. Jadi jangan sampai Internet menggeserkan kecintaan para pembaca dan pengelola terhadap sakramen dan interaksi sosial yang nyata antara umat beriman.

4. Beberapa rekomendasi dari Vatikan
Dengan adanya peluang yang besar di media internet, “Gereja dapat dengan lebih lagi memberitakan kepada dunia akan apa yang diimaninya dan menjelaskan alasan- alasannya tentang suatu hal atau kejadian. Ia dapat lebih lagi mendengar suara- suara pandangan publik dan masuk dalam diskusi yang berkesinambungan dengan dunia di sekelilingnya, dan karena itu melibatkan dirinya sendiri dengan lebih langsung di dalam pencarian bersama akan solusi-solusi terhadap masalah-masalah yang menekan umat manusia.”[26] Selanjutnya, mengingat peluang yang besar dan positif yang dapat diberikan oleh internet/ media komunikasi terhadap pewartaan Kristus, maka Gereja menyarankan:[27].
a. Kepada para pemimpin Gereja: Orang- orang yang menempati kepemimpinan Gereja di semua sektor harus memahami media, dan menerapkan pemahaman ini dalam pembentukan rencana pastoral untuk komunikasi sosial. Jika perlu mereka sendiri harus menerima pendidikan tentang media. Mereka harus memperhitungkan penggunaan media sebagai kesempatan bagi kegiatan kerjasama ekumenis dan antar-agama.
Sebagai langkah untuk mengatur maraknya situs yang menamakan diri Katolik tetapi sebenarnya bukan situs resmi (unofficial) yang berkaitan dengan otoritas Gereja, maka “sebuah sistem sertifikasi yang sukarela di tingkat lokal dan nasional di bawah supervisi wakil-wakil dari Magisterium akan dapat membantu, yang berkaitan dengan materi- materi yang mengandung sifat pengajaran atau kateketik. Ide ini bukan untuk menekan ataupun memberi sensor tetapi untuk menawarkan kepada para pengguna internet semacam patokan yang dapat dipercaya terhadap apa yang mengekspresikan posisi otentik Gereja.”[28] b. Kepada petugas pastoral: Para imam, diakon, biarawan/biarawati dan pekerja awam di bidang pastoral harus mempunyai pendidikan media untuk meningkatkan pemahamannya akan pengaruh komunikasi sosial kepada setiap orang dan masyarakat. Mereka perlu mendapat pelatihan tentang internet dan bagaimana menggunakannya di dalam pekerjaan mereka. Mereka dapat memetik manfaat dari situs-situs yang menawarkan saran- saran teologis dan pastoral.
Kepada petugas Gereja yang secara langsung terlibat di media, mereka harus memperoleh pelatihan profesional, namun juga mempunyai formasi yang baik tentang pengajaran maupun spiritualitas. Sebab “untuk memberi kesaksian tentang Kristus, adalah penting untuk mengalami perjumpaan sendiri dengan Dia dan untuk memperdalam hubungan pribadi dengan Dia melalui doa, Ekaristi dan sakramen Pengakuan Dosa, membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, mempelajari ajaran Kristiani dan melayani sesama.”[29] c. Kepada para pendidik dan katekis: Sekolah- sekolah Katolik mempunyai tugas yang genting untuk melatih para komunikator dan penerima komunikasi sosial dengan prinsip- prinsip Kristiani. Universitas Katolik, kolese, sekolah dan program pendidikan di segala tingkat perlu memberikan kursus-kursus kepada berbagai kelompok: calon imam, imam, biarawan, biarawati, pemimpin awam, guru, orang tua dan murid- dengan pelatihan dalam hal teknologi komunikasi, manajemen dan etika untuk mempersiapkan pekerjaan media profesional atau peran pengambil keputusan, termasuk mereka yang bekerja di dalam komunikasi sosial bagi Gereja.
d. Kepada para orang tua: Demi anak- anak dan diri mereka sendiri, orang tua harus memainkan peran sebagai supervisor bagi anak- anak mereka dalam menggunakan internet. Orang tua harus memberikan contoh yang bijaksana untuk menggunakan media di rumah mereka. Supervisi ini termasuk memastikan digunakannya sistem filter/ penyaringan di dalam komputer yang digunakan oleh anak- anak, agar melindungi mereka sedapat mungkin dari pornografi dan sejenisnya. Anak- anak tak dapat diperbolehkan untuk menjelajahi internet tanpa pengawasan orang tua. Orang tua dan anak harus berdialog tentang informasi apa yang boleh dilihat. Tugas mendasar dari para orang tua adalah agar membantu anak menjadi selektif dan menjadi pengguna internet yang bertanggungjawab dan agar tidak menjadi pecandu internet dan mengabaikan kontak dengan teman- temannya dan dunia sekelilingnya.
e. Kepada anak- anak dan orang muda: Anak- anak dan orang muda harus terbuka terhadap pendidikan sikap terhadap media, agar dapat menolak godaan terbawa arus, terbawa bujukan teman- teman dan eksploitasi komersial. Mereka harus diarahkan untuk menggunakan internet dengan bertanggungjawab, dan agar tidak terjerumus ke dalam konsumerisme, pornografi dan fantasi-fantasi kekerasan dan pengucilan diri.
f. Kepada semua orang yang berkehendak baik: disarankan agar menumbuhkan beberapa kebajikan untuk menggunakan internet:
1. Kebijaksanaan: untuk dapat melihat dengan jelas adanya pengaruh yang baik atau buruk, dan untuk menanggapi dengan kreatif peluang maupun kesempatannya.
2. Keadilan: untuk memperkecil jarak antara mereka yang kaya akan informasi dan yang kurang informasi di dunia ini.
3. Keperkasaan dan keberanian: untuk berani menyatakan kebenaran di hadapan pandangan relativisme, kemurahan hati di hadapan konsumerisme, kesopanan di hadapan sensualitas dan dosa.
4. Pengendalian diri: untuk mendisiplinkan diri sendiri agar dapat menggunakannya dengan bijak dan hanya untuk kebaikan.

V. Langkah-langkah konkret untuk mewartakan
Setelah kita melihat apa yang dilakukan oleh Rasul Paulus, kondisi dunia ini, dukungan Gereja terhadap penggunaan media, serta beberapa pedoman yang diberikan Gereja, maka mari sekarang kita melihat beberapa langkah konkret yang dapat kita lakukan. Didorong ingin cepat bertindak dan mengedepankan kepraktisan, banyak orang memikirkan program-program atau aktivitas-aktivitas yang harus segera dijalankan. Namun, Yesus mengingatkan kita bahwa jika badai menerjang, rumah yang didirikan di atas pasir akan hancur berantakan, dan sebaliknya rumah yang didirikan di atas batu akan tetap berdiri kokoh. (lih. Mat 7:24-27) Demikian juga dapat pewartaan lewat dunia digital, langkah pertama adalah membuat pondasi yang kokoh. Pondasi yang kokoh adalah pondasi spiritual. Pondasi spiritual ini adalah merupakan jiwa dari karya kerasulan di dalam media digital.

1. Pondasi spiritual
a. Pertobatan: Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa untuk melakukan pewartaan, kita harus bertobat terlebih dahulu. Kita dapat belajar dari rasul Paulus, yang menunjukkan bahwa setelah pertobatannya yang luar biasa dalam perjalanan ke Damsyik, dia dapat mewartakan Tuhan dengan luar biasa (lih. Kis 9:1-22). Sebagian dari kita, mungkin telah mengalami pertobatan pertama, yaitu pertobatan yang menuntun kita pada Sakramen Pembaptisan. Namun, pertobatan yang kedua (KGK, 1428) atau pertobatan secara terus menerus diperlukan sehingga kita senantiasa dalam kondisi rahmat. Dan dalam hubungan yang baik dengan Tuhan, maka kita menyampaikan kebaikan Tuhan dengan lebih benar dan indah.
b. Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama: Dua perintah utama ini harus menjadi dasar dari karya kerasulan ini. Jangan pernah berfikir bahwa karya kerasulan adalah merupakan tujuan (end). Semua karya kerasulan hanyalah cara (means) untuk mengasihi Kristus dan Gereja-Nya, yang diwujudkan dengan mengasihi sesama. Kecintaan kita kepada Kristus dan Gereja-Nya merupakan perwujudan bahwa kita mengasihi Kristus secara keseluruhan. Karena Kristus sebagai Mempelai Pria mengasihi Mempelai wanita-Nya, yaitu Gereja, maka kita juga harus mengasihi Gereja-Nya, yaitu Gereja Katolik. Di sisi lain, kita mengasihi sesama, karena Kristuslah yang terlebih dahulu mengasihi mereka, yang menginginkan agar semua orang diselamatkan (lih. 1Tim 2:3-4). Kita dapat belajar bagaimana Rasul Paulus sungguh-sungguh mengasihi Kristus namun pada saat yang bersamaan dia bersedia melakukan apa saja demi keselamatan umat Allah (lih. Flp 1:23-24)).
c. Berakar pada Sakramen, Sabda Allah, doa: Kalau kita benar-benar mengasihi Allah, maka kita senantiasa mendalami Allah, seperti yang dinyatakan-Nya dalam Kitab Suci. Dan kalau kita mengasihi Allah, maka kita akan menimba rahmat-Nya yang mengalir melalui sakramen- sakramen – terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat – serta bercakap-cakap dengan Allah dalam doa-doa pribadi. Kita harus belajar dari Rasul Paulus untuk mengucap syukur senantiasa dalam segala hal, terutama dalam Perjamuan Suci (lih. 1 Kor 10:16; Ef 5:4). Kalau sampai hal-hal ini dilupakan dan waktu yang ada hanya digunakan untuk melakukan karya kerasulan di dunia digital, maka lama kelamaan, kita akan menjadi lemah, karena kehilangan jiwa dan alasan utama untuk melakukan semua ini.
d. Mohon rahmat kerendahan hati dan kebijaksanaan: Dalam melakukan karya kerasulan, kita perlu meminta rahmat agar diberikan kerendahan hati. Kerendahan hati memungkinkan kita untuk menempatkan kebenaran yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik di atas pengertian kita sendiri; dan pada saat yang bersamaan mencoba dengan segala kekuatan untuk menerima kebenaran tersebut – walaupun mungkin sulit – dengan sukacita dan menjalankannya dalam hidup sehari-hari. Mengetahui kebenaran adalah satu hal, namun menyampaikan kebenaran adalah hal yang berbeda. Kita harus meminta rahmat kebijaksanaan, sehingga kita dapat menyampaikan kebenaran dengan tepat, hormat dan lemah lembut, tanpa mengorbankan kebenaran, namun justru memperkuat kebenaran yang disampaikan.

2. Pondasi intelektual
Mempelajari iman Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium Gereja: Kalau kita menyadari bahwa karya kerasulan dalam dunia digital adalah untuk mewartakan Kristus dan Gereja-Nya, maka kita juga harus menggali sumber-sumber yang menjadi pilar kebenaran, baik Kitab Suci, Tradisi Suci maupun Magisterium Gereja. Dengan menggali dasar kebenaran tersebut secara terus-menerus, maka kita akan dapat mewartakan kebenaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Gereja. Kita minta karunia Roh Kudus, yaitu karunia pengertian, sehingga kita dapat masuk lebih dalam misteri iman.
Mengikuti keputusan Magisterium: Sangat penting kita benar-benar mempelajari apa yang sebenarnya diajarkan oleh Magisterium Gereja. Semakin kita mengetahui apa yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik – yang mendasarkan dogma dan doktrin berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Suci – maka kita akan semakin mewartakan apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Dan dengan kerendahan hati, kita harus menerima, bahwa apa yang telah diputuskan oleh Magisterium Gereja sesungguhnya merupakan kebenaran, yang tentu saja harus kita ikuti.

3. Metode pewartaan
Setelah kita mengetahui pondasi spiritual dan intelektual, maka kita dapat mulai memikirkan tentang metode yang dapat kita lakukan. Dari sikap Gereja Katolik tentang media yang telah dipaparkan di atas, serta meneladani semangat Rasul Paulus yang menggunakan segala cara agar dapat memperkenalkan Kristus kepada segala bangsa, kita harus melihat kesempatan dan keadaan di mana Tuhan menempatkan kita sebagai peluang. Sebab penggunaan media komunikasi dapat menghubungkan orang- orang di dalam keluarga, sekolah, pergaulan, pekerjaan, dan kehidupan sehari- hari lainnya, dan ini merupakan kesempatan yang baik untuk menaburkan benih Injil. Hal tersebut dapat kita lakukan melalui beberapa cara:
Telpon, BBM, SMS, E-mail dan Milis: Hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan oleh hampir semua orang adalah menelpon teman yang membutuhkan penghiburan, mengirim e-mail, SMS atau BBM ayat- ayat maupun permenungan Kitab Suci. Dalam kategori ini, kita dapat juga membuat milis. Sebagai contoh dalam kelas katekumen, baik juga jika kita sebagai katekis dapat meminta alamat e-mail para katekumen, sehingga tiap- tiap hari/ secara berkala katekis dapat mengirimkan ayat- ayat Kitab Suci atau renungan harian, ataupun penjelasan tentang pokok-pokok iman Katolik.
Facebook, Twitter: Mulai membuat facebook atau twitter dan menceritakan bagaimana Kristus hidup dalam kejadian sehari-hari, serta bagaimana merefleksikan bacaan Kitab Suci dalam kehidupan sehari-hari. Lihat contoh twitter dari Vatikan: https://twitter.com/news_va_en
Membuat website atau blog: Dewasa ini, membuat website atau blog pribadi, entah dengan Blogger, WordPress, Joomla, dll sangatlah mudah dan tidak memerlukan biaya banyak. Semua umat Katolik dapat mulai dengan menceritakan pengalaman- pengalaman iman, sehubungan dengan apa yang dialaminya sehari-hari. Dan bagi yang mempunyai pengetahuan yang lebih di bidang iman – baik awam maupun klerus – dapat mulai untuk memaparkan iman Katolik secara lebih mendalam. Silakan melihat website Vatikan: http://vatican.va
Membuat forum: Membuat forum Katolik juga menjadi salah satu cara untuk memperkenalkan Kristus dan Gereja-Nya. Di satu sisi, forum dapat memberikan daya tarik bagi pengunjung untuk memberikan opini dan membangun dialog. Namun, di sisi yang lain, tanpa moderator forum yang baik, maka diskusi dapat menjadi liar dan tidak terarah.
Youtube: Salah satu media komunikasi adalah film. Dan dalam era internet ini, kita semua dapat menampilkan video melalui youtube. Isilah dengan kesaksian iman, pendalaman iman, kegiatan anak-anak muda dalam paroki maupun dalam tingkat keuskupan. Lebih jauh media ini juga dapat dimanfaatkan untuk merekam tahap-tahap dalam melakukan katekese, baik secara terstruktur atau per topik bahasan. Vatikan sendiri mempunyai channel youtube: http://www.youtube.com/user/vatican
Applikasi mobile: Dewasa ini telepon pintar (smartphone), seperti iphone, blackberry, telepon dengan OS Android telah merajalela di Indonesia. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk membuat applikasi mobile, sehingga umat Katolik dapat mengakses informasi tentang iman Katolik di mana saja, termasuk pada waktu menghadapi kemacetan.

VI. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa kondisi dunia ini penuh dengan arus informasi dan teknologi untuk berkomunikasi. Gereja mempunyai tugas untuk menggunakan kesempatan ini untuk mewartakan Kristus. Teknologi saja tidaklah cukup. Kita perlu meniru Rasul Paulus yang dipenuhi dengan kasih Allah; dan yang mempunyai kerinduan besar untuk membagikannya bagi semua orang, bukan hanya umat Yahudi namun kepada seluruh umat manusia. Demikianlah kita dipanggil untuk mewartakan Kristus, tidak saja kepada umat Katolik, tetapi juga kepada semua orang yang berkehendak baik. Pengorbanan yang kita lakukan tidaklah sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Namun demikian, sebagai umat Allah yang telah menerima Sakramen Baptis, kita mengemban tugas yang sama untuk mewartakan Kristus, walaupun dengan cara dan porsi yang berbeda-beda. Akhirnya, biarlah kata-kata dari Paus Yohanes Paulus II dapat memberikan inspirasi di dalam hati kita untuk melakukan pewartaan di dunia digital ini.

“Semoga umat Katolik yang terlibat di dunia komunikasi sosial mewartakan kebenaran akan Yesus dengan lebih berani dari atap- atap rumah, sehingga semua orang dapat mendengar tentang kasih yang adalah jantung hati komunikasi Allah sendiri di dalam Yesus Kristus, yang tetap sama kemarin, dan hari ini, dan selamanya.”[30] [Catatan: Artikel ini dibuat untuk retret Hari Studi Katekis Keuskupan Surabaya “Seandainya Rasul Paulus Hidup di Zaman Digital ini, apa yang akan Dia lakukan Untuk Pewartaannya?”, yang diselenggarakan di Wisma Hening Katarina, Pohsarang, Kediri 24-26 Oktober 2011] ________________________________________
CATATAN KAKI:
1. lih. Katekismus Gereja Katolik 82 [↩] 2. lih. Paus Pius X, Pascendi Dominici Gregis, 39 [↩] 3. lih. Paus Benediktus XV, Ad Beatissimi Apostolorus, 25 [↩] 4. lih. Pontificum Consilium de Communicationibus Socialibus, Aetatis Novae, 6 [↩] 5. Terjemahan The Church and Internet, 5, mengutip Aetatis Novae, 9 [↩] 6. Ensiklik Miranda Prorsus [↩] 7. Communio et Progressio, 2 [↩] 8. Ibid., 128 [↩] 9. Evangelii Nuntiandi, 45 [↩] 10. Konsili Vatikan II, Inter Mirifica, 2 [↩] 11. Paus Yohanes Paulus II, Redemptoris Missio, 37 [↩] 12. Paus Yohanes Paulus II, Pesan di Hari Komunikasi Sedunia ke-35, 27 Mei, 2001 [↩] 13. Paus Benediktus XVI, Pesan di Hari Komunikasi Sedunia (HKS) ke-43, 24 Mei 2009 [↩] 14. Paus Benediktus XVI, Pesan di HKS ke-44,16 Mei 2010 [↩] 15. Paus Benediktus XVI, Pesan di HKS ke-45, 2011 [↩] 16. lih. Pontifical Council for Social Communication, The Church and Internet, 6 [↩] 17. Ibid. [↩] 18. The Church and Internet, 7 [↩] 19. Lih. The Church and Internet, 8 [↩] 20. Ibid [↩] 21. lih. Konsili Vatikan II, Nostra Aetate, 2 dan Unitatis Redintegratio, 3 [↩] 22. lih. The Church and Internet, 8 [↩] 23. Ibid [↩] 24. lih. The Church and Internet, 9 [↩] 25. Ibid [↩] 26. Paus Yohanes Paulus, Pesan di Hari Komunikasi Se-dunia ke 24, 1990 [↩] 27. lih. The Church and Internet, 11 [↩] 28. Ibid [↩] 29. Paus Yohanes Paulus II, Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke- 34, 2000 [↩] 30. Paus Yohanes Paulus II, Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-35, n.4 [↩]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *